Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161486 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Netty
"Hak Uji Materiil terhadap peraturan di bawah undang-undang hampir tidak pernah ada/jarang dilakukan sampai tahun 1992 karena hukum acara untuk melakukan hak uji materiil belum ada. Baru pada tahun 1993 Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No.1/1993 tentang Hak Uji Materiil. Dengan keluarnya Perma tersebut tidak ada alasan bagi Mahkamah Agung untuk menolak perkara yang masuk ke Mahkamah Agung untuk diadakan pengujian. Masalah dalam pelaksanaan Hak Uji Materiil adanya klausula dalam Pasal 131 ayat (3) Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung "... Pencabutan dilakukan oleh instansi yang bersangkutan". Ini mengandung arti bahwa peraturan perundang-undangan, yang setelah diadakan pengujian oleh Mahkamah Agung, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, harus menunggu pencabutan oleh instansi yang bersangkutan. Padahal, batas waktu pencabutan tidak ditentukan berapa lama sehingga menimbulkan masalah. Juga peraturan Mahkamah Agung bukanlah peraturan perundang-undangan karena Mahkamah Agung tidak berhak mengeluarkan peraturan perundang-undangan.
Mahkamah Agung hanya dapat mengeluarkan peraturan yang bersifat mengatur acara/prosedur pengajuan hak uji materiil. Perma No. 1/1993 bukan mengatur proses acara peradilannya saja, melainkan Mahkamah Agung juga memperluas pengajuan hak uji materiil yang diatur undang-undang hanya melalui kasasi saja. Dengan adanya Perma No.1/1993 pengajuan hak uji materiil dapat langsung ke Mahkamah Agung tanpa melalui kasasi. Dalam hal ini Mahkamah Agung telah melampaui batas kewenangan yang dimilikinya. Perkara yang masuk ke Mahkamah Agung setelah keluarnya Perma No. 1/1993 sebanyak 10 perkara. Dari 10 perkara yang masuk hanya 3 perkara yang diputus oleh Mahkamah Agung. Dari 3 perkara yang diputus oleh Mahkamah Agung, 2 perkara dinyatakan tidak dapat diterima, sedangkan 1, perkara ditolak. Da1am memutus perkara hak uji materiil Mahkamah Agung belum melaksanakan fungsinya sesuai dengan tugasnya, yaitu memutus perkara yang seadil-adilnya dan bebas dari pengaruh lain. Hal itu terlihat dari putusan hak uji materiil yang dilakukan oleh Mahkamah Agung."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Meray Hendrik Mezak
"Indonesia adalah negara berdasar atas hukum. Oleh karena itu, segala peraturan perundang-undangan harus bersumber pada hukum dasar dan aturan-aturan pelaksana tidak dibenarkan bertentangan dengan hukum dasar dan peraturan yang lebih tinggi. Di samping itu segala tindakan penyelenggara pemerintahan harus dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum. Guna mengatasi terjadinya penyimpangan produk peraturan perundang-undangan perlu adanya sarana pengendali konstitusional yang disebut hak menguji materiil di Indonesia dirumuskan dalam Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970 dan diperkuat dengan Tap. MPR No. III/MPR/1978 serta terakhir dipertegas dengan Pasal 31 UU No. 14 Tahun 1986 yang pada intinya memberikan kewenangan pada Mahkamah Agung untuk menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan dari tingkat di bawah undang-undang karena bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi. Putusan ini dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi. Dalam pengertian dapat berarti pelaksanaan hak uji materiil tidak harus melalui pemeriksaan perkara biasa yang urut-urutannya dimulai dengan perkara tingkat pertama, banding dan kemudian kasasi, akan tetapi dalam pelaksanaannya belum optimal dan terkesan tidak efektif. Oleh karena itu, penerapan Legislatif Review merupakan alternatif yang tepat guna menjaga konsistennya konstitusionalisme di Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Sudrajat
"Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis tentang peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator dan implikasinya terhadap proses legislasi di Indonesia. Penulis mempergunakan metode penelitian yuridis normatif dengan studi kepustakaan yang menggabungkan teori pemisahan kekuasaan, fiilosofi pembentukan peradilan konstitusi, konsep negara hukum dengan proses legislasi di Indonesia. Putusan No. 10/PUU-VI/2008 menunjukkan Mahkamah Konstitusi di Indonesia telah berperan sebagai positive legislator (pemuat norma) yang menimbulkan banyak perdebatan secara akademis. Hal ini sejalan dengan perkembangan di beberapa negara yang memungkinkan adanya peran peradilan konstitusinya sebagai positive legislator dalam menjamin hak-hak warga negara. Selain itu, dapat dilihat bagaimana implikasi dari tindakan Mahkamah Konstitusi yang mencantumkan syarat domisili calon anggota DPD terhadap proses legislasi yang dipegang oleh DPR dan Presiden (termasuk DPD).

The purpose of this thesis is to explain and analyse the role of Constitutional Court as Positive Legislator and its implications toward the legislation process in Indonesia. The writer uses the juridical-normative research method alongside bibliographic study which mixes separation of power theory, the forming of constitutional tribunal philosophy, the state of law concept with the legislation process in Indonesia. From the Judgment No.10/PUU-VI/2008, it can be concluded that the Indonesian Constitutional Court has its role as a positive legislator. This is consistent with the developments among some States which permit the existence of a role of a positive legislator from a constitutional tribunal in guaranteeing the rights of citizens. Besides, this thesis will bring into focus the implications from the acts of Constitutional Court which has the domicile requirements written down for the candidates of DPD to the legislation process which is held by DPR and the President (including the DPD)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42534
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zainal Arifin Hoesein
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis pembatasan objek pengujian peraturan perundang-undangan hanya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang sebagai mekanisme kontrol normatif agar terjadi konsistensi dan harmonisasi normatif secara vertikal, sebagai upaya untuk mewujudkan tertib hukum dan kepastian hukum. Penelitian ini juga hendak menjelaskan dan menganalisis perkembangan pengaturan, pelaksanaan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung RI kurun waktu 1970 - 2003. Selanjutnya, penelitian ini juga hendak menganalisis lembaga negara yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan pengujian peraturan perundangan-undangan dalam kurun waktu 1970 - 2003 sebagaimana yang diatur dan ditetapkan dalam berbagai bentuk peraturan."
2006
D1092
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasrun Hasan
"Penjelasan Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechstaat). Sebagai konsekuensinya adalah bahwa seluruh aspek kehidupan kenegaraan harus didasarkan pada hukum/peraturan perundang-undangan. Menurut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, sumber tertinggi peraturan perundang-undangan di Indonesia didasarkan pada sebuah konstitusi tertulis yaitu Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan landasan pokok bagi pembentukan peraturan-peraturan di bawahnya, karena itu segala peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia harus mengacu dan tidak diperkenankan menyimpang, apalagi bertentangan dengan konstitusi. Oleh sebab itu maka seluruh tindakan penyelenggaraan pemerintahan harus dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum. Di negara yang berdasar pada sistem konstitusional dituntut adanya keserasian antara produk-produk hukum khususnya Undang-undang serta peraturan di bawahnya dengan Konstitusi. Dalam rangka menjamin terciptanya keselarasan dan konsistensi Sistem Hukum serta mencegah terjadinya penyimpangan harus ada/diadakan suatu lembaga pengendali peraturan perundang-undangan. Pengendalian ini dilakukan dalam bentuknya yang disebut hak uji materiil. Persoalan hak uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan dalam penyelenggaraan negara di Indonesia sudah menjadi salah satu topik perdebatan sejak perumusan naskah Undang-undang Dasar dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Akan tetapi, setelah disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 tidak memuat suatu aturan tentang hak uji materiil. Tidak adanya aturan tersebut menimbulkan polemik berkepanjangan terutama dikalangan ahli hukum Indonesia. Di satu pihak berpendapat bahwa sekalipun tidak diatur dalam UUD 1945 tidak berarti bahwa hak uji materiil tidak dapat dilakukan, sementara di pihak lain menyatakan bahwa sebenarnya niat pembuat UUD 1945 tidak menghendaki adanya hak uji materiil, karena itu dalarn kerangka UUD 1945 maka hak uji materiil tersebut tidak boleh dilakukan. Dari silang pendapat tersebut ternyata kemudian sejarah ketatanegaraan Indonesia telah mencatat bahwa hak uji materiil di Indonesia telah mendapat dasar legitimasi melalui peraturan yang lebih rendah yaitu dalam Tap MPR, UU dan Perma dan secara faktual telah dilaksanakan sekalipun secara terbatas terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Perkembangan penting bagi hak uji materiil di Indonesia terjadi setelah perubahan UUD 1945, khususnya pada perubahan Ketiga Undang-undang Dasar 1945 yang merubah ketentuan Pasal 24 UUD 1945 dengan diadakannya lembaga Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia di samping Mahkamah Agung. Salah satu kewenangan yang diberikan konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi diantaranya adalah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar. Diberikannya kewenangan untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar kepada kekuasaaan kehakiman, dalam hal ini kepada Mahkamah Konstitusi adalah suatu terobosan baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia oleh karena selama ini kekuasaan kehakiman dalam hal ini melalui Mahkamah Agung hanya diberi kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dengan alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T16651
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Loekman
"Pada tahun 2004 Mahkamah Konstitusi meluncurkan dokumen bersejarahnya: "Cetak Biru: Membangun Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Moderen dan Terpercaya" (Cetak Biru). Cetak Biru ini merupakan dokumen utama kebijakan strategi manajemen perubahan Mahkamah Konstitusi yang unik, yaitu dibuat bersama-sama dengan lembaga swadaya masyarakat Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) sebagai wujud penghargaannya terhadap proses pengambilan kebijakan publik yang partisipatif.
Permasalahan yang akan diteliti dalam tesis ini adalah: (i) Bagaimanakah Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melakukan manajemen perubahannya? dan (ii) Bagaimana hubungan kegiatan manajemen perubahan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terhadap upaya mewujudkan organisasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai lembaga peradilan yang moderen dan terpercaya?
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan studi kasus di Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan. Sebagai unit unit pendukung utama dibidang administrasi umum dan justisial, peranan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan sangatlah penting bagi kelancaran beroperasinya Mahkamah Konstitusi dan terutama memiliki posisi yang strategis untuk mewujudkan pelbagai program dalam Cetak Biru. Kedua unit tersebutlah yang akan melanggengkan cita-cita Cetak Biru, melampaui terbatasnya masa jabatan para hakim konstitusi. Penelitian ini mendasarkan pada pendapat Burke (2002: 43) bahwa untuk memahami perubahan organisasi maka pendekatan yang diambil adalah dengan memandang organisasi sebagai suatu sistem yang terbuka, yang tergantung pula dari faktor lingkungan dimana organisasi itu berada. Sedangkan kesuksesan upaya untuk menghadapi perubahan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi, maka menurut Nickols (2004:1), Potts dan La Marsh (dalam Wibowo, 2006: 175), Asian Institute of Journalism and Communication (2003:1), maupun National School of Government (2006: 4) suatu organisasi perlu melakukan serangkaian tindakan untuk mengelolaperubahan itu dengan memperkenalkannya secara terencana, sistematis dan berkelanjutan (sengaja mengalokasikan sumber dayanya) melalui pelbagai program baru yang relevan pula bagi organisasi itu agar seluruh elemen dalam organisasi itu bisa menyesuaikan diri dengan lancar tiap perubahan yang dihadapi. Dalam menjaga kesuksesan mengelola tahapan program perubahan itu pula suatu organisasi harus senantiasa memberi perhatian pada pengaruh kepemimpinan, budaya organisasi, strategi perubahan yang terintegrasi serta komunikasi dua arah dengan para stakeholders organisasi itu.
Berdasarkan hasil kuesioner, telah ditemukan bahwa kriteria ?Organisasi? berpengaruh cukup besar dalam manajemen perubahan di organisasi Mahkamah Konstitusi, sehingga dengan memperhatikan sub kriteria - sub kriteria di dalam kriteria Organisasi maka perlu dipertimbangkan untuk melakukan perubahan di organisasi Mahkamah Konstitusi. Sedangkan untuk kriteria ?Perubahan Organisasi? maka masih perlu dilakukan pengembangan dan pelatihan untuk menerapkan kriteria ini di organisasi Mahkamah Konstitusi.
Selanjutnya berdasarkan serangkaian wawancara mendalam terhadap beberapa narasumber di lingkungan kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga publik yang baru sehingga masih perlu penyempurnaan sistem kerjanya. Sekalipun hal itu akan menambah beban kerja tetapi semua narasumber tetap bersemangat guna mendukung lancarnya pelaksanaan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, kecuali untuk program pengembangan website Mahkamah Konstitusi, otomatisasi sistem manajemen perkara secara elektronik dan pembangunan gedung perkantoran baru, hingga saat ini belum terbentuk kepanitiaan dan alokasi anggaran khusus untuk mendukung program perubahan sebagaimana direkomendasikan oleh Cetak Biru.
Berdasarkan hal-hal diatas, manajemen perubahan yang dilakukan di lingkungan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan perlu dilakukan secara konsisten dan perlu dicermati secara serius mengingat bila tidak ditangani lebih lanjut secara profesional, dapat menjadi potensi pada gagalnya upaya perubahan organisasi yang saat ini sedang dikerjakan dan mencederai kepercayaan para stakeholders terhadap kegiatan perubahan organisasi Mahkamah Konstitusi di masa mendatang.
Oleh karena itu disarankan agar pertama, pimpinan Sekretariat Jenderal, Kepaniteraan dan para hakim konstitusi bersama-sama menyelenggarakan rangkaian diskusi internal terbatas untuk merancang dan menyelenggarakan evaluasi secara menyeluruh tentang sejauhmana keberhasilan program perubahan sejak diterbitkannya Cetak Biru di tahun 2004. Kredibilitas evaluasi tersebut akan lebih dihargai oleh publik bilamana dilakukan oleh sebuah tim independen yang berisi para tenaga ahli lokal dibidang organizational development (terutama yang berpengalaman menanagani organisasi publik), ahli hukum administrasi negara/tata negara dan perwakilan stakeholders yang berkompeten. Kedua, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan secara periodik menyelenggarakan survei secara internal dan eksternal organisasi, untuk memudahkan pengamatan terstruktur tentang sejauhmana pengaruh manajemen perubahan yang dilakukan telah mewujudkan Mahkamah Konstitusi yang moderen dan terpercaya. Berdasarkan kedua survei tersebut, setidaknya para pimpinan akan mendapatkan suatu bentuk awal analisa kebutuhan (needs assessment) guna ditindaklanjuti dengan keputusan strategis berikutnya

In the year 2004, the Constitutional Court launched its historical document: Cetak Biru: Membangun Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Moderen dan Terpercaya (The Blue Print to Develop the Constitutional Court as a Modern and Trusted Judicial Institution) (hereinafter referred to as the ?Blue Print?). The Blue Print is the principal document for the Court?s strategy in managing organizational change. The document was also unique because it was jointly drafted with a local civil society organization Konsorsium Reformasi Hukum Nasional/KRHN, as a testament to the court?s support to public participation in policy making.
The focus of the research are twofold: First, on how the Secretariat General and the Court Registrar manage the organizational change. Second, to better understand the the relationship between the Secretariat General?s and the Court Registrar?s efforts in managing the organizational change and how such activity influenced the efforts to develop the Constitutional Court to become a modern and trusted judicial institution.
The research is descriptive and focuses on the court?s Secretariat General and Registrar as objects for the case study. Although each unit provides support in managing the court?s general and judicial administration respectively, they are all very important in making sure that the Constitutional Court is managed properly and posses the strategic role in implementing the various development programs contained in the Blueprint. Those units would eventually be the main actors in implementing the Blueprint, beyond the tenure of the justices of the Constitutional Court.
This research is based on Burke (2002: 43) who opined that in order to understand organizational change, one should observe such organization as an open system, which is dependant to its environment. Meanwhile, in order to successfully respond to change, Nickols (2004:1), Potts and La Marsh (in Wibowo, 2006: 175), the Asian Institute of Journalism and Communication (2003:1), and National School of Government (2006:4) opined that such organization needs to conduct a series of actions in managing change and introduce the changes in a planned, systematic and sustainable way, i.e. allocating the relevant resources, so that all elements of the organization can better adjust to such changes. In maintaining the success of managing change, such organization should focus on the influences of leadership, organizational culture, integrated strategies for change and a ?two-way? communication process with the stakeholders. Based on the results from the questionaires, the research found that the ?Organization? criteria has a profound influence on how change is managed in the Constitutional Court. In this regard, consideration should be focused on better understanding the various subcriterias in order to conduct organzational change at the court. Meanwhile, under the ?Organizational Change? criteria, the results from the questionaires indicate that further development in and training on organizational change are required for the Constitutional Court. Subsequently, based on the series of in-depth interviews with officials of the Secretariat General and the Court Registrar, all opined that the Constitutional Court is a developing public organization and therefore still needs to enhance its system of operational procedures. Eventhough such enhancement would increase the workload, all of the interviewees are generally enthutiastic in supporting and making sure that the mandates of the court are successfuly implemented. However, except for the development of the court?s website, an automated electronic based case management system and the construction of a new court building, the interviewees confirmed that until this day no special commitees or budget allocations are made to support the various change programs as recommended by the Blueprint.
In this regard, change management efforts at the Secretariat General and the Court Registrar should be conducted in a consistent way and to be seriously monitored considering that unprofessional handling of the change program would potentially lead to the failure of such programs and jeopardize the credibility of future change programs of the court before its stakeholders.
Therefore, it is proposed that firstly, the leadership of the Secretariat General, the Court Registrar and the court?s justices should jointly organize a series of internal focused group discussions to craft and determine a comprehensive evaluation to measure the successes of implementation since the launching of the Blueprint in 2004. The credibillty of the evaluation may be better appreciated by the public if conducted by a team of independent evaluators, consisting of local experts in the field of organizational development (particularly those experienced in handling public organizations), administrative law/constitutional law specialists, and competent representatives of the stakeholders. Secondly, the Secretariat General and the Court Registrar jointly conduct periodic surveys (internal and external) to enhance structured observations on how change management efforts have influenced the efforts to develop the Constitutional Court to become a modern and trusted judicial institution. Based on those surveys, at the minimum the leadership of the court can obtain an initial form of a needs assessment analysis, which is required to be followed up via strategic decisions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T 19245
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2002
347.012 HIM (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>