Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 99571 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Yudie Reza Haryansyah
"Menjelang era globalisasi, membuka kemungkinan terjadi suatu perkawinan campuran. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang warga negara Indonesia dengan seorang warga Negara Asing. Dalam setiap perkawinan, ada saja kemungkinan timbul suatu kesalahpahaman sehingga mengakibatkan putusnya suatu perkawinan. Untuk pasangan yang berbeda warga negara terjadi suatu masalah mengenai hukum rnana yang akan diberlakukan dalam menyelesaikannya. Sehingga pokok permasalahan yang timbul adalah bagaimanakah pelaksanaan perceraian pada perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 serta penyelesaian akibat hukum yang timbul karena perceraian pada perkawinan campuran terhadap kewarganegaraan, harta bersama, nafkah istri, perwalian atau kekuasaan orang tua serta biaya pemeliharaan anak. Untuk memecah permasalahan ini digunakan metode penelitian normative atau library research, yaitu penelitian untuk memperoleh data-data sekunder. Data yang diperoleh tersebut kemudian dianalisa secara kualitatif, yaitu data yang diperoleh disusun secara sistematis untuk menyajikan pemahaman dan untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, perceraian pada perkawinan campuran dibedakan antara formil dan hukum materilnya. Hukum formil yang harus ditetapkan adalah mengikuti asas lex fori, dirnana dalam hukum acara perdata hakim harus tunduk pada hukum negaranya sendiri. Sedangkan mengenai hukum materil yang harus diterapkan untuk menyelesaikan perkara perceraian tersebut, jika tidak ada pilihan hukum, maka hakim harus menentukan sendiri hukum yang akan diterapkan berdasarkan faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang menentukan berlakunya suatu sistem hukum tertentu. Akibat perceraian pada perkawinan campuran mengenai kewarganegaraan, dapat menyebabkan perubahan status personil seseorang. Hal ini dimungkinkan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesianya. Dalam perceraian pada perkawinan campuran dimana istri/suami tersebut tetap mempertahankan kewarganegaraan asli mereka. Akibat perceraian pada perkawinan campuran terhadap nafkah istri, perwalian dan biaya pemeliharaan atas anak diselesaikan dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. mengenai harta bersama diatur terpisah dari perkara perceraian.

The ongoing process of globalization has brought about more opportunities to a couple from different nationalities to get married. According to the Law No. 1 Year 1974, a mixed marriage defined as a marriage happens between an Indonesian citizens with a foreign citizen. As we know, in a marriage, there are always possibilities of any problem occurs, particularly due to the misunderstanding between the couple, which eventually could lead to a divorce. In case of a mixed marriage, the problem occurs when it has to be decided which law should be applied to then. Thus, in the case of this research, the primary problem is to figure out how is the execution of a divorce on a mixed marriage according to the Law No. 1 Year 1974 should be performed, as well as how to handle and proceed the occurring legal implication caused by the divorce happening in such a marriage, regarding to the nationality, the assets the couple earned during their marriage life period, the money for the wife, guardian right, as well as the sum of money needed to finance the child/children's life expense. In order to answer this problem, the writer applies the normative research method, or library research, defined as a research to collect the secondary data. The collected data then is to be analyzed qualitatively, that is, the collected data is arranged systematically to provide an understanding and to make the problem discussed clear. Thus, it can be drawn to a conclusion that a divorce happens in a mixed marriage can be taken care of in to means, that is, either in accordance with the formal law or the material law. The formal law means that the law that should be applied is the one which is in accordance with the lex fori principles, in which the judge should conform to the civil law of his own country. Meanwhile, as for the material law, in a situation where there is no other chaise, then the judge should decide by himself the law to be applied by considering all the factors and situation that have significance to determine the applicability of a certain law. One of the effects raised as a consequence of a divorce in a mixed marriage is the shifting of the person's status, which is made possible by the applicable law in Indonesia, in case each party of the couple (both the husband an wife) decides to retain their respective nationality. The consequences of a divorce happens in mixed marriage regarding the money that should be given to the wife (as consequence of a divorce), guardian right and the amount needed to finance the child/children's life expense will be proceeded with respect to the Article 41 Law No. 1 Year 1974, while as for the assets earned during the marriage period will be arranged separately from the divorce process.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19101
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidia Karlani
"ABSTRAK
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kenyataan di masyarakat terjadi penyimpangan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan melakukan perkawinan di bawah tangan. Apakah alasan suami istri memilih melakukan perkawinan di bawah tangan di kota Bengkulu? Apa akibat hukum dari perkawinan tersebut terhadap istri, anak dan harta bersama? Bagaimana prosedur hukum yang harus dilalui oleh suami istri bila ingin meningkatkan status perkawinan di bawah tangan menjadi perkawinan sah?. Penelitian kepustakaan yang didukung dengan data dari lapangan berupa wawancara dengan nara sumber yang kompeten. Alasan seseorang melakukan perkawinan dibawah tangan karena biaya mahal, suami yang melakukan poligami, Pegawai Negeri Sipil yang tunduk pada PP Nomor 10 Tahun 1983 direvisi PP Nomor 45 Tahun 1990, alasan agama untuk menghindari perbuatan zina dan belum diakui oleh negara suatu penganut Kepercayaan sebagai agama. Akibat hukum dari perkawinan di bawah tangan terhadap status istri, yaitu tidak dianggap sebagai istri sah, tidak berhak atas warisan dan pensiunan suami, apabila terjadinya perceraian istri tidak berhak atas harta bersama. Terhadap status anak dianggap sebagai anak luar kawin, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Terhadap harta bersama, tidak ada harta bersama. Prosedur hukum yang dilalui suami istri bila ingin meningkatkan status perkawinan di bawah tangan menjadi perkawinan sah di mata hukum bagi beragama Islam mengajukan permohonan Itsbat Nikah pada Pengadilan Agama sesuai KHI Pasal 7. Mengulangi perkawinan diantara mereka disertai pencatatan perkawinan di KUA maupun di Kantor Catatan Sipil. Untuk menghindari terjadinya perkawinan dibawah tangan yang berdampak pada status istri dan anak, diharapkan pemerintah memberikan penyuluhan pada masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan.

ABSTRAK
A marriage is considered as legally valid, if it is conducted in accordance to the respective applicable religious law and belief of the parties involved (the bride and the groom). However, in reality it is found out that unofficial marriage still often happen, or in other word, not it accordance with the applicable law. What are the reasons that cause a couple prefers to conduct their marriage in such a way? What are the legal consequences particularly for the wife, the kids as well as the properties? What are the procedures should be conducted if the couple would like to enhance their marital status to a legal one? This research is conducted by applying a literature study supported by indepth interview with competent sources. Some of the reasons that make someone decide to conduct his/her marriage in such a way are due to the high cost in conducting a legal marriage, a husband applying polygamy marriage, while he is a government functionary who is bound with the Government Law No. 10 Year 1983, revised with the Government Law No. 45 Year 1990, religious reason, that is, to avoid considered as commit adultery, or regarding his/her status which is not yet recognized by the government due to his/her belief (which is not yet considered as a religion). The consequences of being a wife in a un-legal marriage would be particularly related to her status, that are, she is not considered as a legal wife, she has no right to inherit the husband's assets and pensions, and in case they had a divorce, she would have no right to get any of the assets earned during their living as a couple. Meanwhile, the consequences also happen to the child/children, in term that they will not be considered as legal children, and they only have legal civil relationship with their mother and her family. In term of family's assets, they have no right to them. The procedures that should be undergone by the couple that would like to enhance their status to a legal marriage, then to them who are Moslems, is that they should apply a request of the so-called Its bat Nikah in a religious court, which is in accordance with the Islamic Law Book Article 7. Then they should re-proceed their marriage ceremony while being noted and registered both in Office of Religious Affaires (Kantor Urusan Agama) as well as Civil Registration Office (Kantor Catatan Sipil). In order to avoid the occurrence of any unofficial marriage that brings inconvenient effect to the status of the wife and the child/children, the government is expected to give more socialization and education about the importance of the marriage registration to the society.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T18982
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Marzen
"Pada dasarnya sebuah perkawinan dilangsungkan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan akan tercapai bila perkawinannya dilangsungkan secara sah, baik sah secara agama maupun sah menurut negara. Perkawinan merupakan perbuatan hukum dan karenanya berakibat hukum pula. Di antara akibat hukumnya adalah anak berhak mewaris dari kedua orang tuanya. Semua hak-hak yang ditimbulkan akibat dari sebuah perkawinan tidak akan timbul bila perkawinannya dilangsungkan secara tidak sah. Begitu juga terhadap perkawinan di bawah tangan yaitu perkawinan yang dilangsungkan hanya menurut ketentuan agama saja, tidak memenuhi aturan negara sehingga perkawinan tersebut tidak tercatat pada Kantor Pencatatan Perkawinan, sebagai bukti bahwa perkawinan sudah dilakukan secara sah menurut hukum positif.
Beberapa pokok permasalahan yang ditemukan adalah apakah anak yang dilahirkan dari perkawinan di bawah tangan dapat diakui oleh ayah biologisnya, dan bagaimana perlindungan hukum terhadap anak hasil perkawinan di bawah tangan. Undang-Undang Perkawinan yang walaupun sudah dibuat sesempurna mungkin tetapi ternyata masih ada yang tidak mentaatinya sehingga terjadi penyelundupan hukum seperti misalnya terjadinya perkawinan di bawah tangan tersebut, yang dapat merugikan isteri serta anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, karenanya diperlukan upaya hukum untuk melindungi hak-hak istni dan anakanaknya tersebut.
Maka, melalui penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif dengan tipologi penelitian bersifat deskriptif dengan bentuk evaluatif, telah secara khusus meneliti mengenai perlindungan hukum terhadap anak hasil perkawinan di bawah tangan berdasarkan Undang-Undang Perkawinan. Sebagai kajian lebih mendalam kami bahas mengenai kasus upaya hukum terhadap pengesahan perkawinan dan status hukum anak hasil perkawinan di bawah tangan baik oleh yang beragama Islam, maupun oleh yang beragama non-Islam.
Dan penulis berkesimpulan bahwa anak yang dilahirkan dari perkawinan di bawah tangan dapat diakui oleh ayah biologisnya. Dengan disahkannya perkawinan di bawah tangan oleh Pengadilan maka anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut menjadi anak sah dan terlindungi hak-haknya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16531
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intasari
"Untuk melakukan perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan ditentukan batas umur untuk kawin bagi seseorang, yaitu 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Dengan demikian perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang berlangsung antara seorang pria dengan seorang wanita yang salah satu atau keduanya belum melalui batas minimal usia kawin yang telah ditentukan oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Perkawinan di bawah umur disebabkan oleh faktor lingkungan, psikologi, ekonomi serta kepercayaan dan adat istiadat. Faktor lain yang menyebabkan timbulnya perkawinan di bawah umur adalah kurang telitinya aparat yang berwenang dalam melihat umur sesorang dengan akan melangsungkan perkawinan sehingga dikhawatirkan akan terjadi penyelundupan umur. Dalam hal pasangan calon pengantin belum mencapai usia 21 tahun maka mereka memerlukan izin dari kedua orang tua mereka/wali namun apabila izin tersebut tidak terpenuhi maka dapat diajukan permohonan izin kawin ke pengadilan. Demikian pula halnya apabila pihak pria belum mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita belum mencapai 16 tahun maka perkawinan tidak dapat di ijinkan (Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974) kecuali adanya suatu alasan-alasan tertentu yang mendesak agar perkawinan segera dilaksanakan, maka kedua orang tua/wali dapat mengajukan permohonan Dispensasi Usia Kawin kepengadilan untuk untuk mengajukan permohonan Dispensasi Usia Kawin harus welewati suatu prosedur tertentu dan memenuhi persyaratan yang telah di tetapkan. Apabila pengadilan memberikan Izin Kawin dan Dispensasi Usia Kawin dengan alasan-alasan yang dapat di terima. Bagi pasangan yang menikah di bawah umur dengan adanya Izin Kawin maupun Dispensasi Usia Kawin tentunya akan timbul akibat hukum serta hambatan-hambatan yang harus dihadapi. Untuk mencegah perkawinan di bawah umur disarankan agar aparat yang berwenang lebih meningkatkan penelitian dalam hal pemberian Izin Kawin dan Dispensasi Usia Kawin."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S20977
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lyna
"Perkawinan merupakan suatu fase penting bagi setiap insan manusia di dunia selain kelahiran, pendewasaan dan kematian. Perkawinan sebagai suatu peristiwa hukum dan merupakan bagian dari hak asasi serta mempunyai arti yang penting bagi mereka yang menjalaninya. Pencatatan perkawinan merupakan bukti otentik dari peristiwa hukum tersebut, sehingga setiap perkawinan harus dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 2 menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya serta tiap perkawinan dicatat. Saat ini agama dan kepercayaan yang dimaksud oleh pemerintah adalah Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha. Dasar agama KHONGHUCU di Indonesia adalah UU No.l/PNPS/1965 dan SE Mendagri No.477/74054 sudah dicabut. Putusan Kasasi Perkawinan KHONGHUCU hanya berlaku untuk Budi dan Lanny saja. Bagi pasangan umat KHONGHUCU lainnya, perkawinannya tidak dapat dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. UU No. 1 Tahun 1974 tidak menyebutkan agama apa saja, seharusnya perkawinan KHONGHUCU adalah sah. Penolakan pencatatan perkawinan merugikan pasangan KHONGHUCU, yang merasakan kerugian lebih besar adalah isteri dan anak. Mereka tidak mempunyai bukti atas perkawinannya, anak yang dilahirkan menjadi anak luar kawin, tidak ada harta bersama dan tidak ada hak dan kewajiban suami isteri."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T37735
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nasution, Ricar Soroinda
"Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sebagai suatu perbuatan hukum maka akan menimbulkan akibat-akibat hukum yaitu hak dan kewajiban oleh karena itu Pemerintah bersama-sama dengan DPR RI mensahkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang bertujuan mengadakan unifikasi di bidang hukum Perkawinan dan menjamin adanya suatu kepastian hukum dengan menggantikan ketentuan-ketentuan hukum sebelumnya yang beraneka ragam. Namun, ternyata keaneka ragaman tersebut masih terlihat sebaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu disebutkan bahwa sahnya suatu perkawinan didasarkan kepada hukum menurut agama dan kepercayaannya itu bagi masing-masing pemeluknya. Kebebasan memeluk suatu agama dan kepercayaan di Indonesia dijamin oleh UUD 1945 hal tersebut lebih tegas lagi dengan diakuinya keberadaan lima agama, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Hindu dan Buddha. Akibat adanya kebebasan beragama tersebut tidak mustahil terjadi perkawinan di antara pemeluk agama yang berbeda dan mereka tetap bertahan pada agamanya masing-masing dalam menempuh bahtera rumah tangga. Dengan nenganut Pendapat bahwa perkawinan merupakan hak asasi seseorang maka timbul pertanyaan : 1. bagaimana keberadaan (eksistensi) lembaga perkawinan antar agama sekarang di Indonesia ? 2. dalam menghadapi perkawinan antar agama sebagai suatu kenyataan bagaimana pandangan Hakim ? 3. adakah landasan yuridis perkawinan antar agama ? Terhadap hal-hal tersebut penulis berkesimpulan bahwa dilihat secara materil perkawinan antar agama diakui dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan walaupun secara terbatas yaitu sepanjang ketentuan agama dan kepercayaan yang dianut masing-masing calon suami isteri membolehkan sehingga secara materil ketentuan Peraturan. Perkawinan Campuran S. 1898 No. 158 (Regaling op de Gemengde Huwelijken/GHR) sudah tidak berlaku lagi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naura Niyomi
"Harta Benda Perkawinan adalah harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Harta Benda Perkawinan ini terdiri dari 2 macam, yaitu Harta Bersama dan Harta Bawaan. Harta Bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung baik karena pekerjaan suami atau pekerjaan istri. Sedangkan Harta Bawaan adalah harta yang diperoleh oleh masing-masing suami atau istri baik sebagai hadiah atau warisan. Di dalam Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sehingga diharapkan terjadinya perceraian dapat dihindari, karena Undang-Undang menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian.
Yang menjadi pokok permasalahan dalam penyusunan tesis ini adalah bagaimanakah pengaturan mengenai perceraian menurut Undang-Undang Perkawinan; bagaimanakah pengaturan mengenai Harta Bersama menurut Undang-Undang Perkawinan; bagaimanakah pengaturan mengenai Harta Bawaan menurut Undang-Undang Perkawinan; dan bagaimanakah pelaksanaan pembagian Harta Benda Perkawinan (Harta Bersama) apabila terjadi perceraian.
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah Metode Penelitian Kepustakaan (Library Research), dimana bahan-bahan yang diperlukan diperoleh dengan mempelajari teori mengenai perkawinan, khususnya mengenai pembagian Harta Bersama Perkawinan apabila terjadi perceraian dari sumber-sumber tertulis, seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, referensi maupun makalah yang terdapat di perpustakaan yang berkaitan dengan judul tesis ini.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa perceraian biasanya membawa akibat hukum terutama terhadap Harta Benda Perkawinan, baik terhadap Harta Bersama maupun Harta Bawaan. Apabila terjadi perceraian, maka menurut Undang-Undang Perkawinan Harta Bersama akan dibagi menjadi 2 banyak yang sama besar, yaitu: ½ bagian untuk suami dan ½ bagian lagi untuk istri.
Sedangkan Harta Bawaan suami istri tersebut akan kembali ke masing-masing pihak yang mempunyai harta tersebut, kecuali jika ditentukan lain, yaitu dengan membuat Perjanjian Perkawinan. Masalah Pembagian Harta Benda Perkawinan inilah yang sampai saat ini masih menjadi pokok perdebatan apabila terjadi perceraian."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T14471
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>