Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161228 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dede Liman
"Telah dilakukan penelitian tentang manfaat dari pemeriksaan Tomografi komputer untuk mendeteksi hidrosefalus anak pada stadium dini. Penelitian dilakukan di bagian Radiology RSCM periode 1 Januari 1988 sampai 31 Desember 1990, terdapat sejumlah 83 penderita yang dilakukan distribusi menurut umur 0-12 tahun, jenis kelamin, jenis hidrosefalus, letak sumbatan, penyebab sumbatan dan derajat hidrosefalus.
Dari 62 penderita yang dapat diukur derajatnya, dilakukan penelitian statistik hubungan korelasi dan regresi dengan pengukuran kepala dari skanogram Tomografi komputer ( yang telah dilakukan konversi). Ternyata ukuran biparietal, anteroposterior, tinggi I dan tinggi II berhubungan bermakna dengan derajat hidrosefalus. Untuk umur di bawah 2 tahun, diameter anteroposterior paling baik untuk mendeteksi hidrosefalus dini dengan batas terbawah sebesar mean dari standar Schmid, sedangkan untuk umur 2 sampai 12 tahun diameter tinggi I merupakan yang terbaik dengan batas terbawah sebesar mean dikurangi satu standar deviasi.

The use of Computed tomography had been discussed for the detection of hydrocephalus in children in the department of Radiology, University of Indonesia, Cipto Mangunkusumo Hospital in the period of January 1988 till December 1990 recently.
There were 83 patients that had been distributed into age from 0 till twelve years old, sex distribution, type of hydrocephalus, site of obstruction, cause of obstruction and the grading of hydrocephalus.
Grading of hydrocephalus had been detected in 62 patients and correlated with statistical study with the head measurement from the tomographic scannogram that had been conversed primarily. It was showed that biparietal, anteroposterior, and cephalocaudal diameter had correlated with the grading.
For the age of under 2 years old, the anteroposterior diameter got very highly correlation to detect early stage of hydrocephalus with the limit above the normal Schmid standard, and for 2 years till twelve years old, the cephalocaudal diameter ( measure from tuberculum of cella to the point of junction between sagital and coronal suture ) was very dependable with the limit above the normal Schmid minus one standard deviation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Josef Parsaulian
"Di negara-negara maju kanker paru merupakan jenis kanker terbanyak yang didapatkan pada laki-laki dan memperlihatkan peningkatan sejak 40 tahun yang lalu, jauh melebihi kanker lain. Sementara Kekerapan kanker paru belakangan ini mulal menunjukkan kecenderungan menurun menyusul menurunnya konsumsi rokok yang dianggap salah satu penyebab terjadinya kanker paru untuk negara-negara maju.
Di Indonesia menunjukkan hal yang sebaliknya dengan makin banyaknya ditemukan penderita kanker paru dan 80% dari penderita ini adalah perokok. Dikatakan pula lingkungan udara yang tercemar oleh hasil gas buang baik dari pabrik ataupun kendaraan yang makin banyak, merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya kanker paru. Khusus untuk kita di Indonesia dimana masih tingginya kasus Tuberkulosa paru maka lesifibrotik pada jaringan paru, dapat sebagai prediksi timbulnya kanker paru.
Meskipun belum dapat dipastikan faktor mana yang paling berperan tetapi berbagai faktor ini mempertinggi resiko seseorang mendapatkan kanker paru. Di Jakarta sendiri kanker paru menduduki urutan ke 3 atau 4 diantara 10 jenis tumor ganas yang paling sering ditemukan. (16)
Didalam penatalaksanaan kasus kanker paru penting diketahui a) jenis kanker (histopatologis) b) derajat (stadium) penyakit dan c) tampilan (performance status) penyakit tersebut. (16)
Bidang radiologi mempunyai peranan yang sangat besar pada penatalaksanaan ini baik dalam diagnosa maupun untuk penentuan derajat atau stadium penyakit.
Dalam penentuan derajat penyakit ini harus ditentukan eksistensi tumor serta perluasannya, terlibat atau tidaknya kelenjar getah bening dan kemungkinan adanya metastase. Banyak jenis pemeriksaan radiologis yang dapat dimanfaatkan untuk hal ini baik pemeriksaan konvensional ataupun pemeriksaan yang bersifat invasif.
Tomografi komputer merupakan jenis pemeriksaan yang penting dalam bidang radiologi. Dikatakan jenis pemeriksaan ini selain bersifat tidak invasif juga mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan jenis pemeriksaan yang lain, baik didalam mengambarkan eksistensi massa tumor serta perluasannya maupun menilai kemungkinan adanya pembesaran kelenjar getah bening serta metastase."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Wahyu Manunggal
"Latar belakang: Nyeri kepala sekunder karena variasi anatomi pada mukosa hidung, konka, dan septum dikategorikan dalam lampiran pada International Classification of Headache Disorders – 3. Posisi ini berbeda dan lebih lemah dibanding dengan nyeri kepala sekunder akibat rinosinusitis akut atau eksaserbasi akut pada rinosinusitis kronik. Variasi anatomi pada rongga hidung dan sinus paranasal menjadi stimulasi mekanik berupa kompresi antar mukosa intranasal dan perubahan tekanan barometrik dalam rongga sinus. Studi ini bertujuan untuk mengetahui kecenderungan peran variasi anatomi septum deviasi, konka bulosa, dan sinus etmo-maksila (SEM) sebagai faktor risiko nyeri kepala rinogenik
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain potong lintang pada pasien nyeri kepala rinogenik di Departemen THT RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, RSUP Persahabatan dan RSUP Fatmawati periode Desember 2022 – Februari 2023. Parameter yang dinilai adalah skor NPRS, NOSE, dan ESS.
Hasil: Proporsi variasi anatomi septum deviasi sebesar 73,8%, konka bulosa sebesar 52,3%, dan sinus etmomaksila sebesar 47,7% pada pasien nyeri kepala rinogenik di RSCM, RSF, dan RSP yang dievaluasi melalui tomografi komputer sinus paranasal. Terdapat perbedaan rerata yang bermakna antar kelompok derajat septum deviasi dan klasifikasi Mladina terhadap skor NPRS, NOSE, ESS (p<0,05). SEM tipe 2 memiliki rerata skor NPRS yang lebih tinggi dibanding SEM tipe 1 namun tidak bermakna secara statistik. Tipe SEM memiliki perbedaan rerata yang bermakna antar kelompok terhadap skor NOSE dan ESS (p<0,05). Jumlah variasi anatomi dan skor ESS memiliki kecenderungan hubungan yang bermakna terhadap skor NPRS (p<0,05). Odds ratio regresi logistik jumlah variasi anatomi dan skor ESS adalah 4,98E9.
Kesimpulan: Proporsi variasi anatomi septum deviasi ditemukan paling banyak pada populasi nyeri kepala rinogenik. Derajat septum deviasi dan klasifikasi Mladina memiliki kecenderungan terhadap derajat nyeri kepala rinogenik. Tipe SEM memiliki kecenderungan hubungan dengan sumbatan hidung dan gangguan napas saat tidur. Jumlah variasi anatomi dan skor ESS menjadi faktor prediktor untuk derajat nyeri kepala rinogenik.

Background: Secondary headaches due to anatomic variations in the nasal mucosa, turbinates, and septum are categorized in the appendix to the International Classification of Headache Disorders – 3. This position is different and weaker than secondary headaches due to acute rhinosinusitis or acute exacerbations of chronic rhinosinusitis. This study aims to determine the trend of the role of anatomical variations of septum deviation, concha bullosa, and ethmo-maxillary sinus (SEM) as risk factors for rhinogenic headache.
Methods: This study was conducted using a cross-sectional design in rhinogenic headache patients at the ENT Department of RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Friendship Hospital and Fatmawati Hospital for the period December 2022 - February 2023. The parameters assessed were the NPRS, NOSE, and ESS scores.
Results: ¬The proportion of anatomical variations of septum deviation was 73.8%, concha bullosa was 52.3%, and ethmomaxillary sinus was 47.7% in patients with rhinogenic headaches at RSCM, RSF, and RSP which were evaluated by computer tomography of the paranasal sinuses. There was a significant mean difference between the groups with the degree of septum deviation and the Mladina classification on the NPRS, NOSE, and ESS scores (p<0.05). SEM type 2 has a higher average NPRS score than SEM type 1 but it is not statistically significant. The SEM type had a significant difference between groups in the NOSE and ESS scores (p<0.05). The number of anatomic variations and the ESS score tended to have a significant relationship with the NPRS score (p<0.05). The logistic regression odds ratio for the number of anatomic variations and the ESS score is 4.98E9.
Conclusion: The proportion of anatomical variations of septum deviation was found to be the highest in the rhinogenic headache population. The degree of septal deviation and the Mladina classification tend to the degree of rhinogenic headache. The SEM type tends to be associated with nasal obstruction and difficulty breathing during sleep. The amount of anatomic variation and ESS score are predictors for the degree of rhinogenic headache.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kardinah
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
T59049
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Rahman Setiawan
"Latar belakang : Hidrosefalus adalah suatu keadaan terjadinya timbunan cairan serebrospinal (CSS) berlebihan yang disebabkan ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi CSS sehingga mengakibatkan ventrikulomegali dan dapat disertai dengan peningkatan tekanan intrakranial. Salah satu tatalaksana hidrosefalus tersering adalah VP Shunt, yang juga memiliki risiko komplikasi. Indonesia telah dapat membuat sendiri sistem pompa untuk operasi VP Shunt dengan nama INA-shunt. Beberapa penelitian telah meneliti angka komplikasi VP Shunt pada pasien anak, namun belum ada yang meneliti angka komplikasi dengan penggunaan sistem pompa INA-shunt. Tujuan : Mengetahui komplikasi yang terjadi pada pasien anak dengan hidrosefalus dan variasinya yang telah dilakukan operasi VP Shunt dengan pompa INA Shunt beserta faktor yang mempengaruhinya Metode : Penelitian ini bersifat deskriptif retrospektif. Penelitian bersifat multicenter, dengan mengambil data sekunder dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, RSAB Harapan Kita, dan RSUP Sardjito. Pada periode Januari 2018-Desember 2019, terdapat 31 subjek yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Dilakukan penilaian klinis dan radiologis pascaoperasi dalam kurun waktu 1 tahun untuk mengevaluasi adanya komplikasi pada subjek. Hasil : Dari 31 subjek, terdapat komplikasi pada 5 subjek (16%). Komplikasi itu berupa malfungsi shunt proksimal (10%, n=3), shunt exposed (3%, n=1), dan shunt terinfeksi (3%, n=1). Seluruh komplikasi terjadi pada pasien dengan usia < 3 bulan saat dilakukan VP shunt dan 80% komplikasi terjadi < 6 bulan pascaoperasi. Tidak terdapat komplikasi berupa perdarahan subdural. Tidak terdapat hubungan bermakna antara karakteristik subjek dan angka kejadian komplikasi pascaoperasi VP shunt dengan menggunakan pompa INA shunt. Kesimpulan : Angka komplikasi operasi VP Shunt menggunakan sistem pompa INA Shunt adalah minimal. Sistem pompa INA Shunt dapat digunakan untuk operasi VP Shunt pada pasien anak dengan hidrosefalus dan variasinya.

Background: Hydrocephalus is a condition of excessive accumulation of cerebrospinal fluid (CSF) caused by an imbalance between the production and absorption of CSF, resulting in ventriculomegaly and can be accompanied by an increase in intracranial pressure. One of the most common treatments for hydrocephalus is VP Shunt, which also carries a risk of complications. Indonesia has been able to make its own pump system for VP Shunt operation under the name INA-shunt. Several studies have investigated the complication rate of VP shunt in pediatric patients, but none has investigated the complication rate with the use of the INA-shunt pump system. Objective: To determine the complications that occur in pediatric patients with hydrocephalus and its variations who have had VP Shunt surgery with an INA Shunt pump and the factors that influence it. Methods: This research is descriptive retrospective. The research is multicenter, taking secondary data from Cipto Mangunkusumo General Hospital, Harapan Kita Hospital, and Sardjito Hospital. In the period January 2018 – December 2019, there were 31 subjects that met the inclusion and exclusion criteria. Postoperative clinical and radiological assessments were performed within 1 year to evaluate the presence of complications in the subjects.
Results: From 31 subjects, there were complications in 5 subjects (16%). The complications were proximal shunt malfunction (10%, n=3), exposed shunt (3%, n=1), and infected shunt (3%, n=1). All complications occurred in patients < 3 months of age at the time of VP shunt and 80% of complications occurred < 6 months postoperatively. There were no complications such as subdural hemorrhage. There is no significant relationship between the characteristics of the subject and the incidence of postoperative VP shunt complications using an INA shunt pump. Conclusion: The complication rate of VP Shunt operation using the INA Shunt pump system is minimal. The INA Shunt pump system can be used for VP Shunt surgery in pediatric patients with hydrocephalus and its variations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suryo Adi Ari Santosa, supervisor
"Indonesia telah mengadopsi tingkat panduan dosis yang direkomendasikan oleh IAEA BSS 115 untuk beberapa jenis pemeriksaan sejak 2003. Pengukuran dosis masuk permukaan (entrance surface dose /ESD) untuk kepala dan cervical spine dengan menggunakan TLD dilakukan atas 4 pesawat sinar-X pada 3 rumah sakit di Jakarta yang diberi kode 1D, 1F, 1H dan 3H dengan reseptor sistem Kodak CR (computed radiography). Pengukuran ESD juga dilakukan berdasarkan parameter eksposinya menggunakan metode kalkulasi. Juga dilakukan pengukuran ESD pada fantom kepala ANSI dengan tujuan untuk mendapatkan faktor konversi fantom-pasien yang akan berguna dalam pengumpulan data ESD tanpa pasien.
Pelaksanaan penelitian dimulai dari penentuan ukuran standar orang dewasa Indonesia, uji fungsi pesawat sinar-X, preparasi TLD, pengambilan data ESD pasien dan diakhiri dengan pembuatan dan verifikasi fantom kepala ANSI. Sebanyak 20 orang pasien dewasa menjalani pemeriksaan kepala dengan 2 atau 3 proyeksi (AP/PA, lateral dan waters), dan 17 pasien dewasa menjalani pemeriksaan cervical spine dengan 2 proyeksi (AP dan lateral). Pengukuran ESD dengan TLD dengan cara menempatkan TLD pada kulit pasien pada pusat lapangan radiasi.
Dari pengukuran ESD menggunakan TLD pada pasien didapatkan nilai ESD pada kuartil ke-3 sebesar 1.4 mGy mGy, 1.4 mGy, dan 2.1 mGy untuk pemeriksaan kepala AP/PA, lateral, dan waters, serta 1.3 mGy dan 1.4 mGy untuk pemeriksaan cervical spine AP dan lateral. Sedangkan dari metode kalkulasi didapatkan nilai yang lebih tinggi, yaitu 2.7 mGy, 1.8 mGy dan 5.2 mGy untuk pemeriksaan kepala AP/PA, lateral, dan waters, serta 1.5 mGy for AP and 2.3 mGy untuk pemeriksaan cervical spine AP dan lateral. Rasio antara ESD pasien dengan fantom yang disebut faktor konversi fantom didapatkan sebesar 0.64 dan 0.77 untuk skull AP/PA dan lateral.
Dalam penelitian ini, nilai ESD lebih dipengaruhi oleh kebiasaan radiografer dalam penentuan faktor eksposi yang akan digunakan. Meski demikian, nilai ESD yang didapatkan cenderung lebih kecil daripada nilai referensi yang ada. Selain itu penggunaan fantom kepala ANSI akan sangat bermanfaat dalam pengumpulan data ESD mengingat jumlah pemeriksaan kepala cukup jarang.

Indonesia has adopted radiation dose guidance levels recommended by IAEA BSS 115 for several diagnostic examinations since 2003. Measurements of entrance surface dose (ESD) for head and cervical spine using TLD (thermo luminescence dosimeter) were carried out with 4 X-ray machines at 3 hospitals in Jakarta which were coded by 1D, 1F, 1H and 3H with Kodak CR (computed radiography) receptor system. Based on exposure, ESD for these examinations were also determined. ESD measurements were also conducted on ANSI skull phantom aiming to get conversion factors of phantom to patient that will be useful in collecting ESD data without patients.
This study began with determining Indonesian adult standard size, following by X-ray machine performance test, TLDs preparation, patient ESD measurement and ended with making ANSI skull phantom and ESD verification. There 20 adult patients for head examination with 2 or 3 radiography projections (AP/PA, lateral and waters), and 17 adult patients for cervical examination. The ESD was measured by TLD (thermo lunminiscence dosimeter), placed on the patient's skin, at the center of radiation field.
From the patient's ESD measurement using TLDs, the 3rd quartile ESD values were 1.4 mGy mGy, 1.4 mGy, and 2.1 mGy for head examination of AP/PA, lateral, and waters, while for AP and lateral cervical spine were 1.3 mGy and 1.4 mGy. Whereas ESD values from the calculation method based on exposure were higher, i.e. AP/PA, lateral and waters head examinations were 2.7 mGy, 1.8 mGy, and 5.2 mGy respectively, and for AP and lateral cervical spine examination were 1.5 mGy for AP and 2.3 mGy. The ratio between patient ESD and phantom ESD, namely conversion factors, were 0.641 and 0.765 for AP/PA and lateral skull examination.
In this study, ESD values found were more affected by technical habit of the radiographer in setting the exposure condition. In spite of that fact, it was found that these ESD values were still lower than references. Besides that, the usage of inhouse ANSI skull phantom will be beneficial for collecting ESD data considering the low frequency of head examinations.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
T29007
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Lukmana
"ABSTRAK
Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran tomografi komputer (CT Scan) tulang temporal dalam mengevaluasi adanya kolesteatoma dan erosi tulang pada kasus-kasus OMSK tipe bahaya serta mendapatkan informasi-informasi yang bermanfaat sehubungan dengan tindakan operasi yang akan dilakukan.
Metode
Penelitian cross-sectional dengan data prospektif ini menganalisis temuan pemeriksaan tomografi komputerpreoperatif pada 21 pasien OMSK tipe bahaya yang telah didiagnosis secara klinis dan kemudian dinilai kesesuaiannya dengan temuan intraoperatifnya . Data diambil dari Mei 2012 sampai Agustus 2012. Menggunakan tomografi komputer resolusi tinggi (HRCT), tanpa kontras dan potongan yang digunakan aksial dan koronal. Rekonstruksi dilakukan pada irisan 0,6 mm dan 1 mm. Penilaian preoperatif dan intraoperatif meliputi adanya temuan kolesteatoma, erosi pada skutum, osikel, tegmen timpani, kanalis fasialis (pars timpani dan pars mastoid), dinding posterior kavum timpani serta sinus sigmoid. Uji statistik untuk mengetahui kesesuaian antara temuan preoperatif dan temuan intraoperatif menggunakan uji McNemar dan perhitungan nilai Kappa.
Hasil dan diskusi
Kolesteatoma merupakan kelainan yang paling banyak terdeteksi baik dengan irisan 0,6 mm maupun 1 mm, masing-masing didapatkan pada 19 dari 22 sampel telinga dan 18 dari 22 sampel. Urutan kelainan berikutnya yang ditemukan adalah erosi skutum, osikel, dinding posterior kavum timpani, kanalis fasialis, tegmen timpani dan sinus sigmoid. Uji kesesuaian seluruh pemeriksaan preoperatif memakai tomografi komputer dengan irisan 0,6 mm maupun 1 mm dengan temuan intraoperatif memiliki nilai Mc Nemar > 0,05 dan nilai kappa > 0,4. Menandakan adanya kesesuaian yang signifikan antara temuan preoperatif dan intraoperatif.
Kesimpulan
Terdapat kesesuaian antara temuan erosi tulang dan kolesteatom pada tomografi komputer preoperatif dengan temuan operasi otitis media supuratif kronik tipe bahaya. Tingkat kesesuaian antara temuan pemeriksaan preoperatif baik dengan irisan 0,6 mm atau 1 mm dan temuan intraoperatif dinilai tergolong dalam kategori yang cukup baik dan signifikan.

ABSTRACT
Objectives
To determine the role of temporal bone CT scan in evaluation cholesteatom and bone erosions in malignant CSOM patients and getting the important informations associated to surgery planning.
Methods
It?s a cross-sectional study, data taken prospectively, analyzed preoperative CT scan findings in 21 patients with malignant CSOM diagnosed clinically and planned for surgery. Data was taken from Mei 2012 until Agust 2012. Using High Resolution Computed Tomography (HRCT) without contrast with axial and coronal planes. Reconstructed by 0,6 mm and 1 mm slices. Preoperatif CT scan and intraoperative appraisal consist of cholesteatom, scutum erosions, ossicles, tegmen tympani, facialis canal (tympani and mastoid segment), posterior wall of tympanic cavity and sigmoid sinus findings. Statistical test for determining the suitability between preoperative and intraoperative findings calculated with McNemar and Kappa test.
Results and Discussion
Cholesteatom is the most finding either with 0,6 mm or 1 mm slices, consecutive 19 0f 22 and 18 0f 22. The next sequence pathologic findings are scutum erosion, ossicles, posterior wall of tympanic cavity, fascial canal, tegmen tympani and sigmoid sinus. All suitability test preoperative and intraoperative findings had McNemar value test > 0.05 with the Kappa value test > 0.4. This results indicate the preoperative and intraoperative findings are suitable and significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T31953
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Leonard Rudy S
"Tujuan: Untuk menentukan apakah terdapat kesesuaian antara radiografi konvensional proyeksi
oksipitomental buka mulut (1 proyeksi) dengan proyeksi standar yaitu oksipitomental,
oksipitofrontal, dan lateral (3 proyeksi) pada pasien sinusitis dewasa.
Bahan dan Cara: Gambaran radiografi konvensional 1 proyeksi dan 3 proyeksi, dan tomografi
komputer sinus paranasal dari 43 pasien dewasa dengan klinis kecurigaan sinusitis dievaluasi.
Temuan tomografi komputer maupun radiografi konvensional dikelompokkan dalam normal,
sinusitis ringan, sedang dan berat. Dengan menggunakan tomografi komputer sinus paranasal
sebagai baku emas, dihitung sensitifitas, spesifisitas, nilai duga positif dan negatif, kemudian
dicari kesesuaian antara radiografi konvensional 1 proyeksi dengan 3 proyeksi.
Hasil: Radiografi konvensional kurang dapat mendeteksi kasus sinusitis yang keparahannya
ringan. Radiografi konvensional 1 proyeksi terhadap 3 proyeksi dalam menyatakan sinusitis tanpa
spesifikasi lokasi dan keparahan memberikan nilai sensitifitas 72% vs 75%, spesifisitas 71% vs
86%, nilai duga positif 93% vs 96%, dan nilai duga negatif 33% vs 40%. Akurasi keseluruhan
radiografi konvensional 1 proyeksi terhadap 3 proyeksi adalah 72% vs 77%. Tidak didapatkan
perbedaan statistik bermakna antara hasil radiografi konvensional 3 proyeksi dengan 1 proyeksi.
Kesimpulan: Pemeriksaan radiografi konvensional standar sinus paranasal 3 proyeksi pada klinis
kecurigaan sinusitis pada pasien dewasa dapat dibatasi pada proyeksi tunggal oksipitomental
buka mulut saja. Nilai duga negatif radiografi konvensional yang rendah dalam menentukan
sinusitis menyarankan hasil radiografi normal dalam keadaan kecurigaan sinusitis gagal untuk
secara meyakinkan menyingkirkan adanya sinusitis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T58817
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Kurnia Putri
"Latar belakang dan tujuan: Tuli sensorineural adalah penyebab tuli terbanyak pada anak-anak, akibat gangguan antaran impuls saraf pada koklea. Teknik implann koklea berkembang untuk mengatasi kelainan ini. Tomografi komputer resolusi tinggi memberikan peranan penting untuk mengevaluasi struktur koklea dan mengukur panjang duktus koklea untuk kepentingan pemasangan implan. Pengukuran dengan cara manual memiliki kekurangan waktu pengerjaan yang lama. Terdapat cara pengukuran dengan menggunakan rumus panjang duktus koklea yang dikembangkan oleh salah satu merk implan. Apabila terdapat korelasi antara kedua cara pengukuran tersebut, maka cara pengukuran dengan rumus panjang koklea dapat digunakan secara umum untuk semua merk implan koklea.
Metode: Penelitian deskriptif dengan menggunakan uji korelasi pada rerata panjang duktus koklea pasien dengan tuli sensorineural menggunakan pengukuran secara manual dan rumus panjang koklea yang dilakukan pemeriksaan tomografi komputer resolusi tinggi tulang temporal di Departemen Radiologi RSCM terhadap 86 sampel penelitian.
Hasil: Dengan uji korelasi Pearson, didapatkan nilai p

Background and Objective: Sensorineural hearing loss is the most common cause of deafness in children, due to impaired nerve impulses in the cochlea. Cochlear implant technique develops to overcome this disorder. High resolution computed tomography provides an important role in evaluating the cochlear structure and measuring the length of the cochlear ducts for the benefit of implantation. Manual measurements have a short time lapse. There is a method of measurement using the cochlear duct length equation developed by one of the implant brands. If there is a correlation between the two methods of measurement, then the method of measurement by cochlear length equation can be used generally for all brands of cochlear implants
Methods: A Descriptive correlation study of the mean length of the patient 39 s cochlear duct with sensorineural hearing loss using manual measurement and cochlear length equation performed by high resolution computed tomography examination of the temporal bone at Radiology Department of Cipto Mangunkusumo hospital for 86 research samples.
Results: With Pearson correlation test, obtained p value
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratri Dianti
"Tujuan penelitian. Mengevaluasi gambaran morfologi otak serta menilai korelasi antara kelainan anatomi temuan tomografi komputer otak dan kelainan elektroensefalografi pada penderita epilepsi parsial dewasa.
Bahan dan cara Populasi target adalah penderita epilepsi parsial dengan usia onset 17 tahun keatas yang berobat di bagian Neurologi FKUI-RSUPNCM selama tahun 1996 1999. Jumlah percontoh yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 24 penderita. Telah dilakukan pembacaan hasil tomografi komputer otak oleh 2 dokter ahli radiologi diagnostik dan pembacaan elektroensefalo-grafi oleh 1 dokter ahli neurologi. Penilai tidak saling mengkomunikasikan hasil pemeriksaannya.
Metodologi. Untuk menguji hipotesa korelasi kelainan temuan tomografi komputer otak dengan kelainan fokal elektroensefalografi dipakai analisa dengan uji statistik Chi-Square, Cohen Kappa maupun Rank Spearman.
Hasil. Tomografi Komputer mampu mendeteksi perubahan morfologi otak paling sedikit 25% pada penderita epilepsi parsial dewasa. Yang dapat dianggap penyebab epilepsi parsial pada penelitian ini adalah infark di frontal kanan, kista araknoid temporal kiri dan infark di frontotemporal kanan Secara kwantitatif tidak terdapat korelasi kelainan anatomi TK otak dengan kelainan fokal EEG pada penderita epilelsi parsial dengan serangan awal usia dewasa."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57293
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>