Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143621 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Reni Swasti M.
"Studi ini dilatarbelakangi oleh makin banyaknya pengungsi anak yang ditimbulkan oleh konflik sosial di daerah asalnya Mereka meninggalkan daerah asalnya dengan harapan di daerah baru akan diperoleh keamanan dan keselamatan jiwa mereka Namun. persoalannya tidak sekadar memperoleh daerah aman dan diri, mereka selamat tetapi juga mengingat usia mereka yang masih tergolong anak-anak bahwa mereka membutuhkan pendidikan, kesehatan. dan penanganan masalah psikologis mereka. Bahwasanya kesediaan Pesantren As-Syafi'iyah dan Pesantren Ahsanu 'Amala dalam proses pemberdayaan pengungsi anak merupakan ambil alih tanggung jawab dari pemerintah oleh lembaga tersebut. Kedua lembaga tersebut merupakan lembaga pendidikan yang mengusung ciri keislaman, sekaligus juga lembaga yang memiliki berbagai persoalan untuk bertahan hidup, maka dari sudut itu tentu raja proses pemberdayaan pengungsi anak pada kedua lembaga tersebut menjadi menarik untuk dikaji dan diteliti.
Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif. Untuk mengumpulkan data, peneliti melakukan observasi, wawancara dengan key informan, dan Focus Group Discussion (FGD). Data yang berhasil dikumpulkan kemudian dipilah-pilah dan direduksi sesuai dengan tujuan penelitian. Dari data tersebut kemudian peneliti melakukan analisis terhadap hasil temuan penelitian, dan membuat perencanaan sosial berkaitan dengan pemberdayaan pengungsi anak.
Studi menemukan bahwa proses pemberdayaan pengungsi anak yang dilakukan di kedua pesantren berbeda satu dengan yang Iainnya, meskipun keduanya sama-sama menekankan pada proses pendidikan, baik di Pesantren As-Syafi'iyah maupun di Pesantren Ahsanu'Amala, pengungsi anak selain mendapat pendidikan formal dengan kurikulum nasional dan muatan lokal mereka pun mendapat kegiatan ekstrakurikuler.
Di Pesantren As-Syafi'iyah, pengungsi anak mendapat pendidikan formal dan duduk di bangku kelas sesuai saat mereka bersekolah di daerah asalnya. Kegiatan ekstrakurikuler di As-Syafi'iyah seperti berkebun, membudidayakan ikan lele, keterampilan kewanitaan, juga olahraga. Tampaknya, dari segi pemberdayaan pendidikan pengungsi anak, Pesantren As-Syafi'iyah telah berhasil melakukannya. Meskipun, kurikulum yang diberikan masih melupakan muatan cinta damai, persaudaraan, dan toleransi. Pengungsi anak di pesantren yang masih mengelompok berdasarkan sesuku atau daerah asal kurang ditangani. Sehingga muncul kelompok anak dan daerah tertentu yang merasa kuat dan melakukan tekanan pada anak-anak dari daerah lain.
Di Pesantren Ahsanu'Amala, pengungsi anak pun memperoleh pendidikan formal. Namun, karena ketidakmampuan pihak pengelola dalam mencari dana, kondisi pemberdayaan pendidikan kurang berjalan dengan baik Apalagi beberapa santri-pengungsi anak-menganggap apa yang diberikan oleh pesantren bukan merupakan sesuatu yang khas. Malahan ada anggapan bahwa pesantren hanya memanfaatkan (tenaga) mereka untuk mencari uang. Kegiatan ekstrakurikuler pun tidak berlangsung.
Hal lain yang kurang diperhatikan adalah pemberdayaan pengungsi anak pada aspek kesehatan dan aspek psikologis anak. Kedua pesantren tidak mempunyai jadwal rutin untuk memeriksakan anak ke dokter atau puskesmas. Pertolongan kesehatan hanya diberikan ketika anak memang betul-betul sakit. Demikian juga, aspek psikologis kurang diperhatikan sehingga pesantren tidak mampu melihat kondisi kejiwaan tiap-tiap pengungsi anak."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14400
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dupuis Sola Scriptura
"Hak atas pendidikan semestinya didapatkan oleh semua anak, tanpa kecuali, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 28 Convention on The Rights of The Child pada tahun 1989 yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak). Meskipun demikian hak pendidikan bagi pengungsi anak luar negeri yang ada di Indonesia dan akses pemenuhan terhadap hak pendidikan tersebut belum diatur secara jelas dalam hukum di Indonesia. Untuk itu maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan pengaturan tentang hak pendidikan bagi pengungsi anak luar negeri menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia dan akses terhadap pemenuhan hak pendidikan bagi pengungsi anak luar negeri, khususnya di Kota Depok, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan metode sosio legal dengan melakukan pengamatan dan wawancara terhadap beberapa informan serta melalui studi dokumen dengan melakukan penelusuran terhadap bahan-bahan hukum yang relevan. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa ketentuan yang mengatur tentang hak pendidikan bagi pengungsi anak luar negeri di Indonesia adalah didasarkan pada Konvensi Hak Anak 1989 yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, bukan pada ketentuan yang khusus mengatur tentang hak pendidikan bagi pengungsi anak luar negeri karena pemerintah Indonesia memang belum meratifikasi Konvensi 1951 tentang Pengungsi. Sedangkan terkait akses untuk pemenuhan hak pendidikan pengungsi anak luar negeri, khususnya di Kota Depok, Provinsi Jawa Barat, dapat dinyatakan sebagai belum memadai sehingga masih harus dikembangkan karena dengan tidak adanya payung hukum yang secara khusus mengatur tentang hak pendidikan bagi pengungsi anak luar negeri berakibat pada tidak jelasnya implementasi pemenuhan hak pendidikan pengungsi anak tersebut melalui penyediaan akses pendidikan yang mereka butuhkan. Selama ini pemenuhan hak pendidikan melalui penyediaan akses kepada pendidikan bagi pengungsi anak luar negeri baru dilakukan oleh pemerintah di Kota Depok berdasarkan rasa kemanusiaan namun bukan didasarkan pada hak pendidikan yang semestinya melekat pada diri setiap anak, tidak terkecuali anak yang berstatus sebagai pengungsi luar negeri.

As emphasized in Article 28 of the Convention on the Rights of the Child in 1989, which was ratified by the Indonesian government through Presidential Decree No. 36 of 1990 concerning Ratification of the Convention on the Rights of the Child, the right to education should be obtained by all children, without exception (Convention on the Rights of the Child). However, the right to education for foreign refugee children living in Indonesia, as well as access to the fulfillment of this right, are not regulated by Indonesian law. As a result, the issues raised in this study are related to regulations regarding the right to education for refugee children abroad under Indonesian legal provisions, as well as access to fulfilling the right to education for refugee children abroad, particularly in Depok City, West Java Province. This study employs the socio-legal method, which includes observing and interviewing several informants, as well as conducting document studies and searching for relevant legal materials. According to the findings of the analysis, the provisions governing the right to education for refugee children abroad in Indonesia are based on the 1989 Convention on the Rights of the Child, which the Indonesian government has ratified, rather than on provisions specifically governing the right to education for refugee children abroad, because the Indonesian government has not ratified the 1951 Convention on Refugees. Meanwhile, access to fulfilling the education rights of foreign child refugees, particularly in Depok City, West Java Province, can be described as insufficient, and further development is required because, in the absence of a legal framework that specifically regulates the right to education for refugee children abroad, the implementation of the fulfillment of the child refugee's right to education is unclear through the provision of access to the education they need. So far, the government in Depok City has fulfilled the right to education by providing access to education for refugee children abroad on the basis of humanity rather than the right to an education that should be inherent in every child, including refugee children."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erika Chrisiani
"Meskipun Indonesia belum meratifikasi Konvensi terkait Status Pengungsi 1951, Indonesia merupakan salah satu negara transit bagi para pengungsi. Mereka merupakan tanggung jawab dari UNHCR. Pengungsi yang tidak memiliki kewarganegaraan ini menghadapi permasalahan seperti waktu tunggu yang lama dan keterbatasan sumber daya. Hal ini dikhawatirkan akan berdampak bagi perkembangan psikososial pengungsi anak. Dalam penelitian ini membahas gambaran pembentukan identitas pengungsi anak yang dihadapkan dengan kondisi yang tidak memungkinkan dan apa saja yang berkontribusi pada pembentukan identitas mereka.
Penelitian ini menggunakan kerangka kesejahteraan dan perlindungan anak. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif dengan informan sebanyak 15 orang, dengan 5 orang pengungsi anak, 5 orang guru, dan 5 keluarga dari pengungsi anak yang diwawancarai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk dapat membentuk identitas anak dalam situasi sesulit apapun, apabila terdapat dukungan dan interaksi dari beberapa pihak seperti keluarga dan lingkungan sekitar, maka anak tidak akan mengalami kebingungan identitas.

Although Indonesia has not ratified the Convention Relating to the Status of Refugees, also known as the 1951 Refugee Convention, Indonesia is one of the transit countries for refugees. Refugees in Indonesia are the responsibility of UNHCR because the Indonesian government is not obliged to meet their needs. These stateless refugees encounter the problem of long time obscurity and scarcity of resources before being placed into their destination country. This situation is feared to affect the psychosocial development of refugee children. This study discusses about identity formation of refugee children in a difficult situation and what contributes to it.
This study uses Child Safeguarding and Promoting Welfare Framework. This study uses qualitative approach with descriptive research with 15 informants 5 refugee children, 5 teachers, and 5 family of the refugee children. Result of this study shows that in order to form the identity even amidst the most difficult situation, if there is support and interaction from family and environment, children will not suffer from identity confusion.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firda Amalia Darmawan
"Pembinaan kontak antara anak-anak migran dan anak anak Jerman dapat menjadi cara mewujudkan integrasi imigran ke dalam kelompok masyarakat dan mengurangi perselisihan di masa depan. Mutual contact atau persahabatan antara anak migran dan anak Jerman ditampilkan dalam film Zu Weit Weg yang menjadi korpus di penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif teori sinematografi dari Blain Brown dan teori sistem ekologi dari Urie Bronfenbrenner untuk menjelaskan penggambaran interaksi sosial dan perkembangan persahabatan anak-anak migran/pengungsi. Hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan anak-anak migran dan anak anak Jerman yang terjalin melalui mutual contact memperkuat persahabatan dan mempengaruhi perkembangan kepribadian mereka.

Fostering contact between migrant and German children can be a way to achieve integration of immigrants into the community and avoid disputes in the future. Mutual contact or friendship between migrant and German children is shown in the Zu Weit Weg movie, which is the corpus in this study. This research uses qualitative methods of cinematographic theory from Blain Brown and ecological system theory from Urie Bronfenbrenner to explain the depiction of social interaction and the development of friendship between migrant/refugee children. The result of the analysis shows that the relationship between migrant and German children established through mutual contact is able to strengthen friendship and influence their personality development."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Tri Fitriani
"[Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh dari dukungan sosial melalui kelompok dukungan terhadap kesehatan mental pengungsi dan pencari suaka yang bertempat tinggal di akomodasi komunitas. Pendekatan kesehatan mental secara menyeluruh (complete mental health) digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebuah kondisi yang tidak sekedar bebas dari penyakit namun juga melibatkan hadirnya kondisi kesehatan mental positif Kelompok dukungan menggunakan disain quasi eksperimen berupa one group pre-test and post-test design dilakukan dalam tiga sesi dan diikuti oleh sembilan orang pengungsi dan pencari suaka perempuan dari Afghanistan, Iran, Palestina dan Sri Lanka yang bertempat tinggal di akomodasi komunitas Tangerang Selatan. Terdapat peningkatan kondisi kesehatan mental pada pengungsi dan pencari suaka setelah mengikuti kelompok dukungan, yang ditandai dengan penurunan nilai rata-rata gejala penyakit mental dan kenaikan nilai rata-rata kondisi kesehatan mental positif, namun perubahan yang dihasilkan pada intervensi ini tidak signifikan secara statistik;The purpose of this study was to examine the impact of social support through group support on mental health of refugees and asylum seekers. The complete mental health approach was used in this study, which is a condition that is not merely the absence of mental illness but also involving the presence of positive mental health. A support group using one group pre-test and post-test quasi experimental design was carried out in three sessions and participated by nine refugee and asylum seeker women from Afghanistan, Iran, Palestine and Sri Lanka living at community accommodation in South Tangerang. The mental health of refugees and asylum seekers improved after participating the support group which was marked by the decrease in mean score of mental illness symptoms and the increase in mean score of positive mental health, however the improvement of mental health resulted from this intervention was not
statistically significant., The purpose of this study was to examine the impact of social support through group
support on mental health of refugees and asylum seekers. The complete mental health
approach was used in this study, which is a condition that is not merely the absence
of mental illness but also involving the presence of positive mental health. A support
group using one group pre-test and post-test quasi experimental design was carried
out in three sessions and participated by nine refugee and asylum seeker women from
Afghanistan, Iran, Palestine and Sri Lanka living at community accommodation in
South Tangerang. The mental health of refugees and asylum seekers improved after
participating the support group which was marked by the decrease in mean score of
mental illness symptoms and the increase in mean score of positive mental health,
however the improvement of mental health resulted from this intervention was not
statistically significant.]"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
T44578
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shaila Tieken
"Penelitian ini mengkaji kekerasan struktural yang terjadi pada anak-anak rohingya tanpa kewarganegaraan. Peneliti mengkaji kasus anak-anak pengungsi rohingya yang ada di Wisma YPAP Medan, Indonesia. Konsep kekerasan struktural dan teori kriminologi konstitutif digunakan sebagai perspektif dalam mengkaji permasalahan ini. Untuk memahami kekerasan struktural yang dialami oleh anak-anak pengungsi Rohingya, peneliti melakukan sebuah penelitian menggunakan metode kualitatif dengan teknik wawancara mendalam dan observasi dengan anak-anak pengungsi Rohingya di community housing Wisma YPAP Medan. Untuk mendapatkan data yang komprehensif, peneliti turut melibatkan orang tua, lembaga supra-negara, pemerintah Indonesia, serta masyarakat sekitar dalam pengumpulan data. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa ketiadaan kewarganegaraan pada anak-anak rohingya merupakan sebuah bentuk kekerasan struktural yang memisahkan jarak antara potensi anak dengan situasi riil yang dialami anak saat ini. Kekerasan struktural ini dilakukan oleh berbagai agen dalam kehidupan anak dalam berbagai bentuk, yaitu pembersihan etnis, hate crime, kriminalisasi migrasi, dan tidak terpenuhinya hak anak-anak rohingya yang tidak berkewarganegaraan.Penelitian ini mengkaji kekerasan struktural yang terjadi pada anak-anak rohingya tanpa kewarganegaraan.

This study discuss structural violence happened to stateless rohingyan children. The case of rohingyan child refugees in Wisma YPAP Medan had been researched using structural violence concept and constitutive criminology theory. Research with qualitative method was done to understand the situation of structural violence towards rohingyan children in Wisma YPAP Medan. Parents, supra-state actor, Indonesian government, and the community also involved in this research to get a comprehensive data. The research shows that statelessness in rohingyan children is a form of structural violence that creates a gap between potential and real situation of rohingyan children. This structural violence was done by many agents in the course of their lives, and happen in many forms, as recognized in this research, ethnic cleansing, hate crime, criminalization of migration, and unfulfilled rights of rohingyan stateless children."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri K.T.M.
"Penelitian ini akan berupaya mencermati aktifitas United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), yaitu rezim perlindungan pengungsi internasional, di Nepal. UNHCR yang merupakan salah satu agen profesional dalam tubuh keorganisasian PBB muncul sebagai penerus dari United Nations Relief and Rehabilitation Administration (UNRRA) dan setelah itu International Refugee Organization (IRO) sebagai organisasi perlindungan pengungsi sebelum UNHCR yang dibentuk oleh LBB (Liga Bangsa-Bangsa). Perpindahan penduduk dalam jumlah besar dari satu negara ke negara lain tentu memberikan dampak yang mencakup berbagai aspek, termasuk aspek kemanusiaan yang dialami para pengungsi, aspek kebijakan host country dalam menangani arus pengungsi yang masuk, serta aspek internasionalisasi isu pengungsi di negara tersebut. Dengan demikian, peran UNHCR dalam menanggulangi dampak-dampak tersebut sangat penting untuk dianalisa.
Penelitian ini bersifat deskriptif, memberikan latar belakang sejarah terjadinya kasus pengungsian penduduk Bhutan hingga tiba di Nepal, dan juga kondisi domestik Nepal pada tahap penerimaan populasi pengungsi yang jumlahnya hingga lebih dari seratus ribu jiwa. Selain itu, penelitian ini bertujuan menganalisa peran-peran yang dijalankan oleh UNHCR bagi populasi pengungsi Lhotshampa di Nepal. Pembahasan peran tersebut akan dipaparkan mulai dari kerangka kehadiran UNHCR di Nepal, hingga aktifitas-aktifitas yang mereka laksanakan untuk kaum Lhotshampa sejak tahun 2000 hingga tahun 2004. Berbagai aktor yang terlibat ialah Royal Government of Bhutan (RGOB), Pemerintah Nepal dan badan-badan pemerintahan yang turut terlibat dalam proses perlindungan pengungsi, NGO internasional dan lokal di Nepal, beberapa sister organization UNHCR di dalam tubuh organisasi PBB, dan para pengungsi itu sendiri. Aktoraktor ini memainkan peranan yang saling berkaitan dengan UNHCR, serta dengan satu sama lain.
Konsep yang digunakan untuk menjelaskan peran UNHCR di Nepal ialah konsep mengenai peran IGO dalam mengatasi sebuah permasalahan dalam kajian hubungan internasional (Kelly-Kate S. Pease). Berdasarkan konsep tersebut, sebuah IGO hadir dan beroperasi dalam sebuah atmosfir sistem internasional yang sarat akan kerjasama dan konflik, dan dimana karakteristik yang nampak ialah adanya complex interdependence. Aktor-aktor memiliki rasa saling ketergantungan dalam menanggulangi berbagai isu, sehingga melalui suatu bentuk kerjasama mereka membangun sebuah rezim untuk suatu isu tertentu. Rezim itu sendiri memupuk kerjasama beragam aktor, tidak hanya aktor negara, melainkan aktor-aktor non-negara. Peran yang dijalankan sebuah IGO sendiri tersebut terdiri dari lima peran, yaitu: Membantu negara-negara mengatasi masalah inernasional secara kolektif; mengembangkan kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan global; membantu masyarakat internasional menyerap dan mengembangkan nilai-nilai dan norma-norma sosial; sebagai pemersatu masyarakat internasional dengan mekanisme common global market; dan terakhir, menyediakan bantuan kepada ?victims of international politics?.
Hasil temuan yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah bahwa UNHCR hanya memainkan empat dari lima peranan dari IGO yang dirumuskan oleh Pease. Tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi performa UNHCR dalam melindungi para pengungsi. Meskipun demikian, UNHCR tidak berhasil memenuhi mandatnya untuk mencapai solusi terbaik bagi para pengungsi di Nepal, dan kasus tersebut terus menjadi krisis yang berkepanjangan pula. Hal itu dikarenakan UNHCR tidak memiliki hak untuk mempengaruhi kebijakan dalam pembicaraan-pembicaraan bilateral pemerintah dua negara yang terlibat pada proses pencarian solusi terbaik selama tahun 2000 hingga 2004. UNHCR memang tidak memiliki hak untuk campur tangan dalam pembuatan kebijakan negara, meskipun demikian, hal tersebutlah satu-satunya hambatan bagi para pengungsi untuk mendapatkan solusi terbaik, baik melalui repatriasi sukarela, relokasi ke negara ketiga, ataupun integrasi ke dalam host country.

This research is observing the activities of United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), which is the international refugee protection regime, in Nepal. UNHCR as one of the many professional agency in the United Nations (UN) is the predecessor of two prior organizations concentrating on refugee assistance, United Nations Relief and Rehabilitation Administration (UNRRA) and International Refugee Organization (IRO), both formed by the League of Nations. The enormous amount of people migrating from one country to another definitely poses some significant impact on so many levels. These levels include humanitarian crises suffered by the refugees, host country?s policy on how to manage the refugee influx, and the internationalization of the certain country`s refugee problem. Hence, UNHCR?s role in assisting such impacts is critical to be analyzed.
The nature of this research is descriptive, portraying a historical background on how the Bhutanese refugee crises emerged up to the point of which they arrived in Nepal, also the domestic situation in Nepal on the emergency phase when the refugee influx of more than 100,000 people poured in to the country. In addition, this research aims to analyze the roles UNHCR played for the Lhotshampa (Bhutanese) refugees in Nepal. It will be elaborated starting from the framework of UNHCR?s presence in Nepal, and the activities it has executed for the Lhotshampas during year 2000 up to year 2004. Actors involved in the refugee crises are Royal Government of Bhutan (RGOB), Nepalese government and its agents that is related to the refugee protection effort, international and local NGOs, some of UNHCR?s sister organization in the UN, and the refugees themselves. Each of these actors play interrelated roles with UNHCR and with each other as well.
To clarify the roles of UNHCR in Nepal, the concept used is the role of IGO in international problem-solving (Kelly-Kate S. Pease). According to the concept, an IGO exists and operates in an international system that consists of cooperation and conflict among the actors, in which the evident characteristic of such interactions is a complex interdependence. Actors feel mutually dependent in solving issues with international impacts, that they unite and establish regimes for certain issues. These regimes foster cooperation among, not only inter-state, but also involves non-state actors. There are five roles that IGO s play: Help countries respond to international problems in a collective manner; developing economic prosperity and global welfare; assist international community absorb and generate social values and norms; unite international community with common global market mechanism; and last, provide assistance for the ?victims of international politics?.
Main findings obtained from this research is that UNHCR only played four, out of five IGO roles elaborated by Pease. However, it didn?t affect UNHCR`s performance in protecting the refugees. Even so, UNHCR could not attain the intended durable solution for the Bhutanese refugees as it is mandated, and in fact, it kept on being a protracted refugee situation. This happens because UNHCR did not have the right to influence the policies made under bilateral talks held by Bhutanese and Nepalese government on the process of determining the best durable solution, during 2000 to 2004. It is true that UNHCR cannot interfere with a country?s policy, yet it still is the one obstacle for the refugees to get a durable solution, whether through voluntary repatriation, third country resettlement, or integration to the host country."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nazilah Qothrunnada
"Latar belakang penulisan karya ilmiah ini berawal dari ketertarikan penulis tentang fenomena Arab Spring yang menjadi awal kemunculan dari konflik-konflik yang terjadi di Timur Tengah, khususnya Suriah. Konflik-konflik ini mengakibatkan penduduk Suriah harus mengungsi di negara lain. Jerman menjadi negara Eropa pertama yang menerima para pengungsi Suriah dengan tangan terbuka. Hal ini berbeda dengan tanggapan negara-negara Timur Tengah yang tidak terlalu terbuka dalam menerima para pengungsi Suriah. Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis menggunakan metode deskriptif. Penulis menggunakan metode ini dengan pendekatan studi pustaka yang bersumber dari surat kabar, jurnal, dan buku mengenai pengungsi Suriah di Jerman. Temuan sementara yang penulis dapat sampaikan bahwa alasan penduduk Suriah mengungsi di Jerman antara lain karena perang saudara dan juga fenomena ISIS yang muncul di negara tersebut. Para pengungsi ini memilih negara Jerman untuk dijadikan tempat mengungsi karena Jerman sangat terbuka dalam menerima pengungsi. Hal ini dilakukan Jerman karena pengalaman di masa lalu yang pernah merasakan menjadi pengungsi dan juga pernah menampung pengungsi dalam jumlah besar. Para pengungsi Suriah di Jerman tidak hanya ditangani oleh pemerintah Jerman saja, akan tetapi lembaga UNHCR juga turut berperan dalam menangani para pengungsi. Hingga saat ini terdapat beberapa masalah yang dirasakan oleh para pengungsi Suriah di Jerman, namun tidak menghalangi mereka untuk tetap tinggal di sana.

This journal is written based on Arab Spring phenomenon around the Middle East. This phenomenon became the beginning of the conflicts in the Middle East especially in Syria. These conflicts led to Syrian people must be fled in other countries. Germany became the first European country that receives Syrian refugees with an open arms. Contrast with the responses of the Middle Eastern countries that are not too open in accepting Syrian refugees. This journal uses descriptive method. The author uses this method with the approach of literature sourced from newspapers, thesis, and books about the Syrian refugees in Germany. The research results in the hypothesis that the Syrian refugees reasons to flee in Germany are because the civil war and ISIS phenomenon in that state. The Syrian people choose Germany to be an assylum for them is because Germany accepting them with open arms. Germany did that based on their history and experience in accepting refugees. Syrian refugees in Germany are not only handled by the government, but UNHCR also played a role in handling the refugees. Until now there are some problems perceived by the Syrian refugees in Germany, but it did not deter them to stay there.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Kusdijono
"Lebih dari 5,000 kepala keluarga pengungsi Madura korban kerusuhan Sambas di Kalbar ditempatkan di daerah baru dalam program relokasi. Rancangan dan implementasi program pembangunan didaerah ini perlu hati-hati agar tidak mengulang kegagalan umum pembangunan selama ini, yakni meningkatnya kemiskinan, merusak lingkungan hidup, dan menimbulkan kekerasan sosial baru.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan intervensi program bantuan dan pemulihan bagi pengungsi Madura di Kalimantan Barat. Dengan demikian, fokus penelitian ini adalah tentang capaian program pembangunan di kawasan relokasi pengungsi Madura. Metode penelitian ini bersifat riset evaluatif dengan pendekatan kombinasi antara kuantitatif dan kualitatif. Informasi yang diperoleh dari pendekatan kuantitatif dipakai sebagai informasi awal untuk penggalian lebih mendalain dengan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan ditiga satuan relokasi, yakni Parit Bhakti Suci, Tebang Kacang SP II, dan Parit Haji AIi. Kesemuanya berlokasi di Kecamatan Sungai Raya.
Konsep yang dirujuk dalam penelitian ini adalah model pembangunan transiormatif berkelanjutan yang diajukan terutama oleh Korten, D (2002, terjemahan) dan Jan Nederveen Pieterse, J.N (2001). Konsep tersebut dipakai untuk memeriksa apakah kebijakan Pemerintah dan implementasinya untuk membangun kembali para pengungsi di relokasi sesuai dengan model pembangunan tersebut. Hal ini perlu diamati agar pembangunan tidak mengarah kepada timbulnya kemiskinan baru dan berpotensi kearah munculnya kerusuhan baru.
Temuan lapangan menunjukkan bahwa pembangunan sarana dan prasarana masih sangat terbatas (jalan, lahan, rumah) dan dengan kualitas kurang baik atau sudah rusak. Sebagian pengungsi yang meninggalkan rumah di relokasi akibat rendahnya akses terhadap sumber daya (tanah pertanian terbatas, gambut, tanah dalam sengketa, status belum jelas).
Sebaliknya pertambahan penghuni di kawasan relokasi dicirikan oleh tinginya akses terhadap sumber daya. Dalam jangka pendek, para pengungsi di kawasan relokasi cenderung terhindar dari kemungkinan munculnya kerusuhan baru karena rendahnya intensitas interaksi dengan masyarakat luar, tetapi keterbatasan prasarana pembangunan juga membuat kapasitas mereka sangat rendah untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Sebaliknya upaya rekonsiliasi telah banyak diupayakan baik oleh Pemerintah maupun lembaga-lembaga non Pemerintah. Namun, para pengungsi di relokasi sementara ini tidak berminat untuk kembali ke tempat asal mereka, melainkan menghendaki bantuan Pemerintah agar mereka dapat menjual asset fisik yang mereka tinggalkan. Perlu adanya intervensi lebih lanjut untuk issue tersebut.
Selain Pemerintah, banyak lembaga internasional dan sedikit lembaga swadaya masyarakat (LSM) ambil bagian dalam pembangunan kembali pengungsi di relokasi sejak awa] penempatan. Program pembinaan pengungsi dari Pemerintah selesai tahun 2002, sedangkan program lembaga internasional umumnya selesai pada tahun 2004, kecuali CRS yang bekerja sama dengan LSM lokal melanjutkan dengan program pertanian berkelanjutan dan peace building.
Indikasi pembangunan transformative-berkelanjutan sejauh ini belum muncul. Partisipasi masyarakat baru muncul sebagai akibat intervensi program sebatas "respons" terhadap intervensi. Program belum mampu mendorong munculnya inisiatif masyarakat untuk turut mengendalikan kebijakan dan intervensi program yang terkait dengan upaya perbaikan kehidupan mereka (transformasi sosial). Ini dapat dimaklumi karena kapasitas mereka masih sangat terbatas, perlu ada pemberdayaan dengan membangun prasarana dan ruang inisiatif lebih luas, serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat pengungsi.
Direkomendasikan bahwa dalam jangka pendek, Pemerintah dan pihak lain tidak mendorong terjadinya pemulangan kembali pengungsi ke tempat asal, melainkan terus melanjutkan untuk membangun prasarana dan sarana (transportasi, perbaikan rumah), legalitas tanah, dan membangun kapasitas (kemampuan) para pengungsi dalam konteks peningkatan pengetahuan dan keterampilan, serta ruang untuk berinisiatif dan ambil bagian dalam pembangunan. Untuk jangka waktu menengah Pemerintah dan agen pembangunan lain direkomendasikan untuk mendorong upaya rekonsiliasi dikalangan tokoh masyarakat terkait, serta dalam jangka panjang perlu diupayakan repatriasi para pengungsi Madura."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21704
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Komisariat Tinggi PBB, 2004
341.6 JAS p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>