Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145156 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdul Rauf Suleiman
"Suatu kenyataan ialah bahwa walaupun masa prasejarah telah berakhir secara formal di Indonesia, namun demikian kelangsungan tradisi tersebut masih jelas tampak di beberapa tempat. Bahkan beberapa bagian daerah Irian Jaya dan Nusatenggara, belum mengalami perubahan yang berarti, sehingga terkesan masih berada dalam kehidupan prasejarah (Soejono, 1990: 306).
Salah satu tradisi prasejarah yang masih hidup hingga saat ini ialah tradisi megalitik. Perkembangan tradisi ini, berlangsung cukup lama yaitu dari masa neolitik hingga sekarang (Van Heekeren, 1958: 44). Oleh karena itu tidak mengherankan jika tradisi megalitik ini telah memberikan dasar yang kuat bagi budaya bangsa Indonesia. Bahkan tradisi megalitik, dengan sangat dinamis mengikuti corak perkembangan budaya yang masuk ke Indonesia.
Pemujaan terhadap arwah nenek moyang (ancestor worship) merupakan ciri khas dari tradisi megalitik, bahkan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Pendukungnya. Tradisi pemujaan ini berlangsung dan perkembangan terus menerus sejak ribuan tahun yang lalu, bahkan sampai sekarang. Persebarannyapun pada waktu Sekarang Menjangkau Wilayah Yang Cukup Luas, Seperti: Nias, Flores, Sabu, Timor, Sumba dan lain-lain (Soejono 1990: Sukendar, 1981/1982).
Pemujaan Terhadap Arwah Nenek Moyang Dari Tradisi Megalitik, Dilatar Belakangi Oleh Anggapan Bahwa Nenek Moyang yang meninggal itu masih hidup di dunia arwah. Arwah juga diyakini bersemayam di tempat-tempat tertentu yang dianggap suci, seperti gunung-gunung yang tinggi dan sebagainya (soejono, 1977). Prinsip inilah yang tinggi dan segenap monumen-monumen megalitik, baik yang sudah tidak berfungsi maupun yang masih berfungsi.
Di sulawesi selatan, peninggalan megalitik tersebar hampir di berbagai daerah. Tradisi hingga sekarang masih terus berlangsung dalam kehidupan masyarakatnya. Sebagai contoh di toraja, hingga saat ini penduduk setempat masih sering mendirikan menhir (simbuang). Simbuang tersebut ada kalanya dibuat dari batu maupun dari batang kayu, batang pinang dan bahkan batang bambu (rantepadang, 1989: 40). pelaksanaan pendirian simbuang ini erat kaitanya dengan kepercayaan aluk to dolo, yaitu kepercayaan lama yang berorientasi kepada pemujaan arwah leluhur (soejono, 1990: nadir, 1980).
Ada dugaan bahwa tradisi serupa pernah juga berkembang di daerah-daerah seperti sengkang dan sidenreng (sidrap) (tjitrosoepomo, 1987: 82)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Miko
"ABSTRAK
Kebertahanan suatu praktek sosial dalam suatu komunitas dapat dianggap sebagai pencerminan kebermaknaan tindakan sosial tersebut bagi komunitasnya. Tabuik Piaman merupakan salah satu dari sejumlah khazanah ritual dalam masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Namun demikian, ia tidak menjadi kekhasan bagi masyarakat Minangkabau umumnya, melainkan hanya bagi komunitas terbatas di daerah Pariaman. Margaret Kartomi (1986) menamakan tipe ritual tabuik ini sebagai ritual ala Perso -Indian. Penamaan ini berkaitan dengan anggapan bahwa muasal tabuik di Pariaman merupakan produk difusi yang bermula dari persentuhan kultural antara kebudayaan Persia dengan India, untuk kemudian India dengan Indonesia.
Ritual sebagai sebuah peristiwa sosial dapat dipandang sebagai kesatuan struktural yang terdiri dari unsur mitos, ritual dan komunitas pendukungnya. Hakikat mitos dipandang merupakan representase dari sistem pengetahuan dan keyakinan komunitas, sedangkan ritual merupakan tindakan simbolik yang memperlihatkan cara bagaimana komunitas mengaktualisasikan apa yang dikatakan oleh sistem pengetahuan dan keyakinan komunitasnya. Sementara itu, dalam kedudukannya sebagai pendukung suatu kebudayaan, komunitas adalah subyek penerima, pemaham mitos serta petindak ritual. Bagaimana terbentuk signifikansi kesalingterkaitan antara cakrawala mitos, ritual dan orientasi komunitas terhadap unsur lain di luar sistem mitos merupakan soal yang ditelusuri. Perwujudan relasi struktural antara mitos, ritual dan orientasi komunitas terhadap sistem tradisional dan nasional tersebut dipandang merupakan pencerminan dari perubahan sosiokultural masyarakat.
Melalui studi kasus ritual tabuik di Pariaman, ditemukan pandangan bahwa sistem mitos berfungsi sebagai kode kultural bagi pelaksanaan ritual, di satu pihak, akan tetapi struktur ritual itu sendiri terwujud dalam suatu kekhasan, di lain pihak. Kekhasan struktur ritual itu sendiri merupakan manifestasi dari orientasi komunitas terhadap sistem tradisional dan nasional yang menjadi bagian dari lingkungan sosial masyarakat. dengan kata lain, cakrawala tabuik adalah perwujudan yang khas dari perpaduan cakrawala mitos dan ritual serta sikap kultural komunitas terhadap khazanah tradisional dan suasana-suasana nasional di Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Hanief Saha Ghafur
"Suatu hal yang menarik untuk dikaji dewasa ini adalah pembangunan kepariwisataan. Pembangunan Pariwisata telah banyak menyuguhkan berbagai tontonan, permainan tradisional, upacara adat dan berbagai bentuk seni pertunjukan. Kegiatan ini telah menjadi agenda kegiatan resmi dari berbagai biro dan agen perjalanan wisata, perhotelan dan organisasi-organisasi kesenian di daerah. Semua bentuk kegiatan tersebut didukung oleh pemerintah, yang memang membutuhkan masukan devisa bagi pembangunan. Oleh karena itu, pemerintah mempunyai kepentingan besar dibalik semua perhelatan besar tersebut. Untuk itu, pemerintah akan berbuat apa saja bagi kesuksesan upacara-upacara tersebut.
Dalam pembangunan kepariwisataan di Indonesia banyak suguhan berupa macam-macam bentuk tontonan, permainan tradisional, upacara adat dan berbagai bentuk seni pertunjukan. Namun yang menjadi persoalan, yaitu apabila bentuk pertunjukannya berupa upacara ibadah keagamaan, seperti Hudoq. Bagi masyarakat dayak di pedalaman Kutai upacara Hudoq masih di anggap sakral dan dihayati sebagai upacara religius. Namun dilain pihak para penyelenggara, para turis asing, dan kebanyakan para penonton melihat upacara tersebut dengan sikap areligius, profan dan dianggap sebagai tontonan biasa.
Penelitian ini mengkaji dampak pembangunan pariwisata terhadap upacara perladangan dan upacara ritual Hudoq khususnya. Tulisan ini mencoba memberi gambaran tentang bagaimana proses pembangunan mendesakralisasi upacara ibadah keagamaan. Proses itu terjadi manakala Hudoq tercerabut dari basis sosial dan kulturalnya, sehingga menjadi sekedar sebuah tontonan yang areligius dan profan. Ketercerabutan tersebut karena Hudoq sudah kehilangan nuansa religio-culturalnya melalui proses pembangunan yang telah disekularisasikan."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Hanan Pamungkas
"Sembonyo adalah upacara bersih laut yang dilakukan nelayan di dusun Karanggongso, desa Tasik Madu, Kecamatan Prigi, kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, Dalam upacara tersebut dilakukan berbagai kegiatan yang disertai dengan beberapa sesaji. Sekalipun dalam skala kecil (di tingkat dusun) upacara ini cukup menarik untuk dikaji. Selain bentuk sesajinya unik, upacara ini cenderung untuk dipertahankan. Mengacu pada Geertz dan Turner, fenomena simbolik dalam upacara semacam itu merupakan gambaran nilai-nilai sosial yang ideal dan menjadi pusat pendorong Bari berbagai kegiatan sosial ekomoni masyarakatnya. Sementara itu warga masyarakat menginterpretasikan "teks-teks simbolik" dalam upacara itu sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Dengan demikian permasalahan penelitian ini adalah apa sebenarnya makna simbol sembonyo, bagaimanakah warga masyarakat menginterpretasikan makna simbol upacara tersebut, serta apa fungsi upacara bagai masyarakat Karanggongso.
Melalui analisa simbol seperti yang dilakukan Turner, yakni dengan menganalisis simbol dominan dan instrumental dalam upacara Sembonyo, maka diketahui adanya perpaduan unsur pemujaan kesuburan dan pemujaan nenek moyang sebagai konsep utama dari upacara. Tema besar dari upacara Sembonyo adalah slametan yang oleh Geertz dilukiskan sebagai terciptanya keseimbangan psikososial manusia Jawa dalam hubungan antar manusia dan alam. Tatanan ideal ini diperlukan masyarakat, mengingat keterbatasan pengetahuan dan teknologi nelayan dalam mengatasi krisis alam (laib) serta adanya krisis sosial sebagai akibat konflik diantara warga masyarakat nelayan di luar upacara. Karena itulah Sembonyo berfungsi sebagai "pembersih" warga masyarakat dari ganguan alam maupun ganguan moral. Selain memiliki fungsi integratif semacam itu, sembonyo juga berfungsi memperkokoh peranan elit dusun, melalui rangkian upacara yang diciptakan. Setiap tahunnya upacara sembonyo, yang oleh Turner disebut "drama sosial", diperingati agar nilai-nilai yang ideal itu teraktualisasikan. Tidak semua warga memberi makna sakral kepada simbol upacara sembonyo tidak lebih dari kegiatan rekreatif."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I. Made Pantja
"Pendahuluan
Secara simbolis tujuan hidup orang Bali tercermin dalam kosmologi Hindu tentang pemutaran Gunung Mandaragiri di lautan susu untuk mendapatkan air suci kehidupan yang disebut tirta amrta. Untuk mengaduk lautan susu dipergunakan gunung tersebut dan untuk menjaga keseimbangan bagian bawah gunung disangga oleh seekor kura-kura raksasa yang dibelit oleh seekor ular naga. Pemutaran gunung tersebut dilakukan oleh para dewa yang dipimpin oleh Dewa Wisnu.
Arti simbolis kosmologi tersebut bahwa kehidupan di dunia ini selalu berputar dan berubah-ubah. Agar manusia selalu dapat mengikuti perubahan yang terjadi diperlukan keseimbangan dengan cara menghayati ajaran-ajaran agama.
Secara konseptual ajaran Hindu menyebutkan bahwa tujuan hidup beragama adalah moksartam jagaditayaca, iti dharma artinya hidup ini untuk mencapai kebahagiaan, kebahagiaan di akhirat (moksa) dan kebahagiaan di dunia ini (jagadita) (Mastra, 1982:24). Kebahagiaan tersebut dianggap sebagai penghubung untuk bisa kembali kepada asal mula manusia yaitu Hyang Widi, Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk itu sebutan untuk Hyang Widhi adalah Sangkan Paran yang artinya asal mula. Orang Bali amat percaya bahwa kehidupan di dunia ini berpengaruh terhadap kehidupan di dunia baka setelah meninggal dunia sehingga ada anggapan umum bahwa hidup di dunia ini untuk mencari bekal nanti setelah meninggal.
Bakal tersebut berupa hasil perbuatan yang dilakukan selama hidup yang disebut karma phala yaitu karma berarti perbuatan dan phala berarti hasil atau buah. Hasil yang akan diterima nanti tergantung pada baik buruknya karma. Dalam pengertian ini bukan saja perbuatan nyata tetapi juga termasuk berpikir dan berkata. Ketiga perbuatan ini berbuat, berkata dan berpikir yang baik dan benar merupakan pedoman yang tercakup dalam konsep trikaya parisuda isinya manacika yaitu berpikir yang baik; wacika yaitu berkata yang benar dan kayika artinya berbuat yang benar (Mastra, 1982:56).
Kehidupan beragama adalah fenomena sosial budaya yang dapat diamati di dalam kehidupan sehari-hari. Agama bagi penganutnya dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak yang memuat ajaran dan dipakai sebagai pedoman hidup yang amat diyakini kebenarannya sehingga didalam menghayati ajaran-ajaran tersebut para penganut bukan saja tidak menggunakan pertimbangan-pertimbangan yang rasional tetapi juga melibatkan emosi dan perasaan yang dampaknya penganut suatu agama menyerahkan keseluruhan jiwa dan raga kepada agama yang dianutnya (Suparlan,1982:76).
Ajaran-ajaran agama yang dipakai sebagai pedoman hidup di dalam kehidupan sehari-hari berisikan nilai-nilai aturan-aturan, resep-resep dan sebagainya yang mendorong prilaku dan kelakuan manusia. Ajaran-ajaran tersebut bersifat normatif yaitu sebagai tolak ukur untuk menentukan mana perbuatan yang sebaiknya bisa dilakukan dan mana yang sebaiknya tidak dilakukan, gejala mana yang harus dipertahankan dan mana yang tidak baik dilanjutkan dan sebagainya.
"
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masrur
Surabaya: Cipta Media Nusantara, 2022
959.83 MAS b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
R. Cecep Eka Permana, 1965-
"ABSTRAK
Salah satu bukti tingkah laku dan budaya manusia masa lalu yang menarik untuk diungkapkan adalah yang berhubungan dengan tradisi penguburan. Penguburan memiliki arti dan peranan yang penting dalam proses kehidupan manusia. Penguburan dianggap sebagai suatu perlakuan masyarakat dalam rangka memperlakukan dan mengantar seseorang yang meninggal kembali menuju ke alam kehidupan lain, yang disebut dunia roh atau dunia para leluhur.
Aspek-aspek dalam penguburan, khususnya penguburan primer, banyak yang menarik untuk dikaji. Penelitian ini mengkaji tentang penguburan primer dengan melihat aspek-aspek orientasi/arah bujur mayat/rangka yang dikubur, sikap badan dan anggota badan mayat/rangka, serta jenis dan sebaran bekal kubur yang disertakan dalam penguburan tersebut.
Penelitian ini merupakan kajian kepustakaan, di mana data-data yang digunakan berdasarkan laporan-laporan yang telah diterbitkan. Data-data penguburan ini berasal dari situs Plawangan (Jawa Tengah), Gilimanuk (Bali), dan Liang Bua (Nusa Tenggara Timur). Data yang digunakan dalam kajian ini berjumlah 62 rangka, masing- masing 28 rangka dari situs Plawangan; 22 rangka dari situs Gilimanuk; dan 12 rangka dari situs Liang Bua.
Sebagai hasil dari kajian ini diperoleh kesimpulan bahwa orientasi atau arah bujur mayat/rangka yang dikubur sebagian besar mengarah ke gunung yang dianggap suci dengan meletakkan bagian kaki searah dengan arah gunung. Mengenai sikap badannya, umumnya dalam posisi lurus berbaring, tetapi dengan bermacam-macam variasi sikap tangan dan kaki. Sedangkan jenis bekal kubur yang umum dijumpai adalah periuk. Suatu hal yang cukup menarik dalam bekal kubur ini bahwa rangka/mayat yang berjenis kelamin perempuan selalu ditemukan bekal kubur berupa periuk, sementara itu yang berjenis kelamin laki-laki selalu dijumpai bekal kubur berupa kapak atau tajak."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1993
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
R.P. Soejono
"Peninggalan-peninggalan kuno di Bali, baik yang berbentuk benda maupun yang berupa adat-istiadat dan bentuk-bentuk pranata social lainnya yang tidak memperlihatkan suatu ciri agama Hindu atau agama Buddha, pada umumnya dianggap sebagai hal-hal yang bersifat asli. Di antara istilah--stilah yang lazim dugunakan untuk menandai hal-hal asli itu ialah istilah "asli kuno" atau ancient indigenous (Gorse k Dronkers tt : 30-39; Swellengrebel 1960 24-30).
Anggapan bahwa ada perkembangan yang bersifat "praaejarah " sebelum unsur-unsur Hinduisme dan Buddhiasme muiai berpengaruh di Bali, mula-mula dikemukan oleh W.d.J. Nieuwenkamp ( 1920 : 93), kernudian dinyatakan pula oleh V.E. Korn (1928) dan P.A.J. Moo jean (1929). Anggapan tersebut didasari atas temtuan-temuan sarkofagus di Manuaba (Batu Lusu) dan di Busungbin. Ketika itu sarkofagus merupakan gejala kebudayaan yang mulai banyak diperhatikan para peneliti.
Kesimpulan mengenai temuan-temuan tercebut, ialah bahwa penguburan dalam sarkofagus itu tidak dilakukan lagi pada masa Hinduisme dan Buddhisme berkembang di Bali dan karena itu sarkofagus-sarkofagus Batu Luau oleh Nieuwenkamp (1926: 92) dikirakan sebagai praehistorisohe overblijfselen. Berdasarkan penemuan beberapa sarkofagus di bangkiangjaran, di utara. Petang, di antara sejumlah banyak sisa-sisa rangka orang dan pecahan gerabah tipe labu (kalebas) berleher tegak, Korn telah menafsirkan bahwa sebelum "jaman Hindu" hanyalah golongan terkemuka dalam masyarakat dikubur dalam peti-peti batu dari benda-benda yang ikut sorta dikubur terdiri dari senjata-senjata tajam, perhiasan serta pelindung jari-jari dari perunggu. Pada jaman itu penduduk di Bali Tengah (khusus antara Busungbiu dan Banjarangkan) telah mengenal teknik pembuatan benda perunggu, serta telah maju dalam cara pembuatan gerabah, walaupun beberapa Janis benda seperti pahat, pipisan dan lasing masih dibuat dari batu (Horn 1930).
Ketegasan tentang perkembangan suatu kebudayaan prasejarah di Bali, Bebelum ada pengaruh unsur-unsur Hinduisme dan Buddhisme dalam tata kehidnpan penduduk, timbul sejak penelitian sistimatis dimulai oleh P.V. van Stein Callenfels terhadap jaman perunggu di Bali (Stein Callenfels 1931). A.N.J: Th. a Th. van der Hoop dalam kategorinya (Hoop 1941 : 144-160, 195-197, 213, 246-247, 258-259, 300) lebih tegas lagi menggolongkan benda-benda temuan Bali sesuai dengan kategorinya dalam tingkat-tingkat jaman prasejarah. Penggolongan van der Hoop ini menggambarkan perkembangan prasejarah di Bali yang dibukikan kelangsungannya sejak tingkat bercocoktanam dengan adanya temuan-temuan beliung persegi di pulau ini, sampai pada tingkat perundagian, yang banyak menghasilkan benda-benda perunggu. Yang dimaksud dengan masa perundagian ialah suatu tingkat perkembangan kehidupan manusia yang dipandang sejajar dengan masa urbanisasi di Eropa dan Timur Tengah. Dalam masa ini berkembanglah dalam masyarakat keLompok-kelompok tukang dalam berbagai bidang keahlian (undagi-tukang)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1977
D324
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Cecep Eka Permana, 1965-
"ABSTRAK
Hewan merupakan salah satu temuan arkeologis yang penting dalam rangka penelitian masa lalu manusia. Hewan di samping merupakan sumber pangan, juga digunakan dalam kehidupan religi yaitu sebagai bekal kubur.
Bekal kubur adalah berbagai jenis benda (termasuk manusia dan hewan) yang disertakan bersama mayat dalam penguburan. Penyertaan bekal kubur pada mayat/rangka ini umumnya berlandaskan keinginan dan kepercayaan masyarakat yang masih hidup untuk mencukupi keperluan si mati dalam perjalanan ke alam arwah, dan untuk melanjutkan kehidupan di sana.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini pada dasarnya berupa deskriptif analitik. Data-data yang dikumpulkan berupa data-data sekunder, yaitu hasil-hasil laporan penelitian lapangan atau ekskavasi arkeologi yang telah diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Denpasar. Data-data tersebut dicatat, dipilah, dan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu mengetahui jenis-jenis hewan yang digunakan sebagai bekal kubur, mengetahui ciri-ciri khusus dari kubur yang menggunakan bekal kubur hewan, dan mengetahui latar belakang dipilihnya jenis hewan tertentu sebagai bekal kubur.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah: Pertama, jenis-jenis hewan yang digunakan sebagai bekal kubur di situs Gilimanuk adalah hewan babi, anjing, dan ayam; Kedua, secara tegas tidak ada ciri khusus yang membedakan antara kubur yang menggunakan hewan dengan kubur yang tanpa menggunakan hewan sebagai bekal kubur; Ketiga, mengingat hanya sebagian kecil saja kubur yang menggunakan bekal kubur berupa hewan, maka kemungkinan besar menunjukkan status sosial tertentu dalam masyarakatnya. Di samping itu, disertakannya hewan dalam penguburan tersebut mempunyai latar belakang dan makna tertentu pula."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Kamelia Dewi
"Ritual Mapag Panganten merupakan salah satu prosesi dalam pernikahan adat Sunda. Sebagai sebuah ritual adat, Mapag Panganten termasuk ke dalam tradisi lisan karena telah diturunkan lebih dari dua generasi, menjadi identitas dari kelompok, dan terus dikembangkan hingga saat ini. Selain sebagai sebuah ritual adat, Mapag Panganten juga menyajikan bobodoran (lucu-lucuan) untuk menghibur para tamu dalam acara pernikahan adat sunda. Dari tradisi ini banyak hal menarik yang ditemukan, salah satunya adalah makna simbolik. Terkait hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menjabarkan dan mendeskripsikan makna simbolik di dalam ritual Mapag Panganten dalam pernikahan adat Sunda di Dusun Ciseda, Desa Citimun, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan ritual Mapag Panganten yang diadakan pada tanggal 23 Februari 2020 di Dusun Ciseda, Desa Citimun, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat sebagai data penelitian. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif, sedangkan analisis isi dilakukan dengan pendekatan tradisi lisan dan pendekatan semiotik. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, penelitian menghasilkan tiga makna simbolik, yaitu makna religius, makna historis, dan makna estetis. Penelitian ini dapat menjadi kontribusi untuk bahan pengetahuan budaya mengenai makna simbolik dalam Mapag Panganten dari sudut pandang tradisi lisan dengan pendekatan semiotik.

Ritual Mapag Panganten is one of the procession in Sundanese wedding ceremony. As a tradition ritual, Mapag Panganten included in oral tradition because it has been passed down over two generations, became identity to the community, and continues to be developed currently. Beside as a ritual tradition, Mapag Panganten also shows bobodoran to entertain the guests. From this tradition, there are many interesting things, one of them is symbolic meaning. Related to this, the aim of this study is describe the symbolic meaning in ritual Mapag Panganten in Sundanese wedding ceremony in Ciseda Hamlet, Citimun Village, Sumedang District, West Java. The data used is ritual Mapag Panganten that has been held on February 23rd 2020 in Ciseda Hamlet, Citimun Village, Sumedang District, West Java. This research uses qualitative method. Furthermore, this research uses oral tradition approach and semotic approach to analyze the data. The result of this study yields three symbolic meanings, which are religius meaning, historical meaning, and aesthetic meaning. This study can be a contribution to cultural knowledge material about symbolic meaning in Mapag Panganten from oral tradition point of view with semiotic approach."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>