Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176507 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Akhmad Zaini
"Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan memiliki karakteristik yang berbeda dengan organisasi-organisasi lainnya. Organisasi ini memiliki kultur yang khas, yakni budaya ketaatan para santri (anggota NU) kepada para kiai yang merupakan elit-elit di NU. Budaya itu, terbangun di lingkungan pesantren, di mana para kiai diposisikan sebagai patron yang memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sangat tinggi.
Ketika kultur itu diterapkan di lingkungan pesantren, interaksi sosial yang terbangun adalah interaksi sosial yang diwarnai ketaatan dan penghormatan yang begitu tinggi dari pada santri kepada kiai dan keluarga kiai. Namun, ketika kultur itu diterapkan di luar pesantren, khususnya di partai politik, kuitur semacam itu menimbulkan berbagai konflik politik.
Di lingkungan NU, frekuensi konflik sangat tinggi. Tercatat, ketika NU memutuskan keluar dari Masyumi pada 1952, konflik politik seperti itu telah muncul. Suasana seperti itu juga terjadi ketika NU masih aktif berfusi di PPP (1973-1984), kembali ke khittah (1984), serta pasta pemerintahan Orde Baru saat ini (1998-2003).
Fenomena di NU itu merupakan sesuatu yang sangat kontradiktif: Di satu sisi (ketflca diterapkan di pesantren) melahirkan suasana yang serba patuh, namun di sisi lain (ketika diterapkan di partai politik) melahirkan konflik politik yang berkepanjangan. Kondisi itu, semakin menarik karena dalam berpolitik, dengan menggunakan kaidah usul fiqih, NU semestinya bisa sangat konpromistis.
Dalam kaidah usul fiqih itu, ada beberapa prinsip hukum yang memungkinkan tiap politik warga NU sangat lentur dan fleksibel. Sehingga, tidak jarang muncul penilaian, dalam berpolitik, NU oportunis. Namun, fakta di lapangan menunjukkan, hal itu tidak berlaku di internal NU. Ketika bersentuhan dengan politik, warga NU, khususnya para elitnya selalu terlibat dalam konflik politik.
Jadi, pertanyaan yang muncul; mengapa NU selalu dilanda konflik politik?
Guna meneliti fenomena tersebut, penelitian menggumakan metode analisis proses terhadap konfhk-konflik yang terjadi di NU. Metode ini masuk pada paradigma kualitati£ Untuk memperoleh data-data mengenai konflik di NU 1952-2003, digunakan studi dokumen, wawancara dan pengamatan.
Adapun teori yang digunakan adalah teori konflik, teori kepemimpinan kharismatik dan teori elit.
Dari penelitian ini, ditemukan beberapa temuan penting. Di antaranya;
- Dalam berpolitik, warga NU selalu menggunakan standar ganda. Satu sisi berpijak pada kultur yang ada di pesantren. Namun, di sisi lain, menerapkan mekanisme politik modem yang . demokratis. Penggunakan standar ganda ini juga tercermin dengan struktur organisasi di NU, yakni adanya syuriah/syura dan tanfdziyah/tanfidz. Hal itu memungkinkan terjadinya konflik di antara mereka. Sebab, masing-masing pihak memiliki pembenaran sendiri-sendiri.
-Kaidah usul fiqih yang memungkinkan sikap politik yang lentur dan kompromistis, ternyata lebih banyak digunakan ketika NU secara institusional menghadapi persoalan dengan pemerintah yang berkuasa. Namun, ketika menghadapi persoalan di internal NU, hal itu jarang digunakan acuan. Pada bebarapa kasus, memang digunakan. Akan tetapi, kecenderungannya bukan untuk merumuskan format konsensus, melainlcan untuk mencari pembenaran dan legitimasi keagamaan.
- Dalam berpolitik, budaya patronase selalu diterapkan. Para santri yang menjadi pengikut, selalu dijadikan instrumen bargaining politik. Tokoh NU yang memiliki pengikut (santri) yang besar, kendati tidak memiliki skill politik yang memadai, selalu menuntut peran politik yang besar. Ketika peran itu tidak terpenuhi, mereka akan melakukan penarikan dukungan atau sabotase politik, seperti upaya pendongkelan.
- Terkait dengan upaya mempertahankan patronase, elit NU cenderung menutup terhadap munculnya patron baru di lingkungan NU. Hal ini terjadi, baik tatkala masih berada di lingkungan pesantren atau setelah di luar pesantren. Kondisi itu, akhirnya menimbulkan konflik antara tokoh yang sudah merasa layak menjadi patron baru dengan patron sebelumnya.
Semua fenoma di atas, terjadi karena pada dasarnya, dalam berpolitik warga NU memiliki motivasi yang lama dengan para politisi lainnya, yakni, mengejar kepentingan pribadi atau kelompok. Ketulusan dan keikhlasan yang terbangun di lingkungan pesantren, memudar ketika tokoh tersebut telah masuk ke arena politik praktis. Hanya, perubahan itu tetap berusaha disembunyikan dengan membungkusnya dengan legitimasi agama. Karena itu, dalam penelitian ini disimpulkan, ketika warga NU masih terus menerapkan budaya politik yang dipraktekkan selama ini, maka konflik politik di NU sangat sulit dihindarkan.
Dengan demikian, untuk meminimalisir konflik tersebut, mutlak dilakukan perubahan budaya politik di lingkungan NU: Warga NU, harus bisa membuat garis yang tegas, antara sebagai anggota NU dengan sebagai anggota partai politik. Norma dan etika yang dipegang NU, bisa saja diimplimentasikan dalam bentuk perilaku politik warga NU. Namun, dalam hal-hal tertentu, khususnya ketika terjadi konflik, mekanisme organisasi politik modern, harus dijadikan acuan bersama. Sikap penggunaaan standar ganda, harus secepatnya ditinggalkan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13796
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Integrita Press, 1984
324.2 Par
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Integrita Press, 1984
324.2 PAR
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi Irawan
"Kekuatan politik yang mapan harus siap melakukan adaptasi dengan tuntutan-tuntutan perubahan politik yang terjadi di lingkungannya. Jika kekuatan politik itu tidak melakukan respon dan beradaptasi dengan perubahan politik, maka perubahan politik akan melemahkan kekuatan politik tersebut. Karenanya, jika kekuatan politik ingin tetap hadir dalam panggung politik maka ia harus terus berdaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Konflik politik di Golkar, pasca kejatuhan politik Soeharto, menunjukkan adanya keinginan dari organisasi ini untuk berubah. Namun, perubahan itu tidak berjalan mulus karena adanya tantangan dari kelompok yang tidak menyukai perubahan.
Konflik politik saat Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Juli 1998 dan saat Sidang Umum MPR tahun 1999 menunjukkan keterpengaruhan Golkar akan tuntutan gerakan reformasi yang berada di lingkungan poiitiknya. Tesis ini ingin menjelaskan pengaruh gerakan reformasi terhadap Golkar yang terlihat dalam konflik politik di organisasi yang pernah berjaya di era Orde Baru masa lalu.
Metode penelitian tesis ini adalah deskriptif analitis yaitu menggambarkan hubungan antar fenomena yang terjadi sehingga dapat menjelaskan pokok permasalahan yang ada. Teknik menjaring data dengan cara mewawancarai lima orang tokoh aktivis di lingkungan Golkar yang terlibat dalam konflik-konflik yang terjadi. Selain itu, data juga dihasilkan melalui informasi media massa, dokumen-dokumen yang relevan dan dari buku-buku.
Penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh gerakan reformasi terhadap konflik di Golkar. Tekanan gerakan reformasi menjadi salah satu tekanan yang menyebabkan Harmoko mengeluarkan pernyataan agar Soeharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan. Digunakannya isu-isu yang sesuai dengan semangat reformasi menjadi bukti lain dari pengaruh gerakan reformasi tersebut.
Konflik politik di Golkar menunjukkan bahwa organisasi ini sangat rentan dengan perubahan. Konflik itu terjadi karena ada sebagian pihak yang tidak siap menerima perubahan-perubahan. Konflik politik adalah ekses yang harus ditempuh oleh Golkar manakala ia ingin melakukan perubahan. Dengan demikian dapat digambarkan bahwa konflik politik di Golkar merupakan salah satu hasil dari tuntutan terjadinya perubahan politik. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T3055
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saiful Mahdi
"Muslimin Indonesia (MI) adalah organisasi massa yang sudah mengalami penggabungan dan perubahan bentuk, dari fungsi partai politik independen hingga menjadi salah satu unsur dalam Partai Persatuan Pembangunan. Perubahan bentuk ini dilakukan karena adanya kebijakan politik dari Jenderal Soeharto pada tahun 1971 yang menginginkan agar diadakan pengelompokkan partai politik berdasarkan persamaan ideologi dan platform partai. Tujuan politik dari Orde Baru mengadakan pengelompokkan terutama terhadap kelompok politik Islam adalah untuk memudahkan pengawasan dan mudah memecah dari dalam. Dalam kondisi yang pro dan kontra terhadap ide fusi tersebut Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Nahdhatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia dan Partai Tarbiyah Islamiyah sepakat mendeklarasikan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di tahun 1973.
Sejak tahun 1973-1994, kepemimpinan di PPP dikuasai oleh elite-elite politik dari unsur Muslimin Indonesia.Di bawah pimpinan HMS Mintaredja kondisi partai dalam keadaan yang kompak walaupun terjadi konflik internal partai tetapi berkat adanya kedudukan beberapa ulama kharismatik seperti KH Bisri Syansuri berhasil diredam. Bagi seluruh anggota legislatif, Mintaredja memberikan kebebasan mengeluarkan pendapatnya tanpa khawatir akan dipecat dari keanggotaan DPR maupun partai. Kejatuhan Mintaredja di PPP karena ia telah tidak disukai lagi oleh Jenderal Soeharto terutama sejak keberaniannya menuntut kepada Soeharto agar PPP diberikan kursi kementrian di kabinet.
Mulai tahun 1978, pimpinan di PPP diambil alih oleh Djaelani Naro secara kontroversial tanpa melalui suatu forum Muktamar partai. Selama dipimpin oleh Djaelani Naro, keadaan PPP mulai diterpa oleh konflik internal yang luar biasa konflik tersebut tidak hanya melibatkan antara elite politik MI versus NU, tetapi juga antara elite politik ME versus MI. Djaelani Naro memiliki- kebijakan keras terhadap para anggota legislatif yang menyimpang dari kebijakan Orde Baru. Sosok Naro lebih terkesan sebagai perpanjangan-tangan kebijakan rezim Orde Baru di PPP. Keberanian Djaelani Naro untuk mencalonkan dirinya sebagai salah seorang wakil presiden RI di tahun 1988 pada saat sidang umum MPR, telah mengakibatkan kemarahan Soeharto terhadapnya.
Periode kepemimpinan Ismail Hasan Meutareum (1989-1994), mulai membenahi konflik internal partai melalui kebijakan rekonsiliasi terhadap tokoh-tokoh PPP baik dari unsur NU, MI,SI, dan Pena. Ismail Hasan melakukan kebijakan untuk mengurangi fanatisme berlebihan diantara empat unsur tersebut melalui bentuk pengajian bersama dan pendidikan-pendidikan kader bersama.Yang diinginkan olehnya adalah fanatisme terhadap PPP saja."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T4274
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Nursi
"Penelitian ini bertolak dari keinginan untuk mengetahui tinggi rendahnya potensi konflik politik (PKP) kepartaian dalam masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Masalah ini relevan dan menarik untuk diteliti. Sebab dalam perjalanan kehidupan politik masyarakatnya telah terjadi konflik dan segmentasi palitik secara tajam, yang berakar dari pertentangan ideologi politik. Pendapat Geertz, konflik tersebut semakin dipertajam oleh perhimpitannya dengan polarisasi dan primordialisme regionalisme, agama, dan etnis. Akibatnya konflik politik tidak hanya terjadi di lapisan alit partai, tetapi juga merebak dan memancing emosional ideoloqis dan primordialisme masyarakat. Namun demikian, sekarang sistem kepartaian telah jauh berbeda dan semakin integratif. Persepsi dan sikap politik masyarakat pun diasumsikan demikian, khususnya dengan adanya penyeragaman ideologi politik (azas tunggal Pancasila) dan fusi partai. Tapi apakah dengan reformasi sistem kepartaian tersebut juga berarti tereliminirnya PKP dalam masyarakat masyarakat Kecamatan VII Kato Sungai Sarik ?
Penelitian ini utamanya menggunakan metode kuantitatit, dan dilengkapi dengan metode kualitatif, serta dengan teori konflik politik. Sedangkan untuk pengumpulan data digunakan tehnik kuesioner, wawancara, dan pengamatan. Dengan menggunakan pokok-pokok metodologi tersebut, temuan penelitian ini membuktikan bahwa KP kepartaian dalam masyarakat tersebut cenderung "rendah tetapi berarti". Temuan ini memproyeksikan: 1) Lemahnya pertentangan ideologi politik, 2) Lemahnya sikap dan loyalitas politik primordialisme agama dan etnik, dan 3) Lemahnya segmentasi politik dalam masyarakat.
Dari faktor-faktor yang diasumsi mempengaruhi lemahnya PKP kepartaian terbukti: 1]. Penyeragaman ideologi politik (aaas tunggal Pancasila) bagi semua orpol --yang dari akomodasi masyarakat ternyata tinggi -- terbukti berpengaruh kuat terhadap lemahnya PKP kapartaian. 2].Dari faktor jumlah (pluralisme) partai politik, dapat dikatakan tidak menunjukkan adanya hubungan dengan PKP. 3]. Faktor kesadaran primordial "murni" (agama dan etnis) yang ternyata tinggi justru terbukti memperlemah PKP kepartaian. 4] . Dari faktor pembelahan adat-agama dan Islam Tarekat-Islam Modernis ternyata memiliki hubungan yang positif -- namun lemah-- dengan rendahnya PKP kepartaian masyarakat.
Penyebab dari tidak ada atau lemahnya hubungan antara fusi partai dan kesadaran primordial "murni" (agama dan etnis) dengan PKP kepartaian di atas adalah: 1] Sikap politik masyarakat cenderung kuat realistis dan pragmatis, 2] Sistem ideologi politik yang tidak memberi peluang bagi tumbuhnya primordialisme agama dan etnik, 3] Sistem kepartaian yang melemahkan posisi dan kompetisi partai politik, baik melalui kebijakan fusi partai maupun deorpolisasi, 4] Tingginya homogenitas agama dan etnik, sehingga melemahkan potensi polarisasi primordial internal masyarakat."
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Ali Safa`at
"Disertasi ini membahas tentang pembubaran partai politik di Indonesia pada kurun waktu 1959 sampai 2004, baik dari sisi pengaturan hukum maupun praktik pelaksanaannya serta prospek pengaturan di masa yang akan datang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif dengan pendekatan sejarah dan perbandingan hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1959 hingga 2004 pada masing-masing periode, yaitu Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi, terdapat ketentuan yang berbeda-beda tentang pembubaran partai politik. Pada kurun waktu tersebut juga terjadi beberapa praktik pembubaran partai politik dalam berbagai bentuk baik berdasarkan hukum yang berlaku maupun tidak. Di masa yang akan datang perlu dilakukan pengaturan yang lebih mendetail terkait dengan alasan pembubaran, pemohon, proses peradilan, serta akibat hukum pembubaran partai politik.

The focus study of this disertation is the law and practices of the dissolution of political parties in Indonesia since 1959 until 2004, and how it should be ruled in the future. This research is a normative research that use historical dan comparative approach. The result is tha there were laws concerning the dissolution of political parties between 1959 until 2004 for each period, Orde Lama, Orde Baru, and Reformasi. Some political parties had dissolved at that time with various ways, whether based on positive law or not. The reseacher sugest that The law concerning the dissolution of political party in the future should be more detail especially about the ground or reason of dissolution, applicant, court process, and the consequences."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
D926
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muchamad Ali Safa`at
"Disertasi ini membahas tentang pembubaran partai politik di Indonesia pada kurun waktu 1959 sampai 2004, baik dari sisi pengaturan hukum maupun praktik pelaksanaannya serta prospek pengaturan di masa yang akan datang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif dengan pendekatan sejarah dan perbandingan hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1959 hingga 2004 pada masing-masing periode, yaitu Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi, terdapat ketentuan yang berbeda-beda tentang pembubaran partai politik. Pada kurun waktu tersebut juga terjadi beberapa praktik pembubaran partai politik dalam berbagai bentuk baik berdasarkan hukum yang berlaku maupun tidak. Di masa yang akan datang perlu dilakukan pengaturan yang lebih mendetail terkait dengan alasan pembubaran, pemohon, proses peradilan, serta akibat hukum pembubaran partai politik.

The focus study of this disertation is the law and practices of the dissolution of political parties in Indonesia since 1959 until 2004, and how it should be ruled in the future. This research is a normative research that use historical dan comparative approach. The result is tha there were laws concerning the dissolution of political parties between 1959 until 2004 for each period, Orde Lama, Orde Baru, and Reformasi. Some political parties had dissolved at that time with various ways, whether based on positive law or not. The reseacher sugest that The law concerning the dissolution of political party in the future should be more detail especially about the ground or reason of dissolution, applicant, court process, and the consequences."
Depok: Universitas Indonesia, 2009.
D926
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firmanzah
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia , 2008
324.2 FIR m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Zaiyatul Akmar
"Penelitian ini meneliti konflik internal di Partai Keadilan Sejahtera tahun 2016 antara anggota DPR RI periode 2014-2019 Fahri Hamzah dengan Pimpinan DPP PKS yaitu Ketua Majelis Syuro Habib Salim Segaf Al-Jufri dan Presiden PKS Mohamad Sohibul Iman. Konflik antara Fahri Hamzah dengan Pimpinan DPP PKS bukanlah konflik yang hanya bersifat Individualistis tetapi juga bersifat Faksional. Konflik ini dipicu akibat pemecatan yang dilakukan Pimpinan DPP PKS kepada Fahri Hamzah karena tidak patuh pada putusan Pimpinan partai dan melanggar AD/ART partai.
Fokus penelitian ini adalah pada mengapa faksionalisasi dapat mempengaruhi konflik internal di Partai Keadilan Sejahtera antara Fahri Hamzah dengan pimpinan DPP PKS. Teori utama yang digunakan ialah teori konflik politik Maswadi Rauf dan Marcus Mietzner, serta didukung oleh teori dari ahli lain mengenai faksionalisasi Dennis C. Beller, Frank P. Belloni, dan David Hine. Rauf menyatakan bahwa konflik timbul karena kelangkaan posisi dan sumber-sumber, tetapi Mietzner mengungkapkan bahwa konflik internal partai disebabkan karena partai politik yang tidak terlembaga dengan baik yang ditunjukkan dari gagalnya mekanisme resolusi konflik internal partai. Sedangkan Beller dan Belloni menyatakan bahwa keberadaan faksionalisasi di tubuh partai dapat dipahami sebagai pemicu konflik karena kecenderungan aktor yang bertindak secara kolektif demi mencapai tujuan bersama.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tehnik pengumpulan data observasi, wawancara mendalam dan studi dokumen. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa konflik antara Fahri Hamzah dengan Pimpinan DPP PKS disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal disebabkan oleh pencampuran antara nilai-nilai (values) PKS yang sudah dilanggar oleh Fahri Hamzah yang bercampur dengan eksistensi Faksi yang bersaing secara tidak sehat di internal PKS. Sedangkan faktor eksternal disebabkan karena adanya kepentingan politik dari pemerintah akibat kritik keras Fahri Hamzah terhadap pemerintah karena hubungan antara KPK dengan PKS kurang baik setelah LHI ditangkap.
Pada penelitian iniĀ  disimpulkan bahwa konflik antara Fahri Hamzah dengan pimpinan partai terjadi akibat dari faksionalisasi yang tidak terlembaga dengan baik sebagai dampak dari kebijakan-kebijakan partai yang tentu saja tidak terorganisir oleh semua kalangan PKS.

This research discusses about the Prosperous Justice Party internal conflict in 2016 between members of the Republic of Indonesia DPR for the 2014-2019 period namely Fahri Hamzah and the Prosperous Justice Party Leaders of the Syuro Council namely Habib Salim Segaf Al-Jufri and President party Mohamad Sohibul Iman. The conflict between Fahri Hamzah and Prosperous Justice Party Leaders is not a conflict that is only individualistic but also factional. The conflict was triggered by the dismissal carried out by the Prosperous Justice Party Leader to Fahri Hamzah because he did not comply with the party leadership and violated the party's AD/ART (basic rules).
The main focus of this study is why factionalism could influence internal conflict in Prosperous Justice Party between Fahri Hamzah and Prosperous Justice Party Leaders. The main theory used in this study are Rauf's and Mietzner's conflict political theory, and it is supportedĀ  by theories from experts such as Dennis C. Beller, Frank P. Belloni, dan David Hine about factionalism. Rauf stated that the conflict occurred because of a vacant position and resources, but Mietzner revealed that the party's internal conflict was caused by political parties that were not well institutionalized as indicated by the failure of the party's internal conflict resolution mechanism. According to Beller and Belloni stated that the existence of factionalism in the party's body can be understood as a trigger for conflict because of the tendency of actors who act collectively to achieve common goals.
This study uses qualitative research methods with techniques for collecting data on observation, in-depth interviews and document studies. The principal findings of this study reveal that the conflict between Fahri Hamzah and Prosperous Justice Party Leaders was caused by internal and external factors. Internal factors are caused by a combination of Prosperous Justice Party values that have been violated by Fahri Hamzah with the existence of Prosperous Justice Party factions that compete unfairly within Prosperous Justice Party. While external factors are caused by the political interests of the government due to Fahri Hamzah's strong criticism of the government because of the relationship between the KPK and PKS is poorly after LHI was arrested.
The conclusion of this study shows that the conflict between Fahri Hamzah and party leaders was a result of factionalism that was not well institutionalized that had been violated as a result of party policies which of course were not organized by all Prosperous Justice Party Leaders circles.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T54165
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>