Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 127766 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Endang Susalit
"Penderita gagal ginjal kronik progresif yang tidak dapat diatasi dengan pengobatan konservatif akan mengalami gagal ginjal tahap akhir. Untuk kelangsungan hidupnya, penderita gagal ginjal tahap akhir memerlukan terapi pengganti yang dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, atau transplantasi ginjal.
Penanggulangan gagal ginjal di Indonesia belum mencapai hasil yang diinginkan, walaupun sudah dilakukan sejak tahun 1960-an, karena sarana yang ada sekarang masih terbatas (3). Transplantasi ginjal yang berhasil sebenarnya merupakan cara penanggulangan gagal ginjal tahap akhir yang ideal karena dapat mengatasi seluruh jenis penurunan fungsi ginjal (3). Selain itu, transplantasi organ tubuh menipakan prosedur klinik yang sudah diterima di seluruh dunia.
CycIosporine-A (siklosporin) merupakan obat imunosupresif pilihan pada transplantasi organ karena sudah berhasil meningkatkan angka ketahanan hidup (survival) organ, tanpa menimbulkan supresi sumsum tulang. Meskipun pada transplantasi ginjal siklosporin telah dapat meningkatkan angka ketahanan hidup ginjal dan penderita secara dramatis, obat ini mempunyai beberapa efek samping, antara lain yang terpenting adalah efek nefrotoksisitas.
Efek nefrotoksisitas siklosporin dalam klinik dapat terjadi secara akut dan kronik. Faktor yang berperan pada tipe akut adalah penurunan aliran darah ginjal sebagai akibat vasokonstriksi arterial aferen glomerulus, sedangkan pada tipe kronik disebabkan oleh iskemia kumulatif sebagai akibat vasokonstriksi arleriol aferen glomerulus pada fase akut dan lesi iskemik vaskuler yang berupa arteriolopati sebagai akibat pengaktifan trombosit lokal. Efek nefrotoksisitas sebagai akibat penggunaan siklosporin jangka panjang yang berupa arteriolopati sukar dihambat, sedangkan efek vasokonstriksi akin siklosporin masih mungkin dikurangi; misalnya dengan penambahan obat seperti antagonis kalsium yang dapat menghambat efek vasokonsriksi tersebut.
Antagonis kalsium dikenal sejak tiga dekade yang lalu. Namun, baru pada dekade terakhir manfaat golongan obat ini terhadap fungsi ginjal diselidiki secara lebih mendalam. Antagonis kalsium termasuk kedalam golongan obat antihipertensi dan pemakaiannya semakin banyak di Indonesia.
Beberapa penelitian sudah dilakukan dengan mencoba memberikan antagonis kalsium bersama siklosporin, baik pada hewan percobaan maupun dalam penelitian klinik. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa antagonis kalsium verapamil dan diltiazem agaknya bermanfaat mengurangi nefrotoksisitas yang disebabkan oleh siklosporin, walaupun faktor yang berperan belum diketahui secara pasti. Antagonis kalsium verapamil dan diltiazem dilaporkan dapat meninggikan kadar siklosporin dalam darah resipien, yang disebabkan oleh metabolisme kompetitif obat tersebut dan siklosporin pada sistem enzim sitokrom P-450 dalam hepar. Antagonis kalsium golongan dihidropiridin, kecuali nikardipin, dilaporkan tidak mengganggu metabolisme siklosporin karena golongan obat ini tidak terlalu lerkonsentrasi dalam hepar.
Amlodipin yang termasuk kedalam golongan dihidropiridin generasi terbaru, mempunyai beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Kelebihan tersebut di anlaranya adalah mempunyai rasio selektivitas vaskuler yang sangat tinggi dan dosis hanya sekali sehari, serla tidak menimbulkan efek inotropik negatif, aritmia, dan takikardia. Selain itu. efek samping seperti sakit kepala, pusing, dan edema lebih ringan dan lebih jarang terjadi. Amlodipin dengan dosis 5-10 mg sekali sehari sudah dibuktikan dapat menaikkan laju filtrasi glomerulus 13% dan aliran plasma ginjal efektif 19%, serla mcnurunkan resislensi vaskuler ginjal 25% pada penderita hipertensi esensial (18). Seperti diketahui, laju filtrasi glomerulus dan aliran plasma ginjal efektif menggambarkan fungsi glomerulus dan tubulus. Secara keseluruhan kedua fungsi tersebut dapat menggambarkan fungsi ginjal..."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
D369
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Susalit
"ABSTRAK
Penderita gagal ginjal kronik progresif yang tidak dapat diatasi dengan pengobatan konservatif akan mengalami gagal ginjal tahap akhir. Untuk kelangsungan hidupnya, penderita gagal ginjal tahap akhir memerlukan terapi pengganti yang bisa berupa hemodialisis, dialisis peritoneal atau transplantasi ginjal (1,2).
Penanggulangan gagal ginjal di Indonesia belum mencapai hasil yang diinginkan, walaupun sudah dilakukan sejak tahun 1960-an, karena sarana yang ada sekarang masih terbatas (3). Transplantasi ginjal yang berhasil sebenarnya merupakan cara penanggulangan gagal ginjal tahap akhir yang ideal karena dapat mengatasi seluruh jenis penurunan fungsi ginjal (3). Selain itu, transplantasi organ tubuh merupakan prosedur klinik yang sudah diterima di seluruh dunia (4).
Cyclosporine-A (siklosporin) merupakan obat imunosupresif pilihan pada transplantasi organ karena sudah berhasil meningkatkan angka ketahanan hidup (survival) organ tanpa menimbulkan supresi sumsum tulang (5). Meskipun pada transplantasi ginjal siklosporin telah dapat meningkatkan angka ketahanan hidup ginjal dan penderita secara dramatis (6), obat ini mempunyai beberapa efek camping, antara lain yang terpenting adalah efek nefrotoksisitas (7).
Efek nefrotoksisitas siklosporin dalam klinik dapat terjadi secara akut dan kronik. Mekanisme yang paling sering dikemukakan pada tipe akut adalah penurunan aliran darah ginjal akibat vasokonstriksi arterial aferen glomerulus. Sedangkan pada tipe kronik disebabkan oleh iskemia kumulatif, akibat vasokonstriksi arteriol aferen glomerulus pada fase akut dan lesi iskemik vaskuler yang berupa arteriolopati, akibat pengaktifan trombosit lokal (8). Efek nefrotoksisitas akibat penggunaan siklosporin jangka panjang yang berupa arteriolopati sukar dihambat, sedangkan efek vasokonstriksi akut siklosporin masih mungkin dikurangi, misalnya dengan penambahan obat seperti antagonis kalsium yang bisa menghambat efek vasokonsriksi lersebut.
Antagonis kalsium dikenal sejak tiga dekade yang lalu, namun baru pada dekade terakhir golongan obat ini diselidiki secara lebih mendalam tentang manfaatnya terhadap fungsi ginjal (9). Antagonis kalsium [ermasuk dalam golongan obat antihipertensi yang pemakaiannya semakin banyak di Indonesia (10).
Beberapa penelitian sudah dilakukan dengan mencoba memberikan antagonis kalsium bersama siklosporin, baik pada hewan percobaan maupun dalam penelitian klinik (11-13). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa antagonis kalsium verapamil dan diltiazem agaknya bermanfaat mengurangi nefrotoksisitas yang disebabkan oleh siklosporin, walaupun faktor yang berperan belum diketahui secara pasti. Antagonis kalsium verapamil dan diltiazem dilaporkan dapat meninggikan kadar siklosporin dalam darah resipien, yang disebabkan oleh metabolisme kompetitif pada sistem enzim sitokrom P-450 dalam hepar (14). Antagonis kalsium golongan dihidropiridin, kecuali nikardipin (15), dilaporkan tidak mengganggu metabolisme siklosporin, karena golongan that ini tidak terlalu terkonsentrasi dalam hepar (16).
Amlodipin yang termasuk dalam golongan dihidropiridin generasi terbaru, mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Kelebihan tersebut di antaranya adalah mempunyai rasio selektivitas vaskuler yang sangat tinggi dan dosis hanya sekali sehari, serta tidak menimbulkan efek inotropik negatif, aritmia dan tahikardia. Selain itu, efek samping seperti sakit kepala, pusing dan edema lebih ringan, dan lebih jarang terjadi (17). Amlodipin dengan dosis 5-10 mg sekali sehari sudah dibuktikan dapat menaikkan laju filtrasi glomerulus 13% dan aliran plasma ginjal efektif 19%, serta menurunkan resistensi vaskuler ginjal 25% pada penderita hipertensi esensial (18). Seperti diketahui laju filtrasi glomerulus dan aliran plasma ginjal efektif menggambarkan fungsi glomerulus dan tubulus, dan secara keseluruhan kedua fungsi tersebut juga menggambarkan fungsi ginjal.
Siklosporin menyebabkan gangguan perfusi ginjal kemungkinan besar dengan Cara peningkatan tonus arteriol aferen glomerulus, karena obat ini sendiri bersifat vasokonstriktor (19). Siklosporin juga bisa menimbulkan efek vasokonstriksi tersebut secara tidak langsung, misalnya melalui stimulasi sistem renin-angiotensin (11) dan atau stimulasi sistem saraf simpatis (20), melalui stimulasi produksi hormon vasokonstriktor endotelin (21) atau akibat perubahan keseimbangan produksi prostaglandin lokal antara yang bekerja sebagai vasokonstriktor dan vasodilator (22). Efek nefrotoksik akut siklosporin yang khas adalah penurunan aliran plasma ginjal efektif dan laju filtrasi glomerulus sekitar 40 %, dan ini berarti bahwa fungsi ginjal transplan menjadi sekitar 60 % dari nilai semula (7). Penurunan kedua parameter ini umumnya sebanding sehingga fraksi filtrasi biasanya tidak banyak berubah (23).
Penelitian yang dilakukan pada hewan percobaan menunjukkan bahwa antagonis kalsium meningkatkan aliran plasma ginjal efektif dan laju filtrasi glomerulus dengan cara pengurangan efek vasokonstriksi berbagai vasokonstriktor seperti angiotensin ll, norefinefrin, tromboksan, dan endotelin pada arterial aferen tanpa mempengaruhi tonus arteriol eferen (16).
Pada resipien transplantasi ginjal yang mendapat siklosporin, penambahan antagonis kalsium amlodipin diharapkan akan dapat mengurangi efek vasokonstriksi arteriol aferen oleh siklosporin tersebut. Sampai saat ini belum ada data mengenai manfaat antagonis kalsium amlodipin terhadap penghambatan penurunan fungsi ginjal pada resipien transplantasi ginjal yang mendapat siklosporin. Selain itu, pengetahuan tentang mekanisme yang mendasari manfaat tersebut sangat menarik untuk diselidiki. Andaikan memang benar bermanfaat, namun masih belum diketahui pula apakah penghambatan penurunan fungsi ginjal oleh amlodipin tersebut melalui penurunan sintesis berbagai vasokonstriktor ataukah melalui cara lain."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
D374
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Utami Susilowati
"Latar Belakang: Transplantasi ginjal telah menjadi pilihan utama terapi bagi pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir, baik yang berasal dari donor hidup maupun donor jenazah. Transplantasi ginjal memiliki risiko yang lebih rendah baik untuk mortalitas maupun kejadian kardiovaskular, serta memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan pasien yang menjalani dialisis kronis, baik hemodialisis maupun dialisis peritoneal. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesintasan transplantasi ginjal di RSUPN Ciptomangunkusumo tahun 2010-2017.
Metode: Penelitian Desain penelitian ini adalah kohort retrospekstif menggunakan data rekam medis pasien transplantasi ginjal. Sampel penelitian adalah resipien transplantasi ginjal ≥ 18 tahun di di RSUPN Ciptomangunkusumo tahun 2010-2017, yaitu sebanyak 548 pasien.
Hasil: penelitian probabilitas kesintasan resipien transplantasi ginjal selama pengamatan 5 tahun adalah 84,1% Hasil analisis dengan regresi cox menunjukkan bahwa resipien dengan donor yang berusia ≥ 40 tahun lebih cepat 1,487 kali untuk meninggal dibandingkan resipien dengan donor yang berusia < 40 tahun, resipien yang berusia ≥ 45 tahun lebih cepat 2,356 kali untuk meninggal dibandingkan pasien yang berusia <45 tahun, lama hemodialisis ≥ 24 bulan lebih cepat 2,356 kali untuk meninggal dibandingkan pasien yang lama hemodialisisnya < 24 bulan, skor charlson > 1 lebih cepat 2,861 kali untuk meninggal dibandingkan pasien yang skor charlson ≤ 1, resipien yang memiliki DM lebih cepat 2,947 kali untuk meninggal dibandingkan dengan yang tidak DM.
Simpulan: Kesintasan lima tahun di Indonesia cukup baik. Insiden kematian relatif tinggi, menyebabkan penurunan kelangsungan hidup pasien lima tahun. Namun, hasil keseluruhan masih sebanding dengan negara-negara berkembang lainnya.

Background: Kidney transplantation has become the main choice of therapy for patients with end-stage kidney disease, both from living donors and donor bodies. Kidney transplantation has a lower risk for both mortality and cardiovascular events, and has a better quality of life than patients who undergo chronic dialysis, both hemodialysis and peritoneal dialysis. This study aims to determine the factors that influence the survival of kidney transplants in Ciptomangunkusumo Hospital in 2010-2017.
Methods: A retrospective cohort study with total consecutive sampling is performed on all kidney transplant recipients in Cipto Mangunkusumo Hospital from March 2019 until May 2019. Data is acquired by analysing medical records and contacting patients directly. Each recipient is followed from the day of transplant until death or december 2018, whichever comes first. Five-year death and patient survival is documented. Kaplan-Meier Curve is used to describe patient survival until the end of study and analysis with Cox regression.
Result: which was as many as 548 patients. The results of this study indicate the probability of survival of kidney transplant recommendations during the 5-year observation was 84.1%. The results of the analysis with Cox regression showed that donors aged ≥ 40 years were 1,487 faster to die than recipients with donor aged <40 years, prescriptions aged ≥ 40 years 2,356 times faster to die than patients aged <40 years, duration of hemodialysis ≥ 24 months faster 2,356 times to die compared to patients with long hemodialysis <24 months, Charles score> 1 faster 2,861 times to die than patients who score charlson ≤ 1, the recipients who have DM are 2.97 times faster to die compared to those without DM.
Conclusions: The outcome of five-year death in Indonesia is very satisfactory. The incidence of death is relatively high, causing a decline in five-year patient survival. However, the overall results are still comparable to other developing countries.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53713
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boediono
"Dengan meningkatnya kasus kecelakaan lalu lintas, makin meningkat pula korban yang datang ke Instalasi Gawat Darurat.Bila a kita lihat laporan dari kepolisian yang menyebutkan jumlah kecelakaan lalu lintas dari bulan Januari 1985 sampai dengan Maret 1986 di daerah DKI Jakarta Raya sebesar 8.641 kasus yang menghasilkan korban sebesar 8.560 baik luka ringan, berat, ataupun korban meninggal, maka trauma tumpul ginjal yang merupakan bagian dari trauma tumpul secara keseluruhan akan cukup tinggi juga angkanya [2]. Sebagai gambaran j uml ah trauma tumpul ginjal di RSCM selama tahun 1984 dan 1985 sejumlah 42 kasus [13], tahun 1986 sejumlah 41 kasus, sedangkan tahun 1987 terdapat 52 kasus.
Untuk menegakkan diagnosis trauma tumpul ginjal selain di pert ukan pemeriksaan fisik yang cermat di perlukan juga pemeriksaan pembantu berupa laboratorium terutama sedimen urine dan pemeriksaan radiologi yang sangat penting artinya. PETERSON dan SCHULZE (1986) menyebutkan bahwa suatu yang mahal dan menunda waktu saja bila melakukan pemeriksaan radiologis secara menyeluruh pada kasus-kasus trauma dengan hematuria [II].
MAKSUD DAN TUJUAN, Maksud tulisan ini adalah meninjau beberapa kepustakaan tentang trauma tumpul ginjal, mengevaluasi gejala klinis hematuria baik secara mikro ataupun gross dengan tanda syok ataupun tidak yang mengikuti trauma tumpul ginjal di RSCM selama tahun 1987 dengan tujuan mencari hubungan antara kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan BNO-IVP dan derajat cedera ginjal yang terjadi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T860
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryogi Rama Putra
"Latar Belakang: Proses hiperfiltrasi yang ditandai sebagai perubahan dinamik Renal Resistive Index (RRI) merupakan mekanisme adaptasi ginjal pasca berkurangnya massa nefron sudah banyak dielaborasi pada ginjal sisa donor transplan pasca nefrektomi. Belum diketahui bagaimana proses hiperfiltrasi dan rentang nilai RRI normal pada ginjal allograft. Tujuan: Membandingkan proses hiperfiltrasi berdasarkan perubahan dinamis nilai RRI, Peak systolic velocity (PSV), and End Diastolic Velocity (EDV) pada pemeriksaan ultrasonografi pasca operasi hingga satu bulan pasca transplantasi pada kelompok ginjal allograft dan ginjal sisa donor pasangan resipien-donor transplantasi ginjal. Metode: Studi prospektif pada 62 subyek yang merupakan 31 pasangan donor dan resipien transplantasi ginjal yang menjalani operasi transplantasi ginjal di RS dr. Ciptomangunkusumo dari Juli 2023 hingga Februari 2024. Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan sebelum operasi, hari ke-7 setelah operasi, dan hari ke-30 setelah operasi. Nilai RRI, PSV, dan EDV dinyatakan dalam nilai rerata dan simpangan baku, dengan perbedaan kedua kelompok nilai menggunakan uji t berpasangan. Hasil: Nilai RRI a. segmental ginjal allograft dan ginjal sisa donor secara berturut-turut saat sebelum operasi, tujuh hari pasca operasi, dan tiga puluh hari pasca operasi adalah 0,61 ± 0,06 vs 0,61 ± 0,06 (p < 0,52), 0,62 ± 0,06 vs 0,68 ± 0,06 (p < 0,001), 0,61 ± 0,06 vs 0,67 ± 0,06 (p < 0,001). Nilai RRI a. arcuata ginjal allograft dan ginjal sisa donor secara berturut-turut saat sebelum operasi, tujuh hari pasca operasi, dan tiga puluh hari pasca operasi adalah 0,56 ± 0,05 vs 0,56 ± 0,05 (p < 0,83), 0,58 ± 0,06 vs 0,62 ± 0,07 (p < 0,05), 0,57 ± 0,06 vs 0,62 ± 0,06 (p < 0,001). Tidak terdapat perbedaan signifikan nilai PSV dan EDV kedua grup. Kesimpulan: Hiperfiltrasi pada ginjal allograft terjadi dengan pola serupa dengan ginjal residu donor transplantasi, dengan perbedaan nilai rerata RRI pada kedua kelompok.

Background: Hyperfiltration, characterized as a dynamic change in the Renal Resistive Index (RRI), is an adaptation mechanism following reduction in nephron mass, has been elaborated on residual kidneys of transplant donors. It is not yet known how the hyperfiltration process is and the range of normal RRI values in allograft kidneys. Objective: To study the difference of RRI, Peak Systolic Velocity (PSV), and End Diastolic Velocity (EDV) dynamic changes of the allograft kidney and the remaining kidney of the donor, pairs of recipient-donor before transplantation until up to one month after transplantation Method: Prospective study of 62 subjects who were 31 pairs of donor and kidney transplant recipients who underwent kidney transplantation at dr. Ciptomangunkusumo- Hospital from July 2023 - February 2024. Ultrasonography is carried out before surgery, seventh day after surgery, and thirtieth days after surgery. RRI, PSV, and EDV is expressed in mean and standard deviation, with differences between two groups are compared using t-paired test. Results: Comparison of RRI value of segmental artery of allograft kidney and donor residual kidney, before surgery, seventh day, and thirtieth day post nephrectomy/transplantation consecutively are 0,61 ± 0,06 vs 0,61 ± 0,06 (p < 0,52), 0,62 ± 0,06 vs 0,68 ± 0,06 (p < 0,001), 0,61 ± 0,06 vs 0,67 ± 0,06 (p < 0,001). Comparison of RRI value of arcuate artery of allograft kidney and donor residual kidney, before surgery, seventh day, and thirtieth day post nephrectomy/transplantation consecutively are 0,56 ± 0,05 vs 0,56 ± 0,05 (p < 0,83), 0,58 ± 0,06 vs 0,62 ± 0,07 (p < 0,05), 0,57 ± 0,06 vs 0,62 ± 0,06 (p < 0,001). No differences of PSV and EDV values between two groups. Conclusion: Hyperfiltration in allograft kidneys occurs in a similar pattern to transplant donor residual kidneys, with significant differences in mean RRI values between two groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Melody Febriana Andardewi
"Latar Belakang: Pruritus menjadi salah satu gejala yang dialami oleh pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK). Pruritus yang berasosiasi dengan PGK mayoritas terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis (HD) dan dapat terjadi pada resipien transplantasi ginjal (RTG). Gejala pruritus yang tidak ditangani dengan baik dapat memberikan dampak terhadap kualitas hidup. Belum terdapat penelitian yang membandingkan proporsi derajat keparahan pruritus, kualitas hidup, dan korelasi berbagai faktor biokimia antara pasien HD dengan RTG di Indonesia. Tujuan: Membandingkan derajat keparahan pruritus, kualitas hidup, serta korelasi kadar hs-CRP, kalsium, fosfat, dan e-GFR antara pasien PGK yang menjalani HD dengan RTG. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang. Setiap SP dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium. Skala gatal 5 dimensi (5-D) digunakan untuk evaluasi derajat keparahan pruritus dan Indeks Kualitas Hidup Dermatologi (IKHD) digunakan dalam menilai kualitas hidup. Analisis statistik yang sesuai dilakukan untuk membuktikan hipotesis penelitian dengan nilai kemaknaan yang digunakan adalah p <0,05. Hasil: Dari 30 SP di masing-masing kelompok, proporsi pruritus derajat sedang-berat sebesar 76,7% pada kelompok HD sedangkan pada kelompok RTG sebanyak 83,3% mengalami pruritus derajat ringan (RR = 4,6; IK 95% = 2,02–10,5; p <0,001). Median skor IKHD pada kelompok HD adalah sebesar 5 (3–6) sedangkan pada kelompok RTG sebesar 3 (2–4) (p <0,001). Terdapat korelasi positif yang bermakna antara hs-CRP dengan skor skala gatal 5-D pada kelompok HD (r = 0,443; p <0,05). Terdapat korelasi negatif yang bermakna antara e-GFR dengan skor skala gatal 5-D pada RTG (r = -0,424; p <0,05). Tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara kadar kalsium dan fosfat dengan skor skala gatal 5-D pada kedua kelompok. Kesimpulan: Pasien HD lebih banyak mengalami pruritus derajat sedang-berat dibandingkan pada RTG. Pruritus pada kelompok HD berdampak ringan hingga sedang terhadap kualitas hidup sedangkan pada kelompok RTG pruritus berpengaruh ringan terhadap kualitas hidup. Pada pasien HD, semakin tinggi kadar hs-CRP maka semakin meningkat skor skala gatal 5-D. Pada pasien RTG, semakin menurun nilai e-GFR maka semakin meningkat skor skala gatal 5-D.

Background: Pruritus is one of the symptoms experienced by patients with chronic kidney disease (CKD). Most patients with chronic kidney disease-associated pruritus (CKD-aP) occur in dialysis patients and could also happen in kidney transplant (KT) recipients. Inappropriate management of pruritus could impact the quality of life (QoL). No studies have compared the severity of pruritus, QoL, and the correlation of various biochemical factors between hemodialysis (HD) and KT recipients in Indonesia. Objective: To compare the severity of pruritus, QoL, and the correlation of hs-CRP, calcium, phosphate, and e-GFR levels between HD and KT recipients. Methods: This is a cross-sectional analytic observational study. Medical history, physical examination, and laboratory examination were conducted on each subject. The 5-dimensional (5-D) itch scale was used to evaluate the severity of pruritus. Dermatology Life Quality Index (DLQI) was used to assess the QoL. Appropriate statistical analysis was conducted to prove the research hypothesis with a significance value of p <0.05. Results: Out of 30 subjects in each group, the proportion of moderate to severe pruritus was 76.7% in the HD group. In the KT group, 83.3% experienced mild pruritus (RR = 4.6; CI 95% = 2.02– 10.5; p <0.001). The median DLQI score in the HD group was 5 (3–6), while in the KT group was 3 (2–4) (p <0.001). There was a significant positive correlation between hs-CRP and the 5-D itch scale in the HD group (r = 0.443; p <0.05). The KT group had a significant negative correlation between e-GFR and the 5-D itch scale (r = -0.424; p <0.05). Both groups had no statistically significant correlation between calcium and phosphate levels and the 5-D itch scale. Conclusion: Moderate-to-severe pruritus was more common in HD patients than in KT recipients. Pruritus in HD patients had a mild to moderate effect on QoL, whereas pruritus in KT recipients had a mild impact on QoL. A higher level of hs-CRP in HD patients results in a higher 5-D itch scale. In KT recipients, the lower the e-GFR value, the higher the 5-D itch scale."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aritonang, Ronald Christian Agustinus
"

Latar Belakang: Nyeri pascaoperasi pada laparotomi transplantasi ginjal dikategorikan pada nyeri sedang sampai berat. Tatalaksana nyeri yang efektif dapat membantu pemulihan yang lebih baik. Epidural kontinyu merupakan pilihan analgesia yang digunakan pada operasi laparotomi transplantasi ginjal di RSCM  namun ditemukan masih adanya pasien yang merasakan nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara blok Quadratus Lumborum (QL) bilateral dengan blok epidural kontinyu terhadap derajat nyeri dan kebutuhan morfin pascaoperasi.

Metode: Penelitian ini merupakan uji kontrol acak pada 38 pasien yang menjalani operasi laparotomi resipien transplantasi ginjal di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Sesaat sebelum pasien diekstubasi, 20 subjek dalam kelompok blok QL bilateral mendapatkan ropivacaine 0,375% sebanyak 20 mL bilateral dan 18 subjek pada kelompok epidural kontinyu mendapatkan infus epidural ropivakain 0,2% 6 mL/jam. Hasil dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji statistik Mann Whitney. 

Hasil: Penelitian ini tidak menemukan perbedaan bermakna derajat nyeri VAS istirahat antara kelompok blok epidural dan kelompok blok QL pada saat di RR, jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12, dan jam ke-24 (p = 0,228; 0,108; 0,224; 0,056 dan 0,179). Tidak terdapat perbedaan VAS bergerak antara kedua kelompok saat di RR, jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12, dan jam ke-24 (p = 0,813; 0,865; 0,947; 0,063; dan 0,408). Kebutuhan morfin pada 24 jam pascaoperasi tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada semua jam pengukuran (p = 0,380; 0,425; 0,664; 0,854). Waktu saat pertama kali menekan PCA morfin juga tidak bermakna dengan p 0,814. Ketinggian blok pada 1 jam pascaoperasi pada kedua kelompok sama, yaitu blokade 100% pada T10-L1. Tidak terdapat perbedaan dosis minimal dan maksimal dobutamin dan norepinefrin antara kelompok QL dan epidural kontinyu. Jumlah produksi urin 24 jam, skor Bromage, dan skor Ramsay tidak berbeda pada kedua kelompok.

Simpulan: Blok QL tidak memberikan efek analgesia yang lebih baik daripada blok epidural kontinyu.


Background: Postoperative pain in laparatomy for kidney transplant is moderate to severe. Effective postoperative pain promotes better recovery. Continuous epidural is the current analgesia of choice in laparatomy for kidney transplant in Cipto Mangunkusumo Hospital; however, undermanaged pain was still reported. This study aims to compare the effectivity between bilateral Quadratus Lumborum block and continuous epidural in managing pain and reducing morphine requirement.

Methods: This is a randomized controlled study on 38 patients undergoing laparatomy for kidney transplant in Cipto Mangunkusumo Hospital. Before extubation, 20 subjects in QL group received 20 ml 0.375% ropivacaine while 18 subjects in continuous epidural group received epidural infusion of 0.2% ropivacaine at 6 ml/hour. The result was analysed using Mann Whitney test.

Results: This study found no difference between resting VAS score of QL and epidural group in recovery room, at 2nd, 6th, 12th, and 24th hour (p = 0,228; 0,108; 0,224; 0,056 dan 0,179). There was no difference between moving VAS of both groups in recovery room, at 2nd, 6th, 12th, and 24th hour (p = 0,813; 0,865; 0,947; 0,063; dan 0,408). Morphine requirement on 24th hour post surgery showed no difference in all observed hours (p = 0,380; 0,425; 0,664; 0,854). Time to first PCA press was also insignificant (p 0,814). Block height at 1st hour post surgery was the same in both groups, with 100% blockade at T10-L1. There were no difference at minimal and maximal dobutamine and norepinephrine dose in between the two groups. Total 24 hour urine production, Bromage score, and Ramsay score was not different in both groups.

 

Conclusion: QL block did not provide better analgesia compared to continuous epidural.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58711
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prajnya Paramitha Narendraswari
"Latar belakang: Komplikasi neurologis dan tumbuh-kembang sering diteliti pada neonatus cukup bulan (NKB), tetapi masalah pada ginjal masih jarang diperhatikan. Mayoritas NKB lahir ketika ginjal masih berkembang, sehingga lebih rentan mengalami gangguan fungsi ginjal. Profil fungsi ginjal dan faktor yang memengaruhinya penting untuk diketahui. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil fungsi ginjal, prevalens gangguan fungsi ginjal, dan faktor yang memengaruhi fungsi ginjal pada NKB. Metode: Penelitian ini merupakan studi deskriptif analitik dengan rancangan penelitian kohort retrospektif observasional di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menggunakan data rekam medik dari Oktober 2022-Oktober 2023. Partisipan penelitian adalah seluruh NKB yang dirawat dan melakukan pemeriksaan kreatinin darah dengan kriteria eksklusi meninggal sebelum usia 48 jam. Faktor risiko yang diteliti adalah nutrisi maternal, diabetes gestasional, hipertensi pada kehamilan, anemia pada kehamilan, steroid antenatal, berat lahir, pertumbuhan janin terhambat, sepsis neonatorum, asfiksia neonatorum, anemia prematuritas, steroid pascanatal, dan gentamisin. Hasil: Kreatinin serum diperiksa pada 26,1% (192/737) NKB. Terdapat 169 subyek yang diinklusi. Median usia gestasi subyek adalah 31 (24–36) minggu dan berat lahir (BL) 1.335 (500–2.815) gram. Gangguan fungsi ginjal ditemukan pada 66,3% (112/169) subyek. Gangguan fungsi ginjal yang ditemukan berupa penurunan LFG 6(3,6%), hipertensi 91(53,8%), proteinuria 1(0,6%), dan campuran dari ketiganya 71(42,0%) subyek. Neonatus yang mengalami gangguan fungsi ginjal terbanyak pada usia gestasi 28–31 minggu (45,5%). Berdasar berat lahir terbanyak < 1000 g (81,6%), 1000–1499 (67,2%), 1500–2499 (59,6%). Variabel yang secara bersama-sama memengaruhi gangguan fungsi ginjal pada pasien neonatus kurang bulan adalah BL < 1.000 gram (OR 8,38; IK 95% 1,14–61,34; p=0,036), sepsis berat (OR 2,20; IK 95% 1,06–4,54; p=0,034) dan adanya anemia prematuritas (OR 2,86; IK 95% 1,15–7,12; p=0,024). Simpulan: Faktor risiko terjadinya gangguan fungsi ginjal pada NKB adalah BL < 1.000 gram, sepsis berat, dan anemia prematuritas.

Background: Neurodevelopmental complication is often studied in preterm neonates (PTNs), but nephrological problem is usually overlooked. The majority of PTNs are born when the kidneys are still developing. Therefore, PTN is more susceptible to impaired kidney function (IKF) and is important to know the risk factors. Objective: his study aims to determine the prevalence of IKF and identify risk factors in PTN. Methods: This research is an analytical descriptive study with an observational cohort retrospective study methods at Cipto Mangunkusumo Hospital using medical record data from October 2022-October 2023. Subjects studied were all treated PTN who had creatinine evaluated during treatment and criteria exclusion of death within 48 hours was applied. The risk factors studied were maternal nutrition, gestational diabetes, hypertension in pregnancy, anemia in pregnancy, antenatal steroids, birth weight, fetal growth restriction, neonatal sepsis, neonatal asphyxia, anemia of prematurity, postnatal steroids, and gentamycin use. Results: Serum creatinine was assessed in 26,1% (192/737) PTN. One-hundred-and-sixtynine subjects were included. The median gestational age (GA) was 31 (24–36) weeks and birth weight (BW) 1,335 (500–2,815) grams. Impaired kidney function was found in 112/169 (66,33%) subjects. Abnormalities found were decreased in GFR 6(3.6%), hypertension 91(53.8%), proteinuria 1(0.6%), and mixture of the aboves 71(42.0%) subjects. Neonates with IKF mostly found with GA 28–31 weeks (45,5%). Based on birth weight, IKF was found in < 1000 g (81.6%), 1000–1499 (67.2%), 1500–2499 (59.6%). Variables that influence IKF in PTN are BW < 1,000 grams (OR 8.38; 95% CI 1.14 – 61.34; p=0.036), severe sepsis (OR 2.20; CI 95% 1.06–4.54; p=0.034), and the presence of anemia of prematurity (OR 2.86; 95% CI 1.15 – 7.12; p=0.024). Conclusion: Risk factors for IKF in PTN were BW < 1,000 grams, severe sepsis and anemia of prematurity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ferry Valerian Harjito
"Latar Belakang: Transplantasi ginjal adalah modalitas terapi pengganti ginjal yang paling baik bagi pasien dengan Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA). Saat ini di Indonesia transplantasi ginjal dengan donor hidup mulai semakin sering dilakukan, terutama di RSUPN Cipto Mangunkusumo, di mana dalam beberapa tahun terakhir lebih dari 50% kasus transplantasi ginjal di Indonesia dilakukan di rumah sakit ini. Walaupun demikian, data mengenai hasil transplantasi di Indonesia, baik kesintasan 1 tahun graft maupun pasien, serta faktor yang diduga mempengaruhinya masih belum ada. Diharapkan hasil transplantasi di rumah sakit ini dapat menggambarkan hasil secara keseluruhan di Indonesia.
Metode: Studi kohort retrospektif pada resipien transplantasi ginjal di RSUPN-CM dari Januari 2010 hingga Mei 2014. Data didapatkan dari penelusuran rekam medis serta menghubungi pasien secara langsung. Masing-masing resipien diikuti sejak tanggal transplantasi hingga kematian atau Mei 2015. Proporsi kesintasan graft dan pasien pada 1 tahun post transplantasi dan pada akhir studi didokumentasikan. Kurva Kaplan-Meier digunakan untuk menggambarkan kesintasan pasien secara keseluruhan. Studi deskriptif dilakukan dengan melihat perbedaan proporsi variabel serta perbedaan rerata atau median pada pasien yang mengalami kegagalan graft 1 tahun serta tidak, serta pasien yang bertahan hidup atau meninggal.
Hasil: Berdasarkan hasil consecutive total sampling didapatkan 157 resipien yang menjalani transplantasi ginjal di RSUPN-CM, 137 resipien di antaranya memenuhi kriteria penelitian, seluruhnya mendapatkan ginjal dari donor hidup. Usia resipien rata-rata adalah 47,9 ± 13,9 tahun, rerata IMT 22,8 ± 3,7 kg/m2, dan proporsi resipien dengan diabetes 35,8%. Didapatkan 7 pasien mengalami disfungsi graft primer (kegagalan transplantasi), sehingga 130 pasien diikuti untuk melihat kesintasan jangka panjang. Pada akhir tahun pertama, didapatkan angka death-censored graft survival adalah 95,4%, all-cause graft survival 85,4%, kesintasan pasien 88,5%, dan death with a functioning graft sebesar 10%. Pada akhir studi, didapatkan angka kesintasan tersebut berturut-turut adalah 94,6%, 80%, 82,3%, dan 14,6%, dengan median waktu pengamatan 24 bulan (1 ? 64 bulan). Kurva Kaplan Meier menunjukkan angka mortalitas tertinggi didapatkan pada bulan-bulan awal post transplantasi. Kegagalan graft dan kematian didapatkan lebih banyak pada resipien yang berusia lebih tua, mengidap diabetes melitus, serta memiliki indeks komorbiditas yang tinggi. Penyebab kematian utama adalah infeksi (11,5%) diikuti dengan kejadian kardiovaskular (3,8%).
Simpulan: Death-censored graft survival 1 tahun resipien transplantasi ginjal di Indonesia sudah sangat memuaskan. Angka death with functioning graft masih cukup tinggi, sehingga menurunkan all-cause graft survival dan kesintasan pasien 1 tahun. Walaupun demikian, secara keseluruhan hasil ini masih sebanding dengan negara-negara berkembang lainnya.

Background: Kidney transplant is established as the preferred modality for end stage renal disease patients. Living donor kidney transplant is increasingly popular in Indonesia, especially in Cipto Mangunkusumo Hospital, comprising more than 50% of all transplant procedures performed in Indonesia. However, data regarding one-year graft and patient survival in Indonesia is still scarce. This single-center study is hoped to represent the characteristics and results of graft and patient survival of living donor kidney transplant in Indonesia.
Methods: A retrospective cohort study with total consecutive sampling is performed on all kidney transplant recipients in Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2010 until May 2014. Data is acquired by analysing medical records and contacting patients directly. Each recipient is followed from the day of transplant until death or May 2015, whichever comes first. One-year graft and patient survival is documented. Kaplan-Meier Curve is used to describe patient survival until the end of study. Descriptive studies on risk factors of graft and patient survival is also conducted, using differences in proportions, means, and medians appropriately.
Results: Within the timeframe there are 157 recipients of living donor kidney transplants, 137 of which fulfill the inclusion criteria. The mean age is 47.9 ± 13.9 years, mean BMI is 22.8 ± 3.7 kg/m2, and 35.8% of all recipients are diabetics. Primary non-function/early transplant failure is present in 7 patients, so that 130 recipients are included for long term survival descriptions. In the end of the first year post transplant, death-censored graft survival is 95.4%, all-cause graft survival is 85.4%, patient survival is 88.5%, and death with a functioning graft is 10%. By the end of the study, the corresponding survival results are 94.6%, 80%, 82.3%, and 14.6%, respectively, with a median observation time of 24 months (1 ? 64 months). Kaplan-Meier curve showed that the mortality rate is higher in the early months after transplant. More deaths and graft failures are found in older and diabetic recipients, as well as those with a high comorbidity index. The main causes of death are infections (11.5%) and cardiovascular diseases (3.5%).
Conclusions: The outcome of one-year death-censored graft survival in Indonesia is very satisfactory. The incidence of death with functioning graft is relatively high, causing a decline in one-year patient survival and all-cause graft survival. However, the overall results are still comparable to other developing countries.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Alfian
"Latar Belakang: Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, sebagian besar masyarakat Indonesia termasuk lansia menjalani puasa pada bulan Ramadhan. Dalam mengevaluasi keamanan berpuasa Ramadhan pada populasi lansia, dilakukan berbagai penilaian, salah satunya adalah profil fungsi ginjal. Profil fungsi ginjal, dinilai dari laju filtrasi glomerulus (LFG), merupakan salah satu parameter penting dalam menentukan kesehatan lansia. Namun, belum terdapat penelitian mengenai profil fungsi ginjal dan faktor-faktor yang memengaruhi pada lansia berpuasa.
Tujuan: Mengetahui profil dan faktor risiko perubahan fungsi ginjal pada usia lanjut yang berpuasa Ramadhan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan menggunakan data primer pada subyek usia > 60 tahun yang menjalani puasa Ramadhan di kelurahan Jatinegara sejak April 2019 hingga Juli 2019. Profil fungsi ginjal dihitung menggunakan pemeriksaan (LFG) pada 1 minggu sebelum berpuasa, 3 minggu berpuasa, dan 2 minggu pasca berpuasa. Faktor risiko yang dinilai adalah usia, indeks massa tubuh, diabetes melitus, hipertensi, kebiasaan merokok, konsumsi protein, dan konsumsi cairan. Analisa bivariat dilakukan menggunakan uji chi-square atau Fisher. Analisis multivariat dilakukan menggunakan regresi logistik.
Hasil: Pada penelitian ini, tidak ditemukan adanya faktor risiko yang secara signifikan berpengaruh terhadap perubahan fungsi ginjal selama puasa bulan Ramadhan pada lanjut usia. Beberapa farktor dapat mempengaruhi fungsi ginjal pada usia lanjut yang berpuasa Ramadhan, salah satunya adalah usia. Mayoritas lanjut usia yang mengalami penurunan GFR selama bulan Ramadhan berusia 60-70 tahun berjumlah 89 orang atau 68,5%. Sisanya berjumlah 10 orang atau 58,8% berusia >70 tahun. Namun, setelah dilakukan analisis, hubungan antara usia dengan penurunan GFR selama puasa Ramadhan tidak bermakna (p=0,426).
Kesimpulan: Tidak ditemukan adanya perubahan signifikan pada fungsi ginjal dengan usia lanjut yang menjalankan puasa dibulan Ramadhan.

Background. As a country with a majority Muslim population, most Indonesians, including the elderly, fast during the month of Ramadan. To evaluate the safety of fasting during Ramadan in the elderly population, various assessments were carried out, one of which is kidney function profile. Kidney function profile, assessed using glomerular filtration rate (GFR), is one of the important parameters in determining the health of the elderly. However, there has been no research on kidney function profile and its affecting factors on fasting elderly in Indonesia.
Aim:. To determine the profile and risk factors for changes in kidney function in elderly who fast during Ramadan.
Methods. This study used prospective cohort design using primary data on subjects aged > 60 years who were undergoing Ramadan fasting in Jatinegara village from April 2019 to July 2019. The kidney function profile was calculated using glomerular filtration rate (GFR) examination on 1 week before fasting, 3 weeks fasting, and 2 weeks post fasting. The risk factors assessed were age, body mass index, diabetes mellitus, hypertension, smoking habits, protein consumption, and fluid consumption. Bivariate analysis was performed using the chi-square or Fisher test. Multivariate analysis was performed using logistic regression.
Result. In this study, no risk factors were found significantly influencing changes in kidney function during the Ramadan fasting in the elderly. Some factors can affect kidney function in elderly who fasted in Ramadan, one of which is age. The majority of elderly who experienced a decrease in GFR during the month of Ramadan aged 60-70 years amounted to 89 people or 68.5%. The rest amounted to 10 people or 58.8% aged> 70 years. However, after analysis, the relationship between age and decreased GFR during Ramadan fasting was not significant (p = 0.426).
Conclusion. There was no significant changes in kidney function on fasting elderly during Ramadan.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>