Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153576 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Uus Usman
"Bentuk dasar strategi kebijakan luar negeri Turki yang tertuang dalam program kerja pemerintahan koalisi DSP-MI-IP-ANAP maupun pemerintahan AKP sebagai penggantinya tetap mengutamakan kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif serta diorientasikan untuk berintegrasi dengan negara-negara Barat. Prinsip dasar "peace at home, peace in the world" yang merupakan motto Bapak pendiri Turki Kemal Ataturk secara konsisten tetap menjadi landasan utama dalam implementasi kebijakan politik luar negerinya tersebut. Dalam hal ini, Turki telah mengalami sejarah yang cukup panjang dalam hal kerjasama dengan negara-negara Barat dan Amerika. Seperti pada awal terjadinya krisis di kawasan Teluk, Turki telah mengambil sikap yang tegas sejalan dengan sikap negara-negara barat dan Amerika.
Selain itu, AS secara intensif turut membantu dalam hal menekan negara-negara Eropa terhadap proses keanggotaan Turki di EU dan berusaha memfasilitasi proses perdamaian dalam persengketaan di Pulau Siprus, serta membantu Turki dalam upaya menekan aksi-aksi pemberontakan suku Kurdi (PKK) di perbatasan. Gambaran situasi tersebut di atas mengindikasikan bahwa bentuk kebijakan politik luar negeri yang dihasilkan oleh pemerintahan Turki dan AS mengarah pada sebuah bentuk konformitas dan saling memberikan dukungan pada politik luar negeri masing-masing kedua negara.
Akan tetapi, perbedaan pendekatan dalam menyikapi masalah krisis Irak yang semakin menonjol pada akhir tahun 2002 lalu, menjadi titik balik dalam hubungan kedua negara. Kampanye perang AS terhadap Irak yang ditanggapi secara hati-hati oleh pemerintah baru Turki (AKP), semakin memperlebar jurang pemisah dalam hubungan strategis kedua negara. Seperti diketahui, parlemen Turki menolak membuka front utara dari Turki bagi pasukan AS untuk kepentingan penyerangan ke Irak.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi para pembuat kebijakan Turki (Parlemen) hingga memutuskan untuk menolak draft penempatan pasukan AS di wilayah Turki untuk kepentingan invasi ke Irak ketimbang mendukungnya. Gambaran tentang pergeseran arah kebijakan politik luar negeri tersebut di atas ditinjau dari sisi persepsi sebagian besar anggota Parlemen sebagai sekelompok pemegang kebijakan, yang memberikan tanggapan dan penilaian pada realitas invasi AS sesuai dengan apa yang mereka ketahui.
Temuan dalam tesis ini antara lain menyebutkan bahwa dengan Keputusan Parlemen Turki (TGNA) yang menolak kedatangan 62.000 pasukan militer AS yang akan ditempatkan di tapal batas dengan Irak, merupakan sebuah akibat dari persepsi negatif yang terbentuk dikalangan mayoritas anggota Parlemen terhadap rencana invasi Amerika. Terbentuknya persepsi negatif tersebut disebabkan oleh serangkaian citra tentang realitas invasi yang ternyata dianggap telah melanggar nilai-nilai dan prinsip-prinsip Dewan Keamanan PBB, tidak sesuai dengan sikap mayoritas mayarakat Turki yang menentang perang, memperbesar kekhawatiran akan terjadinya destabilisasi suku Kurdi di wilayah perbatasan serta membangkitkan kembali kenangan masa lalu dimana Turki mengalami kerugian ekonomi setelah bersekutu dengan Amerika Serikat pada krisis Teluk Persia 1991.

Basic strategy of the Turkish foreign policy mentioned in its action plan of coalition government among Democratic Left Party (DSP) Nationalist Movement Party (MI-IP) Motherland Party (ANAP) as well as Justice and Development Party (AKP)'s government as the subsequent administration mainly exercises "Free and Active" policy and western-orientation. "Peace at home, peace in the world" as the basic principle developed by Turkish founding father, Kemal Attaturk, consistently remains the major foundation in implementing its foreign policy. In this regard, Turkey has a long history in building a close relationship with West and United States of America (US). At the beginning of the taking place a crisis in Gulf region, for the example, Turkey adopted a firm behavior, which was in harmony with the policy taken by West countries and US.
In addition, US intensively supports Turkey in giving pressure toward European Union (EU) related with Turkey's membership in EU and mediates peace process concerning Cyprus dispute as well as helps Turkey to press rebel actions of Kurds in the border line. The condition mentioned above indicates that resulting foreign policy between Turkey and US tends to form conformity one and support each other.
However, different approach in responding Iraqi crises dominantly at the end of 2002 became a turning point in the relationship of both countries. War campaign of US against Iraq responded carefully by the new administration in Turkey (AKP) widened some discrepancy concerning a strategic relationship of the countries. As we know, Turkish parliament refused to provide its land for US troops to attack Iraq from north front.
This research aims to describe factors influencing the decision makers of the Turkish parliament so that it decided to refuse a draft of the US troop deployment in Turkish Land for the sake of attacking Iraq rather than supporting it. The writer describes that shift in Turkish foreign policy from the perception of major Turkish parliament member's point of view as a group of decision makers providing respond and judgment on US invasion.
Findings of his research conclude that Decision of Turkish Parliament (TGNA) opposing the deployment of 62.000 US military troops positioned in Turkey's border line with Iraq was a result of negative perception of Turkish Parliament member majority regarding US attack plan. That perception is due to a set of images on US invasion having been regarded in violation of US Security Council values and principles, disagreement with the majority of Turks aspiration who opposed the invasion, enlarging fear of destabilization among Kurds in the border line as well as reviving past experience in which Turkey got a loss when the country allied US during Gulf Crises of 1991.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14770
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinulingga, Eflina Pehulita
"Sistem nilai tukar merupakan salah satu alat kebijakan makroekonomi yang memiliki dimensi nasional dan juga internasional. Model Mundell-Flemming menunjukkan bagaimana negara harus melepaskan salah satu dari tiga situasi makroekonomi yang diinginkan. Penelitian ini akan menyelidiki alasan dibalik penolakan China terhadap tekanan Amerika Serikat dalam isu reformasi sistem nilai tukarnya. Terbukti bahwa China mengorbankan mobilitas modal internasional demi stabilitas nilai tukar dan otonomi kebijakan moneter. Terlebih lagi, sebagai satu negara berdaulat, China melihat otonomi negara menjadi hal yang mutlak.

Exchange rate system is a tool of macroeconomic policy which has both national and international dimension. Mundell-Flemming model exemplifies how a government has to renounce one of the three desired macroeconomic situations. This research will examine China?s raison d'ĂȘtre behind its objection towards pressure from United States of America in the issue of exchange rate system reform. It is proved that China surrenders international modal mobility, in order to have stability of exchange rate and monetary autonomy. Furthermore, as a sovereign state, China perceives state-autonomy in this issue as something absolute."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Raziana Tridjajakasih
"Ambivalensi berasal dari istilah dalam bahasa Inggris "ambivalence" yang artinya kurang lebih: Perasaan atau sikap-sikap yang bertentangan terhadap seseorang atau sesuatu yang timbul pada saat bersamaan, seperti misalnya rasa cinta dan benci (Webster's Kew World Dictionary, Second College Bdi.tipn, 1978). Sumber lain mendefinisikan Ambivalensi sebagai suatu koeksistensi dari perasaan-perasaan yang saling berlawanan terhadap seseorang, obyek atau gagasan. (En Carta, 1997)
Dalam bahasa sederhana dan populer barangkali dapat diistilahkan dengan sikap "pli.n-plan", mendua, atau tidak konsisten yang punya konotasi luas. Misalnya saja sikap suatu pemerintahan terhadap negara atau negara-negara lain yang bersahabat namun pada waktu yang bersamaan juga melakukan hal-hal yang tidak menguntungkan atau bahkan merugikan negara terkait. Kalau dalam definisi pertama perasaan cinta dan benci dapat timbul secara bersamaan dalam diri seseorang?."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Igor Herlisrianto
"Konteks penelitian ini ialah kebijakan luar negeri Indonesia terhadap ASEAN sebagai Ketua Panita Tetap ASEAN ke-36, pada waktu berlangsungnya KTT ASEAN ke- 9, yang berlangsung di Bali, Indonesia pada bulan Oktober 2003. KTT ini menghasilkan kesepakatan Bali Concord II (2003), dimana salah isi pilarnya adalah semua kepala negara anggota ASEAN berkomitmen dalam upaya membentuk ASEAN Security Community (ASC). Pilar ASC adalah pilar yang khusus membahas masalah politikkeamanan ASEAN. Amanat ini kemudian ditindaklanjuti dengan disetujuinya dokumen ASC Plan of Action (2004), yang pada pokoknya merumuskan lima komponen utama sebagai langkah-langkah kebijakan yang harus dilaksanakan dalam memenuhi komitmen tersebut. Pada akhirnya ASC Plan of Action kemudian diadopsi pada KTT ASEAN ke-10 di dalam kesepakatan Vientiane Action Program (2004), yang sejak itu telah mulai dijalankan. Kesepakatan bersama untuk membentuk ASC pada tahun 2015, sesungguhnya menandakan suatu perubahan dalam kerjasama regional ASEAN dalam bidang politik keamanan.
Dalam inisiatif ini, Indonesia berperan besar karena menggagas pembentukan ASC, sebagai bagian dalam Bali Concord II. Indonesia pula yang dipercaya untuk merumuskan ASC Plan of Action. Meski demikian, belum terdapat literature yang cukup yang dapat menjelaskan mengapa Indonesia memiliki kepentingan yang besar terhadap terwujudnya ASC dan komponen-komponen pembangunnya. Oleh karena i t u , berdasarkan paparan di atas, penelitian ini membahas kebijakan luar negeri dalam menggagas pembentukan ASC, tepatnya menjelaskan kepentingan-kepentingan nasional Indonesia dalam bidang politik dan keamanan sehingga akhirnya menggagas pembentukan ASC. Penelitian ini dilandaskan asumsi bahwa berbagai dinamika internal maupun eksternal yang terjadi sejak berakhirnya perang dingin mendorong Indonesia menaruh perhatian terhadap peningkatan dan penguatan kerjasama keamanan ASEAN untuk memenuhi kepentingan-kepentingan nasionalnya. Hipotesa yang diajukan dan dibuktikan dalam penelitian ini adalah bahwa setidaknya terdapat tujuh tujuan Indonesia sehingga mendorong pembentukan gagasan ASC, yakni: Indonesia berkepentingan untuk menjadikan ASEAN lebih terkonsolidasi dan berpadu (kohesif); Kebutuhan politik Indonesia untuk mencitrakan demokratisasi dan HAM di ASEAN dan di dalam negeri.
Kebutuhan Indonesia untuk mendukung kerjasama ekonomi ASEAN dengan kerjasama di politik keamanan ASEAN; Kebutuhan keamanan Indonesia untuk memperkuat platform kerjasama ASEAN di bidang politik dan keamanan ASEAN; kepentingan keamana Indonesia untuk mengamankan kawasan Asia Tenggara dari intervensi negaranegara besar; Kepentingan keamanan Indonesia untuk mengatasi masalah-masalah keamanan non-tradisional termasuk kejahatan transnasional berupa terorisme, dan kebutuhan politik Indonesia untuk meningkatkan kembali (reassert) p e r a n kepemimpinannya (leadership) di ASEAN pasca krisis tahun 1997/1998, selagi menduduki posisi chairman ASEAN.
Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa gagasan Indonesia untuk mendorong pembentukan ASC disebabkan kepentingan politik dan keamanan Indonesia. Indonesia menyadari suatu stagnasi di dalam kerjasama politik dan keamanan ASEAN. Padahal kerjasama politik dan keamanan ASEAN mutlak diperlukan sebab keamanan dan stabilitas satu negara di Asia Tenggara terkait dengan keamanan semua negara di kawasan. Untuk itu Indonesia memandang bahwa ASEAN perlu memiliki prakarsa yang pada pokoknya dapat akan memperkuat kerjasama politik keamanan ASEAN, agar ASEAN mampu merespons dinamika keamanan dan politik yang baru, yakni tantangantantangan aktual baik berupa isu-isu keamanan yang bersifat tradisional maupun nontradisional, serta perkembangan politik lainnya seperti kegamangan ASEAN, dan persoalan kapasitas institusional.
Mengingat terutama karena isu-isu keamanan tersebut dapat menggerus ketahanan nasional sehingga pada akhirnya mengancam ketahanan regional. Untuk itu Indonesia juga memandang bahwa kerjasama politik keamanan ASEAN perlu berkembang dan menjadikan ASEAN sebagai sebuah organisasi yang lebih kompak, kohesif, modern, efisien dan berkapasitas dalam menyelesaikan persoalan di tingkat regional. Dengan kata lain, dengan kehadiran sebuah ASEAN Security Community, Indonesia berharap dapat membuka jalan mencapai tujuan tersebut.

The context of this research is Indonesia`s foreign policy towards ASEAN, as the chairman of the 36th ASEAN Standing Commitee during the Ninth (9th) ASEAN Summit, Held at Bali, Indonesia in October 2003. The ninth summit resulted with the agreements of Bali Concord II (2003), where one of the integral pillars were that all of the ASEAN head of nations agreed themselves to commit towards the creation of the ASEAN Security Community. The ASC pillar is a pillar that exclusively discusess political-security problems amongst members. T his self-instruction was followed through by the agreeing of the documents of the ASC Plan of Action (2004), that basically draws out five main components as the policy paths towards fulfilling the commitment. The ASC PoA was then adopted at the Tenth (10th) ASEAN Summit through the Vientiane Action Program (2004) which has since been carried out. The consensus decision to complete the creation of the ASC by 2015, has signaled a significant shifting of how ASEAN`s regional cooperation on behalf of regional security would be conducted.
In this initiative, Indonesia played a great role because it was actually the one who came up with the idea of ASC and proposed for it to be included in the Bali Concord II, as a part of the Bali Concord II. Indonesia was also entrusted to design the objectives of realizing it through the ASC Plan of Action. Even so, there has been no sufficient literature as to why Indonesia has great interest in the existence of a fully fledged ASEAN Security Community and its subsequent instruments. Therefore, based on the above explanation, this study will explain Indonesia`s foreign policy in proposing the idea of the creation the ASC, to be exact, it will explain Indonesia`s national interest in terms of political and security that eventually lead to its bidding to the creation of the ASC. This research is based on the assumption that the various internal and also external dynamics that has happened since the end of the cold war, has pushed Indonesia to place attention towards the efforts to increase and strengthen ASEAN`s security cooperation, in order to fulfill its national interests. The hypothesizes offered here and has been proved as well in this research area is that there are at least seven of Indonesia`s purposes that has pushed the creation of the ASC idea, that is Indonesia has interest to make ASEAN more consolidated and more cohesive; Indonesia`s political need to promote democratization and human rights at the ASEAN agenda and domestically;
Indonesia`s need to support the economic cooperation of ASEAN with a political-security cooperation dimension; Indonesia`s security need to strengthen the platform of ASEAN`s political security cooperation; Indonesia`s security interest to secure the Southeast Asian region from most likely intervention of big powers outside ASEAN; Indonesia`s security interest to non-traditional security issues; and Indonesia`s political need to reassert and enhance its leadership role in ASEAN after the 1997/1998 crisis, while in the position of ASEAN`S chairman.
As the conclusion will show, Indonesia`s initiative to push for the creation of the ASC was primarily for it`s political and security interests. Indonesia has realized a stagnation in ASEAN`s political security cooperation, post the cold war. When in fact, an ASEAN political security cooperation component is definitely needed considering that the security and stability of one state in Southeast Asia is connected to the security of all states in this region. Therefore Indonesia prefers to see ASEAN to have a initiative that essentially would strengthen ASEAN`s political security cooperation in the future, in order for ASEAN to be able to response the new political and security dynamics, that are actual challenges, either traditional or non-traditional security issues, and also other political developments, such as the uncertainty of ASEAN and the problem of institutional capacity.
Considering that primarily those security issues may may undermine national resilience , therefore threatening the regional resilience. For that it has also has been Indonesia`s concern that ASEAN`s political security cooperation should develop further to make it an organization that is more compact, cohesive, modern, efficient and has the capacity at solving problems at the regional level. In other words, with the presence of an ASEAN Security Community, Indonesia hopes to pave the way to such a goal."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Deplu RI,
321 PEW
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
"Kebijakan luar negeri suatu negara tidak muncul begitu saja dari pembuat-pembuat kepotusan politik,tetapi merupakan suatu produk pengalaman sejarah,keyakinan-keyakinan politik dan ideologi-ideologi yang telah dianut oleh suatu bangsa
"
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Masyarakat Indonesia dan Amerika Serikat adalah dua diantara sekian banyak masyarakat negara yang bercorak plural atau majemuk. Tetapi kendatipun demikian corak oluralisme atau kemajemukan dari dua masyarakat tersebut tidaklah sama
."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky Raymon
"Skripsi ini menjelaskan mengenai peranan ODA (Official Development Assistance) Jepang di Indonesia pasca krisis Asia, dalam memperkuat hubunganekonomi yang asimetris dengan Indonesia, yang bahkan telah ada sebelum krisis Asia. Hubungan-ekonomi asimetris yang dimaksud ialah hubungan yang tidak setara?secara ekonomi antara Jepang dengan Indonesia. Usaha untuk menciptakan kondisi tersebut dianalisis dengan cara melihat kinerja ODA yang ada di Indonesia pasca krisis Asia.
Selain itu pula dalam skripsi ini akan dibahas mengenai sejarah lahirnya ODA dan perkembangan awalnya di Indonesia, serta bagaimana proses formulasi kebijakan ODA Jepang, dari tahap awal hingga pengimplementasiannya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif-analitis.
Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa ODA Jepang memiliki peranan dalam memperkuat hubungan-ekonomi yang asimetris dengan Indonesia, yakni dengan cara memperkuat posisi Jepang dan memperlemah posisi Indonesia secara ekonomi dalam hubungan tersebut.

This thesis explains about the role of Japan's foreign aid or usually called ODA (Official Development Assistance) in strengthening asymmetric economicrelationship with Indonesia, that have been existed before the Asian Crisis . The terminology of asymmetric economic-relationship here refered to unequall relationship?in economic terms?between Japan and Indonesia. The effort to strenghthen that condition can be explained by observing the implementaion of Japan?s ODA to Indonesia.
Besides that, this thesis also explained about the emergence of Japan?s ODA at the first time, the history about the flow of Japan's ODA to Indonesia from Old Order Era up to now, and also about the policy formulation of Japan's ODA, from the beginning until the implementation phase. This research used qualitative method with analytical-descriptive explanation.
The result of this research showed that ODA has role in strenghthening asymmetric economic-relationship between Japan and Indonesia, by strengthening Japan's position and weakening Indonesia?s economic position on that relationship."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hidayat Mukmin
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991
327.16 HID t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mantong, Andrew Wiguna
"Skripsi ini mencari hubungan antara tingkat penerapan bantuan pendidikan Decentralizing Basic Education (DBE) sebagai bentuk kekuasaan produktif Amerika Serikat (AS) dengan tingkat pemahaman budaya demokrasi yang terdiri dari dimensi habitus, ketiadaan etos lama, dan prinsip deliberatif pada siswa-siswi sekolah dasar kelas 5 di Kota Bogor. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain eksplanatif untuk membuktikan ketidakmampuan program yang dilandasi oleh Teori Modernisasi dalam mendukung demokratisasi melalui pendidikan.
Hasil penelitian menyatakan bahwa hubungan tidak terdapat karena keberadaan etos lama yang masih mengakar dalam implementasi bantuan dari pemerintahan Bush yang neokonservatif, alih-alih penampakan bentuk kuasa dalam sebuah struktur ideasional yang tercermin dalam bantuan pendidikan ini.

This undergraduate thesis seeks relation between the level of US Education Aid DBE implementation as a manifest of US Productive Power with the level of student understanding of democratic culture consisted of habits, the erosion of old ethos, and principle of deliberative in 5th grade elementary school students in Bogor City. This research is quantitative with explanative design to prove program? inability founded of Modernization Theory in supporting democratization through education.
The results find that no relation exists due to persistency of old ethos in the implementation of Neoconservative-Bush Administration Aid, instead of the manifestation of power form in an ideational structure reflected from this education aid.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>