Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 58624 dokumen yang sesuai dengan query
cover
F.X. Rahyono, 1956-
"A deictic expression is an expression in a language, which has an indefinite referent. The indefinite nature of that referent is due to the situation of the encoder. The referent of a deictic expression will change if the speaker and the spatio-temporal reference of the deictic expression change. Thus, deictic expressions can be divided in three groups, person deixis, spatial deixis and time deixis.
The interesting thing in Javanese deixis is the effect of speech levels. A speaker must choose speech level appropriate to his or her social level and that of the other participant in the conversation. Basically, Javanese speech levels can be grouped into three levels, ngoko (low level), madya (mid level) and krama (high level). Most Javanese deictic expressions are lexicalized in those three speech levels. For example, the demonstrative pronoun iki 'this', is lexicalized in three lexemes, iki, niki and menika in the levels ngoko, madya and krama respectively.
Javanese has many personal pronoun lexemes, which are related to the three speech levels mentioned above, and which vary according to whether, the pronoun is in the first person, second person or third person. There are eight lexemes, which refer to the first person (singular and plural), forteen lexemes for the second person (singular and plural) and five lexemes for the third person (singular). All of those lexemes can be grouped according to its speech level. Any personal pronoun lexeme will imply the social status of the speaker using it.
Spatial deixis in Javanese distinguishes between local deictic domains which are in the speaker's vicinity, outside the speaker's vicinity and remote from the 'speaker. In the time deixis can be found lexemes which refer to the time of speaking, the past time and future time. There are lexemes which be used only to convey a time point, a time period or both.
In the Javanese deixis we find deixis neutralization. This term may be illustrated by an example the word menika 'this', from the high speech level, corresponds to the words iki, kuwi and kae from the low speech level. Iki 'this' (to refer to the vicinity of the speaker), kuwi 'that' (to refer to domains outside the vicinity of the speaker) and kae 'that' (to refer to domains remote from the speaker). The' fact that the word menika has three equivalents, iki, kuwi, kae shows that there is no deictic distinction of demonstrative pronouns in the high speech level. However, neutralization of this type only occurs in the spatial deixis.
This investigation of invariant meanings of deictic expressions can find the appropriate referent of the deictic words and their constraints of the acceptability in the practice. Furthermore, we can also know the application's rule of the non-deixis words used as deictic words.
The most important conclusion of this investigation is that Javanese speech levels are a semantics problem, particularly in the case of social deixis. The three speech levels refer to the referent, which in turn implies different social status."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manullang, Lamria
"Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan secara luas penerjemahan unsur leksikal kebudayaan material bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dalam novel Absolute Power, Remember Me, dan Heart Beat serta terjemahannya Kekuasaan Absolut, Rumah Kenangan, dan Debar Hati, Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana unsur leksikal kebudayaan material bahasa Inggris diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif melalui kajian teks. Metode ini diterapkan dalam liga tahap, yaitu pengumpulan data, kiasifikasi data, dan analisis data. Penelitian ini merupakan penelitian terjemahan. Konsep padanan merupakan tumpuannya. Dalam penerjemahan unsur leksikai kebudayaan material bahasa Inggris ke bahasa Indonesia untuk konsep yang dikenal dalam budaya Indonesia ditemukan padanan leksikal harfiah, padanan leksikal tidak harfiah, padanan dengan hubungan leksikal sinonim, padanan dengan kata generik-spesifik, dan padanan figuratif. Untuk konsep unsur leksikal kebudayaan material bahasa Inggris yang tidak dikenal dalam budaya Indonesia ditemukan padanan dengan frasa deskriptif, padanan dengan kata generik yang dimodifikasi, padanan dengan kata BSu yang dimodifikasi, padanan dengan kata serapan, dan padanan substitusi kultural. Sebagai akibat peggunaan padanan tersebut terlihat adanya pergeseran bentuk, pergeseran makna, pengupayaan padanan kultural, dan pemberian konteks.

This study is aimed at discribing in general the translation of material culture lexical items of English into Indonesian in English? novels Absolute Power, Remember Me, and Heart Beat and the Indonesian translation versions Kekuasaan Absolute, Rumah Kenangan, and Debar Hati. The problem to be investigated is how the English material culture lexical items are translated into Indonesian. The descriptive method through text surveys is employed in this work. The method is applied in three stages, i.e. data collection, data classification, and data analysis. The result shows that in the translation of English material culture lexical items into Indonesian, the lexical equivalents when concepts are shared in Indonesian are literal lexical equivalents, nonliteral lexical equivalents, equivalence involving synonyms, generic-spesific equivalents, and figurative equivalents. The lexical equivalents when concepts of English material culture lexical items are unkonwn in Indonesian are descriptive phrases equivalents, equivalence by modifying a generic word, equivalence by modifying a source language word, eguivalence by loan word, equivalence by cultural substitute, and equivalence by underlining a source language word. There are four , i.e. transposition, modulation, cultural substitution, and Contextual conditioning from the concequences of the equivalents."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T4527
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umi Basiroh
"Kamus secara konvensional, berisi leksem yang didaftarkan dalam susunan alfabetis dan mengakibatkan berbagai jenis hubungan leksikal tidak seluruhnya tergambarkan secara sistematis. Padahal kamus yang komprehensif, yang mencerminkan keseluruhan kosakata suatu bahasa hanya akan tergambar secara utuh bila kamus itu memuat semua jenis hubungan leksikal secara sistematis. Ada jenis kamus yang berbeda dari yang konvensional itu. Kamus itu mendeskripsikan leksem dalam kesatuan konseptual lebih daripada alfabetis. Kamus seperti itu disebut tesaurus (Ullmann 1983:255). Tesaurus yang terkenal dan yang dapat dianggap salah satu pelopor itu adalah Roget's International Thesaurus. Dalam buku itu kata dan rasa bahasa Inggris dikelompokkan menurut signifikasinya yang ditandainya. Roget membagi leksem dalam pengertian kehiponiman dan kuasi-kehiponiman ke dalam delapan kelas utama yaitu (1) hubungan abstrak (abstract relations); (2) ruang (space); (3) alam (physics) ; (4) materi, benda, unsur (matter) ; (5) daya cerap indera (sensation); (6) akal (intellect); (7) kemauan (volition); dan (8) daya cerap batin (affections) (Roget 1962:xiii-xx).
Kamus sebagai perekam kosakata umumnya disusun menurut abjad Kamus Besar Bahasa Indonesia yang secara kuantitatif memuat 63.000 lema masih memerlukan penanganan yang serius dalam hal kekomprehensifan dan kesistematisan hubungan makna di antara leksem-leksemnya (Rahim 1989; Suprana 1990). Bahkan kamus yang sengaja dibuat dengan memperhitungkan hubungan makna yaitu Kamus Sinonim Bahasa Indonesia (Harimurti 1989) masih perlu dibenahi karena tercampurnya hubungan makna hierarkis (kehiponiman, kemeroniman) dan hubungan makna simetris (kesinoniman). Misalnya, kata-kata melihat, celik, memandang, menengok, menengadah, menatap, menentang, meninjau, menilik, menonton, mengetahui, maklum, melawat dan menziarahi dinyatakan sebagai sinonim (Harimurti 1989:87). Dari daftar sinonim yang diberikan dapat kita lihat tiga kelompok yang terpisah sebagai "sinonim" melihat. Pertama melihat, celik. Kedua melihat, memandang, menengok, menengadah, menatap, menentang, meninjau, menilik, menonton, mengetahui, melawat, menziarahi. Ketiga melihat, maklum. Celik merupakan sinonim dari melihat. Hal ini dapat kita pertentangkan dengan buta. Memandang, menengok, menengadah, menatap, menentang, meninjau, menilik, menonton, melawat, menziarahi merupakan hiponim dari melihat. Walaupun begitu, sebetulnya ada pengelompokan berdasarkan komponen maknanya. Misalnya, melawat, menziarahi tentu saja dapat dipisahkan dari memandang dan menatap. Melawat, menziarahi berkomponen mendatangi sasaran, sedangkan memandang dan menatap ± mendatangi sasaran.
Maklum tidak dapat dikatakan mempunyai hubungan kesinoniman maupun kehiponiman dengan melihat. Bahkan dalam kata kepala maklum tidak terdapat kata melihat sebagai sinonimnya (Harimurti 1989:87)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Gaffar Ruskhan
"Kontak bahasa yang terjadi antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain akan berpengaruh pada bahasa yang bersangkutan. Kontak bahasa itu tidak dapat dipisahkan dengan kontak budaya yang terjadi, bahkan dipandang sebagai salah satu aspek kontak budaya. Weinreich (1953:5) menyebutkan bahwa pengaruh bahasa lain ke bahasa tertentu merupakan difusi dan akulturasi budaya. Menurut Schuchardt seperti yang dikutip Haugen (1992:198), pengaruh tersebut terlihat pada kosakata yang dipungut oleh bahasa tertentu. Hal itu merupakan ciri keuniversalan bahasa. Tidak ada satu bahasa pun yang luput dari pengaruh bahasa atau dialek lain. Bahasa Inggris yang merupakan bahasa terkemuka, misalnya, memungut tidak kurang dari separuh kosakatanya dari bahasa Latin, Yunani, Skandinavia, dan Perancis (Robins, 1991:438; Gonda, 1973: 26; Moeliono, 1968:441; 1981:162). Bahkan, bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa Eropa yang terbuka terhadap pungutan (Jespersen, 1955; Baugh, 1968; Ahmad, 1992). Masalah pemungutan ke dalam suatu bahasa berkaitan dengan tingkat kedwibahasaan masyarakat yang melakukan perriungutan itu (Haugen, 1950;
1973; Broselow, 1991:200--201). Pada awalnya pemungutan terbatas pada penutur dwibahasawan. Setelah meniadi pungutan ("barang jadi"), penutur ekabahasawan memanfaatkannya meniadi kata sehari-hari (Moeliono, 1989: 162; Samsuri, 1980:58). Hal itu ditandai pula oleh penggunaan dua bahasa secara bergantian dan berturut-turut oleh penutur dwibahasawan atau alih kode (Haugen, 1992:198), baik dalam bentuk sebuah kalimat maupun di antara kalimat sehingga menghasilkan butir pungutan baru ke dalam perbendaharaan bahasanya (Clyne, 1987). Kondisi yang demikian berlaku pula di dalam bahasa Indonesia. Sebagai masyarakat yang multibahasa, alih kode yang menghasilkan pemungutan itu berlangsung dalam kehidupan berbahasa. Hal itu terlihat dengan cukup banyaknya pungutan dari berbagai bahasa, baik dari bahasa asing maupun dari bahasa daerah. Salah satu pungutan itu berasal dari bahasa Arab.
Pengaruh Bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu--yang kemudian bernama Bahasa Indonesia--bersamaan dengan masuk agama Islam ke Nusantara. Berkaitan dengan pengaruh bahasa Arab itu, ada baiknya dikemukakan pandangan tentang masuknya agama Islam ke Nusantara. Ada dua pandangan mengenai masuknya agama Islam ke Nusantara ini. Pandangan pertama mengatakan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara ini pada abad ke-7 (Baried, 1982; Sudarno, 1990; Dasuki et al., 1993; Azmi, 1993; Tiandrasasmita, 1993) dan pandangan lain mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara ini pada abad ke-13 Masehi (Tiandrasasmita, 1993; Abdulgani, 1993)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pinasti Prabandari
"Penelitian dilakukan melalui penelitian kepustakaan, yaitu dengan menggunakan kamus ekabahasa bahasa Perancis dan kamus ekabahasa bahasa Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai padanan dan tipe padanan yang diberikan oleh penyusun kamus.
Pengumpulan data dengan memilih satuan leksikal nomina bahasa Perancis yang mendapat padanan makna kiasan (berlabel kias) dalam Kamus Umum Perancis-Indonesia. Data yang diperoleh berjumlah 86 satuan leksikal dengan 114 padanan.
Penelitian terhadap padanan dilakukan dengan menggunakan teori analisis sem yang dikemukakan oleh Tustescu (1979:75). Penelitian terhadap tipe padanan dilakukan dengan menggunakan teori pembagian tipe padanan oleh Zgusta (1971:319) dan Al-Kasimi (1977:60).
Hasil analisis padanan menunjukkan bahwa 31,58 % dari padanan yang diberikan merupakan padanan yang tepat, 39,47 % padanan kurang tepat dan 28,95 % padanan yang menyimpang. Adapun hasil analisis tipe padanan menunjukkan bahwa 83,33 % dari padanan yang diberikan penyusun kamus menggunakan tipe padanan terjemahan, 14,04 % tipe penjelasan dan 02,64 % tipe padanan terjemahan yang disertai keterangan penjelas.
Tingginya frekuensi pemakaian tipe padanan terjemahan ini menunjukkan bahwa prosedur penyusunan kamus dwibahasa yang dimaksudkan sebagai kamus produksi, yaitu dengan mengutamakan padanan tipe terjemahan, telah dipenuhi oleh penyusun kamus. Namun, sayangnya penyusun kamus masih kurang cermat dalam menyelaraskan satuan leksikal bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran yang makna leksikalnya sama."
Depok: Universitas Indonesia, 1989
S14555
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Rudi Hartono
"[ABSTRAK
Tesis ini akan membahas tentang konsep jogekankei yang ada dalam gaya bahasa
enkyokuhou. Tujuan yang ingin dicapai penulis melalui penelitian ini adalah
memaparkan adanya konsep jougekankei didalam percakapan yang menggunakan
gaya bahasa enkyokuhou yang dilakukan kebanyakan oleh bawahan (buka) kepada
atasan (joshi). Untuk penelitian ini pendekatan yang penulis gunakan adalah
pendekatan kulitatif dengan menggunakan novel Nihon Kogyou Ginkou karya
Ryo Takasugi untuk memahami konsep jougekankei yang ada didalam gaya
bahasa enkyoukuhou. Untuk metode pengumpulan data penulis menggunakan
metode kepustakaan. Untuk menganalisis penulis akan menggunakan dua metode
yaitu Metode Interpretatif dan Metode Deskriptif. Dalam Metode Deskriptif
Analisis ini penulis akan memamparkan hasil pemahaman penulis setelah
menganalisis data agar dapat dipahami oleh pembaca.Metode yang ketiga adalah
metode wawancara. Data yang dianalisis ada sepuluh buah. Secara garis besar
dapat disimpulkan bahwa Engkyokuhou terbagi dalam dua kelompok besar yaitu
enkyokuhou berjenis Gramatikal dan enkyokuhou berjenis Leksikal. Enkyokuhou
berjenis Gramatikal terdapat dua fungsi dan enkyokuhou berjenis Leksikal
terdapat empat fungsi.

ABSTRACT
This thesis will discuss the concept of jogekankei in enkyokuhou figure of speech.
The study aims to describe the jougekankei concept in conversation that
uses jougekankei conducted mostly by subordniates (buka) to their superiors
(joshi). For this research, the writer uses the qualitative approach, by using Nihon
Kogyou Ginkou novel by Ryo Takasugi to to understand the jogekankei concept
in enkyoukuhou figure of speech . To collect the data, the writer uses literary
analysis method. To analyze the data, the writer uses two methods: Interpretative
Method and descriptive methods. When using Descriptive Analysis Method,
the writer describes his understanding of the data . The third data collection
method is interview. There are ten collections of data to be analyzed. In general, it
can be concluded that Engkyokuhou is divided into two major groups, namely
grammatical enkyokuhou and lexical enkyokuhou . Grammatical Enkyokuhou has
two functions and lexical has four functions.;This thesis will discuss the concept of jogekankei in enkyokuhou figure of speech.
The study aims to describe the jougekankei concept in conversation that
uses jougekankei conducted mostly by subordniates (buka) to their superiors
(joshi). For this research, the writer uses the qualitative approach, by using Nihon
Kogyou Ginkou novel by Ryo Takasugi to to understand the jogekankei concept
in enkyoukuhou figure of speech . To collect the data, the writer uses literary
analysis method. To analyze the data, the writer uses two methods: Interpretative
Method and descriptive methods. When using Descriptive Analysis Method,
the writer describes his understanding of the data . The third data collection
method is interview. There are ten collections of data to be analyzed. In general, it
can be concluded that Engkyokuhou is divided into two major groups, namely
grammatical enkyokuhou and lexical enkyokuhou . Grammatical Enkyokuhou has
two functions and lexical has four functions.;This thesis will discuss the concept of jogekankei in enkyokuhou figure of speech.
The study aims to describe the jougekankei concept in conversation that
uses jougekankei conducted mostly by subordniates (buka) to their superiors
(joshi). For this research, the writer uses the qualitative approach, by using Nihon
Kogyou Ginkou novel by Ryo Takasugi to to understand the jogekankei concept
in enkyoukuhou figure of speech . To collect the data, the writer uses literary
analysis method. To analyze the data, the writer uses two methods: Interpretative
Method and descriptive methods. When using Descriptive Analysis Method,
the writer describes his understanding of the data . The third data collection
method is interview. There are ten collections of data to be analyzed. In general, it
can be concluded that Engkyokuhou is divided into two major groups, namely
grammatical enkyokuhou and lexical enkyokuhou . Grammatical Enkyokuhou has
two functions and lexical has four functions.;This thesis will discuss the concept of jogekankei in enkyokuhou figure of speech.
The study aims to describe the jougekankei concept in conversation that
uses jougekankei conducted mostly by subordniates (buka) to their superiors
(joshi). For this research, the writer uses the qualitative approach, by using Nihon
Kogyou Ginkou novel by Ryo Takasugi to to understand the jogekankei concept
in enkyoukuhou figure of speech . To collect the data, the writer uses literary
analysis method. To analyze the data, the writer uses two methods: Interpretative
Method and descriptive methods. When using Descriptive Analysis Method,
the writer describes his understanding of the data . The third data collection
method is interview. There are ten collections of data to be analyzed. In general, it
can be concluded that Engkyokuhou is divided into two major groups, namely
grammatical enkyokuhou and lexical enkyokuhou . Grammatical Enkyokuhou has
two functions and lexical has four functions.;This thesis will discuss the concept of jogekankei in enkyokuhou figure of speech.
The study aims to describe the jougekankei concept in conversation that
uses jougekankei conducted mostly by subordniates (buka) to their superiors
(joshi). For this research, the writer uses the qualitative approach, by using Nihon
Kogyou Ginkou novel by Ryo Takasugi to to understand the jogekankei concept
in enkyoukuhou figure of speech . To collect the data, the writer uses literary
analysis method. To analyze the data, the writer uses two methods: Interpretative
Method and descriptive methods. When using Descriptive Analysis Method,
the writer describes his understanding of the data . The third data collection
method is interview. There are ten collections of data to be analyzed. In general, it
can be concluded that Engkyokuhou is divided into two major groups, namely
grammatical enkyokuhou and lexical enkyokuhou . Grammatical Enkyokuhou has
two functions and lexical has four functions., This thesis will discuss the concept of jogekankei in enkyokuhou figure of speech.
The study aims to describe the jougekankei concept in conversation that
uses jougekankei conducted mostly by subordniates (buka) to their superiors
(joshi). For this research, the writer uses the qualitative approach, by using Nihon
Kogyou Ginkou novel by Ryo Takasugi to to understand the jogekankei concept
in enkyoukuhou figure of speech . To collect the data, the writer uses literary
analysis method. To analyze the data, the writer uses two methods: Interpretative
Method and descriptive methods. When using Descriptive Analysis Method,
the writer describes his understanding of the data . The third data collection
method is interview. There are ten collections of data to be analyzed. In general, it
can be concluded that Engkyokuhou is divided into two major groups, namely
grammatical enkyokuhou and lexical enkyokuhou . Grammatical Enkyokuhou has
two functions and lexical has four functions.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ami Pramesti Jewalani
"Penelitian ini mengkaji pengaruh kelas kata, terhadap akses leksikal penutur bahasa Indonesia dengan mengamati kasus tip-of-the-tongue. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan pengaruh kelas kata terhadap munculnya tip-of-the-tongue serta resolusinya pada penutur bahasa indonesia, menguraikan informasi sintaksis dan informasi leksikal lainnya yang terakses saat tip-of-the-tongue terjadi, serta memerinci posisi informasi sintaksis pada proses akses leksikal. Data diambil melalui eksperimen yang diikuti oleh 85 mahasiswa pascasarjana UI. Tip-of-the-tongue diinduksi menggunakan stimulus berbentuk definisi kata. Uji statistik X 2 dilakukan untuk melihat pengaruh kelas kata terhadap kemunculan dan resolusi tip-of-the-tongue. Transmission deficit hypothesis (Burke dkk., 1991) dan teori independent network (Caramazza, 1997) digunakan untuk menganalisis secara kualitatif data mengenai informasi sintaksis dan informasi leksikal lainnya termasuk kata alternatif. Ditemukan bahwa kelas kata tidak memiliki pengaruh terhadap kemunculan tip-of-the-tongue maupun resolusinya. Namun, informasi kelas kata secara signifikan dapat diketahui oleh partisipan yang mengalami tip- of-the-tongue. Selanjutnya, kata alternatif yang teringat memiliki kelas kata yang sama dengan kata target. Temuan-temuan tersebut mengindikasikan bahwa saat proses akses leksikal, sejalan dengan independent network theory, fitur sintaksis diakses secara terpisah dari fitur fonologis sehingga fitur sintaksis tidak memengaruhi kemunculan tip-of-the-tongue dan resolusinya, namun cukup memengaruhi penutur bahasa Indonesia untuk mengakses kata alternatif dengan kelas kata yang sama.
This study examines word categories influence towards Indonesian speakers lexical access by observing tip-of- the-tongue cases. It aims to convey the influence of word categories towards tip-of-the-tongue emergence and its resolution, to explain syntactic information and other lexical information accessed at the tip-of-the-tongue state, and to detail the position of syntactic information in lexical access process. The data was gained through experiment joined by 85 University of Indonesia postgrad students. Tip-of-the-tongue were induced using definition as the stimuli. Chi-square test was run to analyze the influence of word categories towards tip-of-the- tongue emergence and its resolution. Transmission deficit hypothesis (Burke, 1991) and Independent network theory (Caramazza, 1997) were used to qualitatively analyze the syntactic information and other lexical information including alternate words accessed. It is discovered that word categories don't influence tip-of-the- tongue emergence and its resolution. Nevertheless, target words' syntactic information is significantly accessed by participant. Moreover, the alternate word's categories emerged are mostly equal to the target word's. Those findings indicates that, in line with independent network theory, syntactic features are independently accessed from the access of phonological features. Therefore, syntactic features don't influence the tip-of-the-tongue emergence and its resolution, but enough to affect participants to access same category alternate words."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T52652
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Prisilla
"Dalam skripsi ini saya menganalisis realisasi leksikal onomatope dalam komik bahasa Jerman dan komik bahasa Indonesia. Fokus penelitian saya adalah membandingkan persamaan dan perbedaan realisasi leksikal onomatope yang muncul dalam komik berbahasa Jerman dan realisasi leksikal onomatope yang muncul dalam komik berbahasa Indonesia, dari segi semantik dan fonologi. Skripsi ini terdiri dari empat bab. Teori-teori yang tersaji dalarn bab II terdiri dari teori struktur teks dalam komik dari Noth, teori konsep dasar tanda Peirce, teori penandaan makna dari Humboldt, teori tiruan bunyi dari Gross, serta teori sistem bunyi bahasa Jerman dan sistem bunyi bahasa Indonesia. Hasil dari penelitian yang saya lakukan menunjukkan bahwa, pada realisasi leksikal onomatope dalam komik, baik komik berbahasa Jerman maupun komik berbahasa Indonesia, terdapat persamaan bunyi dominan dan kesan yang ditimbulkan oleh kata-kata onomatope, yang mengacu pada makna referensial yang sama. Kesamaan yang dimiliki oleh kata-kata onomatope berbahasa Jerman maupun onomatope berbahasa Indonesia tersebut, menunjukkan bahwa meskipun dalam kedua bahasa tersebut memiliki tafsir yang berbeda satu sama lain terhadap suatu realita bunyi yang sama, tetap terdapat kemiripan dalam onomatope pada keduanya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S15149
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilma Erfiani Baroroh
"Penelitian ini adalah penelitian semantik leksikal yang bertujuan untuk menemukan persamaan dan perbedaan makna kosakata ranah emosi takut dalam bahasa Arab Al-Qur?an. Teori yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut
adalah teori komponen makna Nida (1975), teori relasi makna dan konfigurasi leksikal (Cruse, 1986, 2004), dan teori komponen esensial emosi dari para ahli
Psikologi, yaitu Mesquita, Frijda, dan Scherer (2000), serta Berry et. al (2011). Dari tujuh kosakata ranah emosi takut dalam Al-Qur?an yang dianalisis, dihasilkan relasi hiponimi, sinonimi, dan oposisi. Leksem  /al-khauf/ menjadi hiperonim dari keenam leksem lainnya. Takut kepada Allah menjadi salah satu komponen makna penyebab emosi takut yang sangat berpengaruh hebat
bagi kehidupan manusia. Hal ini karena dalam perspektif Al-Qur?an, takut yang sebenarnya adalah takut yang dirasakan oleh orang beriman yang berpengaruh
positif bagi kehidupannya baik di dunia dan akhirat;The research is a lexical semantic one that aims to figure out similiarities and differences of the meaning of emotional domain vocabulary of fear in Qur?anic
Arabic. The theory used to achieve such an objective is Nida?s theory of meaning component (1975), meaning relation and lexical configuration (Cruse, 1986,
2004), and essential emotion component theory by experts in psychology, respectively Mesquita, Frijda, and Scherer (2000), and Berry et. al. (2011). From
the seven emotional domain vocabularies of fear in the Qur?an that are analyzed, hyponym, synonym, and oppositional relation are generated. Lexeme  /alkhauf/ becomes the hyperonim of the other six lexemes. Fear of Allah becomes one of the meaning components that trigger the emotion of fear which is
tremendously influential to human?s life. This is because in Qur?anic perspective, the real fear is the one experienced by the faithful that would bring about positive impact in his/her life in this world and in the afterlife."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T42383
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andy Bayu Nugroho
"Pemarkah gaya bahasa (PGB) adalah tanda atau fenomena kebahasaan khusus dalam wacana yang digunakan oleh seorang pengarang untuk mengungkapkan maksud tertentu dan yang memungkinkan peneliti atau pembaca untuk mengidentifikasi atau mengenali gaya bahasanya. Penelitian ini merupakan studi kasus mengenai PGB dalam swaterjemah karya sastra. Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan variasi PGB TSu dan TSa yang berdampak pada persepsi ideologis pengarang-penerjemah. Penelitian ini menggunakan rancangan yang sesuai dengan metode kualitatif dengan analisis wacana kritis atas novel The Question of Red sebagai TSu dan novel Amba sebagai TSa. Data penelitian berupa pemarkah gaya bahasa yang termasuk kategori leksikal di dalam TSu dan terjemahannya di dalam TSa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ungkapan dengan pola PGB tertentu di dalam TSu diterjemahkan menjadi ungkapan dengan pola PGB yang sama, menjadi ungkapan dengan pola PGB yang berbeda, menjadi ungkapan dengan pola PGB yang diperluas atau direduksi, atau tidak diterjemahkan. Fenomena ini disebut sebagai variasi PGB yang dapat diklasifikasikan menjadi (1) invariasi pemarkah, (2) ekstensi pemarkah, (3) reduksi pemarkah, (4) transposisi pemarkah, (5) penambahan pemarkah, dan (6) eliminasi pemarkah. Sebagai sebuah penciptaan ulang novel Amba mengalami sejumlah besar pengubahan pola PGB kategori leksikal. Namun, secara umum narasi ideologis yang dibangun tidak berubah meskipun variasi eliminasi pemarkah mengakibatkan banyak kategori leksikal yang mengandung persepsi ideologis pengarang penerjemah tidak diungkapkan di dalam TSa.

Style markers are specific linguistic markers or phenomena in a group of discourse used by an author to achieve certain intentions and allow researchers or readers to identify or recognize his/her style. This research is a case study of the style markers in a literary self-translation. The purpose of this study is to identify variations of the style markers of the ST and TT which affects the ideological perception of the self-translator. This study uses a qualitative method design by applying a critical discourse analysis on the novel The Question of Red as the ST and Amba as the TT. The research data are in the form of lexical category markers in the ST and their translations in the TT. The results show that expressions with certain style markers patterns in the TT are translated in various ways, such as translated into expressions with the same patterns, translated into expressions with different patterns, translated with extension or reduction of the patterns, or left untranslated. These phenomena can be classified into six variations of style markers as (1) invariance, (2) extension, (3) reduction, (4) transposition, (5) addition, and (6) elimination of the markers. As a re-creation, Amba undergoes a large number of variations of lexical categories of style markers. However, in general the ideological narrative constructed does not change even though elimination of markers results in the presence of many lexical categories containing ideological perceptions of the self-translators that are not expressed in the TSa.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>