Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15857 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kunto Sofianto
"ABSTRAK
Tinjauan mengenai kehidupan masyarakat Kota Garut selama kurun waktu 35 tahun (1935-1965) merupakan kajian sejarah sosial yang membahas masalah pemerintahan, kehidupan sosial ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan.
Rentangan waktu yang dikaji dalam studi ini, yakni sejak zaman Pemerintahan Kolonial Belanda (1930-1942), zaman Pendudukan Tentara Jepang (1942-1945), dan zaman kemerdekaan RI (1945-1965).
Dalam masalah pemerintahan, fokus kajian terutama diarahkan kepada keadaan pemerintahan dan peranan, serta kedudukan bupati sejak masa Mob. Musa Suria Karta Legawa, Bupati Kabupaten Garut ke-3 (1929-1944) sampai dengan Rd. Gahara, Bupati Kabupaten Garut ke-10 (1960-1966). Keadaan pemerintahan dan peranan, serta kedudukan bupati ini mengalami naik-turun sesuai dengan perubahan politik di tingkat pusat.
Dalam masalah kehidupan sosial ekonomi, fokus kajian diarahkan kepada mata-pencaharian masyarakat bumiputra, Cina, Arab, dan Pakistan yang selalu berubah setiap periode. Perubahan sosial ekonomi masyarakat bumiputra nampak berubah setelah Kota Garut menjadi Kota Pariwisata, yang banyak dikunjungi oleh para wisatawan dalam dan luar negeri. Sejak itu masyarakat bumiputra selain bekerja sebagai petani, pedagang, buruh, juga mulai bekerja di hotel-hotel sebagai jongos (pelayan), juru masak, tukang kebun, pramuwisata (guide), dan sebagainya. Pada masa Pendudukan Tentara Jepang kehidupan sosial ekonomi masyarakat pada umumnya berubah secara drastis, yakni menjadi sengsara, akibat sikap Pemerintahan Militer Jepang yang bertindak di luar batas perikemanusiaan. Menginjak zaman kemerdekaan RI 1945, mata-pencaharian penduduk bumiputra nampak lebih bervariasi, yakni selain bekerja sebagai petani, pedagang, buruh, dan sebagainya, juga ada yang bekerja sebagai pegawai negeri (guru, ABRI, atau karyawan). Meskipun demikian, namun perubahan ke arah kehidupan yang sejahtera belum tercapai, akibat secara beruntun masyarakat Kota Garut diganggu oleh peristiwa-peristiwa politik yang menimbulkan trauma yang mendalam, yakni Pendudukan Tentara Belanda (1947-1948), peristiwa DI/TII Kartosuwiryo (1949-1962), peristiwa aksi rasialis anti-Cina dan peristiwa G 30 S/PKI 1965.
Sebenarnya banyak juga kaum bumiputra yang bekerja di sektor perdagangan, namun pada umumnya mereka kurang berhasil, karena terutama mendapat saingan dari orang-orang Cina, yang sudah mendominasi bidang perdagangan sejak zaman Kolonial Belanda.
Selain orang-orang Cina, juga peran orang-orang Arab dan Pakistan tidak bisa diabaikan. Mereka mulai berusaha sebagai pedagang sejak kedatangannya di Kota Garut.
Dalam masalah pendidikan fokus kajian diarahkan kepada minat masyarakat terhadap sekolah, yang mengakibatkan berubahnya nilai dan perilaku masyarakat untuk bersikap rasional dan modern. Dalam kebudayaan dibahas masalah seni musik yang terutama diminati oleh generasi muda dan kepercayaan yang terutama berhubungan dengan kehidupan keagamaan dan tradisi masyarakat.

ABSTRACT
The study of society existence in Garut City for 35 years (1935-1965) is study of social history which is related to government, social-economy, education, and culture.
The periods of time which are studied i.e. period of the Dutch (1930-1942), period of Japanese Army Occupation {1942-1945), and period of after Indonesia Independence (1945-1965).
Related to government, study is focused on the situation of government, role, and position of regents since Moh. Musa Suria Karta Legawa, the third regent of Garut Regency (1929-1944) until Rd. Gahara Widjajasoeria, the tenth regent of Garut Regency (1960-1966). The situation of government, role, and position of regents went through up and down matched political change in government center.
Related to social-economy, study is focused on the livelihood of Natives, Chineses, Arabs, and Pakistanis. The change of social-economy of Natives seems changed after Garut City became a tourist spot which was visited by people all over the world, where livelihood of Natives beside as peasants, traders, laborers, etc., also began to work in hotels as jongos (servant), cooks, guides, etc. In the period of Japanese Army Occupation the situation of people livelihood generally changed drastically, i.e. became being poor because the attitude of Japanese Army acted beyond humanity. In the period of post-Indonesian Revolution, livelihood of Natives became more various, i.e. beside they worked as peasants, traders, laborers, also they worked as government official (like teachers, Armies/ABRI, or workers). Although the Natives livelihood after Indonesia Independence showed variety, but change towards being welfare had not yet come true, because the people at that time were disturbed by political events successively, i.e. the Occupation of Dutch Army (1947--1948), rebellion of DIITII Kartosuwiryo (1949-1962), racial action of anti-Chinese (1963), and event of coup d'etat of PKI (G 30 SIPKI) 1965.
Actually many Natives worked as traders, but generally they were not as succesful as Chinese who had dominated trade sector since era of the Dutch. The Chinese is the main competitor for Natives in trade sector.
Beside Chinese, also the role of Arabs and Pakistanis in trade sector can not be neglected. They began to work as traders since their arrival in Garut City.
Related to education, study is focused on people interest towards education, which had caused changed value and behavior of people to be rational and modern.
Related to culture, study is focused on music which was liked especially by young generation and beliefs, particularly which are related to the existence of religion and tradition of people."
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesti Dwi Rachmawati
"Penulisan skripsi ini mencoba untuk menggambarkan dinamika kehidupan masyarakat Kota Bogor pada tahun 1945-I949. Kota Bogor yang terletak di antara kota Jakarta dan Bandung sebenarnya mempunyai potensi konflik yang besar pada periode revolusi tersebut. Terutama karena pengaruh politik yang muncul dari kedua kota yang mengapitnya. Akan tetapi, masyarakat Kota Bogor pada periode ini justru mampu menunjukkan peralihan kekuasaan pemerintahan secara demokratis. Dan seperti di banyak daerah lainnya, masyarakat Kota Bogor juga mengalami hambatan-hambatan akibat munculnya kembali kekuatan asing yang mencoba menguasai kembali wilayah tersebut. Sehingga kehidupan masyarakatnya pun tidak dapat berjalan dengan semestinya. Terlebih memasuki periode 1947-1949, ketika bentuk pemerintahan federal mulai dipaksakan oleh pihak Belanda di Indonesia. Dalam penulisan skripsi ini, pembahasannya akan dibagi dalam lima bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang akan menjelaskan latar belakang, permasalahan, ruang lingkup dan tujuan penulisan skripsi ini Bab kedua hingga keempat merupakan bab isi yang akan membahas mengenai pokok permasalahan skripsi ini. Dimulai dengan membahas perkembangan Kota Bogor dari sejak jaman kolonial. Yaitu ketika Kota Bogor mulai dibangun sebagai sebuah kota peristirahatan dan penelitian perkebunan, Perkembangannya terus berlanjut hingga masa revolusi ini. Bab ketiga merupakan pembahasan mengenai dinamika kehidupan masyarakat Kota Bogor pada periode awal masa revolusi, yaitu tahun 1945-1946. Bab ini akan menjelaskan berbagai upaya pemerintah daerah Kota Bogor yang baru saja terbentuk untuk memperbaiki kehidupan masyarakatnya. Mulai dari kehidupan politik, ekonomi, sosial, pendidikan hingga kesehatan dibahas dalam kaitannya dengan faktor-faktor yang bisa mempengaruhinya, seperti kemunculan pasukan NICA yang sering mengacau, kekurangan tenaga kerja, hingga pembukaan sekolah_sekolah. Bab keempat merupakan bab yang akan membahas dinamika kehidupan masyarakat - Kota Bogor setelah akhirnya pihak Belanda berhasil membentuk pemerintahan sipilnya di daerah ini. Dengan demikian, terdapat dualisme pemerintahan di Kota Bogor saat itu. Pihak Belanda terus berupaya meningkatkan kekuatannya dengan mencoba membentuk Negara Pasundan. Sementara pihak pemerintahan Republik di Kota Bogor semakin terdesak hingga akhirnya terpaksa mengungsi ke Jakarta. Situasi politik yang semakin meningkat disertai pula dengan meningkatkan perjuangan masyarakat Kota Bogor menentang Belanda dan Negara Pasundan yang dibentuknya. Berbagai laskar perjuangan rakyat dibentuk untuk menentang upaya Belanda tersebut. Keadaan tersebut berlangsung terus hingga keberhasilan perundingan KMB yang disertai dengan penyerahan kedaulatan RI oleh pihak Belanda. Tidak terkecuali di Kota Bogor pun dilangsungkan upacara penyerahan kedaulatan tersebut. Bab kelima merupakan bab kesimpulan dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Dinamika kehidupan masyarakat Kota Bogor pada tahun 1945-1949 tidak terlepas dari faktor intern dan ekstern yang mempengaruhinya sejak Iama. Mulai dari awal terbentuknya Kota Bogor yang dibangun dan dikembangkan oleh pihak kolonial hingga campur tangan kekuatan asing, seperti Belanda dan Inggris di dalam kehidupan masyarakat Kota Bogor saat itu. Keadaan lingkungan Kota Bogor juga ikut mempengaruhi dinamika yang terjadi. Sehingga Kota Bogor pada periode ini menjadi sebuah kota diplomasi, pembangunan dan pertempuran."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S12373
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Bar Yusuf
"Sumber dari permasalahan sosial bangsa Indonesia adalah kemiskinan. Dengan keterbatasan yang dimiliki pemerintah saat ini maka diperlukan pelibatan berbagai pihak untuk mengatasi permasalahan tersebut. Salah satunya adalah dunia usaha ? dalam hal ini adalah PT Pertamina Geothermal Energy Area Kamojang. Sebagai salah satu perusahaan BUMN, diwajibkan untuk menjalankan program PKBL sebagai wujud TSP - selain tugas utamanya mencari keuntungan bagi kelanjutan operasionalisasi perusahaan. Program Kemitraan (PK) merupakan bantuan philantropy bagi pengembangan usaha kecil melalui pemberdayaan agar dapat mandiri sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarga - selain mampu menyerap tenaga kerja sehingga diharapkan dapat mengurangi masalah pengangguran dan mengentaskan kemiskinan. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu program adalah pelaksanaan yang cenderung bersifat top down sehingga kurang melibatkan partisipasi masyarakat. Partisipasi di sini merupakan keterlibatan masyarakat dalam suatu program pengembangan masyarakat. Partisipasi ini penting mengingat partisipasi berhubungan dengan keberhasilan suatu program. Untuk itu, tujuan penelitian ini adalah melihat pelaksanaan Program Kemitraan, partisipasi mitra binaan perajin kulit dalam Program Kemitraan tersebut serta faktor-faktor pendorong dan penghambat dalam partisipasi tersebut. Penelitian ini dilakukan terhadap Program Kemitraan di PT Pertamina Geothermal Energy Area Kamojang yang mempunyai komitmen untuk mengedepankan kebutuhan masyarakat. Pemilihan pada perajin kulit dan kelurahan Kota Wetan karena perkembangan industri kulit di daerah ini cukup potensial - baik dalam jumlah unit usaha, penyerapan tenaga kerja dan nilai investasinya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif melalui rangkaian studi kepustakaan, wawancara mendalam (in dept interview) tidak terstruktur dengan para informan. Pemilihan informan dilakukan secara purposive sampling dan dipilih sebanyak 9 informan yang terdiri dari: Kepala PKBL/manajer Humas (1 orang), Petugas Program Kemitraan (1 orang), mitra binaan perajin kulit (4 orang), Lurah (1), Dinas Koperasi serta Dinas Industri dan Perdagangan (masing-masing 1 orang). Secara umum, PK telah dilakukan melalui tahapan pengembangan masyarakat yaitu dari tahap persiapan, assessment, perencanaan, pelaksanaan dan monitoring/evaluasi. Dalam pelaksanaan Program Kemitraan ini, partisipasi mitra binaan dilakukan pada tahap pelaksanan dan monitoring/evaluasi program.Dalam tahap tersebut mitra binaan melakukan assessment dan perencanaan usaha (melalui proposal pinjaman), menerima kegiatan pembinaan dan monitoring/evaluasi bersama petugas PK). Pembinaan belum menumbuhkan pemberdayaan mitra binaan dan monitoring/evaluasi belum menjadi bahan untuk feed back bagi perbaikan program. Dengan demikian, PK masih bersifat top-down. Faktor-faktor yang mendorong partisipasi adalah ada keinginan untuk mengembangkan usaha, persyaratan yang mudah dan adanya manfaat dari kegiatan pembinaan yang dilakukan. Selain itu, pendekatan/komunikasi yang baik dari petugas PK. Sedangkan faktor-faktor yang menghambat partisipasi adalah komunikasi yang kurang baik antara mitra binaan - petugas PK, mentalitas mitra binaan. Selain itu, kurangnya tenaga di PK, sifat sentralistis Program Kemitraan dan seringnya pergantian petugas di Program Kemitraan. Saran yang bisa diajukan di sini adalah perlu melakukan koordinasi dengan pemerintahan daerah setempat, mengaktifkan paguyuban sebagai sarana komunikasi, melakukan monitoring/evaluasi sebagaimana fungsinya, dan perlu adanya tenaga profesional yang kompeten di bidang pengembangan masyarakat.

A source of social problem in Indonesia is a poor situation. With the lack of government limitation, need to joint other party to solve the poor problem. One of the party is business people, in this case is PT Pertamina Geothermal Energy Area of Kamojang. As a Government business body, called BUMN, they must be run a partnership program which is called Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) to in-line with Corporate Social Responsibility or it named Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TSP), otherwise as a core benefit business for corporate planning and development. Partnership program (Program kemitraan) is a philanthropy aids to develop and empowerment a small home industry to be an independence business, as far as they can survive to live a family and local worker. The program design to reduce a jobless dan poverty as a core of poor problems A factor effect to the successful program is execution program which it?s tends to the top and down statements however its a less community participation. In this case, participation mean of local community participation in their community development program. The participation is very important cause of its related to successful program. So, the goal of this research is to know an execution of Partnership Program, participation of a leather home industry as a partner in this program and also any factor of accelerate and lack of the program. The research is dedicated to the partnership program at PT Pertamina Geothermal Energy Area of Kamojang, which is commit to focus in local interest. The choice of leather art home industry in Kota Wetan because they have a potential market in quantity of small bussiness, a worker adoption and investation budget. The research use a qualitative method which is produce a descriptive data by doing a literature study, in depth interview with the informant. A choice of informant by doing a purposive sampling from 9 informant as describe as a Head of PKBL/ Humas Manager (1 person), Staff of PKBL (1 person), a leather art home industry (4 persons), Head of Local District or Lurah (1 person), Cooperation Department of Garut/ Dinas Koperasi (1 person), Local Industry and Trade Department/Dinas Industri dan Perdagangan (1 person). In general, Partnership Program executed with a phase of community development as a prepare phase, assessment phase, planning phase, execution phase, monitoring/evaluating phase. The community participation was doing in execution and monitoring phase. In this phase, the partners have been bussiness assessment and planning (especially with fill-in proposal form), accaptance a tutorial and assistance program, and monitoring/evaluating program with the staff. But this assistance program not in growing a empowerment of partner, and the monitoring/ evaluating report are not as a feed back to revision program. Or we can say a partnership program is only top down statement. Any factors that can be accelerating to the partnership program are needed to business growth by the community; low and easy criteria access, the benefit from this program.The other is a nice personal relationship and communication from the staff. Meanwhile, pursuer factors of participation are lack of personal communications between partner and staff, partner mentality, lack of program staff, centrality rule in Partnership Program, and highly staff change in Partnership Program As a suggestion in this case is doing coordination with local government, establish a local organization (paguyuban) as a central of information and communication, and doing monitoring/evaluating program as a rule function repeatedly and also engagement of the professional staff in community development study.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24645
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hope, Alec Derwent, 1907-2000
North Ryde: Angus & Robertson, 1966
808.81 HOP c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Djoewisno MS
Jakarta: Khas Studio , 1988
305.809 58 DJO p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tony Rudyansyah
"Perlu dijelaskan, untuk menghindari adanya salah pengertian, bahwa penggolongan yang ada di dalam struktur masyara_kat-Cipayung seperti yang digambarkan penulis, yakni santri dan orang biasa atau orang kebanyakan, bukanlah suatu kategori yang absolut. Penggolongan itu dibuat berdasarkan adanya perbedaan pandangan hidup dari dua sistem kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat Cipayung; dan penulis gambar_kan dalam keadaan yang ideal atau dengan kata lain ditampil_kan di dalam perwujudannnya yang sempurna. Hal itu penulis lakukan karena, sejauh yang penulis ketahui, tidak ada jalan lain yang dapat digunakan untuk menjelaskan dinamika dari kehidupan masyarakat Cipayung.Dinamika yang ada di dalam masyarakat Cipayung itu se_lalu berkisar antara masalah-masalah yang timbul karena ada_nya orang-orang yang menggunakan ajaran-ajaran moral dari kepercayaan setempat di satu pihak dan orang-orang yang menggunakan ajaran-ajaran moral dari agama Islam di dalam melihat dan menanggapi kehidupan ini di pihak lain. Oran--orang yang mengisi penggolongan dari struktur sosial itu mungkin saja untuk berubah-ubah, tetapi struktur sosial yang diwujudkannya selalu demikian. Konflik-konflik yang tim_bul dalam masyarakat Cipayung pada umumnya dapat dikembaliknn kepada masalah itu satu pihak menekankan konsepsi mereka_"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1983
S12992
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Saladin
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ketut Sudhana Astika
"ABSTRAK
Kehidupan masyarakat Bali mewujudkan adanya suatu organisasi sosial yang mengikat anggota masyarakat dalam suatu bentuk keterikatan pada banjar dan desa adat. Sebagai bentuk suatu penataan kehidupan yang berdasarkan pada adat dan agama, organisasi sosial ini mengikat anggotanya dalam suatu ikatan pada aktivitas kegiatan adat dan agama, yang mewujudkan pola-pola hubungan dalam bentuk interaksi, integrasi, partisipasi dan orientasi yang kuat pada unsur-unsur pembentuknya. Banjar dan desa adat kemudian menjadi ciri yang khas dari kehidupan masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu, baik didesa atau dikota.
Konsepsi Tri Hita Karana yang menjadi dasar dari pembentukan banjar dan desa adat, mengacu pada pelaksanaan adat dan tujuan dari kehidupan beragama bagi masyarakat Bali, dan merupakan ciri dari kehidupan masyarakat dalam kesatuan adat . Konsepsi ini memberi penekanan pada terwujudnya nilai dan azas keseimbangan dalam kehidupan, untuk mencapai tujuan agama, terciptanya kedamaian, dan tercapainya kesejahteraan hidup bagi umat manusia. Hakekat dasar dari konsepsi ini adalah kesadaran manusia untuk mewujudkan azas keseimbangan dalam kehidupannya, dengan wujud pola-pola hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan-nya, dengan alam lingkungannya dan dengan sesamanya. Tiga wujud pola hubungan yang disebut dengan Parhyangan, Palemahan, Pawongan; adalah manifestasi dari kehidupan dunia dengan segala isinya yang dibedakan antara Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit. Dengan berlandaskan pada tujuan kehidupan beragama, yaitu menyatunya Atman dengan Paramaatman, dalam suatu bentuk penciptaan hubungan yang serasi dengan nilai keseimbangan dari hubungan antar ketiga unsur tersebut pada kehidupan.
Dengan menggunakan model pendekatan fungsional-struktural untuk menganalisa fungsi dari kebudayaan manusia dan fungsi sosial dari adat (Malinowski, 1944; dan Brown, 1922); maka organisasi banjar dan konsepsi Tri Hita Karana dilihat sebagai suatu reaksi budaya dari kebutuhan dasar manusia untuk menciptakan keseimbangan hubungan antara tiga unsur dasar kehidupan. Model pendekatan ini yang kemudian dikembangkan oleh Parson, 1937; dengan model teori tindakan sosial voluntaristik, dan Merton, 1968; dengan paradigma analisa fungsionalnya, memperkuat dugaan bahwa konsepsi Tri Hita Karana dan kehidupan banjar ada dalam suatu hubungan berfungsi. Adat dan kebiasaan berupacara dengan dasar agama yang diyakini, berfungsi untuk membentuk sistem sosial, yaitu banjar dan desa adat.
Fungsi unsur-unsur normatif bagi terwujudnya keteraturan sosial dari landasan institutional yang dikemukakan oleh Scott, 1970; dan acuan normatif bagi terbentuknya integrasi sosial dari Landecker, 1962. Hal ini menunjuk pada model keterikatan dan orientasi pada kerabat dan adat yang ada pada pola pelaksanaan konsep Tri Hita Karana oleh anggota banjar seperti ditemukan oleh Geertz, 1959; Korn, 1960; Geertz & Geertz, 1976 dan Eisseman, 1990; walaupun dalam tulisan mereka tidak terungkap secara nyata tentang integrasi yang dimaksud. Pola keterikatan dan orientasi pada kerabat, adat dan wujud upacara persembahan (yadnya) yang dikembangkan, menunjukkan adanya pola interaksi dan integrasi masyarakat yang khas dengan berdasar pada acuan normatif dari konsepsi tadi. Model keterikatan dan orientasi ini mengembangkan kehidupan masyarakat sebagai anggota banjar untuk mewuudkan pola-pola hubungan yang serasi antara manusia dengan Tuhan, dengan alam lingkungannya dan dengan sesamanya.
Dalam pelaksanaannya oleh masyarakat, konsepsi Tri Hita Karana diwujudkan dalam bentuk pola penataan pekarangan, perwujudan simbol-simbol fisik keagamaan, berpola tingkah laku berupacara dan berbagai penataan perilaku masyarakat untuk terciptanya keseimbangan dan keteraturan sosial. Pada kenyataannya, dalam kehidupan masyarakat sebagai anggota banjar dikota dimana heterogenitas masyarakat juga ikut berperan, maka berbagai aspek yang menentukan keberadaan banjar juga mempengaruhi pola pelaksanaan konsepsi tersebut.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa perbedaan status keanggotaan dalam banjar, perbedaan daerah asal, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan; menentukan pola tingkah laku masyarakat, pola-pola hubungan, interaksi dan integrasi sosial, dan partisipasinya pada kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan konsepsi Tri Hita Karana. Kesadaran manusia akan hakekat kehidupan, tentang adanya proses penciptaan, prinsip kebersamaan, dan hakekat perbuatan dalam hubungannya dengan waktu; mengarahkan manusia pada pola kehidupan yang berusaha untuk mewujudkan pemberian nilai dan pengembangan azas keseimbangan pada setiap aspek kehidupannya. Temuan tersebut belum pernah terungkap dari tulisan-tulisan sebelumnya, khususnya pada temuan tentang bagaimana masyarakat kota mewujudan pola pelaksanaan adat dan upacara agama serta penataan lingkungan kehidupannya dalam kerangka konsepsi tentang pemberian nilai dan makna keseimbangan hidup.
Perwujudan nilai dan pengembangan azas keseimbangan bagi kehidupan manusia, yang berbentuk kesadaran akan hakekat kehidupan dengan melaksanakan persembahan yadnya dan upacara oleh masyarakat sebagai anggota banjar dikota, berbeda bentuknya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan persepsi dan tanggapan masyarakat terhadap status keanggotaan banjar yang berlaku ditempat tinggal mereka, yang dibedakan atas anggota banjar adat dan anggota banjar dinas. Disamping itu perbedaan perlakuan dan pelayanan pimpinan/petugas banjar, pembatasan dalam sejumlah hak dan kewajiban, serta wujud penataan lingkungan yang berbeda; menyebabkan adanya perbedaan bentuk pelaksanaan yadnya diantara sesama anggota banjar. Juga ditemukan perbedaan pola interaksi sosial, partisipasi, integrasi dan orientasi terhadap kerabat, pura, dan banjar sebagai bentuk fanatisme kelompok dilingkungan banjar dalam bentuk 'banjarisme', antara penduduk asli dari banjar dengan penduduk pendatang dari luar banjar. Kenyatan ini ditemukan pada kehidupan masyarakat sebagai anggota banjar dikota Denpasar."
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.S. Habib Adnan
Jakarta: BP Denpasar, 1999
306.6 HAB a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1978
S6503
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>