Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 96569 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bahrun Mubarok
"Konflik panjang Libia-Barat, terutama Amerika Serikat, pada akhirnya usai juga. Setelah bersikap anti Barat selama tiga dekade, Libia di tahun 1999 menunjukan sikap kebalikannya. Libia menjadi kooperatif dan bersedia menaati tuntutan-tuntutan Barat. Mulai dari kesediaannya bertanggung jawab atas segala kerugian akibat serangkaian aksi pengeboman yang dituduhkan kepadanya, Libia juga bersedia melucuti senjata pemusnah massal yang dimilikinya.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk meneliti alasan perubahan kebijakan luar negeri Libia tersebut. Dalam tesis ini diuraikan apa-apa yang menjadi tujuan-tujuan dan faktor-faktor pendorong mengapa Khadafi menjadi bersikap kooperatif terhadap Barat.
Penulisan tesis ini menggunakan pendekatan "kualitatif" dengan metode "studi kasus". Kerangka pemikiran dibangun dengan menggunakan teori pembuatan kebijakan luar negeri yang ditulis oleh para pakar politik seperti David Easton, William D. Coplin, James N.Rosenau, K.J. Holsti, dan lain-lain.
Hasil dari penulisan ini adalah bahwa faktor ekonomi dan keamanan nasional merupakan alasan dan tujuan utama perubahan Kebijakan Luar Negeri Libia terhadap Barat.
Membaiknya hubungan Libia-Barat akan berimplikasi terhadap perubahan kondisi sosial, ekonomi, dan politik domestik Libia, dan berpengaruh pada perubahan konstelasi politik Timur Tengah.

The long conflict of Libya with the West, particularly with the United States, finally ended. Libya in 1999, started to show cooperative attitudes toward them. Starting with its readiness to extradite the two Libyan suspects of Lockerbie explosion, Libya has also shown greater docility with a view above all to reaching the settlement with the West over dompensation to the families of the victims of Pan Am 103, UTA Flight, and Berlin explosion. In 2003, Libya agreed to dismantle its weapons of mass destruction (WMD).
The purpose of this research is to understand the reasons for shift in Libyan foreign policies towards the West. It is trying to find out the influential factors and the objectives of its being cooperative with them.
This research is based on "qualitative approach" with "case-study method". David Easton, William D. Chaplin, K.J. Holsti, etc analyze the secondary data with the theoretical frame of foreign policy making written.
The result shows that the economic reasons and national security are the main factors and the objectives of Libyan change in foreign policies.
With the improving relation between Libya and the West, there will be significant changes in Libyan condition of economy, society, and politics. It will also influence the Middle East Politics.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14769
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkarnain
"Perubahan kebijakan luar negeri Polandia yang terjadi setelah berakhimya kekuasaan komunis di negara itu pada tahun 1990, merupakan suatu rangkaian yang tidak terlepas dari peristiwa domestik yang ditandai dengan adanya tuntutan-tuntutan ke arah perubahan. Peristiwa politik domestik yang sarat dengan berbagai tuntutan-tuntutan reformatif yang sekaligus telah memperpanjang dan menimbulkan krisis-krisis ekonomi dan politik di negara tersebut telah membuat Polandia berada dalam sebuah situasi yang sangat memprihatinkan. Situasi yang memprihatinkan ini dapat kita lihat dari munculnya instabilitas dalam bidang ekonomi dan politik. Dalam situasi yang demikian inilah, pemerintahan baru Polandia mencoba melakukan berbagai langkah-langkah tertentu agar negara tersebut dapat keluar dari krisis yang menimpanya, yaitu keluar dari instabilitas kehidupan ekonomi dan politik. Langkah-langkah perbaikan itu dilakukan lewat penggunaan kebijakan-kebijakan reformatif, baik pada level ekonomi maupun pada level politik, dan salah satu kebijakan itu dilakukan lewat instrumen kebijakan luar negeri.
Pilihan kebijakan luar negeri yang diambil oleh pemerintahan baru Polandia dalam rangka perbaikan-perbaikan kehidupan ekonomi politik domestik negara itu adalah dengan sikap dan pandangan yang "berkiblat ke Barat". Pilihan kebijakan luar negeri yang berkiblat ke Barat ini merupakan suatu sikap dan pandangan Polandia yang sangat berbeda dengan sikap dan pandangan luar negeri pada masa pemerintahan sebelumnya, yakni ketika negara itu masih di bawah kepemimpinan komunis. Sikap dan pandangan baru dari pemerintahan baru Polandia ini dapat kita lihat pada orientasi kebijakan kebijakan luar negerinya. Orientasi kebijakan itu adalah keinginan yang kuat dari pemerintah baru Polandia untuk bergabung dengan NATO dan UE. Orientasi pilihan ini dilakukan dengan tujuan mempercepat pencapaian keinginan-keinginan dometik tadi yang pada dasarnya adalah sekaligus menjadi kepentingan-kepentingan nasionalnya. Kemudian untuk tujuan ini., pemerintahan baru Polandia telah melakukan berbagai persiapan-persiapan, yaitu persiapan yang disesuaikan dengan keinginan-keinginan Barat itu sendiri (NATO dan UE). Kebijakan luar negeri Polandia yang menempatkan Barat sebagai orientasi pilihannya ini tentulah dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan. Pertimbangan utama dari pengambilan sikap dan pandangan ke Barat ini adalah !arena alasan-alasan ekonomi dan politik serta untuk memperoleh jaminan keamanan. Dengan demikian, dalam pandangan Polandia, Barat adalah satu-satunya pihak yang mampu mengembalikan kondisi instabilitas domestiknya tadi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10484
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramadhanty Yusmar
"Tesis ini membahas mengenai aspek pertahanan dan keamanan dart kebijakan luar negeri AS terhadap Irak dengan fokus pada upaya pencegahan pengembangan Weapons of Mass Destruction atau yang dikenal dengan senjata pemusnah massal pada periode tahun 1991-2000.
Pada tesis ini penulis menggunakan negara sebagai unit analisa. Adapun yang menarik bagi penulis adalah mekanisme dan kebijakan AS terhadap pengembangan WMD Irak dan tanggapan masyarakat international atas mekanisme kebijakan AS tersebut yang berupa penggunaan kekuatan militer.
Secara konsisten, kebijakan AS terhadap Irak berfokus pada tiga area utama, yaitu : 1) upaya untuk menghadapi tantangan dari rezim Saddam Hussein yang menurut AS melanggar dasar HAM terhadap suku syiah dan kurdi. 2) masalah tantangan terhadap kebijakan AS pada sistem keamanan regional dan gelombang supplai minyak. 3) masalah tantangan AS pads upaya pencegahan pengembangan WMD yang dilakukan Irak. AS melihat potensi pengembangan WMD di Irak sebagai sebuah ancaman yang cukup serius. Irak dianggap AS sebagai salah satu negara yang memiliki potensi besar bagi pengembangan dan penggunaan WMD. Hal ini nampak dari kepemilikan Irak atas unsur-unsur yang berkaitan dengan pembuatan dan pengembangan WMDnya yang melebihi batas-batas yang ditentukan oleh aturan international.
Dalam upaya meneegah pengembangan WMD Irak ini, AS menggunakan media antara lain : sanksi ekonomi berupa penghentian ekspor minyak Irak dan isolasi diplomatik yang sejauh ini dianggap kurang efektif, sehingga kebijakan AS pun terus berkembang sampai pada penggunaan kekuatan militer yang dilakukan secara berkala.
Metode penelitian yang digunakan adalah desciptive research dengan memaparkan data-data yang ada dan menganalisa data-data tersebut melalui pendekatan kualitatif. Adapun kerangka pemikiran menggunakan pendapat antara lain dari Crabb, yang membagi kebijakan luar negeri menjadi dua elemen yaitu : tujuan nasional dan cara-cara mencapainya, teori Rosseau mengenai variabel yang mempengaruhi fondasi politik luar negeri, Kegley dan Wittkopft serta Holsti mengenai komponen kebijakan luar negeri. Ditambahkan dengan konsep Hartman dan Wendzel mengenai mengukur ancaman, Russet mengenai pengaruh belief system pada kebijakan luar negeri, serta teori propaganda yang dikemukakan oleh Qualter dan Young.
Hasil dari penulisan ini adalah bahwa upaya penggunaan kekuatan militer yang dilakukan AS terhadap Irak dalam isu WMD pada tiga fase kepemimpinannya yaitu: George Bush (senior), Clinton I dan Clinton II memiliki tingkat kesuksesan sebagai berikut penyerangan yang dilakukan AS dapat dikatakan sukses hanya pada tingkatan jangka pendek, yakni penggunaan kekuatan militer tersebut mampu membuat Irak berjanji untuk mau bekerja sama dengan UNSCOM dan mematuhi resolusi yang ditetapkan oleh PBB, walaupun kemudian Irak selalu mengingkari janjinya tersebut, namun untuk jangka panjang belum bisa dikatakan sukses, melihat tujuan AS yang utama adalah menurunkan rezim Saddam Hussein karena dianggap sebagai ujung dari hapusnya potensi WMD Irak.
Adapun tanggapan yang datang baik dari negara-negara besar maupun negara-negara tetangga Irak sendiri sedikit unik. Negara-negara tersebut berpedoman bahwa isu terpenting di Irak adalah bagaimana menghilangkan potensi ancaman WMD yang ada di Irak. Namun pada penggunaan kekuatan militer yang dilakukan AS secara berkala itu, membuat negara-negara tersebut merasa bahwa penggunaan kekuatan militer tersebut tidak membuahkan hasil yang sesungguhnya tetapi hanya merupakan usaha propaganda bagi pemenuhan kepentingan nasional AS sendiri, yaitu penurunan rezim Saddam Hussein dan penggunaan minyak di Irak."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10276
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Gunawan
"Dalam tesis ini, penulis bermaksud menjelaskan "Kebijakan Luar Negeri Jepang terhadap Asia Tenggara pada Era Fukuda (1976-1978)". Tema ini amat menarik penulis mengingat kebijakan luar negeri terhadap Asia Tenggara yang diformulasikan oleh Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda beserta para pembantunya merupakan dasar hubungan antara Jepang dengan ASEAN sebagai organisasi regional. Di samping itu, penulisan ilmiah mengenai proses pembuatan kebijakan luar negeri Jepang terhadap Asia Tenggara dengan menggunakan analisa kognitif terhadap aktor-aktor birokrasi maupun politisi amat jarang ditemukan. Sebagian besar studi mengenai kebijakan luar negeri Jepang lebih menekankan pada aspek implikasi kebijakan maupun strategi negosiasi.
Dengan menggunakan kerangka pemikiran Allison mengenai pendekatan bureaucratic politics, tipologi hubungan antara politisi dan birokrat dari Yasunori Sone dan kerangka teori Coplin mengenai bureaucratic influencer pada proses pengambilan keputusan, penulis mencoba menguraikan proses pembuatan kebijakan luar negeri Jepang terhadap Asia Tenggara. Ditunjang oleh teori kognitif Harold dan Margareth Sprout, Steinbruner serta Goldman mengenai, ideo-sinkretik, penulis menganalisis karakter individual para aktor yang terlibat dalam formulasi kebijakan luar negeri Jepang tersebut.
Tesis ini merupakan penelaahan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Data penelitian diperoleh melalui pengumpulan data kepustakaan serta data yang berasal dari otobiografi dan dokumen resmi pemerintah Jepang.
Hasil penelitian terhadap proses pembuatan kebijakan era Fukuda menunjukkan bahwa keberhasilan formulasi kebijakan dimaksud dipengaruhi oleh hubungan yang erat antara para birokrat dari Kementrian Luar Negeri Jepang (Gaimusho) dengan para politisi, khususnya Perdana Menteri Takeo Fukuda. Dapat dikatakan bahwa pola pembuatan kebijakan politik luar negeri Jepang bersifat elitis yang merupakan hasil kerjasama antara politisi dan birokrasi. Salah satu manfaat yang dapat dipetik dengan membaca tesis ini adalah proses rekrutmen birokrasi maupun politisi yang baik pada sistem birokrasi dan sistem politik dapat menghasilkan birokrat dan politisi yang profesional dan berkualitas."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T1964
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Randi Mohammad Ramdhani
"Saudi Arabia memiliki tempat yang sangat signifikan di dunia Arab dan Islam. Ini disebabkan statusnya sebagai negara terbesar di Semenanjung Jazirah Arab. Juga merupakan negara di dunia yang memiliki cadangan minyak terbesar sekitar 25% cadangan minyak dunia. Saudi Arabia berperan aktif dalam upayanya menyelesaikan konflik antara Palestina dan Israel, Peran Saudi Arabia dalam mewujudkan penyelesaian masalah Palestina merupakan tuntutan tugas dan misi politik luar negeri Saudi Arabia yang dirumuskan tahun 1943.
Saudi Arabia hingga kini tetap pada pendiriannya menganggap penyelesaian masalah Palestina merupakan togas dan misi politik luar negerinya yang dianggap perlu mendapat perhatian yang serius dan prioritas tinggi (urgent concern and top priority). Di antara upaya Saudi Arabia untuk menyelesaikan konflik, terdapat dua inisiatif perdamaian yang ditawarkan pada tahun 1982 dan 2002.
Inisiatif perdamaian ini menawarkan sebuah solusi perdamaian yang berlandaskan pads Resolusi PBB. Yang memberikan pengakuan kepada Israel untuk tetap eksis dan menawarkan normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab dengan imbalan Israel menerima dan melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan PBB No 242 dan 338 yang meminta untuk mengakliiri pendudukan pada garis batas 1967. Saudi meyakini bahwa usahanya membantu menyelesaikan masalah Palestina merupakan tugas dan tanggung jawab bangsa Arab dan umat Muslim.
Di sate sisi Saudi Arabia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Amerika Serikat, dimana Israel merupakan anak emas Amerika Serikat di Timur Tengah. Isu Palestina telah menjadi duri dalam hubungan Saudi Arabia dan Amerika Serikat sejak Perang Dunia II. Selama ini Saudi Arabia berpandangan kedekatannya dengan Amerika Serikat dapat mempengaruhi sikap Amerika Serikat dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel untuk menjadi penengah yang lebih adil. Namun upaya mempengaruhi sikap Amerika Serikat dalam masalah Palestina tidak efektif, dikarenakan sikap politiknya yang selalu menguntungkan Israel.

Saudi Arabia has a significant place in the Arab's world and Islam. It's caused by status Arab as the biggest country in Arabic peninsula, and the biggest oil's resource, more about 25 % oil's resource in the world. Saudi Arabia has effectively role to finish conflict between Palestine and Israel.
Saudi Arabia's role in finishing conflict Palestine and Israel is his effort and his mission of foreign policy since 1943. Saudi Arabia said that until now the Palestine's problem is an urgent concern and top priority.
Two initiatively peaces offered a peace solving based on United Nations resolutions in 1982 and 2002. This resolution give legality to Israel to exist and offer normalization of relation with Arabic's countries by fee Israel accept that resolution number 242 and 338 which asked to end occupy in the limited line 1967.
Saudi Arabia sure that his effort can finish Palestine's problem as his responsibility of Arabic and all of Moslem. In the other side, Saudi Arabia has relation closely with United States which Israel as his close partner. The Palestine's problem has difficult to Arabs' Saudi and united state's relations since second's war of the world. Arab said that closely with America is as mediator between Palestine and Israel, but his attitude not effectively because always give lucky to Israel.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20771
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tutuhatunewa, Spica Alphanya
"Dalam kurun waktu 1998-1999 Australia menunjukkan perubahan sikap politik (terlihat dalam pelaksanaan politik luar negeri dan sikap aktor/elit politiknya) yang cukup drastis ke sisi negatif kepada Indonesia terkait dengan masalah Timor Timur sampai membuat hubungan kedua negara turun pada titik yang terendah untuk masa lebih dari sepuluh tahun terakhir. Perubahan dalam politik luar negeri Australia yang awalnya sangat bersahabat, dapat dikatakan dimulai ketika terjadi pergeseran dalam kebijakan luar negeri Australia yang lebih memprioritaskan hubungan dengan Amerika Serikat daripada negara-negara tetangganya di Asia termasuk Indonesia, seperti yang terlihat dari Buku Putih Kebijakan Luar Negeri dan Perdagangan Australia tahun 1997.
Ketika isu hak asasi manusia (HAM) mulai menjadi topik utama hubungan internasional bahkan pandangan integratif yaitu pandangan yang menyetujui keterkaitan HAM dengan berbagai bidang lainnya lebih mendominasi dunia, dibandingkan dengan pandangan fragmentatif, publik Australia sebagai bagian dari masyarakat dunia yang demokratis juga makin meningkat kepeduliannya terhadap isu HAM. Dengan letak geografis yang sangat berdekatan, Indonesia dan Timor Timur kemudian menjadi sorotan bagi kampanye HAM Australia.
Perubahan kebijakan luar negeri Australia sebagai suatu entitas terhadap Indonesia dapat dilihat dari perubahan politik luar negeri Australia baik dari kebijakannya (policy) sendiri maupun pernyataan politik aktor-aktornya. Aktor/elit politik yang paling menentukan adalah Perdana Menteri Australia. Secara pribadi, Perdana Menteri Australia John Howard mempunyai kepentingan untuk mengakomodir tuntutan domestik yang diwarnai isu HAM ini terkait dengan ambisinya menjadikan Australia sebagai deputi Amerika Serikat di Asia Pasifik. Alasan pribadi lainnya adalah untuk menaikkan popularitasnya agar dalam referendum Republik Australia (dilaksanakan tanggal 6 November 1999), pandangannya yang monarkis dapat lebih diperhatikan publik dan Australia tetap menjadi bagian dari Kerajaan Inggris."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meita Istianda
"Perubahan drastis yang dialami masyarakat dunia sebagai dampak dari berakhirnya perang dingin telah melahirkan inisiatif-inisiatif baru dalam mengupayakan sebuah tatanan dunia yang damai. Masyarakat Eropa merupakan salah satunya. Mereka merintis usaha tersebut melalui integrasi, tidak hanya di bidang ekonomi tetapi mencakup politik dan urusan dalam negeri, dalam rangka memperkuat kerjasama di antara mereka, melalui Perjanjian Maastricht.
Salah satu pilar dari Perjanjian Maastricht, Common Foreign Security Policy (CFSP) dijadikan pijakan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Mekanisme dalam menjalankan CFSP untuk meraih cita-cita Uni Eropa memasukan unsur HAM dan demokratisasi sebagai prioritas utama yang tidak boleh ditinggalkan dalam menata hubungan dengan negara lain.
Hubungan Uni Eropa terhadap Indonesia pun tidak lepas dari prinsip-prinsip tersebut. Padahal di antara keduanya memiliki pandangan yang berbeda terhadap HAM Uni Eropa memandang HAM dari sudut hak-hak sipil dan politik, sedangkan Indonesia memandang dari sudut hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Di tengah-tengah kontroversi tersebut, kesalingtergantungan antara Uni Eropa dan Indonesia semakin menguat, dipicu oleh membaiknya situasi perekonomian di Asia Pasifik pada dekade 1990-an.
Tesis ini dibuat untuk mengetahui sejauh mana upaya kedua negara dalam mengelola hubungannya berdasarkan prinsip-prinsip mereka yang berbeda, dan ingin melihat apakah isu yang semakin mengglobal sejak Deklarasi Vienna dan Program Aksi ditandatangani oleh hampir seluruh negara di dunia, memiliki peranan sebagai penengah dalam mengimbangi perbedaan pemahaman terhadap HAM apakah isu tersebut berimplikasi terhadap perekonomian kedua negara."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T3059
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Gopokson Tarulitua
"Penulisan ini akan memfokuskan perhatian pada perbandingan kebijakan Bush dan Clinton periode 1989-1996 yang dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti institusional setting (kelembagaan bail( Presiden maupun Badan Eksekutif), Kongres, lingkup sosial, media massa dan faktor ideologi dan munculnya masalah-masalah dalam domestik Cina seperti HAM, Ekonomi (defisit perdagangan dan hak cipta), Taiwan maupun militer.
Pembahasan perbandingan kebijakan Bush dan Clinton pada dasarnya bermuara pada hubungan antara AS dan RRC yang timbul sebagai akibat dari strategic triangle yang dibentuk oleh Presiden Nixon melalui kunjungan bersejarah ke Beijing dan Moskwa tahun 1973. Hubungan AS-RRC berkembang menjadi suatu kemitraan strategis yang terbina oleh ketakutan bersama terhadap kekuatan Siviet pada masa Brezhnev. Belakangan kemitraan tersebut pecah karena hilangnya ancaman Soviet, terjadi peristiwa Tiannanmen dan munculnya Cina sebagai negara adidaya yang potensial.
Kerangka pemikiran penulisan tesis ini adalah bagaimana kebijakan kedua pemimpin tersebut dipengaruhi oleh kondisi internal AS sendiri dan pada saat yang sama juga sebagai respon terhadap kebijakan-kebijakan internasional (faktor eksternal RRC).Kondisi internal yang meliputi lingkungan sosial, lembaga-lembaga/institusi, dan karakteristik pengambilan keputusan menurut Kegley dan Witkoft merupakan input bagi proses pengambilan kebijakan luar negeri Bush dan Clinton dan seluruh proses tersebut mengubah input menjadi kebijakan terhadap lingkungan eksternal yang menjadi landasan bagi para pengambil kebijakan dalam mencapai tujuan nasionalnya.
Masalah-masalah HAM, ekonomi, Taiwan, dan militer Cina merupakan masalah luar negeri yang paling sulit ditanggulangi oleh pemerintah AS khususnya pada masa Clinton dan Bush karena berkaitan erat dengan persepsi-persepsi yang tumbuh di dalam negeri AS sendiri baik itu dari kelembagaan pemerintahan AS maupun persepsi lingkungan Sosial (opini publik yang dituangkan dalam media massa).
Terlihat bahwa dalam menetapkan kebijakan luar negerinya, baik Bush maupun Clinton menggunakan instrumen/alat seperti kebijakan yang berasal dari pengaruh social environment dan institusional setting yang meliputi opini publik, Kongres, maupun perbedaan ideologi (Partai Republik - kubu Bush dan Partai Demokrat - kubu Clinton) yang dituangkan dalam pemberitaan media massa cetak maupun elektronik turut mempengaruhi langkah kebijakan yang diambil kedua pemimpin tersebut. Kebijakan Bush maupun Clinton dalam banyak hal seringkali mengkaitkan isu-isu HAM, dan demokrasi maupun isu Taiwan dalam masalah domestik negeri tirai bambu tersebut untuk menekan Cina dalam mencapai apa yang menjadi tujuan Polugri AS."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situngkir, Berlianto Pandapotan Hasudungan
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan Iuar negeri Thailand terhadap Vietnam dalam periode waktu tahun 1988-1990 yang ditandai dengan adanya upaya-upaya pendekatan terhadap Vietnam dan kebijakan untuk merubah kawasan Indochina dari medan perang menjadi wilayah perdagangan yang menjadi prinsip dasar kebijakan luar negeri Thailand sejak tahun 1988.
Kebijakan luar negeri Thailand terhadap Vietnam pada masa pemerintahan Perdana Menteri Chatichai Choonhavan, sangat berbeda dengan para pendahulunya yang ditujukan untuk 'menjaga dan menjamin keamanan serta stabilitas wilayahnya dari ancaman komunis Vietnam. Pada era Chatichai, paradigma lama itu justru ditinggalkan dan digantikan dengan kebijakan yang kooperatif, yaitu melalui kerjasama ekonomi. Langkah ini ditempuh Chatichai guna meningkatkan stabilitas keamanan wilayah dan kemakmuran negara Thailand. Perubahan kebijakan tersebut juga dilakukan dalam rangka mengantisipasi perubahan isu global pasta perang dingin.
Tujuan dari peneilitian ini adalah untuk menganalisis bentuk kebijakan Iuar negeri Thailand terhadap Vietnam, terutama dalam mengantisipasi perubahan sistem internasional pada periode menjelang berakhirnya perang dingin serta menganalisis kepentingan dan motivasi yang melatarbelakangi perubahan kebijakan luar negeri Thailand tersebut.
Permasalahan dicoba untuk dianalisa dengan menggunakan pemikiranpemikiran dari Rosseau, yaitu mengenai adanya faktor-faktor dan variabel-variabel yang mempengaruhi perumusan kebijakan luar negeri, sedangkan linkage theory-nya membahas mengenai keterkaitan yang erat antara faktor internal dan eksternal; Kegley dan Wittkopf mengenai komponen kebijakan luar negeri Snyder tentang adanya faktor subyektif dari sudut pandang para pembuat keputusan; dan Frankel serta David Easton mengenai pengaruh eksternal dalam memberikan output bagi kebijakan luar negeri suatu negara. Pembahasan permasalahan ini dilakukan melalui penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif-analitis. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui studi kepustakaan dan internet, berupa data-data sekunder.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa perubahan kebijakan Iuar negeri Thailand dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Tekanan faktor internal didominasi oleh kepentingan ekonomi guna meningkatkan kemakmuran Thailand, sedangkan faktor eksternal merujuk pada perubahan pads isu global pasca perang dingin. Dalak kaitan ini, Perdana Menteri Chatichai Choonhavan menggunakan sektor ekonomi sebagai alat politiknya dalam rangka merubah kawasan Indochina dari medan perang menjadi medan pasar. Hal ini dilakukan mengingat Thailand telah berkembang menjadi negara industrialisasi Baru di Asia dan sebagai kekuatan ekonomi regional. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7215
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Apriyono
"Reunifikasi Jerman yang menandai berakhirnya era Perang Dingin yang memisahkan Eropa ke dalam blok Barat dengan blok Timur, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan dalam struktur dunia internasional terutama di kawasan Eropa. Tidak lama kemudian diikuti dengan pecahnya Uni Soviet dan berimbas dengan jatuhnya rezim Komunis di negara - negara Eropa Tengah dan Timur, maka sistem sosialis komunis yang selama ini dianut mulai ditinggalkan oleh negara - negara di kawasan itu. Negara - negara yang secara geografis terletak di Eropa Tengah dan Timur mulai beralih menuju sistem demokrasi Barat dan ekonomi pasar. Akibatnya proses transformasi di kawasan tersebut mulai gencar dilakukan dengan intensif. Di Polandia, proses transformasi dengan cepat dan disertai adanya perubahan mendasar sistem ekonomi Polandia, yang mana sistem ekonomi terpusat diganti sistem ekonomi pasar. Adanya perubahan radikal itu mempunyai pengaruh terhadap perekonomian Polandia yang secara perlahan namun pasti tumbuh dan berkembang.
Jerman merupakan negara besar di Eropa serta menjadi salah satu pendiri Uni Eropa dan berbatasan langsung dengan Polandia di wilayah Eropa bagian Tengah memandang perlu untuk memberikan bantuan di segala bidang termasuk ekonomi kepada Polandia agar dapat berhasil dalam rangka melaksanakan proses transformasinya. Bantuan Jerman diperlukan dan berguna tidak hanya pada proses transformasi saja melainkan untuk membantu Polandia dalam memenuhi kriteria - kriteria yang ditetapkan oleh Dewan Eropa untuk menjadi anggota Uni Eropa. Jerman sangat berkepentingan akan keberhasilan Polandia dalam usaha - usaha itu dikarenakan hubungannya dengan Polandia mempunyai keterkaitan erat dengan sejarah masa lalunya.
Kebijakan luar negeri yang digariskan oleh Jerman sangat mendukung diberikannya bantuan terhadap Polandia baik moril maupun materil untuk mendukung segala upaya Polandia agar dapat menjadi anggota penuh Uni Eropa."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22338
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>