Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26888 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Toemin A. Masoem
Jakarta: UI-Press, 1997
371.26 TOE e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Muhammad Iqbal Satria
"Studi terror management theory yang selama ini telah dilakukan terkait aktivitas ekonomi dalam meredam kecemasan terhadap kematian menunjukkan adanya pertentangan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mengumpulkan dan menyimpan banyak harta kekayaan, khususnya uang itu sendiri, dapat menurunkan kecemasan terhadap kematian. Namun di lain sisi memberikan uang kepada orang yang membutuhkan juga mampu meredam kecemasan terhadap kematian. Pertanyaan yang muncul dari sini, manakah aktivitas ekonomi yang lebih efektif dalam menurunkan kecemasan terhadap kematian, apakah menyimpan uang, dilihat dengan tingkah laku menabung, atau memberikan uang kepada orang yang membutuhkan, dilihat dengan tingkah laku donasi. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Hipotesis penelitian ini adalah bahwa ide menabung akan lebih efektif dalam menurunkan kecemasan terhadap kematian dibandingkan ide mengenai tingkah laku donasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ditolak, dan tidak terdapat pengaruh manipulasi aktivitas ekonomi pada kecemasan terhadap kematian, F(2,100) = 2,154, p = 0,12. Tidak adanya pengaruh manipulasi aktivitas ekonomi pada kecemasan terhadap kematian dijelaskan oleh pola aktivitas ekonomi partisipan yang cenderung tinggi pada konsumsi serta religiositas.

Study of terror management theory that has been done related economy activity in reducing death anxiety indicate a contradiction. Several studies have shown that collecting and storing many assets, especially money itself, can reduce death anxiety. But on the other hand gives money to people who need also able to reduce death anxiety. The question that arises from here, Which economy activity is more effective in reducing death anxiety, whether to save money or give money to people in need. This study aims to answer this question.
The hypothesis of this study is that the idea of saving will be more effective in reducing death anxiety compared to the idea of donation behavior. The results showed that the hypothesis is rejected, and there is no effect of the manipulation of economy activity in the anxiety of death, F (2,100) = 2.154, p = 0.12. The lack of effect of the manipulation of economy activity in the death anxiety is explained by the pattern of economy activity participants are likely to be high on consumption and religiosity.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S56212
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lintang Rahayu
"ABSTRAK
Survei menunjukkan bahwa 15 dari 20 orang mahasiswa memilih tidak melaporkan free-rider dalam pengerjaan tugas kelompok meski diberikan keleluasaan dalam sistem peer evaluation. Motif melakukan tindakan yang tidak sesuai aturan demi melindungi orang lain ternyata juga terjadi dalam konteks legal berbentuk false confess. False confession diartikan sebagai pengakuan terhadap tindakan tertentu yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Innocence project (organisasi yang membantu orang-orang tidak bersalah yang terjerat kasus salah tangkap) mencatat bahwa 15-20% kasus yang mereka tangani terkait dengan insiden false confession. Perillo dan Kassin (2011) menyebutkan bahwa terdapat dua faktor risiko yang melatar-belakangi seseorang untuk memberikan confession, pertama adalah kerentanan disposisional (psikologis), yaitu kerentanan yang merupakan bawaan dari tersangka, seperti usia atau kepribadian. Kedua, yaitu faktor situasional yang berkaitan dengan kondisi penahanan dan interogasi. Faktor situasional yang dimaksud salah satunya adalah alat bukti (Gudjonsson, 2003). Oleh karena itu, peneliti ingin melihat apakah faktor disposisional (suggestibity) atau faktor situasional (false evidence) yang lebih mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam memberikan false confession pada konteks non legal. Dengan menggunakan Gudjonsson Suggestibility Scale (1984) dan computer-crash paradigm dari Kassin dan Kiechel (1999) yang telah dimodifikasi, didapatkan kesimpulan bahwa faktor situasional (false evidence) lebih kuat mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk memberikan false confession.

ABSTRACT
Survey shows that 15 of 20 students chose not to report the free-rider in the execution of the task group even if given the flexibility in the system through peer evaluation. Motives to protect other people also occured in legal context. False confession interpreted as confession of certain actions that do not correspond to the reality. Innocence Project (an organization that helps innocent people who are wrongfully convinced and imprisoned) noted that 15-20% of the cases they deal related to false confession incident. Perillo and Kassin (2011) states that there are two risk factors underlying people to give confession. First, the dispositional vulnerability (psychological), namely the vulnerability that is inherited from the suspect, such as age or personality. Second, the situational factors relating to the conditions of detention and interrogation. One of them is evidence (Gudjonsson, 2003). Therefore, this research wanted to see whether the dispositional factors (suggestibity) or situational factors (false evidence) influence a person's motive to give a false confession to the non-legal context. By using Gudjonsson Suggestibility Scale (1984) and modified computer-crash paradigm, it shows that the situational factors (false evidence) stronger to influence a person's tendency to give a false confession."
2016
S62760
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Fajriani
"Representasi uang yang berbeda terbukti menghasilkan perilaku konsumen yang berbeda, meski memiliki jumlah nominal yang sama. Dibandingkan dengan uang tunai, metode pembayaran non tunai dianggap oleh individu sebagai kurang transparan dan lebih tidak sakit. Penelitian ini ada 2 (metode pembayaran: tunai atau dompet digital) x 2 (metode pembayaran tip: tip terpisah dari pembayaran tagihan atau bagian tip dari membayar lebih tagihan) desain antar-peserta. Penelitian dilakukan pada tahun 203 Peserta mahasiswa Universitas Indonesia melalui kuisioner online www.survey.ui.ac.id. Hasilnya, peserta yang menggunakan uang tunai membayar tip baik sebagai bagian dari pembayaran lebih (CPT 2) atau
Selain pembayaran tagihan (CPT 1) cenderung memberikan tip yang lebih besar dibandingkan dengan peserta yang menggunakan dompet digital. Tes kovariat menunjukkan tip sebesar itu yang biasanya diberikan setiap hari kepada pengemudi jasa pengiriman makanan online berkorelasi positif dan signifikan dengan kesediaan tip diberikan dalam sketsa penelitian.

Different representations of money are proven to produce different consumer behavior, even though they have the same nominal amount. Compared to cash, cashless payment methods are perceived by individuals as less transparent and less painful. This research has 2 (payment method: cash or digital wallet) x 2 (tip payment method: separate tip from bill payment or tip part of paying more bills) inter-participant design. The research was conducted in 203
University of Indonesia student participants through online questionnaires www.survey.ui.ac.id. As a result, the participants used cash pay a tip either as part of an overpayment (CPT 2) or In addition to bill payments (CPT 1), it tends to provide a bigger tip compared to participants who use digital wallets. The covariate test showed that a tip of that size, which is usually given to drivers of online food delivery services on a daily basis, has a positive and significant correlation with the willingness to tip in the research sketch.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardemas Sulthon Priautama
"Penelitian ini mengkaji dampak lingkungan dari bioplastik biodegradable poli-laktat (PLA) dan plastik berbasis fosil polietilena tereftalat (PET) dengan menilai potensi pemanasan global dan konsumsi energi melalui analisis siklus hidup (LCA). Dengan asumsi penggunaan bahan bakar fosil selama proses manufaktur, hasil menunjukkan bahwa PET memiliki potensi pemanasan global lebih tinggi, rata-rata 4,67 kg CO2 eq/1 kg, dibandingkan dengan PLA sebesar 3,89 kg CO2 eq/1 kg, yang mengindikasikan jejak karbon PLA lebih rendah. Dalam hal konsumsi energi, PET membutuhkan 97,4 MJ/1 kg, sedangkan PLA hanya membutuhkan 66,2 MJ/1 kg. Kontributor terbesar untuk emisi CO2 dan penggunaan energi dari kedua jenis material berasal dari fase ekstraksi material, yang mencakup lebih dari 50% dampak total. Pada PET, fase ini melibatkan transformasi bahan mentah menjadi plastik, sedangkan pada PLA, fase ini mencakup ekstraksi komponen dari gula fermentasi (misalnya, tebu, akar tapioka, pati jagung). Meskipun PET memiliki potensi untuk didaur ulang, PET dengan kandungan daur ulang 30% masih menghasilkan potensi pemanasan global lebih tinggi dibandingkan PLA. Literatur sebelumnya menunjukkan bahwa meningkatkan kandungan daur ulang PET hingga 50% diperlukan untuk menyamai dampak lingkungan PLA yang lebih rendah. Studi ini menyimpulkan bahwa meskipun PLA secara umum menunjukkan potensi pemanasan global yang lebih rendah, peningkatan tingkat daur ulang PET dapat secara signifikan mengurangi jejak lingkungannya, sehingga berpotensi menjadi sebanding dengan PLA.

This paper investigates the environmental impact of biodegradable bioplastic polylactic acid (PLA) and fossil-based polyethylene terephthalate (PET) by assessing their global warming potential (GWP) and energy consumption throughout their life cycle assessment (LCA). Assuming fossil-based fuel during the manufacturing processes, the findings reveal that PET has a higher GWP, averaging 4.67 kg CO2 eq /1kg, compared to PLA’s 3.89 kg CO2 eq /1kg, indicating PLA’s lower carbon footprint. In terms of energy consumption, PET requires 97.4 MJ/1kg, while PLA only require a smaller 66.2 MJ/1kg. The largest contributor to both CO2 emissions and energy usage for both type of materials, comes from the material extraction phase, accounting for over 50% of the total impact. For PET, this phase involves transforming raw materials into plastic, whereas for PLA, it involves extracting components from fermented sugars (e.g., sugarcane, tapioca root, cornstarch). Despite the potential for PET to be recycled, PET with a 30% recycled content still results in a higher GWP than PLA. Past literature suggests that increasing PET’s recycled content to 50% is necessary to match PLA’s lower environmental impact. The study concludes that while PLA generally demonstrates lower GWP, improving PET’s recycling rates can significantly reduce its environmental footprint, potentially making it comparable to PLA"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agatha Beatrice Simanjuntak
"Skripsi non seminar ini meninjau industri tabir surya, yang kini menjadi salah satu produk perawatan kulit yang mulai menjadi suatu keharusan dikalangan generasi Z terlebih lagi dikarenakan perubahan iklim dan penipisan lapisan ozon yang kian memburuk. Penelitian ini ditujukan secara spesifik kepada suatu perusahaan Australia yang bergerak dalam bidang tabir surya yaitu Ultra Violette. Penelitian ditujukan untuk membantu pemilik dalam mengambil keputusan untuk menglobalisasikan produknya ke China atauAmerika Serikat.
Dengan pertimbangan dari berbagai perspektif baik ekonomi, sosial, legal, dan teknologi, penelitian mengidentifikasi bahwa China adalah negara yang tepat untuk melakukan ekspansi produk. Walaupun Australia merupakan negara dengan peraturan pembuatan tabir surya terketat di dunia, Amerika Serikat sayangnya melarang penjualan produk tabir surya yang tidak dikembangkan di negeri mereka. Oleh karena itu, Ultra Violette disarankan untuk mengembangkan produk mereka ke China terlebih lagi, pasar China sangat mementingkan kualitas produk tabir surya yang dimana, Ultra Violette sudah jauh lebih unggul karena telah melewati proses regulasi di Australia yang merupakan daerah dengan kasus kanker kulit terbanyak di dunia.
Penelitian ini juga memberikan cara atau solusi kepada Ultra Violette untuk dapat mengembangkan produk mereka ke China dengan lebih mudah. Juga disertai dengan mitigasi risiko yang kemungkinan bisa terjadi saat melakukan ekspansi produk.

This thesis examines the sunscreen industry, a skin care product that is increasingly being seen as essential, particularly among Generation Z, in light of the escalating challenges posed by climate change and the deteriorating state of the ozone layer. The focus of this study pertains to an Australian enterprise operating within the sunscreen industry, specifically Ultra Violette. The purpose of research is to provide support to owners in their decision-making process regarding the globalization of their products in either China or the United States.
Through a comprehensive analysis including several viewpoints covering economic, social, legal, and technological aspects, the research has determined that China presents itself as the optimal nation for product expansion. Australia is widely recognized as having the most rigors regulations pertaining to sunscreen manufacturing globally. Conversely, the United States has implemented a policy that restricts the sale of sunscreen products that are not domestically developed within their own borders. Hence, it is recommended that Ultra Violette undertake product development activities in China. Furthermore, it is noteworthy that the Chinese marketplaces significant emphasis on the quality of sunscreen products. In this regard, Ultra Violette stands out as a superior option due to its successful completion of the regulatory procedures in Australia. It is worth mentioning that Australia is recognized as a region with the highest incidence of skin cancer globally.
This study also offers strategies or remedies for Ultra Violette to enhance their product penetration into the Chinese market. Furthermore, it is important to consider the use of risk mitigation strategies when undertaking product expansion initiatives.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Sari Riana
"Skripsi ini bertujuan menyelidiki secara garis besar suatu bahasa yang lahir dari persentuhan dua bahasa dan bangsa , yaitu Indonesia dan Belanda. Sehingga dalam bahasa itu kita menemukan sifat--sifat yang ada dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Belanda. Suatu contoh yang paling dekat dengan sejarah kehidupan kita dan juga merupakan obyek dari skripsi ini adalah lahirnya bahasa, Petjo yang merupakan akibat dari persen_tuhan dan percampuran bahasa dan kebudayaan Belanda dengan Indonesia. Sebelumnya kita menyebut bahasa itu bahasa Indo-Belanda , tetapi ditahun 1974, seorang penulis berdarah Indo-Belanda, Tjalie Robinson memperkenalkan bahasa itu sebagal Bahasa Peco dengan bukunya ' Ik ea Bentie t' yang sengaja di_tulis dekat dengan pengucapan bahasa .itu. Pjalie Robinson bermaksud agar dengan terbitnya buku tersebut ada perhatian dari para linguis untuk menyelidikinya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1976
S15930
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Dwi Ananda
"Sumber daya ekonomi keluarga dapat memengaruhi kecenderungan anak untuk mencapai pendidikan tinggi, seperti pendapatan sebagai sumber utama pendanaan dan kepemilikan asset untuk mengukur kesejahteraan ekonomi keluarga jangka panjang. Dengan data SUSENAS 2021, studi ini menganalisis 53.108 anak di atas 17 tahun dalam rumah tangga menggunakan regresi logistik biner untuk membandingkan sumber daya ekonomi mana yang lebih penting dalam pencapaian pendidikan tinggi anak. Ditemukan bahwa pendapatan mempunyai efek yang lebih besar dibandingkan aset dalam meningkatkan peluang anak mencapai pendidikan tinggi. Lebih lanjut, mobil dan emas adalah aset yang bisa meningkatkan peluang pencapaian pendidikan tinggi.

Economic resources that can explain the likelihood of achieving higher education are family income as the main funding and asset ownership to measure long-term family well-being. Using SUSENAS 2021, this study analyzed 53.108 children in a household that aged 17 years and above using logistic regression to compare which resources are more important to children’s achievement in higher education. This study finds the effect of income is greater than assets in increasing the likelihood of children going to higher education. Furthermore, valuable assets like gold and car may increase the likelihood of achieving higher education significantly."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>