Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139244 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ning Rahayu
"Dalam rangka memasuki era globalisasi diperlukan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di kalangan dunia usaha, bentuk-bentuk alih teknologi dilakukan dengan berbagai cara, seperti hak untuk menggunakan intelectual property, technical advise dan sebagainya baik dari pihak asing maupun domestik. Untuk itu pemakai hak/pemakai jasa harus membayar royalti atau imbalan jasa teknik.
Pembayaran royalti dan imbalan jasa teknik itu sendiri merupakan obyek pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) yang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak (khususnya dari PPh) secara berarti. Namun dalam pelaksanaannya di lapangan sering terjadi dispute antara Wajib Pajak dengan fiskus dalam menentukan royalti (khususnya yang berupa informasi) dan imbalan jasa teknik sebagai obyek pajak (PPh), sehingga berpengaruh pada treatment (perlakuan pemajakan) antara keduanya. Hal ini menyebabkan tingkat kepastian hukum mengenai hal tersebut menjadi kurang terjamin dan dapat menimbulkan penghindaran maupun penyelundupan pajak.
Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk memperjelas perbedaan antara royalti dan imbalan jasa teknik, perlakuan pengenaan PPh antara keduanya serta menguraikan permasalahan-permasalahan yang timbul sekaligus mencari jalan keluarnya.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode deskriptif analistis, dengan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan studi lapangan'melalui wawancara dengan pihak-pihak terkait.
Dari hasil pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa royalti dan imbalan jasa teknik sebenarnya merupakan obyek pajak yang sangat potensial, namun belum tergali secara maksimal, karena terhambat oleh kendala pemahaman yang belum merata mengenai pengetahuan perpajakan yang menyangkut masalah-masalah khusus di kalangan petugas, serta belum adanya surat edaran/penegasan lebih lanjut yang lebih terperinci mengenai royalti dan imbalan jasa teknik. Hal ini menyebabkan baik petugas pajak maupun wajib pajak membuat penafsiran sendiri-sendiri yang cenderung menguntungkannya. Untuk menjamin kepastian hukum, sebaiknya dibuat surat edaran khusus yang menjelaskan mengenai perbedaan dan ciri-ciri khusus antara royalti dan imbalan jasa teknik disertai dengan contoh-contohnya. Sedangkan untuk meningkatkan keseragaman. pemahaman mengenai pengetahuan perpajakan yang bersifat khusus, sebaiknya dilakukan pendidikan khusus secara periodik dan berkesinambungan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bombong Widarto
"Compared to the domestic shipping companies, the role of foreign shipping companies in Indonesia's economy is Very dominant. The large demand of export and import transportation could not be handled by domestic shipping companies due to many weakness, such as the inadequate of high-quality ships, lack of financial institution Support, and management skill in international competition. Until this day the potency of natlonal?s cargo for domstic or international still dominated by foreign shipping companies. According to the Indonesian National Shipowners Association (INSA), the effect of that unequal at least US$ 12 billion of yearly potential income goes to foreign shipping companies. Those amounts are the total of international shipping expenses shipping companies. Those amounts are the total of internalional shipping expenses (US$ 10.5 billions) and domestic shipping expenses (3 trillions Rupiah). The 95% from average 450 millions ton/year of total export cargo from Indonesia are carried by foreign ships, as for domestic ship is 5%. For domestic cargo, the national shipping companies only obtained 89.9 millions ton or 59.99% as for foreign shipping companies they obtained 59 millions ton or 40.01%. Related to that, the author is interested to analyzing the taxation upon foreign shipping companies income. The subjects in this research is the implemetation operation of the tax levied of income tax based on the taxation policy subject to Indonesian taxation related to the foreign shipping companies income. As for the subject of this thesis is how to create assurance regarding the implementation of the tax levied of income tax from the foreign shipping companies income in Indonesia, in order to prevent tax avoidance or if taxpayer perform a tax evasion, it could be known as violation to the act of Income tax. The data compilation used qualitative method with descriptive analysis approach, which is describbing and analyzing the completed data. The data that used in this research were obtained by library research and field research techniques.
All addition to economic capability shall taxable, including the addition to economic capability, which received or obtained by the operations of foreign ships in Indonesia. In this sector of business, the income could be in the form of freight, terminal handling charge, document fee, fuel adjusment factor, income from charter transaction by means of fully manned basis or bareboat basis, income from transactions of bareboat hire purchase, income from ship leasing, income from used ship overtaking, prolit from exchange rate, and income from fish shipping operation. Need synergy from income tax elements, that is tax policy, tax law and tax administration in order to taxed the income from foreign ships operation. Those elements shall be based on good taxation goal and principle, which contain principle of equity and certainty. Certainties are very important to create justice for taxpayers and tax personnel, whether the certainties in Tax Subject, Tax Object, tax tariff or tax procedure.
Indonesia has own domestic rules regarding the foreign ship operating, but the origin country of that foreign ship also had their own domestic rules, so the coflict of taxation jurisdiction could be occur. Therefore, double tax prevention agreement is needed between the two countries in order to prevent the occurrence of tax evasion. The prevention of that double tax is obtained by agreement regarding with: a) elimination of dual residence, b) jurisdiction of each countries as domicile country and as source country, c) the prevention method for double tax must be applied by domicile country and d) establish the Mutual Agreement Procedure (MAP).
From the results of field study shows that are several kinds of income from foreign shipping Companies which has not been clearly arranged, so there is no law certainty which are terminal handling charge, document fee, fuel adjustment factor, bareboat basis charter fee, income from bareboat hire purchase, income from used boat overtaking, profit/loss from rate exchange, and income from operation of foreign fish ship.There are several operation modus of tax evasion which done by taxpayer caused by more than one agent authorization which is spreading in several city port in Indonesia, the situation when agent is been replaced and the previous agent felt no more responsibility, even in the tax levied by other party and taxpayer it self did not pay the withholding income tax.
The ongoing analysis regarding the tradition of international taxation is the tradition of international taxation is the tradition is not placing the permanent establisment as tax requirement for the source country and Indonesia did not implemented those tradition. Analysis were also performed regarding the existence unclearly tax regulation for several kinds above mentioned income, the inappropriate name of article 15 Income tax, the income scope which has to be arranged in Indonesia's domestic regulation, the tax procedure and operation modus of tax evasion.
The conclusion based on the analysis is the lax rights of source country upon the profit of ships operation on international traffic not based on the concept of permanent establishment, the name of article 15 income tax is inappropriate since it is not include in tax procedure criteria, the particular calculation norm for net income shall be clearly stating the income variables which is included in norm calculation and which is exclude in the tax treatment. Indonesia's domestic regulation have got to be changed to not placing the requirements of permanent establisment and in case of effective management existence in Indonesia, then the tax treatment is equal with domestic shipping companies taxpayer, the name article 15 Income Tax is changed to appropriate type of tax, regulation of income variable subjected to Income Tax which is final and not, single NPWP for one taxpayer, the use of term "tax levied" for fully manned basis charter and eliminated the uncertainty of regulation to create law certanty."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22268
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dasto Ledyanto
"Salah satu kemanfaatan utama dari transaksi kontrak berjangka komoditi adalah sebagai sarana lindung nilai dari kemungkinan kerugian investasi. Sarana lindung nilai seperti ini merupakan salah satu jenis transaksi derivative. Pada akhir dari transaksi ini (saat jatuh tempo atau terjadi cash settlement) nasabah (investor) akan dihadapkan pada dua hal yakni memperoleh keuntungan atau menderita kerugian. Apabila dikelola dengan baik, transaksi kontrak berjangka komoditi ini sangat potensial sebagai sarana lindung nilai dalam rangka memperoleh penghasilan dan mengurangi atau menekan kerugian. Dari sisi keberadaannya di Indonesia yang masih relatif baru, transaksi kontrak berjangka komoditi dapat menjadi suatu altematif investasi. Oleh karena itu, apabila hal ini digali lebih mendalam khususnya yang berkenaan dengan pengenaan PPh atas penghasilan dari transaksi kontrak berjangka komoditi, bukan tidak mungkin akan memberikan kontribusi yang besar pada penerimaan negara.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan transaksi kontrak berjangka komoditi dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik, sehingga dapat memberikan kontribusi pada peningkatan penerimaan negara. Pokok permasalahan tersebut apabila diperinci dalam bentuk kalimat-kalimat pertanyaan meliputi hal-hal sebagai berikut: (i) bagaimana konsep dan hakekat ekonomi dari transaksi kontrak berjangka komoditi?, (ii) bagaimana pendapat para ahli berkenaan dengan pajak atas penghasilan yang diperoleh dari transaksi kontrak berjangka komoditi?, (iii) bagaimana perlakuan PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dari kontrak berjangka komoditi yang saat ini berlaku di Indonesia?, dan (iv) bagaimana pengaturan PPh yang seharusnya diterapkan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dari kontrak berjangka komoditi di Indonesia ?.
Untuk membantu proses pengkajian dan pembahasan masalah tersebut dilakukan penelitian secara deskriptif analitis, yakni mendeskripsikan terlebih dahulu semua informasi atau data yang diperoleh dari penelitian. Selanjutnya atas semua data tersebut dilakukan analisis yang dikaitkan dengan ketentuan PPh yang berlaku saat ini dan korelasinya dengan sistem pemajakan yang memenuhi persyaratan keadilan vertikal dan horizontal. Yang pada akhirnya dari analisis data tersebut dapat dirumuskan suatu kesimpulan atau memberikan saran-saran. Sebagai pendukung analisis dilakukan penelitian lapangan melalui wawancara mendalam dengan pengambil keputusan dalam bidang perpajakan yakni pejabat di Direktorat Jenderal Pajak, dengan penyelenggara bursa yakni pihak Bursa Berjangka Jakarta, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka dan pelaku bursa seperti pialang anggot'a bursa. Dalam transaksi kontrak berjangka komoditi digunakan mark to market basis dalam arti setiap hari dilakukan penghitungan berdasarkan settlement price untuk hari yang bersangkutan sehingga diketahui keuntungan atau kerugian nasabah. Meskipun demikian penghitungan keuntungan atau kerugian bersih dilakukan pada saat jatuh tempo atau terdapat cash settlement. Yang menjadi objek PPh adalah penghasilan (keuntungan) yang telah terealisasi. Namun, secara teoritis untuk pengakuan atas keuntungan atau kerugian ini menggunakan matching basis yakni apabila kerugian underlying jatuh dalam tahun buku yang berbeda dengan tahun buku diperolehnya keuntungan dari derivative yang dimaksudkan sebagai lindung nilai bagi underlying yang bersangkutan maka keuntungan derivative tersebut harus dibukukan dalam tahun buku yang sama dengan dideritanya kerugian underlying.
Berkenaan dengan penggunaan mark to market basis dalam kontrak berjangka pada dasamya tidak menjadi suatu masalah karena memang hal itu merupakan habitual practice dari transaksi tersebut. Sedangkan berkaitan dengan pengakuan ada tidaknya suatu penghasilan dari kontrak berjangka komoditi ini tetap mendasarkan pada realization principles. Oleh karena itu pengakuan adanya penghasilan atau kerugian pada kontrak berjangka komoditi dihitung setelah terselesaikannya suatu transaksi kontrak berjangka komoditi yakni pada saat jatuh tempo transaksi dan pada saat terjadi penyelesaian secara tunai (cash settlement). Maksud penghitungan dalam hal ini adalah penghitungan bersih setelah terlebih dahulu memperhitungkan keuntungan atau kerugian hariannya dari transaksi kontrak berjangka komoditi yang bersangkutan.
Pada akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan tentang bagaimana pengenaan PPh yang seyogyanya diterapkan atas penghasilan dari kontrak berjangka komoditi yakni berpedoman pada 4 hal pokok. Mengingat sampai dengan saat ini Direktorat Jenderal Pajak sebagai instansi yang melingkupi tata laksana perpajakan belum merumuskan peraturan perpajakannya maka menurut hemat penulis 4 hal pokok tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan peraturan perpajakannya. Hal ini tidak lain dimaksudkan agar segera dapat tercipta suatu kepastian hukum atas perlakuan perpajakan dari keuntungan atau kerugian transaksi kontrak berjangka komoditi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12134
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarisa Khairunnisa
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis interpretasi hukum terhadap imbalan dalam bentuk kenikmatan yang mengalami perubahan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dalam klaster pajak penghasilan, dengan penekanan pada aspek kepastian hukum. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah paradigma post-positivist. Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi studi pustaka dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini mengungkapkan kesimpulan berdasarkan 6 (enam) dimensi kepastian hukum, yaitu (1) dimensi materi/objek hukum belum mampu memberikan kepastian hukum yang memadai; (2) dimensi subjek hukum memberikan kepastian hukum yang memadai, (3) dimensi pendefinisian belum memberikan kepastian hukum, (4) dimensi perluasan/penyempitan juga belum memberikan kepastian hukum, (5) dimensi ruang lingkup belum memberikan kepastian hukum, dan (6) dimensi penggunaan bahasa hukum masih belum mampu memberikan kepastian hukum. Berdasarkan temuan penelitian ini, terlihat bahwa kebijakan pajak penghasilan terbaru terkait imbalan kenikmatan belum mampu memberikan kepastian hukum, sehingga berpotensi menimbulkan sengketa pajak dalam implementasinya. Oleh karena itu, disarankan agar muatan undang-undang lebih diperjelas dan disempurnakan melalui regulasi perpajakan yang berkaitan dengan imbalan kenikmatan, guna memberikan kepastian hukum yang lebih baik. Dengan meningkatkan kejelasan hukum, para pengambil kebijakan dapat menciptakan lingkungan perpajakan yang stabil dan dapat diprediksi, yang menguntungkan baik bagi para wajib pajak maupun administrasi perpajakan. Memperkuat kerangka hukum akan mengurangi potensi sengketa yang berlarut-larut dan berkontribusi pada pembangunan sistem perpajakan yang adil dan efektif.

The objective of this research is to comprehensively analyze the legal interpretation of benefits in the form of perks, which have undergone modifications as a result of the enactment of the Harmonization of Tax Regulation Act in the income tax cluster, with a specific focus on establishing the extent of legal certainty. Employing a post-positivist paradigm, the study employs a combination of literature review and in-depth interviews as data collection techniques. The research findings shed light on the six dimensions of legal certainty. Firstly, the material/legal object dimension fails to provide the required level of legal certainty. Secondly, while the legal subject dimension achieves a satisfactory level of legal certainty, shortcomings are observed in other dimensions. Thirdly, the definition dimension lacks the necessary legal certainty. Fourthly, both the expansion/narrowing dimension and the scope dimension exhibit inadequacies in ensuring legal certainty. Lastly, the utilization of legal language dimension falls short in establishing legal certainty. Based on these research outcomes, it becomes apparent that the latest income tax policy concerning perks fails to guarantee legal certainty, which in turn may lead to tax disputes during implementation. Consequently, it is strongly recommended to clarify and enhance tax regulations pertaining to perks to ensure a higher level of legal certainty. By fostering improved legal clarity, policymakers can cultivate a stable and predictable tax environment that benefits both taxpayers and tax authorities. Strengthening the legal framework will reduce the likelihood of protracted disputes and contribute to the development of an equitable and effective tax system."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Ruston
"Untuk menggali penerimaan pajak dari sektor usaha jasa konstruksi maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari. Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan. Mengacu pada sasaran pembaharuan sistem perpajakan nasional, maka setiap ketentuan perpajakan harus memperhatikan aspek keadilan serta jaminan atas kepastian hukum dalam pemungutan pajak.
Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis apakah ketentuan tersebut telah tepat ditinjau dad azas-azas perpajakan yang baik terutama aspek keadilan dalam pembebanan pajak, kepastian hukum, kesederhanaan pemungutan, serta kekuatan dan keabsahan dasar hukum pemungutan pajak.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode .deskriptif analitis mencakup analisis teoritis melalui studi kepustakaan dan pendapat beberapa pakar perpajakan serta analisis empiris atas kasus-kasus di lapangan.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa Peraturan Pemerintah yang mengenakan PPh Final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi kurang mencerminkan azas keadilan, baik keadilan horizontal yang menekankan bahwa semua orang yang mempunyai penghasilan sama harus membayar pajak dalam jumlah sama maupun keadilan vertikal yang mewajibkan pajak yang semakin besar selaras dengan semakin besarnya kemampuan yang bersangkutan untuk membayar pajak.
Selain itu terdapat beberapa hal yang menyangkut ketidakpastian termasuk pengertian jasa konstruksi sehingga menimbulkan perbedaan interpretasi dalam pelaksanaannya. Di sisi lain, Peraturan Pemerintah tersebut telah mempunyai landasan hukum yang sah yaitu Undangundang (UU). Yang menjadi permasalahan adalah terlalu luasnya wewenang yang diberikan oleh UU sehingga dengan Peraturan Pemerintah dapat diatur tarif pajak tersendiri atas segala jenis penghasilan yang berbeda dari ketentuan UU itu sendiri. Hal ini menyimpang dari Undang-undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa segala pajak harus berdasarkan UU.
Menerapkan kembali tarif umum yang progresif dan tidak final lebih mencerminkan keadilan. Akuntansi Keuangan sangat memudahkan penetapan penghasilan neto usaha jasa konstruksi sehingga secara teknis pembukuan tidak terdapat masalah. Selanjutnya perlu ditinjau kembali ketentuan dalam UU yang memberi wewenang terlalu besar kepada Peraturan Pemerintah untuk mengatur tersendiri perlakuan PPh atas jenis-jenis penghasilan tertentu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gede Komang Chahya Bayu Anta Kusuma
"P.A.Y.E merupakan salah satu mekanisme pemungutan pajak atas gaji karyawan, yang dilakukan pada sumber penghasilan. Mekanisme pemungutan pajak melalui P.A.Y.E. dilakukan dengan pertimbangan kesederhanaan dan pengawasan hanya perlu dilakukan pada Pemberi Kerja. Di Indonesia atas penghasilan yang diterimaoleh orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan wajib dipotong PPh pasal 21 oleh Pemberi Kerja untuk selanjutnya disetor ke kas negara.
Dalam kenyataannya, sering ditemukan adanya penundaan penyetoran PPh pasal 21 yang sudah dipotong oleh pemotong pajak, tindakan merupakan salah satu bentuk tax avoidance yang dilakukan dengan melaporkan SPT Masa PPh pasal 21 ?NIHIL? dan menunda penyetoran pajaknya sampai dengan akhir tahun takwim. Dengan demikian kewajiban perpajakan PPh pasal 21 yang seharusnya dilakukan pada setiap masa pajak menjadi tertunda bahkan tindakan WP ini cenderung merupakan salah satu bentuk penghindaran pajak yang membebani administrasi di kantor pajak sehingga tujuan pemotongan pajak untuk mempercepat pengumpulan pajak tidak tercapai serta penerimaan pajak menjadi belum optimal.
Selain itu hal yang perlu mendapat perhatian DJP adalah penentuan tax relief yang berlaku saat ini. Tax relief berupa PTKP, biaya jabatan, iuran pensiun menurut Wajib Pajak semestinya diperhatikan menurut kondisi yang berlaku saat ini sehingga mampu memberikan rasa keadilan memungut pajak. Kondisi ini kurang wajar dirasakan oleh Wajib Pajak dalam hal PTKP misalnya untuk Wajib Pajak dengan status kawin hanya diberikan tambahan kurang dari 10% dari Wajib Pajak sendiri. Hal ini tentunya belum cukup untuk memenuhi kondisi yang sebenarnya, sehingga perlu ada tranparansi dan penelitian yang lebih mendalam dalam penentuan besarnya tax relief.
Ketentuan pasal 21 menurut UU PPh mewajibkan pemungutan pajak melalui pemberi kerja khususnya berhubungan dengan pembayaran penghasilan berupa gaji karyawan baik yang diterima Wajib Pajak Dalam Negeri atau diterima Wajib Pajak Luar Negeri. Mekanisme perhitungan untuk withholding tax ini lebih rinci diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : 545/PJ/2000 tanggal 29 Desember 2000 dan telah diubah dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor : 15/PJ/2006 tanggal 23 Pebruari 2006 mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan, penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan pasal 21 dan pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi. Pemberian tax relief dalam ketentuan perpajakan saat ini diberikan dalam beberapa bentuk antara lain pertama biaya Jabatan, hanya diberikan terhadap pegawai tetap yang besarnya 5% (lima persen) dari penghasilan bruto dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 1.296.000,00 ( satu juta dua ratus sembilan puluh enam ribu rupiah) setahun atau Rp 108.000,00 (seratus delapan ribu rupiah). Kedua tax relief diberikan dalam bentuk biaya pensiun sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto berupa uang pensiun dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 432.000,00 (empat ratus tiga puluh dua ribu rupiah) setahun atau Rp 36.000,00 (tiga puluh enam ribu rupiah ) sebulan. Ketiga Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang besarnya Rp 13.200.000,00 (tiga belas juta dua ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak , tambahan Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) untuk Wajib Pajak Kawin dan tambahan Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) untuk tanggungan Wajib Pajak maksimum 3 (tiga) orang.
Jenis penelitian yang akan diterapkan dalam penyusunan tesis ini adalah deskriptif analisis yaitu menggambarkan, menuturkan, menganalisa dan mengklasifikasikan data yang ada seperti situasi yang dialami, dengan melakukan teknik interview dan hubungan, kegiatan, pandangan, sikap yang menampak atau suatu proses yang berlangsung, pengaruh yang sedang bekerja, kelainan yang muncul, kecenderungan yang menampak dan kondisi lainnya. Penelitian ini menganalisis berdasarkan data yang diperoleh dari wawancara dengan key informan studi kepustakaan, mempelajari peraturan perpajakan dan laporan.
Dari hasil analisis penelitian diperoleh kesimpulan bahwa, Ketentuan pasal 21 menurut Undang-undang PPh telah memenuhi prinsip P.A.Y.E, dengan menerapkan metode perhitungan end year adjustment. Penerapan P.A.Y.E ini merupakan sistem withholding tax yang memberikan kepercayaan kepada pemberi penghasilan untuk memotong pajak atas pembayaran gaji, upah, penggantian sehubungan dengan pekerjaan. Disamping itu Ketentuan pasal 21 yang berlaku saat ini tidak memenuhi azas equality secara mutlak. Karena tax relief yang ada berupa biaya jabatan, biaya pensiun dan PTKP, besarnya belum sesuai dengan beban hidup minimum Wajib Pajak. Oleh karena itu sebaiknya ditentukan dasar perhitungan yang transparan dalam menentukan tax relief.
Kemudian apabila ditinjau lebih dalam penerapan ketentuan pajak, ternyata masih terdapat beberapa kelemahan (loophole) pada PPh pasal 21 sehingga menyebabkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak hanya 30% dari jumlah Wajib Pajak terdaftar. Beberapa loophole yang ada antara lain tidak dilakukan law enforcement yang jelas apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT atau tidak ada keharusan penyampaian alamat yang jelas atau menunda penyetoran dan pelaporan PPh pasal 21 sampai dengan akhir tahun. Dalam rangka mengurangi penghindaran pajak, upaya DJP melakukan pemeriksaan, reformasi sistem dll telah dilakukan DJP, namun hal ini belum sepenuhnya dapat mengurangi peluang penghindaran pajak. Oleh karena itu reformasi dibidang perpajakan sangat tepat dalam rangka meningkatkan pengawasan kepada Wajib Pajak, berbarengan dengan hal ini diperlukan adanya perubahan administrasi sehingga dapat mewujudkan simplicity dan kepastian hukum."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19478
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayu Winarti
"Penerimaan negara dari pajak sangat diharapkan bagi Indonesia, terlebih lagi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2001 ditargetkan sebesar 70 % dari seluruh penerimaan. Posisi ini menggantikan pinjaman luar negeri yang selama ini mendominasi sumber penerimaan dalam APBN. Oleh karena itu segala upaya untuk mencapai target tersebut harus diusahakan untuk menjamin keamanan APBN.
Upaya untuk mengoptimalkan penerimaan pajak yang umum dikenal adalah intensifikasi dan eksensifikasi. Mengingat kondisi perekonomian Indonesia yang belum pulih dari krisis moneter dan untuk mewujudkan sistim perpajakan yang adil, dimana semua Wajib Pajak yang berpenghasilan sama harus dikenakan pajak yang sama, maka penulis berusaha melakukan penelitian yang mendiskripsikan pelaksanaan ekstensifikasi wajib pajak penghasilan dengan studi kasus pada Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Tamansari.
Dari hasil penelitian dapat diperoleh gambaran bahwa ekstensifikasi Wajib Pajak Penghasilan sudah dilaksanakan dengan beberapa kegiatan diantaranya penyisiran, pemanfaatan data internal, pemanfaatan data eksternal dan kerjasama dengan instansi lain. Sekalipun jumlah Wajib Pajak berhasil ditingkatkan tetapi tidak secara langsung dapat meningkatkan penerimaan negara karena banyak faktor lain yang mempengaruhi misalnya kondisi perekonomian yang belum pulih sehingga banyak Wajib pajak yang kehilangan penghasilan, kondisi politik yang kurang kondusif dan kerjasama dengan instansi lain yang belum baik. Oleh karena itu ekstensifikasi yang dilakukan harus ditindak lanjuti dengan intensifikasi.
Untuk meningkatkan kinerja maka dipaparkan bagaimana National Tax Administration Jepang memberikan pelayanan kepada Wajib Pajak melalui public relation yang baik dan sosialisasi yang terus menerus untuk meningkatkan kesadaran Wajib Pajak akan kewajiban Perpajakannya. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9802
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rusjdi
"Income tax with references to Indonesian laws and regulations."
Jakarta: Indeks, 2006
336.24 MUH p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Atep Adya Barata
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1992
336.34 Bar p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Riskon
"Teknologi informasi dan komunikasi saat ini terus berkembang dari waktu ke waktu. Internet merupakan hasil dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan pengiriman data informasi dilakukan dengan lebih cepat dan elisien. E-commerce merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tersebut. E-commerce merupakan suatu transaksi perdagangan yang mempunyai kesamaan dengan transaksi konvensional. hanya media yang digunakan untuk transaksi tersebut berbeda. Penghasilan atas transaksi E-commerce merupakan penghasilan usaha seperti penghasilan atas transaksi konvensional. Karakterisasi penghasilan atas E-commerce merupakan suatu hal yang sangat penting untuk menentukan sistem dan prosedur pemajakan serta hak pemajakan atas penghasilan tersebut. Penghasilan atas E-commerce dapat dikategorikan kedalam empat kategori yaitu penghasilan atas penjualan barang, penghasilan Royalti, penghasilan Jasa dan penghasilan Sewa. Sistem dan prosedur pemajakan atas masing-masing jenis penghasilan berbeda satu dengan lainnya. Pemajakan atas penghasilan Royalti dan jasa dan Sewa dipotong secara Withholding. Sedangkan penghasilan atas penjualan barang tidak dipotong secara withholding. Untuk penghasilan atas Royalti, Jasa serta Sewa Negara sumber mempunyai hak untuk memajaki, sedangkan atas penghasilan dari penjualan barang Negara sumber tidak mempunyai hak, kecuali ada Bentuk Usaha Tetap.
Penelitian ini menggunakan nnetodologi dengan pendekatan deskriptif analisis dan meng gunakan data sekunder. Melalui penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa faktor penentu untuk mengkategorikan penghasilan atas E-commerce dapat dilihat dari ciri-ciri transaksi yang dilakukan. Ciri-ciri dari suatu transaksi yang dikategorikan sebagai penjualan barang Royalti. Pemberian Jasa dan Sewa berbeda satu sama lain. Dengan mengetahui ciri-ciri dari suatu transaksi maka penghasilan atas transaksi tersebut dapat dikategorikan. Pemajakan penghasilan atas transaksi E-commerce di dalam negeri masih menggunakan peraturan yang ada seperti pemajakan atas laba usaha, penghasilan Royalti, penghasilan Jasa dan penghasilan sewa. Untuk Wajib Pajak Luar Negeri dikenakan sesuai dengan peraturan domestik dan peraturan Tax Treaty yang telah dibuat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T12220
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>