Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 106961 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andy Nugroho
"Ruang kota mempunyai fungslnya sendiri dalam memberikan peran kepada kegiatan manusia. Banyak kegiatan dalam kehidupan manusia sehari-hari dihabiskan diruang kota, baik itu ditaman, di-pedestrian atau plaza-plaza, dijalan maupun di tempat lain-Iain. Sehingga dampaknya, sebuah ruang kota yang berkualiias tentunya akan memainkan peran yang balk kepada manusia yang menggunakannya dan dengan demikian mempengaruhinya secara positif, begitu juga sebaliknya Salah satu aktifitas yang terjadi dalam ruang kota adalah tempat-tempat perbelanjaan, dengan Shopping Street sebagai salah satu alternatifnya. Pada Shopping Street, toko-toko memajang barang dagangannya di etalase dan memanfaatkan pergerakan manusia yang beraktivitas melewati jalan atau plaza tersebut untuk menjual barangnya. Beberapa hal yang dapat meningkatkan kualitas pada karakter pembentuk ruang kota tersebut menjadi penting dalam meningkalkan daya tarik dan identitas kawasan terhadap konsumen. Secara langsung konsumen akan tertarik melalui pengamatan yang mereka lakukan.
Diantara kualitas-kualitas yang ada dalam kualitas ruang, salah satunya adalah kualitas visual, dimana nilai dari kualitas yang dirasakan ini, dilakukan melalui pengamatan indera mata (visual). Nilai yang terdapat pada unsur fisik kata akan dengan mudah diidentifikasi dan dikenali melalui pengamatan visual dan kualitas yang ada dapat dinilai dan dibedakan melalui pengamatan terhadap ruang kota dengan karakter yang dimiliki. Pada karakteristik ruang kota inilah kualitas visual diharapkan dapat terbentuk.
Skripsi ini bermaksud membahas mengenai bagaimana faktor yang terdapat pada karakter pembentuk ruang kota dalam membentuk kualitas visual. Tinjauan tentang studi pembahasan mengambil tempat perbelanjaan shopping street."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S48308
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hernadewita
"Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat,khususnya di Kota Cilegon disebabkan oleh pertumbuhan alamiah dan migrasi. Pertumbuhan ini mengakibatkan tekanan yang berat terhadap kota, apalagi mengingat fungsi kota Cilegon yang dijadikan sebagai kota industri, perdagangan dan jasa.
Dengan berbagai fungsi yang harus diemban oleh Cilegon, tentunya semua kegiatan tersebut akan bertumpu pada lahan sebagai ruang yang dapat menyediakan (mengalokasikan) ruang bagi kegiatan-kegiatan tersebut beserta fasilitas dan utilitas penunjang yang dibutuhkan. Keterbatasan luas lahan yang tersedia, sementara tuntutan terhadap peningkatan berbagai fungsi lahan untuk berbagai kegiatan pembangunan terus meningkat. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan diberbagai bidang seiring dengan fungsi yang harus diemban oleh Cilegon, baik langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan terjadinya perubahan pada pemanfaatan ruang.
Perubahan struktur dan fungsi ruang baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap pola adaptasi masyarakat. Proses adaptasi akan dialami baik oleh masyarakat pendatang maupun masyarakat asli. Adaptasi yang dituntut terjadi tidak hanya dari segi budaya tetapi juga dalam keikutsertaan berperan pada kegiatan pembangunan.
Berdasarkan karakteristik tersebut, penelitian dilakukan di wilayah Cilegon, yang saat ini terbagi atas 4 (empat) kecamatan, yaitu: Cilegon, Ciwandan, Cibeber, dan Pulomerak. Cilegon berada 90 km dari Barat Jakarta. Sebagai pusat penataan ruang, Cilegon merupakan pusat perdagangan, perkantoran, dan wilayah permukiman; Ciwandan memiliki pelabuhan Banten dan kawasan industri; Pulomerak sebagai kawasan industri, pelabuhan Merak dan wilayah pemukiman; Cibeber adalah wilayah permukiman dan juga terdapat waduk yang digunakan untuk menyuplai air ke sebagian komunitas masyarakat di Cilegon dan juga untuk PT. Krakatau Steel.
Luas Cilegon (17.550 Ha), dan jumlah penduduk sebesar 294,936 jiwa (talrun 1999), tersebar pada 4 (empat) Kecamatan di Kota Cilegon, dengan rincian:
  1. Kecamatan Ciwandan dengan luas wilayah (7.483 Ha), kepadatan penduduk sebesar 83.861 jiwa, yang terdiri dari 42.897 jiwa laki-laki dan 40.964 jiwa perempuan.
  2. Kecamatan Cilegon dengan luas wilayah (1.753 Ha), kepadatan penduduk sebesar 69.488 jiwa, yang terdiri dari 35.352 jiwa laki-laki dan 34.136 jiwa perempuan.
  3. Kecamatan Cibeber dengan luas wilayah (2.466 Ha), kepadatan penduduk sebesar 41.362 jiwa, yang terdiri dari 20.911 jiwa laki-laki dan 20.451 jiwa perempuan.
  4. Kecamatan Pulomerak dengan luas wilayah (5.848 Ha), kepadatan penduduk sebesar 100.225 jiwa, yang terdiri dari 51.527 jiwa laki-laki dan 48.698 jiwa perempuan.
Pada tahun 1990 penduduk Cilegon terdaftar sebesar 226.461 jiwa. Pada 1998 jumlah tersebut meningkat menjadi sebesar 257.864 jiwa dan pada tahun 1999 menjadi 278.462 jiwa. Pertambahan jumlah penduduk tersebut terus berlangsung pada tahun 2000, mencapai 294.936 jiwa, hal itu berarti bahwa pada tahun 1999 terjadi pertambahan penduduk sebesar 8,06%, dibandingkan dengan tahun 1998 terjadi peningkatan sebesar 6,13% (terjadi penurunan peningkatannya sebesar 1,93% dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 1998-1999). Sementara luas Cilegon tetap pada 17.550 Ha, yang berarti tingkat kepadatan penduduk pada tahun 1998 adalah sebesar 1.469 jiwa per Ha, sedangkan tahun 2000 menjadi 1.681 jiwa per Ha.
Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi di daerah ini erat kaitannya dengan perkembangan industri yang dimulai semenjak tahun 1965 dengan berdirinya industri baja pertama yang sekarang dikenal dengan PT. Krakatau Steel, dan pembangunan berianjut sampai tahun 1990 (di mana industri lain juga dibangun di Cilegon, yang sebagian besar industri kimia, seperti: PT. PENI, PT. UAP, Bakrie Kasei, PT. PIPI (DOW Chemical), PT Tripolyta, Asahimas, PT. Chandra Asri. dan lain-lain). Nampaknya pertumbuhan penduduk yang tidak merata persebarannya di Cilegon itu sangat erat kaitannya dengan perkembangan industri tersebut. Hal ini menimbulkan penyebaran penduduk yang terkonsentari di pusat kegiatan bisnis (Cilegon).
Perkembangan industri dan konsentrasi serta distribusi penduduk tersebut, tidak terlepas dari penataan wilayah yang direncanakan sedemikian rupa. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Cilegon ditetapkan sebagai pusat utama untuk kawasan andalan Bojonegara-Merak-Cilegon dan sekitarnya. Sektor unggulan untuk kawasan ini adalah: industri, pertanian tanaman pangan, pariwisata, perikanan, dan pertambangan. Khusus untuk RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), Cilegon berfungsi sebagai pusat (simpul). Dengan adanya RTRW yang menetapkan fungsi sebagai pusat, maka fungsi-fungsi yang diemban oleh Cilegon adalah sebagai pusat industri, pusat kegiatan perdagangan dan jasa, pusat kegiatan komersial, pusat kegiatan pemerintahan, pusat kegiatan pelabuhan dan sebagai pintu gerbang Barat PuIau Jawa, serta sebagai kota lintasan pergerakan kegiatan wisata Anyer-Carita dan lalu lintas Jawa-Sumatera.
Dengan berbagai fungsi yang harus diemban oleh Cilegon, tentunya semua kegiatan tersebut akan menyebabkan terjadinya perubahan pada pemanfaatan ruang dan daya dukung wilayahnya.
Dari kenyataan tersebut di atas penataan ruang Cilegon menunjukkan penataan ruang dalam arti sempit. Budihardjo (1997: 1) mengungkapkan bahwa tata ruang sebagai suatu kegiatan penataan yang tidak hanya berarti sempit atau terbatas pada perencanaan dan perancangan fisik semata, tetapi juga melakukan penataan manusia dengan segenap keunikan perilakunya. Bahkan Rapoport menggunakan istilah "cultural landscape" karena kota dan daerah pada dasarnya merupakan pengejawantahan budaya dengan beraneka ragam karakter, sifat, keunikan, dan kepribadian. Mengingat hal tersebut (Budihardjo, 1997: 2) mengungkapkan bahwa yang pertama-tama harus dipahami adalah budaya dari berbagai kelompok masyarakat dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan dan simbol-simbol yang mereka anut terhadap penataan dan bentuk kota maupun daerah.
Berkaitan dengan penataan ruang dan adaptasi manusia, Weber (dalam Budihardjo, 1997. 2) mengungkapkan bahwa jurang kaya miskin makin menganga mencolok mata, komunitas yang guyub pecah menjelma menjadi masyarakat patembayan yang dilandasi penalaran kalkulatif. Durkheim (dalam Budihardjo, 1997:2) menambahkan bahwa keadaan demikian menyebabkan kesepakatan moral yang disepakati bersama makin meluntur. Gejala demikian terlihat pada masyarakat yang terdapat di Kota Cilegon.
Permasalahan umum yang terdapat di Kota Cilegon, seperti juga yang dihadapi oleh kota-kota lain di Indonesia, sesuai dengan perkembangannya adalah sebagai berikut :
  1. Penyebaran (distribusi) penduduk di wilayah kota yang tidak merata.
  2. Pertumbuhan penduduk kota yang tinggi, pertumbuhan ini terjadi terutama diakibatkan oleh migrasi penduduk dari tempat lain ke Cilegon untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik.
  3. Ketersediaan fasilitas dan utilitas kota yang tidak atau belum mencapai tingkat yang optimal.
  4. Perkembangan yang sangat pesat terkonsentrasi di sepanjang jalur arteri regional (sepanjang Jalan Raya Cilegon).
  5. Kualitas jaringan jalan yang sebagian besar belum mencapai tingkat kondisi yang baik, terutama jalan-jalan lingkungan atau jalan-jalan desa.
Sementara itu permasalahan khusus yang dihadapi oleh Cilegon adalah adaptasi masyarakat terhadap perubahan fisik dan sosial yang diperkenalkan melalui kegiatan pembangunan wilayah. Perubahan yang diperkenalkan melalui kegiatan pembangunan seyogyanya dapat meningkatkan mutu hidup masyarakat. Kenyataannya, perubahan kegiatan pembangunan khususnya di bidang industri, ternyata juga membuka lapangan kerja dan menimbulkan dampak lingkungan yang harus dihadapi oleh penduduk setempat dan juga tergusurnya penduduk dari lingkungan hidupnya yang asli. Di mana hal ini akan menimbulkan masalah yang cukup besar atau akan berdampak pada perubahan sosial dan budaya masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini difokuskan pada penduduk setempat dan kemampuan mereka dalam menghadapi proses penyesuaian terhadap perubahan fungsi lingkungan.
Dari permasalahan yang diuraikan di atas maka formulasi pertanyaan penelitian adalah:
  1. Apakah terdapat hubungan antara penataan ruang dengan kualitas hidup masyarakat?
  2. Apakah terdapat hubungan antara penataan ruang dengan kelembagaan sosial, keamanan dan ketertiban?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dirumuskan: tata ruang mikro (yang dilihat dari: ventilasi, pencahayaan, saluran air (drainage)) dan persepsi terhadap pelaksanaan rencana tata ruang (yang dilihat dari struktur dan wujud tata ruang) di jadikan variabel bebas (independent variable) dan kualitas hidup (berisikan kondisi sosial ekonomi, yang dilihat dari: umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, daerah asal, pendapatan, pengeluaran, kesehatan, kelembagaan sosial, keamanan dan ketertiban) dijadikan variabel tidak bebas (dependent variable).
Selanjutnya, berdasarkan fokus penelitian, asumsi-asumsi yang dikemukakan, diformulasikan kedalam 2 (dua) hipotesis berikut:
  1. Terdapat hubungan antara kualitas hidup masyarakat dengan penataan ruang.
  2. Terdapat hubungan antara kelembagaan sosial, keamanan dan ketertiban dengan penataan ruang.
Lokasi penelitian adalah Kota Cilegon seperti telah disebutkan di atas, yang meliputi 4 (empat) kecamatan, yaitu: Ciwandan, Cilegon, Cibeber, dan Pulomerak. Sampel yang digunakan dipilih secara acak, yaitu sebesar 130 kepala keluarga (KK/responden), yang terdiri dari: 25 responden di Ciwandan, 55 responden di Cilegon, 15 responden di Cibeber, dan 35 responden di Pulomerak.
Analisis data dilakukan secara deskriptif (dengan menggunakan perhitungan persentase dan populasi) dan analisis kuantitatif (untuk melihat hubungan dari masing-masing variabel, menggunakan uji statistik Chi-Square (x2) dan uji korelasi dengan tingkat signifikansi 95% (a=0,05)).
Dari hasil pengolahan data terhadap penataan ruang (independent variable) dan kualitas hidup (dependent variable) diperoleh:
1. Tata Ruang Mikro. Variabel uji yang digunakan adalah ventilasi, pencahayaan, dan saluran air. Dari hasil uji statistik diperoleh, penataan ruang berpengaruh terhadap kualitas hidup (dari variabel kontrol pendapatan). Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan (x2 hitung = 33,815 (ventilasi) dan 25,631 (pencahayaan) lebih besar dari x2 tabel= 24,996; dan 33,015 (saluran air) lebih besar x2 tabel= 18,307),
2. Persepsi terhadap Pelaksanaan Rencana Tata Ruang. Variabel yang diuji dibagi atas dua yaitu struktur tata ruang (meliputi: alih fungsi ruang, dan pembebasan tanah) dan wujud tata ruang (meliputi: persepsi terhadap UUPR, UU, dan pelaksanaan UUPR). Dari hasil uji statistik diperoleh hasil uji terhadap kualitas hidup (variabel kontrol pendapatan), untuk struktur tata ruang (x2 hitung = 59,138 (alih fungsi); 32,415 (pembebasan tanah), yang keduanya lebih besar dari x2 tabel = 18,307); perhitungan statistik untuk wujud tata ruang (x2 hitung = 29,569 (pengetahuan), lebih besar dari x2 tabel =11,070) dan (f hitung = 32,415 (pelaksanaan RUTR) dan 92,785 (sikap pemerintah terhadap RUTR), keduanya lebih besar dari (x2 tabel = 18,307). Dapat dikatakan pengetahuan mengenai tata ruang yang tertuang dalam RUTR wilayah berpengaruh terhadap peningkatan kualitas hidup yang diwakili oleh pendapatan yang diperoleh sebagai penghasilan perbulan.
3. Daerah Asal. 79 responden (60,80%) menyatakan bahwa mereka adalah penduduk asli daerah Cilegon, karena mereka sudah bermukim dan memperoleh penghidupan di wilayah ini sudah lebih dari 20 tahun. Sementara sisanya, 51 responden (39,20%) adalah penduduk yang datang dan bermukim di Cilegon untuk memperoleh penghidupan kurang dari 20 tahun. Dari hasil analisis statistik menunjukkan, tidak adanya pengaruh daerah asal terhadap pendapatan, dimana (x2 hitung=6,031 lebih kecil dari x2 tabel= 11,070),
4. Sosial Ekonomi
a.Tingkat Pendidikan
Dari tingkat pendidikan sebagian besar responden berada pada tingkat pendidikan menengah (Pendidikan SLTA), 84 responden (64,6%) berada pada tingkat pendidikan menengah (SLTA); 29 responden (22,3%) berada pada tingkat pendidikan tinggi (Perguruan Tinggi); 17 responden (13,1%) berada pada tingkat pendidikan rendah (SD-SLTP).
b.Jenis Pekerjaan.
42 responden (32,3%) berprofesi sebagai Pegawai Negeri; 30 responden (23,1%) berprofesi sebagai karyawan swasta; 30 reponden (23,1%) mempunyai usaha sendiri sebagai wiraswasta; dan sisanya 28 responden (21,6%) bekerja sebagai buruh dan lain-lain (tukang ojek dan ibu rumah tangga).
c.Pendapatan dan pengeluaran.
Berada pada kisaran (Rp. 500.000 sampai lebih besar dari Rp. 3.000.000 per bulan). Sebahagian besar tingkat pendapatan penduduk Cilegon tersebut dipergunakan untuk pengeluaran kebutuhan pokok (37,75%) dan sekunder (62,25%). Dari hasil ini dapat dikategorikan bahwa masyarakat Cilegon sebagai masyarakat tidak miskin, dikarenakan proporsi pengeluaran untuk kebutuhan pokok berada dibawah 40% dari seluruh total pengeluaran.
5. Kelembagaan Sosial, Keamanan dan Ketertiban - Kelembagaan Sosial.
Terdapat 11 (sebelas) lembaga sosial masyarakat yang terbentuk di Cilegon, yaitu: PPM (Pemuda Panca Marga); FKKT (Forum Komunikasi Karang Taruna); AMS (Angkatan Muda Siliwangi); KNPI; Pemuda Pancasila; IPSI; FBMC (Forum Bersama Masyarakat Cilegon); MUI (Majelis Ularna Indonesia); LPMC (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Cilegon); AMPI; KMC (Korp Mubalig Cilegon).
- Keamanan dan Ketertiban.
92 responden (70,77%) menyatakan kondisi keamanan lingkungannya aman; 38 responden (29,23%) tidak aman. Dari hasil uji statistik diperoleh bahwa keamanan lingkungan berpengaruh terhadap terhadap kualitas hidup (variabel kontrol pendapatan), yang ditunjukkan oleh (x2 hitung = 84,938 lebih besar dari x2 tabel = 18,307).
6. Kesehatan. Kesehatan masyarakat dilihat dari tingkat kesehatan balita, penyediaan sumber air bersih, dan sanitasi/MCK. Dari perhitungan statistik diperoleh, terdapat pengaruh kesehatan masyarakat terhadap kualitas hidup (variabel kontrol pendapatan), dengan variabel uji: Kesehatan balita, penyediaan sumber air bersih, MCK. Dari hasil perhitungan diperoleh untuk kesehatan balita (x2 hitung = 51,154 lebih besar dari x2 tabel = 18,307). Tetapi untuk Kondisi MCK (x2 hitung = 6,108 lebih kecil dari x2 tabel = 18,307) dan sumber air bersih [x2 hitung = 2,406 lebih kecil dari x2 tabel = 18,307), yang berarti sanitasi dan air bersih yang digunakan dan dikonsumsi masyarakat sehari-hari tidak berpengaruh terhadap pendapatan (variabel kontrol kualitas hidup).
Secara keseluruhan, berdasarkan hasil penelitian dan hubungannya dengan perspektif penelitian lingkungan (sebagai acuan dalam penggelolaan lingkungan), penataan ruang berpengaruh terhadap kualitas hidup, dan tidak terdapat korelasi (hubungan) antara penataan ruang dan keberadaan kelembagaan sosial. Sementara itu, keamanan dan ketertiban lingkungan berpengaruh terhadap kualitas hidup (variabel kontrol pendapatan). Sesuai dengan keinginan masyarakat, Pemerintah Kota Cilegon harus terbuka dalam penataan kotanya, terutama dalam penataan ruang.

The fast growing of population, especially in Cilegon was caused by natural growth and migration. This growth brought heavy pressure to the city, especially its function in the future as the industrial city, trading, and services.
By the number of its functions, its makes all of activities concentrated to the land as the space with allocated for all of those activities and also provided facilities and utilities as needed. Its need to increase the land functions for all aspect in development activities, meanwhile, its limited on availability of land area. Those activities, direct or indirect, will caused the changed on space utilisations for the number of development sectors.
Eventually, the changed in function of structure and space will be affected to the adaptation pattern in the society. Adaptation process should be concerned by the society, even the foreigner or origin society. It's not just adaptation of cultural needs, but also the participation on the development activity.
Based on those characteristics, this research focuses on the Cilegon area, which is divided by 4 (four) sub-districts area, ie: Cilegon, Ciwandan, Cibeber and Pulomerak. Cilegon is 90 kilometers from west Jakarta. As focused to the spatial planning, Cilegon as the center of trading, offices, and settlement region; Ciwandan has a Banten Port and industrial estate; Pulomerak as industrial estate, Merak Port and settlement region; Cibeber as settlement region and has a reservoir which is supply the water to some area in Cilegon community and PT. Krakatau Steel.
When the monetary crisis came to Indonesia in the middle of 1997, its affected to all of economic sectors in this country, and also to the investment on industrial sector in Cilegon. By 1997, population growth following the crisis not so many people come to work in industrial basis. Industrial sector could not employ `more employee' to work with them. This is another problem that affected to Cilegon government in manage their community.
Cilegon area (17.550 Ha), 294.936 persons in number of populations (year 1999); which are 150.687 (male) and 144.249 (female) and they spread on 4 (four) sub-districts in Cilegon, as follows:
1. Ciwandan area (7.483 Ha), by population density of 83.861 persons; 42.897 (male) and 40.964 (female).
2. Cilegon area (1.753 Ha), by population density of 69.488 persons: 35.352 (male) and 34.136 (female).
3. Cibeber area (2.466 Ha), by population density of 41.362 persons; 20.911 (male) and 20.451 (female).
4. Pulomerak area (5.848 Ha), by population density of 100.225 persons; 51,527 (male) and 48.698 (female).
By the 1990, number of populations in Cilegon are 226.461 persons, and in 1998 increased to 257.864 persons, and its increased in 1999 278.462 persons. Its increased continued to year 2000, up to 294.936 persons. Its mean, in 1999 (8,06%) increased than 1998 (6,13%) and the populations decreased (1,93%) than growth in population (1998-1999). Meanwhile, Cilegon areas stay at 17.550 Ha (1998), population density of 1.469 persons per Ha, and 1.681 persons per Ha (2000).
Higher in population growth of Cilegon are related to the development of industrial growth which has started since 1965 by development of PT. Krakatau Steel, and the developing continued to 1990 (when some other industries build in Cilegon area, mostly chemical industries, ie., PT. PENI, PT. UAP, Bakrie Kasei, PT. PIPI (Dow Chemical), PT. Tripolyta, Asahimas, PT. Chandra Asri, etc). Population distribution related to the distribution of industries space. Its make the population concentrated into the center of business districts (Cilegon).
Industrial development and population density concentrated in Cilegon area based on Spatial Planning Area, under Regulation No. 47, year 1999 about National of Regional Spatial Planning (RTRWN), and considered to Cilegon, as the center of the pledge area: Bojonegara-Merak-Cilegon. The first development sectors are: industries, agricultural, tourism, fishery, and mining area. Especially, RTRW (Regional Spatial PIanning), Cilegon functions are as the districts of industries, trading and services, center of commercial places, government activities, and as the West Gate' of Java Island, and the center of maritime-tourism (Anyer-Carita-Labuan) and as the matters pertaining traffic of Java-Sumatra.
By the number of that functions, its makes all of activities were concentrated to the land, and for the number of development sectors will caused the changed on space utilisations and capability (carrying capacity).
Based on those characteristics, spatial planning in Cilegon has shown a `constrictive meaning'. Budihardjo (1997: 7) said that spatial planning is a structuring activity that not just limited on planning and physical design, but also how to manage human aspect in all of unique behavior. Even, Rapoport used the `cultural landscape', because the city and region are based on the implementation of the culture in various characteristics, attitude, unique, and personality. Considering to those matters (Budihardjo, 1997: 2) shown that the first things to understand of the culture from various community and the impact of value system, norm, life style, activities and the conviction symbol to the structure and format of the city and region. Understand to the impact in all aspect of human life, its need a human adaptation to their community.
Related to the spatial planning and human adaptation, Weber (in Budihardjo, 1997: 2) shown, that we have to face `the gap' between the richer and the poorer, and the solid community became an individualistic and based on the calculative thinking. Durkheim (in Budihardjo, 1997: 2) also said that situation will affected to the changeable of integrative agreement (integrative needs). Those symptoms have shown by Cilegon community, lately.
General issues in Cilegon area, as also found in the other cities (or entire cities) in Indonesia, following their development are:
1. Inequitability in distribution population, especially in the city region.
2. Higher in population growth, specially in the city region, its caused (especially) by migration from the other city to Cilegon for having `a better income (revenue).
3. The availability of facilities and utilities are not optimise.
4. The fast development concentrated along the arterial road (along Cilegon main road).
5. Most of road network are still in `minor' conditions, especially embraced road and rural.
Meanwhile, the specific issues that have to face by Cilegon are adaptation of community into physical and social change that introduced by the region development activities. The changed that introduced by the development activities should increase the quality of life. In fact, changed in development activities, especially in industries based, beside its open new space for `man power', also affected to `minor community who could not gain to it. Who become `a big problem' or affected to social and culture.
In accordance with these matters, this research focuses on the local society effort to face readjustment process on their environment, which shifted in function.
For this reason, the fundamental problem in this research is formulated in two research questions as follows:
1. Are there any correlations between spatial planning and the quality of life?
2.Are there any correlations between spatial planning and social institution and environmental safety?
To answer research questions as it has been mentioned, the spatial planning (contained society perception on implementation of spatial planning it self; Regulations and the implementation) indicated as independent variable and quality of life (contained in social-economic basis: education, income (revenue), expenditure, health, social institution perception on implementation of the spatial planning and environmental safety), as dependent variable.
Furthermore, to focus to the research problem, assumption has been made through two general hypothesis:
1. There is correlation between spatial planning and the quality of life.
2. There is correlation between spatial planning and social institution and environmental safety.
Research location is Cilegon (as mentioned above) in four sub-districts, ie: Ciwandan, Cilegon, Cibeber and Pulomerak. Sample being used is stratified random sampling for 130 head of family (KK) consist of 25 in Ciwandan, 55 in Cilegon, 15 in Cibeber and 35 in Pulomerak.
Data were analyses descriptively by percentage as well as statistical test of CM-Square (x2) and correlation (0, with significance level 95% (a= 0.05).
As a research results were the spatial planning (independent variable) and the quality of life (dependent variable) in social-economics, which is contained:
1. Micro Spatial Planning. Variable test that used for statistical test was ventilations, illuminations (sunlight), and drainage. From statistical test, its shown (x2 test 33.815 (ventilations); 25.631 (illuminations); and 33.015 (drainage), which are higher than x2 table= 24.996 (ventilations and illuminations); 18,307 (drainage), its mean these variables significantly affected by spatial planning.
2. Perception on Implementation of Spatial Planning. Variable test that used for statistical test was spatial planning structures (transferring the right of land and acquittal) and formatted (perception of knowledge and implementation of regulation of spatial planning). From statistical test, its shown that (x2 test = 59.138 and 32.415 for structures) higher than (x2 tables for both = 18.307) and (x2 test = 29.569; 31415; and 92.785 for formatted) higher than (x2 tables = 18.307 for implementations and 11.070 for knowledge). Significantly structure and formatted of spatial planning affected to the quality of life (in income as control variable).
3. Origin Region. 79 respondents (60.0%) from Cilegon (which stayed in Cilegon longer than 20 years) and 51 respondents (39.20%) from outside Cilegon. There is no impact of the origin to income, as shown statistically (x2 test=6,031 lower than x2 table= 11,070).
4. Social-Economics, contained:
Education.
84 respondents (64,6%) from senior high school (SLTA); 29 respondents (22,3%) from college, 17 respondents (13,1%) basic (SD-SLTP).
Job.
42 respondents (32,3%) Government Employee; 30 respondents (23,1%) private workers; 30 respondents (23,1%) running their own business; 28 respondents (others; house wife, laborer, etc).
Income and expenses.
Range between (Rp. 500,000 to higher than Rp. 3,000,000)1 Most of expenses for secondary section needs (62.25%) and the rest for nine staples (37.75%). That's mean Cilegon society are not poor society.
5. Social Institutions and Environmental Safety
Social Institutions. There are 11 (eleven) social institutions in Cilegon, ie., PPM, AMS KNPI, Youth Pancasila, IPSI, FBMC, MIA and KMC (Moslem organization), LPMC, and AMPI. According to the information, these institutions not affected to the lower level community. They trapped into the conflict of interest (certain community).
- Environmental Safety.
92 respondents (70.77%) said there were no crime (safe); 38 respondents (20.77%) unsafe. It was found from the statistical test that environmental endurance was affected to the quality of life (income), which shown by (x2 test = 84.938 higher than x2 table = 18.307).
6. Health. The society health test by children under five years old category, clean water resources, and sanitations. From statistical test results: for health conditions affected to quality of life (income), which has shown by (x2 test = 51.154 higher than x2 table = 18.307) and sanitations did not affect to the quality of life (income), which shown by (x2 test = 6.108 lower than x2 table = 18.307); clean water resources did not affect to the quality of life (income), which shown by (x2 test = 2.406 lowest than x2 table = 18.307).
As a whole, based on research results and in conjunction with the perspective of environmental research (basic guidance on managing the environment), spatial planning affected to quality of life, and there was correlated between spatial planning to environmental safety but not affected to social institutions. In order to the community requested, Cilegon government should have open management in manage their town.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T 2953
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Kebutuhan akan suatu tempat belanja yang mempunyal suasana berbeda di Jakarta masih diperlukan, mengingat menjamurnya mal-mal di penjuru Jabatabek serta kebutuhan menampung keinginan arang akan tempat tujuan untuk pergi. 'Jalan Sabang' merupakan salah satu kawasan belanja yang memiliki suasana cukup menarik untuk dikembangkan karena saat ini masih dirasa kurang optimal, balk kenyamanan maupun intensitas kegiatannya. Penataan 'Jalan Sabang' ini mencoba menawarkan suatu alternatif pengembangan kawasan kota dengan berusaha menghindari hal-hal negatif dan mengoptimalkan hal-hal yong bernilai positif dari potensi lokal yang ada."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1996
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Kurniasari
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1999
S48947
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvi Efrini AS
"Tesis ini bertujuan untuk mengungkapkan permasalahan keterbatasan ruang yang dihadapi oleh perempuan di tingkat hunian dan lingkungan dan dampaknya terhadap kualitas hidup perempuan, ditinjau dari peran perempuan (peran produktif, reproduktif, sosial dan kemasyarakatan), khususnya perempuan yang berada di permukiman kumuh padat Kelurahan Kramat, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan suatu desain studi kasus yang menghasilkan gambaran menyeluruh permasalahan keterbatasan ruang yang dihadapi oleh perempuan di permukiman kumuh padat dan dampaknya terhadap kualitas hidup perempuan. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data dan informasi adalah pengamatan lapangan langsung dan wawancara semi terstruktur. Informan dalam penelitian adalah perempuan dewasa yang mempunyai lebih dan satu peran perempuan. Penelitian difokuskan pada perempuan yang tinggal di permukiman kumuh padat yang mempunyai ekonomi menengah ke bawah di RW 01, 03, dan 08 Kelurahan Kramat.
Dari hasil penelitian ini terungkap bahwa perempuan mengalami permasalahan keterbatasan ruang di tingkat hunian dan lingkungan, yang disebabkan oleh kepadatan, keterbatasan fungsi ruang dari segi bentuk, ukuran dan pemanfaatannya, keterbatasan pencahayaan dan penghawaan, dan keterbatasan fasilitas lingkungan. Berdasarkan analisis ruang kota (teori Goad City Form) permasalahan yang dihadapi perempuan ini menunjukkan bahwa perempuan tidak mendapatkan kebutuhan dasar yang layak dari sebuah permukiman, terbatas dalam akses dan kontrol terhadap ruang, dan tidak ada kesesuaian antara ketersediaan ruang dan kebutuhan kegiatan. Keadaan ini berdasarkan analisis gender mempengaruhi peran perempuan, dan menimbulkan dampak ketidakadilan gender terhadap perempuan yang dapat menyebabkan marginalisasi, subordinasi, kekerasan dan beban kerja berlebih.
Permasalahan keterbatasan ruang yang ada di human dan lingkungan menimbulkan dampak terhadap kualitas hidup perempuan ditinjau dari aspek spasial. Crowding, teritorialitas, privasi dan ruang personal, keamanan, kenyamanan, kesehatan, interaksi sosial, home range dan jelajah ruang geografis mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap peran perempuan. Kualitas hidup dari tinjauan spasial ini mempengaruhi peran perempuan, antara lain kualitas dalam merawat dan membesarkan anak, kualitas kesehatan reproduktif perempuan, dan kualitas interaksi sosial di lingkungan.

This thesis aims at capturing the problem of limitation of space in housing and neighbourhood levels that is faced by women who live in dense slum settlement and its implication on the quality of life of women in term of their triple roles: productive, reproductive and community. The research employed qualitative method through a case study design that thoroughly describes the quality of life of women in crowded slum settlement.
Data and information in this research is collected by field observation and semi-structured interview. Informant in this research are mature women with a consideration that these women already take some responsibilities of their roles. The research location is focused on 3 RW of Kramat Sub Districts, where low income women live in dense slum settlement.
This research explains that women suffer of space limitation in housing and neighbourhood levels because of crowding, inappropriate of space, insufficient of healthy air, and lack of environment facilities. According to criteria of urban space for human settlement (Good City Form Theory) this condition explains that women cannot achieve basic need for adequate livelihood, sufficient access and control of space, and proper space for activities. These condition according to gender analysis affect women's productive, reproductive and community roles and have implication on gender inequality on women: marginalization, subordination, burden, and violence.
Space limitation has implication on the quality of life of women. Crowding, territoriality, -privacy and personal space, safety; comfortable, social interaction and home range have significantly affected furthermore confine women roles, especially for the proper quality in child bearing and rearing, family's health and social interaction."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T20209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luqman Dinoer Abiyasa
"Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW mencakup berbagai aspek salah satunya adalah rencana pola ruang. Perubahan pola ruang pada Daerah Aliran Sungai DAS berpengaruh pada nilai koefisen aliran yang menyebabkan perubahan debit sungai. Analisa perubahan debit sungai sungai yang melintasi kota Jakarta akibat perubahan. Pola Ruang dilakukan berdasarkan Peta RTRW tahun 2010 dan 2030 DKI Jakarta Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kota Depok, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi. Curah hujan rencana dihitung dengan metode Gumbel sedangkan debit banjir rencana dihitung dengan metode Rasional dan Soil Consevation Service Curve Number perbandingan debit sungai pada 13 sungai di Jakarta akibat perubahan pola ruang berdasarkan peta RTRW Tahun 2010 dan 2030 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan debit sungai pada sungai Mookervart Angke Pesanggrahan Grogol, Krukut, Ciliwung, Kali Baru Timur, Cipinang dan Kramat Jati sedangkan pada sungai Kali Baru Barat Sunter Buaran dan Cakung terjadi penurunan debit sungai Meskipun kedua metode menghasilkan kecenderungan yang sama hal ini perlu diwaspadai mengingat penyajian peta RTRW dari berbagai Dinas Tata Kota dan Bappeda berbeda beda tingkat kerinciannya.

The Regional Spatial Plan covers various aspects one of which is plan of spatial patterns. Changes of spatial pattern in the Watershed effect on the value of the runoff coefficient which causes changes in river discharge. Analysis of changes in flow of rivers that traverse the Jakarta due to changes of spatial pattern based of Regional Spatial Plan 2010 and 2030 of Jakarta, Tangerang, Tangerang regency, Depok, Bogor, Bogor regency, Bekasi and Bekasi regency. Design rainfall calculated using Gumbel method while the design flood calculated using Rational Method and Soil Consevation Service Curve Number Comparison of river discharge on 13 rivers in Jakarta due to changes in the spatial pattern based on the map of Regional Spatial Plan 2010 and 2030 showed that an increase of river discharge in Mookervart Angke Pesanggrahan, Grogol, Krukut, Ciliwung, Kali Baru Barat, Cipinang and Kramat Jati while on Kali Baru Barat Sunter Buaran and Cakung decreased river flow. Although the two methods result the same trend it is necessary to watch out considering present of spatial planning maps from various City Planning Department and Bappeda different levels of details ."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S44760
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Setyo Widianto Harungewaning Wirjaatmadja
"Permasalahan yang dihadapi oleh beberapa kota pada saat ini terutama disebabkan oleh pertumbuhan populasi yang sangat pesat. Hasil Sensus Penduduk 1990 memperlihatkan bahwa laju pertumbuhan penduduk perkotaan telah mencapai 5,38 % per tahun sementara laju pertumbuhan total hanya mencapai 1,98 % per tahun. Ini berarti laju pertumbuhan penduduk perkotaan jauh melebihi laju pertumbuhan total penduduk. Akibatnya, timbul permasalahan baik fisik lingkungan maupun social ekonomi. Hal inilah yang juga terjadi di Bekasi, sebuah kota kecil yang berdekatan dengan Jakarta.
Kota administratif (Kotif) Bekasi, terletak di sepanjang akses yang terpenting di timur Jakarta dan merupakan ibu kota dari sebuah kabupaten yang telah berubah dari suatu daerah pertanian tenang menjadi salah satu pusat industri yang sangat sibuk. Ratusan hektar tanah pertanian prima telah berubah menjadi daerah industri hanya dalam waktu kurang dari satu dekade dan proses tersebut masih berjalan hingga saat ini.
Selain itu, banyak jumlah pendatang baik yang mencari pekerjaan dan terutama kaum penglaju. tampaknya tidak dapat diimbangi oleh kemajuan/perkembangan struktur kota. Hal inilah yang mengganggu keserasian lingkungan hidup.
Dengan anggapan adanya perkembangan diatas, penelitian struktur kota Bekasi ini dilakukan. Beberapa pertanyaan yang diharapkan dapat terjawab dalam penelitian ini adalah, seperti misalnya, apakah struktur kota Bekasi mengikuti pola kota industri barat atau bertahan dengan pola kota kolonial yang banyak ditemukan di Indonesia? Atau adakah kemungkinan kota ini memiliki suatu pola baru yang tersendiri ? Apakah struktur kota mempunyai kaitan dan pengaruh terhadap Iingkungan hidup perkotaannya
Hasil pengkajian mengenai struktur kota dari penelitian yang bersifat "content analysis" ini, menunjukkan bahwa dari banyaknya pusat kota, Kotif Bekasi terlihat mempunyai struktur kota Multiple. Dari perletakan industrinya, Kotif Bekasi bercirikan struktur kota Multiple dan Sector. Perletakan industri yang ada di Kotif Bekasi rata-rata berada pada bagian arah Jakarta, ini mencirikan betapa kuatnya pengaruh Jakarta pada Bekasi. Namun demikian, seperti halnya kota-kota lainnya di Indonesia, Kotif Bekasi masih tetap bercirikan struktur kota kolonial, yaitu dengan adanya pemukiman kumuh yang terletak ditengah pusat kota. Pola harga tanah sebetulnya memusat, menyerupai pola Concentric, tetapi karena adanya pengaruh yang kuat dari Jakarta, maka harga tanah di Kotif Bekasi cenderung berorientasi kearah Jakarta.
Sementara itu, hasil pengkajian keterkaitan struktur kota dan pengaruhnya terhadap lingkungan hidup perkotaannya, menunjukkan bahwa secara spatial, ternyata kegiatan industri di Kotif Bekasi tidak begitu menyita lahan ruang terbuka hijau. Yang paling banyak menyita justru kegiatan perumahan. Pada tahun 1985, perbandingan antara ruang terbuka hijau dengan perumahan adalah 3.296,99 hektar berbanding 5.063,22 hektar. Pada 1990 perbandingan tersebut menjadi 1.914,03 hektar berbanding 6. 472,3 hektar. Dengan merujuk pada batasan Iuas ideal ruang terbuka hijau sebesar 20 % dari luas seluruhnya IRDTRK Bekasi 1987), maka dapat dilihat terdapat satu kecamatan yang mempunyai nilai buruk, yaitu kecamatan Bekasi Timur, dimana lugs ruang terbuka hijaunya hanya sekitar 12,82 % dari lugs seluruh kecamatan. Tetapi dalam skala kota, Iuas ruang terbuka hijau diseluruh Kotif Bekasi masih mempunyai nilai baik, yaitu sebesar 21,6 %.
Dalam mendapatkan nilai tingkat kesejahteraan yang merujuk pada kondisi perumahannya, dapat dilihat bahwa masyarakat di Kotif Bekasi rata-rata berada dalam tingkat kesejahteraan yang balk. Bahkan kecamatan Bekasi Selatan mempunyai tingkat kesejahteraan diatas rata-rata. ini artinya, perkembangan struktur kota di Kotif Bekasi membawa pengaruh yang dapat meningkatkan niiai kesejahteraan masyarakatnya
Akhirnya, kesimpulan yang didapat dapat dirumuskan sebagai berikut;
1 Kesimpulan dari penelitian ini, sedemikian jauh menunjukan dengan jelas bahwa Bekasi mempunyai suatu struktur kota yang khan, yaitu berupa poia struktur kota tersendiri yang berbeda, tidak mengikuti poia kota industri barat dan tidak pula mengikuti poia tradisional kota kolonial yang masih banyak ditemukan di Indonesia. Ini berarti bahwa struktur kota ini tidak mencerminkan secara mumi salah satu teori-teori kota yang ada. Namun demikian, meskipun pada saat ini hasil penelitian tersebut diatas dapat dianggap benar, kita harus tetap beranggapan bahwa struktur kota Bekasi masih dalam proses pertumbuhan yang pesat, sehingga suiit untuk memperkirakan atau meramalkan pola struktur akhimya.
2 struktur kota rnempunyai kaftan dan pengaruh terhadap lingkungan hidup perkotaannya. Pada sisi lingkungan hidup alaminya, perkembangan struktur kota memberikan pengaruh yang mengkhawatirkan.
Selama kurun waktu lima tahun terakhir yaitu dari tahun 1985 sampai rahun 1990, pada wilayah Kotif Bekasi, terlihat adanya laju penurunan yang cukup besar pada luas ruang terbuka hijau kota. Namun demikian merujuk pada kondisi perumahannya perkembangan struktur kota tersebut memberikan dampak yang cukup positif dalam meningkatkan tingkat kesejaheraan penduduknya, (Seberapa jauh pengaruh tersebut, tentunya harus dilihat dari suatu studi yang khusus menganalisis mengenai dampak lingkungan atau AMDAL.)

The problems faced by many cities presently are mainly due to the fact that their population are growing at a rate much too fast. This is precisely what happened in Bekasi, a small town adjacent to Jakarta. Located along the most important eastern approach to Jakarta, the once sleepy farming community has presently become one of the busiest industrial centers of the country. Hundreds of hectares of prime agricultural land has been converted to industrial sites, primarily without the administrative limits of the city, during less than a decade and (the process) is still going on today. With industries, inevitably come along housing development and the construction of new roads and other public facilities, which occur mostly within the city limits. Although compensation to landowners are sufficiently adequate and resulted in the improvement of their standard of living, the number of jobseekers from other areas of the country is such, that the physical structure of the city does not seem to keep pace with progress, which is disturbing to the environmental equilibrium.
It is with such development in mind, that the investigation of the structure of the city of Bekasi has been carried out.
Does the structure of the city of Bekasi follow the pattern of Western industrial cities, or does it retain the pattern of colonial towns as it is usually found in older cities in Indonesia ? Or is there a possibility that it might show a completely new pattern which is truly it's own ?
The result of the investigation so far shows clearly, that Bekasi shows to possess a distinct structural pattern of it's own. It neither follows the pattern of a Western industrial city, nor does it follow the traditional colonial city pattern, which is still commonly found in Indonesia. Although this might be true at the moment, one must keep in mind, that presently Bekasi is in the process of robust growth, which makes it rather difficult to predict it's eventual structural pattern.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Slamet Rahmat Topo Susilo
"Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Kota Terpadu Mandiri (KTM) merupakan kunci keberhasilan pembangunan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan partisipasi masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa masyarakat telah berpartisipasi pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan, namun kewenangan tetap ada ditangan pemerintah. Faktor pendorong untuk berpartisipasi adalah masyarakat sudah terbiasa dengan program pemerintah, bermanfaat, kebutuhan masyarakat dan adanya stimulan. Sedangkan penghambat partisipasi meliputi seringnya pergantian pejabat, pembangunan KTM terlalu singkat, kesibukan warga dan bencana alam. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35750
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Buchari Nurdin
"Sejarah perkembangan kota telah dimulai jauh sebelum masehi. Beberapa di antara kota tersebut, seperti Athena dan Sparta di Yonani kuno telah memperlihatkan tingkat perkembangan yang sudah tinggi dan kedua kota tersebut walaupun dengan pola yang berbeda namun menjadi pusat peradaban dan kebudayaan pada masa itu dan berpengaruh terhadap perkembangan peradaban Barat selanjutnya. Demikian pula kota Mahenjodaro dan Haharappa di lembah sungai Indus yang menjadi pusat peradaban India yang besar pula pengaruhnya terhadap bangsa-bangsa Asia lainnya. Kota Jeriko di Palestina, kota Ur di Babilonia, kota Anyang di sungai Hoangho di Cina, Alexandria di Mesir, semuanya juga menjadi pusat peradaban dan kebudayaan bangsa yang mendukungnya.
Dalam perkembangan selanjutnya ditemukan pasang surut pertumbuhan kota baik di Eropa maupun di Asia. Dengan mundurnya perkembangan peradaban manusia sesudah kejayaan Yunani dan Romawi di sekitar taut tengah, perkembangan kota di Eropah pun mengalami perlambatan dan baru mulai berkembang kembali dengan pesat sejak dua abad yang lalu, yaitu awal abad 18, bersamaan dengan terjadinya kemajuan ekonomi di berbagai negara, yang didukung oleh munculnya industri-industri baik menengah maupun besar terutama yang melanda Eropah sehingga munculah apa yang dinamakan revolusi industri.
Revolusi industri serta kemajuan teknologi yang terjadi di Eropa Barat pada abad ke 19 telah memulai suatu permasalahan baru yang menyangkut eksistensi manusia di dalam lingkungan alam tempat kehidupannya. Perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah pusat industri yang kemudian berkembang menjadi kota, mulai muncul secara menoniol sejak abad industri teknologi ini. Lapangan pekerjaan baru yang terbuka dengan munculnya industri di kota-kota yang menarik penduduk pindah ke kota telah meningkatkan permasalahan di dalam lingkungan kota. Kebutuhan fasilitas perumahan di kota, kebutuhan tanah untuk perluasan kota?"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T5281
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hayati Sari
"Fokus dari disertasi ini adalah memodelkan interaksi antara guna lahan, transportasi, dan lingkungan dalam meningkatkan dan mengatur kualitas perkotaan. Salah satu konsep untuk menggabungkan ketiga aspek tersebut adalah Pembangunan Berorientasi Transit, yaitu konsep pengaturan pertumbuhan ruang pada koridor transit dengan ciri-ciri guna lahan campuran, kompak, kemudahan untuk berjalan kaki, dan pembangunan yang difokuskan di sekitar kawasan transit.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun konsep pengaturan pembangunan perkotaan yang fokus pada konsep TOD ramah lingkungan. Penelitian ini mengusulkan tapak ekologis, emisi karbon, dan daya dukung ruang terbuka hijau sebagai indikator pembangunan perkotaan berkelanjutan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis guna lahan perkotaan dengan SIG, analisis transportasi, dan memprediksi skenario-skenario kebijakan pembangunan dengan menggunakan system dynamics.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa pemuatan konsep pembangunan berorientasi transit menjadi penting, tidak hanya untuk merestrukturisasi pertumbuhan guna lahan perkotaan secara efektif, atau meningkatkan penggunaan moda transportasi publik, namun juga dapat meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan.

The focus of this study is the modelling of interaction between land use, transportation, and environment in improving and managing urban quality. One of the concepts to integrate those three aspects is Transit Oriented Development (TOD). It is a concept of managing urban growth in transit corridor with the characteristics of mixed land use, compact, walking-distance, and development focused around public transit area. The purpose of this study is to build a concept for managing urban development with the focus of green TOD concept.
This study proposes ecological footprint, carbon emission, and green open space carrying capacity as sustainable urban development indicators. The methods applied for this research consist of urban land use analysis using GIS, transport analysis, and forecasting the development scenarios using system dynamics.
The simulation result reveals that the introduction of transit oriented development concept is of importance not only for restructuring urban land use growth effectively or regaining the modal share of public transport but also improving the urban environment quality.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>