Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194504 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ketut Sinardja
"BAB I PENDAHULUAN
Kemajuan dalam bidang anestesiologi antara lain berupa penemuan obat anestetika baru. Hal ini menyebabkan penatalaksanaan anestesia pada bedah mata menjadi lebih baik. Peningkatan tekanan intraokular (TIO) yang hebat dan berbahaya selama pemberian anestesia dapat dicegah. Peningkatan TIO merupakan masalah penting yang hendaknya diperhatikan pada bedah mata intraokular.
Sebelum abad ke XX bedah mata intraokular Umumnya dilakukan dengan analgesia lokal, karena pada waktu itu pemberian anestesia sering menimbulkan penyulit seperti batuk, tahan nafas dan muntah yang menyebabkan kenaikan TIO. Namun menurut penelitian yang dilakukan kemudian telah terbukti, bahwa penyulit yang terjadi lebih banyak dijumpai pada pemberian analgesia lokal daripada pemberian anestesia umum. 1,2,3,4,5,c5
Pada bedah mata intraokular insisi dilakukan melalui kamar depan, yaitu ditempat cairan bola mata mengalir keluar. Bila pada saat itu terjadi peninggian TIO, maka isi bola mata seperti iris, lensa mata dan korpus vitreum akan mengalir keluar, hal ini dapat menyebabkan kebutaan. Sebaliknya bila penurunan TIO terlalu rendah, maka pembedahan akan terganggu. Penurunan TIO yang mendadak dapat menyebabkan dinding bola mata menciut, sehinggga pembuluh darah tertarik dan menyebabkan perdarahan intraokular. 1,2,3,4,5,6
Thaib dan kawan-kawan ( 1978 ) dalam penelitiannya terhadap 412 kasus bedah mata telah membuktikan, bahwa penyulit prolaps iris akibat kenaikan TIO lebih banyak dijumpai pada analgesia lokal dibandingakan dengan anestesia N20 - halotan dengan ventilasi spontan . 3.A,7,8,2
Peninggian TIO pada pemberian anestesia umum dapat terjadi pada saat induksi, intubasi dan pemulihan anestesia.
Pengaruh induksi dan intubasi terhadap TIO merupakan kesatuan pengaruh premedikasi, obat induksi dan pelumpuh otot serta jenis 7,2,10 ventilasi yang digunakan.
Thaib dan kawan-kawan ( 1987 ) telah membuktikan teknik anestesia N20 - halotan dengan menggunakan obat pelumpuh otot vekuronium ternyata dapat menurunkan TIO lebih besar dibandingkan dengan menggunakan anestesia N20 - halotan - pankuronium.9
Mirakhur dan kawan-kawan (1988) telah membandingkan perubahan T1O pada waktu induksi dengan propofol dan tiopental pada 40 kasus bedah mata berencana. Ternyata didapatkan penurunan TIO sebesar 53 % pada induksi propofol dan 40 % pada induksi tiopental, penurunan ini cukup bermakna baik pada induksi tiopental maupun propofol.
Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan perubahan TIO pada induksi dan intubasi dengan tiopental dan propofol yang dikombinasikan dengan vekuronium.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T 6728
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masry
"[ABSTRAK
Latar Belakang. Manajemen jalan nafas merupakan salah satu tahap yang paling penting dalam bidang anestesiologi. Salah satu jenis Alat bantu jalan nafas yang telah dipergunakan secara luas adalah Laringeal Mask Airway (LMA/Sungkup Laring). Pada pemasangan sungkup laring tanpa menggunakan pelumpuh otot membutuhkan kedalaman anestesi yang cukup, Tes klinis yang mudah, akurat dan aplikatif diperlukan untuk menghindari terjadinya komplikasi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan trapezius squeezing test dan jaw thrust sebagai indikator kedalaman anestesi pada pemasangan sungkup laring dengan propofol sebagai agen induksi
Metode. Sebanyak 128 pasien di randomisasi ke dalam 2 kelompok yaitu jaw thrust dan trapezius squeezing test. Seluruh pasien mendapatkan premedikasi dengan midazolam 0.05 mg/kgBB dan Fentanyl 1 mcg/kgBB. Induksi menggunakan propofol titrasi. Manuver jaw thrust dan trapezius squeezing test dilakukan setiap 15 detik. Saat respon motorik hilang dilakukan pemasangan sungkup laring. Dicatat keberhasilan pemasangan, dosis propofol, tekanan darah, laju jantung, dan insiden apneu.
Hasil. Keberhasilan pada kelompok jaw thrust 93.8%, sedangkan trapezius squeezing test yang 90.6%. Penggunaan rerata propofol pada kelompok jaw thrust yaitu sebesar 120.34 mg, sedangkan pada kelompok trapezius squeezing test yaitu sebesar 111,86 mg. Insiden apneu yang pada kelompok jaw thrust terjadi pada 10 (15.6%) pasien, sedangkan pada kelompok trapezius squeezing test sebesar 11 (17.2%) pasien. Tidak terdapat perubahan hemodinamik yang berarti pada kelompok jaw thrust sedangkan sedangkan pada kelompok trapezius squeezing test terdapat perubahan hemodinamik yang berarti di menit ke 3 dan ke 4
Kesimpulan. Trapezius squeezing test tidak lebih baik daripada jaw thrust sebagai indikator klinis dalam menilai kedalaman anestesia pada insersi sungkup laring.

ABSTRACT
Background. Airway management is one of the most important phase in anesthesiology. One of airway device that have been used generally is Laryngeal Mask Airway (LMA). Laryngeal mask insertion without muscle relaxant requires a level of depth anesthesia. An easy, accurate, an applicable clinical indicator were required to avoid complication. This study was determine the comparison trapezius squeezing test and jaw thrust as indicator of depth of anesthesia in laryngeal mask insertion with propofol as induction agent.
Methods. 128 patient have been randomize in to 2 group that are jaw thrust and trapezius squeezing test. All patients were received premedication with midazolam 0.05 mg/kg and fentanyl 1 μg/kg. Induction were done by propofol titration. Jaw thrust and trapezius squeezing test maneuver were done in every 15 second. When motoric respond negative the laryngeal mask were inserted. The successful of laryngeal mask insertion was recorded, propofol consumption, blood pressure, heart rate, and incidence of apnea were also documented.
Result. Laryngeal mask successfully inserted in 93.8% patients in jaw thrust group, and 90.6% in trapezius squeezing test group. Mean of propofol consumption in jaw thrust group is 120.34 mgs, and in trapezius squeezing test is 11.86 mgs. Incident of apnea in jaw thrust group happened in 10 patients (15.6%), and in trapezius squeezing test group happened in 11 patient (17.2%). Hemodynamic in jaw thrust group relatively stable but in trapezius squeezing test there is significant hemodynamic changing in minute third and fourth.
Conclusion. Trapezius squeezing test is not better than jaw thrust as clinical indicators of depth of anesthesia for laryngeal mask insertion.;Background. Airway management is one of the most important phase in anesthesiology. One of airway device that have been used generally is Laryngeal Mask Airway (LMA). Laryngeal mask insertion without muscle relaxant requires a level of depth anesthesia. An easy, accurate, an applicable clinical indicator were required to avoid complication. This study was determine the comparison trapezius squeezing test and jaw thrust as indicator of depth of anesthesia in laryngeal mask insertion with propofol as induction agent.
Methods. 128 patient have been randomize in to 2 group that are jaw thrust and trapezius squeezing test. All patients were received premedication with midazolam 0.05 mg/kg and fentanyl 1 μg/kg. Induction were done by propofol titration. Jaw thrust and trapezius squeezing test maneuver were done in every 15 second. When motoric respond negative the laryngeal mask were inserted. The successful of laryngeal mask insertion was recorded, propofol consumption, blood pressure, heart rate, and incidence of apnea were also documented.
Result. Laryngeal mask successfully inserted in 93.8% patients in jaw thrust group, and 90.6% in trapezius squeezing test group. Mean of propofol consumption in jaw thrust group is 120.34 mgs, and in trapezius squeezing test is 11.86 mgs. Incident of apnea in jaw thrust group happened in 10 patients (15.6%), and in trapezius squeezing test group happened in 11 patient (17.2%). Hemodynamic in jaw thrust group relatively stable but in trapezius squeezing test there is significant hemodynamic changing in minute third and fourth.
Conclusion. Trapezius squeezing test is not better than jaw thrust as clinical indicators of depth of anesthesia for laryngeal mask insertion., Background. Airway management is one of the most important phase in anesthesiology. One of airway device that have been used generally is Laryngeal Mask Airway (LMA). Laryngeal mask insertion without muscle relaxant requires a level of depth anesthesia. An easy, accurate, an applicable clinical indicator were required to avoid complication. This study was determine the comparison trapezius squeezing test and jaw thrust as indicator of depth of anesthesia in laryngeal mask insertion with propofol as induction agent.
Methods. 128 patient have been randomize in to 2 group that are jaw thrust and trapezius squeezing test. All patients were received premedication with midazolam 0.05 mg/kg and fentanyl 1 μg/kg. Induction were done by propofol titration. Jaw thrust and trapezius squeezing test maneuver were done in every 15 second. When motoric respond negative the laryngeal mask were inserted. The successful of laryngeal mask insertion was recorded, propofol consumption, blood pressure, heart rate, and incidence of apnea were also documented.
Result. Laryngeal mask successfully inserted in 93.8% patients in jaw thrust group, and 90.6% in trapezius squeezing test group. Mean of propofol consumption in jaw thrust group is 120.34 mgs, and in trapezius squeezing test is 11.86 mgs. Incident of apnea in jaw thrust group happened in 10 patients (15.6%), and in trapezius squeezing test group happened in 11 patient (17.2%). Hemodynamic in jaw thrust group relatively stable but in trapezius squeezing test there is significant hemodynamic changing in minute third and fourth.
Conclusion. Trapezius squeezing test is not better than jaw thrust as clinical indicators of depth of anesthesia for laryngeal mask insertion.]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58675
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahardika
"Sevofluran adalah obat anestetik inhalasi yang relatif baru, tetapi harganya lebih mahal daripada halotan. Apakah dengan mengurangi aliran gas kurang lebih duapertiga dari yang biasa dipakai di RSUPN CM yang berarti penghematan obat anestetik inhalasi sebesar 66% dan tanpa obat intravena, sevofluran dapat dipakai sebagai teknik anestesia yang lebih murah dan lebih baik. Tujuan penelitian ini membandingkan biaya - keefektifan sevofluran-N20-02 (0,6L/0,3L) untuk induksi dan pemeliharaan anestesia dengan anestesia propofoi-N20-02 (2L/1L)-halotan Penelitian ini melibatkan 17 pasien laki-laki dan 37 pasien perempuan, usia 15-65 (28,57±15,60 tahun), berat badan 26-70 (50±10,56 kg), tinggi badan 145-180 (160±6,70 sm), ASA I, yang menjalani tindakan bedah umum, ortopedik atau ginekologik ringan, tanpa obat premedikasi, lama tindakan antara 30-120 (50,28±5,46 menit) dan tanpa obat pelumpuh otot. Pasien dibagi dalam dua kelompok secara proposif. Kelompok S ( n = 27 ) diberi anestesia dengan gas N20/02 (0,6L/0,3L)-sevofluran, kelompok H ( n = 27) diberi anestesia dengan prcpofol iv-N20/02 (2L/1L)-halotan. Dicatat waktu induksi ( hilangnya refleks bulu mata dan perintah verbal ), waktu pulih ( pertama kali membuka mata, mengikuti perintah verbal, orientasi personal, waktu dan tempat ), efek samping selama prosedur, serta jumlah total pemakaian obat anestetik. Selama tindakan dilakukan pemantauan terhadap tekanan darah, laju nadi, laju nafas, saturasi oksigen dan konsentrasi tidal akhir C02. Waktu induksi lebih singkat dengan propofol. Hilangnya perintah verbal : 7,33±2,60 detik, hilangnya refleks bulu mata : 1 0,26±2, 70 detik. Untuk sevofluran hilangnya perintah verbal : 27,26±3,25 detik, hilangnya refleks bulu mata : 29,85±3,03 detik. Waktu pulih sevofluran lebih singkat daripada halotan. Untuk membuka mata : 4,15±0,66 menit, mengikuti perintah verbal : 4, 78± 1, 12 menit, melakukan orientasi personal, tern pat dan waktu : 6,63±1,04 menit. Sedangkan waktu pulih halotan untuk membuka mata : 23,48±4,57 menit, mengikuti perintah verbal : 26,70±6,91 menit, melakukan orientasi personal, tempat dan waktu : 33,70±10,75 menit. Kekerapan efek samping lebih tinggi pada kelompok H daripada kelompok S. Biaya anestesia per pasien ternyata lebih rendah dengan teknik sevofluran (Rp 1{)1,452,-) dat;pada teknik propofol-halotan (Rp 181.201,37,-).

Sevoflurane is a relative new anaesthetic inhalation agent which is more expensive than halothane. It is a question whether sevoflurane can be used as a better and cheaper anaesthesia technique by reducing two-third of fresh gas flow, which means that it will also cut the cost of anaesthetic drug to 66% and without iv drug. The purpose of this study is to compare the cost-effectiveness between sevoflurane-N20-02 (0,6L/0,3L) for induction and maintenance of anaesthesia with anaesthesia propofol-N20-02 (2L/1L )halothane. This study involved 17 male patients and 37 female patients between 15-65 ( 28,57±15,60 ) years old of age, 26-70 ( 50±10,56 ) Kg of body weight, 145-180 ( 160±6,70 ) CM of height, physical status ( ASA ) I whom underwent general surgery, orthopaedic surgery and mild gynaecology surgery without premedication, the action took between 30-120 ( 50,28±5,46) minutes oftime and without muscle relaxant. The patients were divided into two groups in a proposif way. Group S (n=27) was given anaesthesia with N20-02 (0,6L/0,3L)-sevoflurane, group H (n=27) was given anaesthesia with propoflol-N20-02 (2LIIL)-halothane. We recorded time of induction (the disappearance of eye lashes reflex and verbal response ), time of recovery ( first time patients open their eyes, following verbal order, personal orientation, time and place ), side effect during the procedure and the total dose of the anaesthetic drug. During the action, we monitored the blood pressure, heart rate, respiration rate, 02 saturation and EtC02. Induction time of propofol is much shorter. The disappearance of verbal response is 7,33±2,60 seconds, eye lashes reflex is 10,26±2,70 seconds. For sevoflurane the dissapearance ofverbal rensponse is 27,26±3,25 seconds, eye lashes reflex is 29,85±3,03 seconds. The recovery time of sevoflurane is quicker than halothane. For eyes opening, the time taken is 4,15±0,66 minutes, following verbal order is 4,78±1,12 minutes, having personal, time and place orientation is 6,63±1,04 minutes. With halothane eyes opening took 23,48±4,57 minutes, following verbal order is 26,70±6,91 minutes, having personal, time and place orientation is 33,70±10,75 minutes. Side effects appeared more on the group H than group S. The cost of anaesthesia with sevoflurane for each patient is less ( 161.459 IDR) than with propofol-halothane ( 181.201,37 IDR ).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1999
T59110
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Yasir
"Latar belakang : Telah dilakukan penelitian untuk waktu optimal pemberian fentanil 2 .tg/kg BB dengan tujuan menekan respon kardiovaskuler akibat laringoskopi dan intubasi dengan membandingkan waktu pemberian fentanil 5 dan 7 menit sebelum dilakukan tindakan laringoskopi dan intubasi.
Metode:Tiga puluh enam pasien ASA 1 dan ASA 2 dibagi dalam dua kelompok secara acak masing-masing tediri dari delapan belas pasien. Kelompok pertama diberikan fentanil dosis 2 µglkg BB waktu 5 menit sebelum laringoskopi dan intubasi, sedangkan kelompok kedua diberikan dosis yang sama dengan waktu 7 menit sebelum laringoskopi dan intubasi , data tekanan darah sistolik , diastolik, tekanan arteri rata-rata dan laju jantung dari kedua kelompok dibandingkan sampai 5 menit setelah intubasi.
Hasil : Secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok yang dibandingkan (p>0.05) dalam hal tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rata-rata dan laju jantung akibat laringoskopi dan intubasi.
Kesimpulan : Waktu optimal untuk injeksi fentanil 21tg kg BB-' untuk dapat menekan respon hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi adalah 5 dan 7 menit sebelum tindakan tersebut dilakukan.

Background :This study was designed to examine the optimal time of injection of 2 gg/kg fentanyl to Attenuate circulatory responses due to laringoscopy and tracheal intubation that compared between 5 minute and 7 minute before laringoscopy and tacheal intubation.
Method : Thirty six patients ASA 1 and ASA 2 were randomly in two groups which each group eighteen patients. The patients in group 1 received fentanyl 2 pg/kg 5 minute and group 2 received the same dose 7 minute before laringoscopy and tracheal intubation.
Result : The result of this study were no statistical significant values both of groups in systolic, diastolic, mean arterial pressure and heart rate due to laringoscopy and intubation
Conclusion : The effective time to administer fentanyl 2pg kg _I to protect circulatory response to laringoscopy and tracheal intubation are 5 minute and 7 minute before intubation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18015
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Citra Resmi
"Tujuan : Mengetahui kondisi intubasi 60 delik setelah peinberian rokuronium 0,6 mg/kg berat badan dengan menggunakan teknik induksi kombinasi propofol-efedrin 10 mg intravena dan teknik induksi propolbl intravena.
Desain: Prospektif, data dikumpulkan pada salah pusat penelilian dengan uji acak tersamar ganda.
Metode: 42 pasien dengan status fisik ASA 1 atau 2 yang akan dilakukan pembedahan berencana dengan anestesia uimnl dan intubasi endotrakea disertakan dalaah penelitiaa ini. Pasien dibagi dalam dua kelompok, kelompok I diberikan kombinasi propofol 2,5 mg/kg berat badan-efedrin 10 mg intravena (kelompok efedrin) dan kelompok II diberikan propofol 2,5 mg/kg berat badan intravena (kelompok salin). Premedikasi dengan midazolam 0,05 mg/kg berat badan dan fentanyl 1 pg/kg berat badan diberikau 3 merit sebeluin induksi. Setelah pemberian obat induksi, diberikan rokuronium 0,6 mg/kg berat badan. Kondisi intubasi dinilai bcrdasarkan kritcria Krieg dan peman[auan neuromuskular dengan nicnggunakan Train-of-four pada otot adductor pollicir.
Hasil: Kelompok efedrin didapatkan kondisi intubasi yang sangat baik 85,7% dan baik 14,3%. Kelompok satin didapatkan kondisi intubasi yang sangat balk 75% dan baik 25%.
Kesimpulan . Kondisi intubasi 60 delik selclah pemberian rokuronium 0,6 mg/kg berat badan dengan inenggunakan teknik induksi kombinasi propofol-efedrin 10 ing intravena saina baiknya dengan teknik induksi propofol intravena.

Objective : The aim of this study was to evaluate intubating conditions 60 second after rocuronium 0,6 mg/kg body weight administration using induction technique propofol-ephedrine 10 mg intravenous in combination and induction technique propofol intravenous.
Design : Prospective, randomiked controlled trial study.
Methods : 42 patients with physical status ASA 1 or 2 who were scheduled for elective surgery requiring general anaesthesia and tracheal intubation. Patients were randomly assigned to receive either propofol 2,5 ing/kg body weight-ephedrine 10 mg intravenous in combination (ephedrine group) or propofol 2,5 mg/kg body weight intravenous (saline group). Premedication drugs were midazolam 0,05 mg/kg body weight and fenlanyl l }mg/kg body weight, 3 minute prior to induction. Alter induction drugs were administered. then rocuronium 0,6 inglkg body weight was given. Criteria of Krieg was used to evaluate when intubating conditions and neuromuscular function which was assessed by using Train-of dour monitoring at the adductor pollicis.
Results : In the ephedrine group the intubating conditions were excellent 85,7% and good 14,3%. In the saline group the intubating condition were excellent 75% and good 25%.
Conclusion : intubating conditions 60 second after rocuronium 0,6 mg/kg body weight administration using induction technique propofol-ephedrin 10 mg intravenous in combination as good as induction technique propofol intravenous.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamilah Muhammad Hafidz
"Latar belakang. Teknik Target Controlled Infusion untuk anestesia umum semakin banyak digunakan. Jumlah pasien geriatri yang harus menjalani prosedur operasi semakin bertambah, serta memerlukan pertimbangan khusus mengingat risiko operasi dan pembiusan yang lebih tinggi pada golongan ini. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan konsentrasi plasma (Cp) dan konsentrasi effect site (Ce) propofol menggunakan rumusan Marsh pada pasien geriatri ras Melayu di RSCM dengan dan tanpa pemberian premedikasi fentanil.
Metode. Empat puluh pasien geriatri orang Indonesia Asli status fisik ASA 2, usia > 60 tahun dan BMI 18-30 kg/m2 dirandomisasi. Satu kelompok (20 pasien) mendapatkan Fentanil-Propofol, lainnya (20 pasien) mendapatkan NaCl-Propofol. Pemberian propofol menggunakan TCI rumusan Marsh dengan target konsentrasi plasma. Target Cp dimulai dari 1 µ/ml dinaikkan 1 µ/ml tiap menit sampai tercapai loss of consciousness (LoC) dan diteruskan sampai nilai BIS 45-60 selama 5 menit (steady state).
Hasil. Pada kelompok Fentanil-Propofol saat LoC didapatkan Cp 3,15+0,35 µ/ml dan Ce 1,53+0,53 µ/ml dan saat BIS stabil didapatkan Cp 4,14+0,59 µ/ml dan Ce 2,63+0,60 µ/ml. Pada kelompok Nacl-Propofol saat LoC didapatkan Cp 4,20+0,61 µ/ml dan Ce 2,26+0,56 µ/ml dan saat BIS stabil didapatkan Cp 4,78+0,38 µ/ml dan Ce 3,30+0,52 µ/ml. Pasien-pasien yang mendapatkan fentanil terlebih dahulu memiliki Cp dan Ce yang lebih rendah baik saat LoC maupun saat nilai BIS stabil (P < 0,05).
Kesimpulan. Terdapat perbedaan bermakna antara Cp dan Ce propofol yang diberikan premedikasi fentanil dan yang tidak.

Background. The application of Target Controlled Infusion (TCI) technique in general anesthesia is progressively growing. Number of geriatric patients scheduled for operations increases every year, while this group needs special consideration following the higher risk of surgery and anesthesia. The purpose of our study was to compare the estimated plasma concentration (Cp) and the effect site concentration (Ce) of propofol using Marsh pharmacokinetic model for geriatric patients in Cipto Mangunkusumo Hospital with and without the administration of fentanyl premedication.
Methods. Forty patients, physical status ASA 2, aged > 60, BMI 18-30 kg/m2 randomly assigned to a fentanyl-propofol group or a saline-propofol group. TCI propofol was initiated using Marsh pharmacokinetic model. Initial plasma concentration in each group was 1 µ/ml and increased by 1 µ/ml every minute until there was no eyelash reflex, which defined as loss of consciousness (LoC). Propofol plasma concentration was increased and decreased to reach a stable BIS value between 45-60, considered as Cp and Ce at steady state.
Results. In the fentanyl-propofol group the estimated Cp at loss of consciousness was 3,15+0,35 µ/ml and Ce 1,53+0,53 µ/ml. At steady state, Cp was 4,14+0,59 µ/ml and Ce 2,63+0,60 µ/ml. In the saline-propofol group Cp 4,20+0,61 µ/ml and Ce 2,26+0,56 µ/ml. At steady state, Cp was 4,78+0,38 µ/ml and Ce 3,30+0,52 µ/ml. The estimated Cp and Ce in the fentanyl-propofol group were lower than saline-propofol group (p < 0.05).
Conclusion. There is a significant difference between Cp and Ce in the salinepropofol group and fentanyl-propofol group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Wahyudi
"ABSTRAK
Latar Belakang : Kami mengevaluasi kegunaan dari pemeriksaan rasio jarak
hiomental (HMDR,hyomental distance ratio), yang didefinisikan sebagai rasio
dari jarak hiomental (HMD,hyomental distance) posisi kepala ekstensi maksimal
dengan posisi kepala netral, dalam memprediksi kesulitan visualisasi laring pada
pasien-pasien normal, yang dilakukan pemeriksaan prediktor-prediktor jalan
napas praoperasi dengan skor Mallampati dan jarak tiromental (TMD,
tyhyromental distance) sebagai pembanding.
Metode Penelitian : Praoperasi, kami menilai empat prediktor jalan napas pada
169 orang dewasa yang menjalani anestesi umum. Pelaku laringoskopi adalah
residen anestesiologi minimal tahun ke 2, dan menilai skor Cormack-Lehane(CL)
yang dimodifikasi. Sulit visualisasi laring (DVL,difficult visualization of the
larynx) didefinisikan sebagai CL derajat 3 atau 4. Titik potong optimal (The cutoff
point) untuk setiap tes ditentukan pada titik maksimal daerah di bawah
kurva dalam kurva ROC (Receiver Operating Characteristic). Skor Mallampati
dengan derajat ≥ 3 sebagai prediktor DVL. Untuk TMD ≤ 65 mm dianggap
sebagai prediktor DVL.
Hasil : Didapatkan 21 (12,4%) orang pasien dengan sulit visualisasi laring(DVL).
HMDR memiliki hubungan yang bermakna terkait dengan DVL. HMDR dengan
titik potong optimal 1,2 memiliki akurasi diagnostik yang lebih besar (dengan area
di bawah kurva 0.694), dibandingkan prediktor tunggal lainnya (P <0,05), dan
HMDR sendiri menunjukkan validitas diagnostik yang lebih besar (sensitivitas,
61,9%, spesifisitas, 69,6%) dibandingkan dengan prediktor lainnya.
Kesimpulan :HMDR dengan ambang batas uji 1,2 adalah prediktor klinis handal
dalam memprediksi kesulitan dalam visualisasi laring.

ABSTRACT
Background: We evaluated the usefulness of the hyomental distance (HMD) ratio
(HMDR), defined as the ratio of the HMD at the extreme of the head extension to
that in the neutral position, in predicting difficult visualization of the larynx
(DVL) in apparently normal patients, by examining the following preoperative
airway predictors: the modified Mallampati test, HMD in the
neutral position, HMD and thyromental distance at the extreme of head extension
and HMDR.
Methods : Preoperatively, we assessed the four airway predictors in 169 adult
patients undergoing general anesthesia. A second years resident, performed all of
the direct laryngoscopies and graded the views using the modified Cormack and
Lehane scale. DVL was defined as a Grade 3 or 4 view. The optimal cutoff points
for each test were determined at the maximal point of the area under the curve in
the receiver operating characteristic curve. For the modified Mallampati test,
Class ≥ 3 was predefined as a predictor of DVL. And thyromental distance (TMD)
≤ 65 mm was predefined as a predictor of DVL.
Results : The larynx was difficult to visualize in 21 (12,4%) patients. The HMDR
with the optimal cutoff point of 1.2 had greater diagnostic accuracy (area under
the curve of 0.694), with significantly related to DVL (P <0.05), and it alone
showed a greater diagnostic validity profile (sensitivity, 61,9%; specificity,
69,6%) than any other predictor.
Conclusions : The HMDR with a test threshold of 1.2 is a clinically reliable
predictor of DVL."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Aditianingsih
"Latar belakang dan tujuan: Anastasia subarahnoid adalah salah satu tindakan anestesia regional yang sexing dilakukan untuk bedah sesar. Bupivakain hiperbarik 0,5% adalah obat anestetik lokal yang lazim dipakai untuk tehnik pembiusan tersebut. Posisi tubuh dan gaya gravitasi memiliki efek dan mempengaruhi penyebaran dari obat yang bersifat hiperbarik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh posisi tubuh saat penyuntikan obat bupivakain hiperbarik 0,5% terhadap efek hipotensi yang ditimbulkan.
Metode : Penelitian dilakukan terhadap 90 wanita hamil berstatus ASA I-II usia 17-50 tahun yang menjalani bedah sesar, dibagi secara arak menjadi 2 kelompok duduk dan lateral dekubitus kiri. Setelah dilakukan penyuntikan obat, setelah 2 menit pasien dikembalikan ke posisi terlentang miring kiri 15 derajat, dan dilakukan co loading kristaloid 10 mllkgBB selama 10 menit Dilakukan pencatatan tekanan darah selama operasi setiap 2 menit selama 20 menit pertama clan selanjutnya tiap 5 menit. Ketinggian hambatan sensorik clan ketinggian maksimal hambatan, jumlah total efedrin dan cairan kristaloid yang diberikan selama operasi juga dicatat. Data hasil penelitian diolah dengan menggunakan uji t, uji Mann Whitneydan uji Chi kuadrat.
Hasil : Kekerapan hipotensi antara kelompok posisi duduk dan lateral dekubitus kiri tidak berbeda secara statistik meskipun lebih banyak terjadi pada kelompok lateral dekubitus kiri (67%) dibandingkan posisi duduk (51%). Posisi duduk mengalami hipotensi lebih lambat, derajat hipotensinya lebih rendah dan pemakaian efedrin yang lebih sedikit.
Kesimpulan: Posisi tubuh saat penyuntikan that bupivakain hiperbarik 0,5% pada anestesia subarahnoid mempengaruhi derajat hipotensi yang terjadi pada kasus bedah sesar.

Backgrounds and objectives . Spinal anesthesia is one of the regional anesthesia technique frequently performed for cesarean section. Hyperbaric bupivacaine 0.5% is the most frequent local anesthetic used for this technique. Spread of the hyperbaric local anesthetics is affected by the position of the patient and gravity. In the present study we evaluated the effect of maternal posture whether sitting position during the induction of spinal anesthesia using 05% hyperbaric bupivacaine would induce less hypotension as compared with the left lateral position.
Methods. Ninety pregnant women underwent cesarean delivery were randomly assigned to receive a spinal injection consisting of 12.5 mg 0.5% hyperbaric bupivacaine in either sitting or left lateral position. After 2 minutes, patients were turned to a 15 degrees left lateral position and intravenous infusion of 10 mllkgbodyweigh t of crystalloids was started for 10 minutes along with the induction of spinal anesthesia. Intraoperative blood pressure were recorded , in this study hypotension is defined as a decrease in systolic blood pressure less than 100 mmHg or 20% below baseline values. The height of sensory block was measured, time to T6 spread of the sensory block and the highest level of sensory blockade were noted. Total given of ephedrine and crystalloids rntraopertive were also noted. Statistical evaluation was performed using t?test, Mann Whitney test and Chi square as appropriate.
Result : The incidence of hypotension was not significantly different between sitting and left lateral position but more often in lateral position (51% vs 67%). Sitting position group has longer interval of the first hypotension (p=0.008),less severe of hypotension (p=0.042), less ephedrine supplementation (p=0.014), and longer interval for reaching the T6 dermatome blockade (p <0,0001).
Conclusion: Maternal posture during induction of spinal anesthesia using 0.5% hyperbaric bupivacaine has influence to severity of hypotension for cesarean section.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Permatasari
"Menggigil pasca anesthesia merupakan komplikasi yang potensial bagi pasien pasca bedah yang dapat mengakibatkan Iiipoksemia karena peningkatan konsumsi oksigen jaringan dan peningkatan kadar C02 dalam darah. Hal ini berbahaya tenriama bagi pasien dengan riwayat penyakit jantung iskemi atau pasien-pasien dengan fungsi cadangan ventilasi yang terbatas. Teiah banyak upaya pencegahan maupun penanggulangan dilakukan untuk mengatasi menggigil pasca anestesia, obat yang lazim digunakan adalah petidin. Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa ketamin juga efektif untuk mencegah menggigil pasca anestesia.
Penelitian ini bertujuan membuktikan apakah ketamin lebih efektif dibandingkan petidin untuk mencegah menggigil pasca anestesia inhalasi N20/02/isofluran, Penelitian ini bersifat uji klinis tersamar ganda yang membandingkan keefektifan ketamin intravena 0,5 mg/kb BB dengan petidin 0.35 mg/kg BB. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSCM dengan jumlah sampel 40, laki-laki dan perempuan, usia 16-65 tahun, status fisik ASA I-II. Kriteria penolakan adalah mempunyai riwayat alergi terhadap petidin dan ketamin, memiliki riwayat kejang, hipertensi dan penyakit jantung koroner, jika suhu tubuh sebelum induksi >38 °C atau <36°C dan bila pasien mengkonsumsi obat inhibitor monoamine oksidase. Kriteria pengeluaran jika operasi berlangsung >180 menit atau kurang dari 30 menit, mendapatkan darah atau komponen darah, memerlukan perawatan di ruang rawat intesif pasca pembedahan., mengalami komplikasi selamaanestesia seperti syok atau henti jantung dan bila intra operatif pasien mendapatkan obat klonidin, prostigmin, petidin dan ondansetron."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaki Farhan
"Pendahuluan : Sevofluran memiliki waktu pulih sekitar 3 sampai 4 menit lebih cepat dibandingkan dengan isofluran dan 3 menit lebih lama dibandingkan desfluran. Sevofluran berkontribusi menyebabkan emergence agitation. Pemberian propofol 0,5 mg/kg setelah pengakhiran sevofluran diharapkan tidak lebih buruk dibandingkan kelompok kontrol dan dapat menurunkan kejadian emergence agitation pada pasien pediatrik bedah oftalmologi. Metode : Penelitian ini adalah uji acak tersamar ganda yang melibatkan 74 pasien anak usia 2-6 tahun yang menjalani operasi oftalmologi di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien akan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang diberikan propofol 0.5 mg/kg dan kelompok kontrol yang diberikan NaCl 0,9% setelah pengakhiran sevofluran. Setelah tindakan selesai akan dicatat waktu pulih dan dilakukan observasi kejadian emergence agitation dengan menggunakan skala PAED. Hasil : Median waktu pulih pasien yang diberikan propofol 19 (10-29) menit dibandingkan kelompok kontrol 15 (9-20) menit dengan P <0,05. Kejadian emergence agitation pada kelompok propofol 10,8% dibanding kelompok kontrol 51,4% dengan P< 0,001. Kejadian efek samping hipotensi dan desaturasi 0%. Simpulan : Pemberian propofol 0,5 mg/kg setelah pengakhiran sevofluran memiliki waktu pulih yang lebih buruk dibandingkan kelompok kontrol, namun secara klinis tidak berdampak signifikan dan dapat menurunkan insiden emergence agitation.

Background: Sevoflurane has a recovery time that is approximately 3 to 4 minutes faster than isoflurane and 3 minutes longer than desflurane. Sevoflurane contributes to emergence agitation. Administration of propofol 0.5 mg/kg after discontinuation of sevoflurane is expected to be no worse than the control group and can reduce the incidence of emergence agitation in pediatric ophthalmology surgical patients. Methods: This study is a double-blind randomized trial involving 74 pediatric patients aged 2-6 years undergoing ophthalmic surgery at dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital. Patients were divided into two groups: one group received 0.5 mg/kg propofol and the control group received 0.9% NaCl after the termination of sevoflurane. After the procedure, recovery time was recorded and the incidence of emergence agitation was observed using the PAED scale. Results: The median recovery time for patients who received propofol was 19 (10- 29) minutes compared to the control group at 15 (9-20) minutes with P < 0.05. The incidence of emergence agitation in the propofol group was 10.8% compared to 51.4% in the control group with P < 0.001. The incidence of side effects such as hypotension and desaturation was 0%. Conclusion: Administration of 0.5 mg/kg propofol after the termination of sevoflurane results in a longer recovery time compared to the control group, but this is not clinically significant and can reduce the incidence of emergence agitation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>