Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 205370 dokumen yang sesuai dengan query
cover
I. G. N. Wila Wirya
"ABSTRAK
1. Gejala Kinis dan kelainan patologi anatomis penderita sindrom nefrotik dipengaruhi oleh beberapa faktor penyebab dan disebut idiopatik atau primer apabila penyebabnya belum diketahui.
Istilah 'lipoid nephrosis' mulai digunakan oleh Munk pada tahun 1913 untuk menjelaskan keadaan sejumlah penderita dengan edema proteinuria berat, hipoproteinemia dan hiperlipidemia. Pemeriksaan mikroskop cahaya pada jaringan ginjal penderita menghasilkan glomerulus tanpa kelainan, namun terlihat kelainan pada tubulus proksimal dengan titik-titik lemak di dalam selnya yang dianggap bersifat 'degeneratif'.
Pada observasi selanjutnya ternyata bahwa gejala-gejala yang sama dapat juga terjadi pada penderita dengan berbagai penyakit sistemik termasuk lupus eritematosus sistemik, diabetes mellitus dan amiloidosis. Gejala-gejala klinis ini timbul sebagai akibat adanya proteinuria yang berat apapun penyebabnya, oleh karena itu sebagai pengganti istilah ?liphoid nephrosis' disepakati untuk memakai istilah sindrom nefrotik (Epstein, 1917).
Umumnya sindrom nefrotik dibagi atas 2 golongan besar, yaitu yang primer atau idiopatik dan sekunder. Sindrom nefrotik primer penyebabnya belum diketahui dengan pasti, sedangkan yang sekunder ditimbulkan oleh berbagai penyakit utamanya, misalnya diabetes mellitus, malaria lain-lain.
Menurut Schlesinger dkk. (1966) frekuensi sindrom nefrotik di negara Barat adalah 2 per tahun per 100.000 orang anak di bawah umur 16 tahun. Sindrom nefrotik Kelainan Minimal (KM) merupakan kelainan terbanyak pada anak, yaitu 76,4% menurut ISKDC (international Study of Kidney Disease in Children, 1978), 52,2% pada sari Habib dan Kleinknecht (1971), dan 64,3% pada seri yang dilaporkan oleh White dkk. (1970).
Kasus yang dikumpulkan penulis pada penelitian ini merupakan penderita yang tidak selektif, datang sendiri, belum pernah diobati diterima dari berbagai rumah sakit maupun sejawat di Jakarta. Penderita yang telah diobati sebelumnya tidak dimasukkan ke dalam penelitian ini.
Selanjutnya penulis akan membandingkan hasil penelitian sendiri dengan ISKDC oleh karena hasil penelitian badan ini juga mencerminkan penelitian penderita sindrom nefrotik yang prospektif, tidak selektif, belum diobati dan diterima dari berbagai pusat penelitian di dunia (10 negara di Eropa. Amerika Utara, Israel, dan Jepang).
Sebelum tahun 1970 di Indonesia belum ada laporan mengenai penderita sindrom nefrotik anak di dalam kepustakaan. Demikian juga mengenai pengobatan terhadap penderita-penderita ini belum mengikuti saran yang dianjurkan oleh ISKDC (1967), sehingga hasilnya tidak dapat dibandingkan atau dinilai dengan hasil laporan dari luar negeri.
Selama 10 tahun (1970-1979) pengamatan penulis pada para penderita sindrom nefrotik primer pada anak yang berobat ke Bagian IKA FKUI/RSCM di Jakarta, banyak yang menunjukkan kelainan tidak khas. Banyak di antara mereka disertai gejala hematuria, hipertensi serta kadar ureum darah atau kreatinin serum yang meninggi. Pada sindrom nefrotik murni kelainan-kelainan tersebut umumnya tidak ditemukan. Berdasarkan observasi tersebut di atas penulis beranggapan bahwa kasus-kasus yang ditemukan itu merupakan kasus sindrom nefrotik yang termasuk golongan bukan kelainan minimal (BKM)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
D423
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurussafitri Laila Anawati
"[ABSTRAK
Sindrom nefrotik merupakan masalah ginjal yang sering terjadi pada anak.
Sindrom nefrotik ditandai dengan manifestasi klinis yang khas seperti proteinuria,
hipoalbuminemia, edema, dan hiperlipidemia. Edema sebagai salah satu
menifestasi klinis dari sindrom nefrotik menandakan bahwa anak mengalami
masalah keperawatan berupa kelebihan volume cairan. Karya ilmiah ini bertujuan
untuk memberikan gambaran dan analisis asuhan keperawatan pada An. A yang
mengalami masalah kelebihan volume cairan. Hasil dari intervensi keperawatan
yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pemantauan cairan secara tepat mampu
mengatasi masalah kelebihan volume cairan, yang ditandai dengan berkurangnya
edema, penurunan berat badan dan lingkar abdomen. Pemantauan cairan yang
akurat pada klien dengan masalah kelebihan volume cairan sebaiknya dilakukan
untuk mencegah kelebihan atau defisit volume cairan berlebih dalam tubuh.ABSTRACT Nephrotic syndrome is the most common kidney problem in children. Clinical
manifestation of nephrotic syndrome is proteinuria, hypoalbuminemia, edema,
and hyperlipidemia. Edema is a sign that the child has fluid volume excess. This
case study aimed to describe and analyze nursing intervention in Child A with
fluid volume excess. The result showed that an accurate fluid monitoring was
effective to solve fluid volume excess problem and the child showed less edema,
decreased body weight and abdominal girth. An accurate fluid monitoring for the
client with fluid volume excess problem should be given to prevent volume excess
or deficit of body fluid, Nephrotic syndrome is the most common kidney problem in children. Clinical
manifestation of nephrotic syndrome is proteinuria, hypoalbuminemia, edema,
and hyperlipidemia. Edema is a sign that the child has fluid volume excess. This
case study aimed to describe and analyze nursing intervention in Child A with
fluid volume excess. The result showed that an accurate fluid monitoring was
effective to solve fluid volume excess problem and the child showed less edema,
decreased body weight and abdominal girth. An accurate fluid monitoring for the
client with fluid volume excess problem should be given to prevent volume excess
or deficit of body fluid]"
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Selli Muljanto
"[ABSTRAK
Lesi tubular lebih sering ditemukan pada sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
dengan proteinuria masif, yang menyebabkan disfungsi tubulus proksimal. Cedera
tubular dapat pula didiagnosis dengan uji fungsi tubulus, diantaranya adalah fraksi
ekskresi magnesium (FE Mg) dan β2-mikroglobulin (β2M) urin. Tujuan
penelitian ini membandingkan FE Mg dan β2M urin pada SNRS dan SN sensitif
steroid (SNSS) remisi. Penelitian potong lintang dilakukan di Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, RSUD Ulin
Banjarmasin, RSUP Fatmawati dan RSAB Harapan Kita Jakarta pada Juli sampai
Desember 2015 pada penderita SNRS dan SNSS remisi berusia 2 ? 15 tahun. Pada
subyek diperiksakan kadar β2M urin dan FE Mg. Didapatkan 62 subyek yang
terdiri dari 31 subyek SNRS dan 31 subyek SNSS remisi. Rerata FE Mg pada
SNRS lebih tinggi secara bermakna dibandingkan SNSS remisi (p=0,0065).
Median kadar β2M urin pada SNRS lebih tinggi dibandingkan SNSS remisi (p <
0,001). Peningkatan kadar β2M urin lebih banyak secara bermakna pada SNRS
dibandingkan SNSS (p=0,007). Dengan titik potong 1,64%, peningkatan FE Mg
pada SNRS lebih banyak dibandingkan SNSS remisi (p=0,022). Simpulan: Fraksi
ekskresi Mg dan β2M urin pada SNRS lebih tinggi dibandingkan SNSS remisi.
Terdapat perbedaan proporsi peningkatan FE Mg antara SNRS dan SNSS remisi.
Proporsi peningkatan β2M urin pada SNRS lebih besar dibandingkan SNSS
remisi.

ABSTRACT
Tubular lesions more often found in steroid-resistant nephrotic syndrome (SRNS)
with massive proteinuria, leading to proximal tubular dysfunction. Tubular injury
can also be diagnosed by tubular function test, such as fractional excretion of
magnesium (Mg FE) and urinary β2-microglobulin (β2M). The aim of this study
is to compare the FE Mg and urinary β2M on SRNS and steroid-sensitive
nephrotic syndrome (SSNS) in remission. A cross-sectional study was conducted
in the Department of Pediatrics RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, RSUD
Ulin Banjarmasin, RSUP Fatmawati and RSAB Harapan Kita Jakarta from July to
December 2015. Children aged 2-15 years who either had SRNS or SSNS in
remission were recruited. Fractional excretion of magnesium and urinary β2M
levels were examined. There were 62 subjects consisted of 31 subjects SRNS and
31 subjects SSNS in remission. The mean FE Mg on SRNS was significantly
higher than SSNS in remission (p=0.0065). Median levels of urinary β2M on
SRNS was higher than SNSS remission (p<0.001). Increased levels of urinary
β2M was more significantly in SRNS compared to SSNS (p=0.007). With a cutoff
point of 1.64%, an increased of FE Mg proportion on SRNS was more than
SSNS in remission (p = 0.022). Conclusion: Fractional excretion of Mg and
urinary β2M on SRNS were higher than SSNS in remission. There is a difference
between the increased of FE Mg on SRNS and SSNS in remission. The increased
of urinary β2M on SRNS was higher than SSNS in remission.;Tubular lesions more often found in steroid-resistant nephrotic syndrome (SRNS)
with massive proteinuria, leading to proximal tubular dysfunction. Tubular injury
can also be diagnosed by tubular function test, such as fractional excretion of
magnesium (Mg FE) and urinary β2-microglobulin (β2M). The aim of this study
is to compare the FE Mg and urinary β2M on SRNS and steroid-sensitive
nephrotic syndrome (SSNS) in remission. A cross-sectional study was conducted
in the Department of Pediatrics RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, RSUD
Ulin Banjarmasin, RSUP Fatmawati and RSAB Harapan Kita Jakarta from July to
December 2015. Children aged 2-15 years who either had SRNS or SSNS in
remission were recruited. Fractional excretion of magnesium and urinary β2M
levels were examined. There were 62 subjects consisted of 31 subjects SRNS and
31 subjects SSNS in remission. The mean FE Mg on SRNS was significantly
higher than SSNS in remission (p=0.0065). Median levels of urinary β2M on
SRNS was higher than SNSS remission (p<0.001). Increased levels of urinary
β2M was more significantly in SRNS compared to SSNS (p=0.007). With a cutoff
point of 1.64%, an increased of FE Mg proportion on SRNS was more than
SSNS in remission (p = 0.022). Conclusion: Fractional excretion of Mg and
urinary β2M on SRNS were higher than SSNS in remission. There is a difference
between the increased of FE Mg on SRNS and SSNS in remission. The increased
of urinary β2M on SRNS was higher than SSNS in remission., Tubular lesions more often found in steroid-resistant nephrotic syndrome (SRNS)
with massive proteinuria, leading to proximal tubular dysfunction. Tubular injury
can also be diagnosed by tubular function test, such as fractional excretion of
magnesium (Mg FE) and urinary β2-microglobulin (β2M). The aim of this study
is to compare the FE Mg and urinary β2M on SRNS and steroid-sensitive
nephrotic syndrome (SSNS) in remission. A cross-sectional study was conducted
in the Department of Pediatrics RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, RSUD
Ulin Banjarmasin, RSUP Fatmawati and RSAB Harapan Kita Jakarta from July to
December 2015. Children aged 2-15 years who either had SRNS or SSNS in
remission were recruited. Fractional excretion of magnesium and urinary β2M
levels were examined. There were 62 subjects consisted of 31 subjects SRNS and
31 subjects SSNS in remission. The mean FE Mg on SRNS was significantly
higher than SSNS in remission (p=0.0065). Median levels of urinary β2M on
SRNS was higher than SNSS remission (p<0.001). Increased levels of urinary
β2M was more significantly in SRNS compared to SSNS (p=0.007). With a cutoff
point of 1.64%, an increased of FE Mg proportion on SRNS was more than
SSNS in remission (p = 0.022). Conclusion: Fractional excretion of Mg and
urinary β2M on SRNS were higher than SSNS in remission. There is a difference
between the increased of FE Mg on SRNS and SSNS in remission. The increased
of urinary β2M on SRNS was higher than SSNS in remission.]"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monalisa Heryani
"Pendahuluan: Gejala sindroma nefrotik (SN) adalah proteinuria massif. Penambahan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEi) atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) membantu menurunkan proteinuria pasien SN yang telah mendapat steroid. Belum ada penelitian mengenai efektivitas dan keamanan kombinasi ACEi+ARB dalam penatalaksanaan pasien SN sensitif steroid (SNSS) relaps sering atau SN dependen steroid (SNDS). Metode: Penelitian kohort retrospektif yang menggunakan data rekam medis anak RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo 2014-2018. Hasil: Dari 63 pasien yang dievaluasi, 33 pasien menggunakan ACEi+ARB dan 30 pasien menggunakan ACEi. Tidak terdapat perbedaan bermakna onset tercapainya proteinuria negatif (ACEi+ARB minggu ke-3 vs ACEi minggu ke-4, p=0.125). Tidak terdapat perbedaan bermakna proporsi pasien yang mencapai proteinuria negatif dalam 4 minggu terapi (ACEi+ARB 72.7% vs ACEi 63.3%, RR=1.148; IK95%: 0.815-1.619, p=0.424). Tidak terdapat perbedaan efek samping yang bermakna dalam hal hipotensi, peningkatan ureum dan kreatinin, hiperkalemia dan penurunan laju filtrasi glomerulus. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna efektivitas dan keamanan kombinasi ACEi+ARB dibandingkan ACEi sebagai antiproteinuria pada pasien anak SNSS relaps sering atau SNDS.

Introduction: Symptoms of nephrotic syndrome (NS) is a massive proteinuria. The addition of Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEi) or Angiotensin Receptor Blocker (ARB) can help to reduce proteinuria in NS patients who received steroids. There has been no study on the effectiveness and safety of ACEi+ARB combinations in the management of patients with frequent relapse NS (FRNS) or steroid-dependent NS (SDNS). Method: A retrospective cohort study using data collected from medical record of pediatrics with FRNS or SDNS at Cipto Mangunkusumo Hospital between 2014-2018 was conducted. Results: Out of the 63 patients who were evaluated, 33 patients were in ACEI+ARB while 30 other patients were in ACEi. There was no significant difference in the onset of negative proteinuria (3 weeks in ACEi+ARB vs 4 weeks in ACEi, p=0.125. There was no significant difference in the proportion of patients who achieved negative proteinuria in 4 weeks therapy (ACEi+ARB 72.7% vs ACEi 63.3%, RR=1,148; 95% CI: 0.815-1,619, p=0.424). There was no significant difference between ACEi+ARB and ACEi groups in the occurrence of hypotension, hyperkalemia, increased of creatinine serum, and decreased of glomerular filtration rate. Conclusion: There was no significant difference in the effectiveness and safety of the use of ACEi+ARB compared to ACEi as antiproteinuric in patients with FRNS or SDNS."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Toruan, Yulia Margareta L.
"Katarak subkapsular posterior (SKP) dan peningkatan tekanan intraokular (TIO) adalah komplikasi okular tersering akibat penggunaan kortikosteroid oral. Hal ini dapat terjadi pada pemberian dosis tinggi dan jangka panjang. Di Indonesia, tidak data mengenai hubungan antara dosis dan lama terapi terhadap kedua komplikasi tersebut pada anak sindrom nefrotik idiopatik (SNI). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dosis kumulatif, lama terapi dengan kejadian katarak SKP maupun peningkatan TIO dan faktor yang memengaruhinya pada anak SNI di rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Studi ini merupakan studi potong lintang pada anak SNI usia 4-18 tahun yang mendapat terapi kortikosteroid oral minimal enam bulan secara terus menerus. Pemeriksaan mata lengkap dilakukan untuk mengevaluasi katarak SKP, tajam penglihatan dan peningkatan TIO. Dari 92 anak yang dianalisis, terdapat 19,6% anak yang menderita katarak SKP, 12% anak dengan peningkatan TIO dan satu anak dengan best corrected visual acuity (BCVA) <6/20. Median dosis kumulatif kortikosteroid oral adalah 12.161 mg (rentang 1.795-81.398) dan median lama terapi adalah 23 bulan (rentang 6-84). Terdapat hubungan antara dosis kumulatif (P=0,007) dan lama terapi (P=0,006) terhadap kejadian katarak SKP dengan titik potong optimal 11.475 mg dan 24 bulan. Jenis kelamin perempuan akan meningkatkan kejadian katarak SKP sebesar empat kali dibandingkan lelaki (PR=4; IK 95%=1,57-13,38; P=0.001). Penelitian ini menunjukkan makin tinggi dosis kumulatif dan/atau makin lama terapi kortikosteroid oral, maka makin besar angka kejadian katarak SKP (nilai batasan ≥ 11.475 mg dan  ≥ 24 bulan). Dosis kumulatif dan lama terapi tidak berhubungan dengan kejadian peningkatan TIO.

Posterior subcapsular cataract (PSC) and raised intraocular pressure (IOP) are the most common ocular complications due to administration oral corticosteroid. These can occur in high dose and long term use. In Indonesia, no data regarding correlation between dose, therapeutic duration and both complications in children with idiopathic nephrotic syndrome (INS). The aim of this study was to evaluate the correlation between cumulative dose, therapeutic duration with the occurrence of PSC and raised IOP and factors associated with these complications in children with INS at Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH).
This is a cross-sectional study of children with INS aged 4-18 years who received oral corticosteroid therapy for at least six months continuously. A complete eye examination was performed to evaluate PSC, raised IOP and visual acuity. Of the 92 children analyzed, 19.6% had PSC, 12% had raised IOP and one child with best corrected visual acuity (BCVA) <6/20. The median cumulative dose of oral corticosteroids was 12,161 mg (range 1,795-81,398) and the median duration of therapy was 23 months (range 6-84). There were associaton between cumulative dose (P=0.007) and duration of therapy (P=0.006) to the occurrence of PSC with cut off point 11,475 mg and 24 months. Female sex will increase the occurence of PSC four times compared to male
(PR=4; 95% CI=1.57-13.38; P=0.001). This study revealed that the higher cumulative dose and/or
the longer of oral corticosteroid therapy, the higher occurence of PSC (cut off point ≥ 11.475 mg and ≥ 24 months). Cumulative dose and therapeutic duration were not associated with the occurence of raised IOP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58737
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inggita Sahya Puspita
"ABSTRAK
Artikel ini membahas kerumitan seorang anak dengan sindrom Asperger dalam film Extremely Loud Incredibly Close 2011 . Film ini menceritakan kisah seorang anak Asperger berumur 9 tahun, Oskar Schell, yang kehilangan ayahnya dalam serangan 9/11. Fokus utama jurnal ini adalah bagaimana seorang anak dengan sindrom Asperger merasakan duka yang mendadak dalam hidupnya dan bagaimana ia menerimanya. Banyak akademisi telah membahas dan menganalisis novel dengan nama yang sama ini dari berbagai perspektif, seperti keramahan di lingkungan sekitar Oskar, melankolis yang dihadapi karakter, dan persamaan karakter Oskar dari novel lain. Namun, tidak ada yang fokus pada Oskar itu sendiri. Artikel ini akan fokus pada pengembangan Oskar menggunakan teori Kubler-Ross pada lima tahap kehilangan. Dengan fokus meningkatkan kemampuan Oskar, jurnal ini akan menggunakan perburuan pemulung sebagai media untuk menghubungkan antara teori Kubler-Ross dan proses yang dilakukan Oskar. Dengan demikian, penulis mencoba untuk menunjukkan perspektif baru bahwa sindrom Asperger dapat ditahan dan Oskar dapat meningkatkan kualitas sosialnya melalui duka yang dialaminya.

ABSTRACT
This article discusses the complexity of an Asperger Syndrome child in the movie Extremely Loud Incredibly Close 2011 . It tells the story of a 9-year-old Asperger, Oskar Schell, who lost his father in 9/11 attack. Its main focus would be how an Asperger Syndrome child perceives sudden grief in his life and how he processes it. Many scholars have discussed and analyzed the adapted novel with the same name from varied perspectives, such as the hospitality in the neighborhoods, the melancholy the characters are facing, and the similarities of Oskar from another novel. Nevertheless, none have focused on Oskar himself. This article will focus on the development of Oskar using Kubler-Ross rsquo; theory on five stages of grief. With the focus on improving Oskar rsquo;s ability, this journal will use scavenger hunt as a medium to link between Kubler-Ross rsquo; theory and the process Oskar goes through. Thus, the author tries to show a new perspective that Asperger Syndrome can be suppressed and socially improved through the grief that Oskar experiences. "
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Robert
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T57303
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laksmi Nurhiyani
"ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang optimal seorang anak, akan tetapi pengaruh gangguan susunan saraf pusat seperti palsi serebral merupakan faktor terpenting yang mungkin masih dapat dicegah lebih lanjut dengan penanganan dini (hendarto, 1982). Penanganan dini (pencegahan, deteksi dini dan rehabilitasi dini) gangguan susunan saraf pusat sangat penting untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Hal ini sesuai dengan salah satu program pemerintah pada Repelita V yaitu meningkatkan kualitas manusia Indonesia sebagai tulang punggung pembangunan.
Palsi serebral adalah gangguan pada suatu saat dalam masa perkembangan anak yang mengenai sel-sel motorik di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif, disebut juga 'Significant Developmental Motor Disability' (SDMD) (Abrams dan Panagakos, 1980). Kelainan ini dapat terjadi intrauterin
(pranatal), perinatal atau pascanatal. Walaupun sulit untuk meneliti secara retrospektif etiologi palsi serebral terutama yang berhubungan dengan faktor pranatal dan perinatal (Stanley, 1884), tetapi etiologi kelainan ini harus dicari, karena penting untuk pencegahan (Breland, 1985).
William John Little (1862) salah seorang pendiri disiplin ilmu bedah tulang di Inggris, pertama kali menghubungkan palsi serebral dengan kelainan pra dan perinatal, sehingga dahulu kelainan ini disebut sebagai 'Little disease'. Berdasarkan gambaran klinis yang ditemukan dibuat penggolongan sebagai berikut: rigiditas hemiplegia, rigiditas paraplegia, rigiditas umum dan kelainan gerak tanpa rigiditas (Ingram, 1984). Saat ini dipergunakan penggolongan menurut WHO International Classification of Diseases (W.H.O., 1977) yakni: diplegia, hemiplegia, kuadriplegia, monoplegia, paraplegia, hipotonia,
kuadriplegia dengan atetoid dan paraplegia dengan hipotonia.
Dengan pelayanan dan kemajuan obstetrik yang baik, kemajuan unit perinatalogi, dan rendahnya angka kelahiran di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat, angka kejadian anak-anak dengan palsi serebral menurun. Pada tahun 1950-an angka kejadian palsi serebral 4-7/1000 kelahiran hidup, pada tahun 1980-an turun menjadi 1,5/1000 kelahiran hidup (Glenting, 1982).
Di negara berkembang, kemajuan teknologi kedokteran tidak hanya menurunkan angka kematian bayi risiko tinggi, tetapi juga meningkatkan jumlah anak-anak yang dahulu biasanya meninggal sehingga akhirnya meningkatkan pasien gangguan perkembangan (Hendarto dkk., 1985).
Bobath & Bobath {1978) menekankan pentingnya pengobatan dini palsi serebral, sehingga pada tahun-tahun terakhir ini makin banyak dipergunakan perkembangan refleks primitif dan beberapa reaksi tubuh sebagai suatu cara diagnostik dini gangguan pergerakan serebral. Dengan rehabilitasi media dini diharapkan tercapainya fungsi optimal pasien palsi serebral, karena disfungsi otak terjadi pada saat tumbuh kembang anak belum selesai dan masih berlanjut (Sachs, 1984). Hal ini dibuktikan pada beberapa penelitian klinis dan sesuai dengan teori Von Hoff (1981), yang mengatakan bahwa perbaikan kerusakan otak lebih baik pada anak daripada orang dewasa. Menurut d'Avignon dkk. {1981), metode diagnostik Voyta dapat mendeteksi palsi serebral secara dini dan ternyata penanggulangan fisioterapi dini dengan metode Voyta memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan metode Bobath. Gangguan perkembangan mental yang menyertai palsi serebral dapat merupakan penghalang untuk mencapai kemajuan pengobatan (Hendarto dkk., 1985). Pada kasus tertentu, sebagai penunjang diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan foto kepala, elektroensefalografi serta angiografi. Tetapi saat ini pada kasus palsi serebral dengan etiologi yang tidak jelas atau tidak diketahui, dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonogragi kepala (Nwaesei dkk., 1988) dan "CT scan' kepala yang merupakan pemeriksaan tidak invasif (Kulakowski dkk., 1979; Kotlarek dkk., 1980; Taudorf dkk., 1984 ).
Phelps (1937) menyarankan untuk pertama kalinya pembentukan suatu unit rehabilitasi di Amerika, serta mempopulerkan penatalaksanaan multidisiplin terhadap pasien palsi serebral, seperti disiplin ilmu bedah tulang, saraf, nata, THT, ahli bina?.
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Fahlevi
"Latar belakang: Diketahui sekitar 10-30% anak sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS) mengalami varian patogenik (SNRS monogenik) dan kejadian ini lebih tinggi pada SNRS primer dibandingkan SNRS sekunder. Adanya varian patogenik yang terkonfirmasi dapat membantu memprediksi gejala klinis, berpengaruh terhadap terapi yang diberikan, memberikan informasi untuk konseling genetik, serta berpotensi untuk diagnosis antenatal atau pra-gejala. Di Indonesia, penelitian terkait pola mutasi genetik pada anak dengan SNRS primer masih sangat terbatas.
Tujuan: Mengetahui pola mutasi genetik pada anak dengan SNRS primer di RSCM.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode studi prevalens dan potong lintang untuk mendeteksi pola varian genetik subjek dengan SNRS primer dan mengetahui hubungannya dengan profil klinis subjek. Pemeriksaan genetik yang dilakukan adalah whole exome sequencing (WES).
Hasil: Dari 60 subjek, diperoleh 16 subjek yang merupakan SNRS dengan varian (26,7%) dan semuanya berusia <12 tahun, terbanyak di bawah 3 tahun (9 dari 16 subjek). Probable disease-causing variant terkait sindrom nefrotik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah pada gen LAMA5, COL4A4, COL4A3, TBC1D8B, dan TRPC6 dengan masing-masing 2 subjek, serta pada gen ANLN, FN1, NUP93, AVIL, INF2, CUBN, dan COQ8B/ADCK4 dengan masing-masing 1 subjek. Tidak didapatkan hubungan secara signifikan antara temuan varian dengan faktor demografi (usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, dan konsanguinitas), manifestasi klinis (respons terhadap siklosporin dan laju filtrasi glomerulus), dan hasil biopsi ginjal.
Kesimpulan: SNRS dengan varian ditemukan sebanyak 26,7% dari seluruh subjek dengan SNRS primer. Pola varian bersifat acak dan terbanyak ditemukan pada gen terkait sindrom Alport yaitu pada 4 dari 16 subjek. Pasien SNRS primer dengan usia <3 tahun terindikasi untuk dilakukan pemeriksaan genetik.

Background: Approximately 10-30% of children with steroid-resistant nephrotic syndrome (SRNS) have a pathogenic variant (monogenic SRNS) and this rate is higher in primary SRNS compared to secondary SRNS. The presence of confirmed pathogenic variants can help to predict clinical symptoms, affect the treatment, provide information for genetic counseling, and have the potential for antenatal or pre-symptomatic diagnosis. In Indonesia, research related to genetic mutation patterns in children with primary SRNS is still very limited.
Objective: To determine the genetic mutation patterns in pediatric subjects with primary SRNS.
Methods: This study used prevalence and cross-sectional study methods to detect the variant in primary SRNS subjects and determine its relationship with the clinical profile of the subjects. The genetic test performed was whole exome sequencing (WES).
Results: Out of 60 subjects, we found 16 subjects (26,7%) were SRNS with variants and all below 12 years-old, most were below 3 years-old (9 out of 16 subjects). Detected probable disease-causing variants related to nephrotic syndrome in this study were LAMA5, COL4A4, COL4A3, TBC1D8B, and TRPC6 genes each in 2 patients, and ANLN, FN1, NUP93, AVIL, INF2, CUBN, and COQ8B/ADCK4 genes each in 1 patient. No significant relationship was determined between variant finding and demographic factors (age, sex, family history, and consanguinity), clinical manifestations (response to cyclosporine and glomerular filtration rate), or kidney biopsy results.
Conclusion: We found 26,7% SRNS with variants in primary SRNS subjects. Variant patterns are scattered with most genes found were related to Alport syndrome in 4 out of 16 subjects. Primary SRNS patients below 3 years-old are indicated for genetic testing.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achir Yani S. Hamid
"ABSTRAK
Di Amerika, angka kejadian penganiayaan dan penelantaran anak yang dilaporkan oleh NCCAN (National Center for Child Abuse and Neglect) berkisar dari 1 sampai 6 juta kasus per tahun (Clunn, 1991). Tujuh puiuh empat persen dari anak yang teraniaya dan terlantar tersebut adalah anak anak pra-sekolah yang berusia balita.
Angka kejadian penganiayaan dan penelantaran anak di Indonesia belum diketahui secara jelas, tetapi dengan dimasukkannya permasaiahan ini dalam Buku Pedoman Upaya Pelayanan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja, berarti masalah penganiayaan dan penelantaran anak mendapat perhatian khusus.
Penganiayaan terhadap anak tidak saja berupa penganiayaan fisik, tetapi juga penganiayaan dan penelantaran emosional, verbal, dan seksual. Campbell dan Humphreys (1984) mendefinisikan anak teraniaya sebagai setiap tindakan yang mencelakakan atau dapat mencelakakan kesehatan dan kesejahteraan anak yang dilakukan oleh orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak tersebut.
Perawat berperan penting dalam mengidentifikasi dan menemukan kasus anak teraniaya dan terlantar, terutama pada saat pengkajian keperawatan. Sering kali perawat tidak percaya bahwa ada orang tua yang sampai hati mencelakakan anak kecil yang tak berdaya. Kegiatan keperawatan yang diarahkan pada pencegahan terjadinya penganiayaan melalui pendidikan kesehatan jiwa pada orang tua. merupakan hal yang perlu digalakkan.
Asuhan keperawatan akan menjadi fokus utama pembahasan dalam makalah ini, setelah terlebih dulu menjelaskan mengenai pendekatan teoritis (karakteristik dan dinamika korban penganiayaan, karakteristik dan dinamika penganiaya, serta dinamika keluarga)."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 1994
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>