Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 77310 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Willem Benyamin Mariawassy
"Sesuai dengan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang, maka dalam Pelita ke IV prioritas diletakkan pada Pembangunan bidang ekonomi dengan titik berat pada sektor Pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri, baik industri berat maupun industri ringan yang akan terus dikembangkan dalam Pelita-pelita selanjutnya.
Disamping itu pembangunan industri harus makin diarahkan pada usaha memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, sehingga mengurangi ketergantungan pada impor serta meningkatkan ekspor hasil-hasil industri. Dengan demikian diharapkan bahwa jumlah penduduk yang hidup dari sektor-sektor di luar pertanian semakin bertambah dan komposisi ekspor Indonesia akan berubah, yaitu tidak lagi hanya berupa bahan mentah akan tetapi akan berubah menjadi bahan yang telah diolah dan bahan jadi.
Pembangunan industri diarahkan pada usaha memperluas lapangan kerja dan kesempatan kerja dalam usaha meningkatkan taraf hidup masyarakat yang lebih baik, namun industri juga dapat membawa pengaruh negatif terhadap lingkungan hidup masyarakat dengan menimbulkan pencemaran fisik seperti pencemaran air, tanah,dan udara serta pencemaran sosial yang seringkali menimbulkan keresahan-keresahan sosial yang rawan dan gawat.
Oleh karena itu perlu ditempuh cara atau pola dalam prosedur pelaksanaan pembangunan industri untuk menghindari keresahan-keresahan sosial dan mengembangkan ekonomi masyarakat ketingkat yang lebih baik, sehingga masyarakat memperoleh manfaat dari pembangunan industri tersebut. Sehubungan dengan persyaratan tersebut, maka dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup seyogyanya proyek-proyek yang sudah berjalan seperti halnya dengan PT. Pupuk Kujang di Desa Dawuan memerlukan evaluasi pengaruh, untuk mengetahui pengaruh positif dan pengaruh negatif yang telah terjadi sehingga diharapkan akan sangat berguna bagi penelaan kembali kebijaksanaan dan pengawasan dalam usaha meningkatkan kualitas lingkungan yang optimal di masa mendatang. "
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Nugroho
"Dalam proses produksinya, PT. Pupuk Kujang mendirikan Central Control Building sebagai pusat pengawasan proses produksi Kujang 1B. Dengan menggunakan sistem peralatan canggih dengan nama Distribution Control System (DCS) maka diperlukan kondisi ruang kerja yang khusus, yaitu harus berada dalam suhu ruangan 18°C. Keadaan itu mengakibatkan pekerja terpajan suhu dingin selama jam kerjanya. Suhu tersebut merupakan suhu yang berada di bawah nilai suhu nyaman. Hal ini mengakibatkan pekerja merasa terganggu oleh dingin tersebut yang pada akhirnya dapat berpengaruh negatif bagi kesehatan pekerja.
Penelitian ini membahas tentang gambaran pajanan suhu dingin terhadap kejadian hipotermia pada pekerja operator DCS di ruang kontrol Gedung CCB Kujang 1B PT. Pupuk Kujang Cikampek tahun 2009. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan disain cross-sectional.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu control room Gedung CCB Kujang 1B berada di bawah nilai ambang batas (NAB) suhu nyaman (21?30°C) berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi Nomor SE.01/MEN/1978. Namun, nilai Indeks Suhu Bola Basah (ISBB) control room tersebut masih berada dalam batas yang diperkenankan menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No: Kep- 51/Men/1999.
Penelitian ini juga tidak menemukan adanya kasus hipotermia pada pekerja operator DCS, karena penurunan suhu tubuh yang terjadi masih berada di batas suhu normal. Berdasarkan hasil tersebut, peneliti menyarankan agar dilakukan pengendalian engineering berupa pengaturan ulang suhu control room hingga mencapai suhu nyaman yang diperkenankan (21°C) atau pemasangan pembatas yang memisahkan antara pekerja dengan sumber pendingin (air conditioner - AC) serta memperbaiki fasilitas alat pelindung diri seperti jaket, sarung tangan dan penutup kepala. Memperbanyak aktivitas fisik saat bekerja serta lebih sering menyempatkan minum dan makan juga disarankan agar panas tubuh tidak hilang.

In the process of production, PT. Pupuk Kujang establish Central Control Building as the central control of the production process Kujang 1B. By using the system with the sophisticated equipment Distribution Control System (DCS) is required then the condition that a special work space, must be in the room temperature 18°C. Circumstances that result in workers expose to cold temperatures during work hours. That temperature is below the temperature comfortable. This resulted in the workers feel disturbed by the cold, which in turn can negatively affect the health of workers.
This study discusses illustration exposure to cold temperature incident hypothermia service workers on the DCS control room in Building CCB Kujang 1B PT. Pupuk Kujang Cikampek 2009. This research is descriptive quantitative research with cross-sectional design.
Results of research indicate that the temperature control room building CCB Kujang 1B under the threshold limit value (TLV) temperature comfortable (21-30°C) based on the Circular Letter of the Minister of Manpower and Transmigration No. SE.01/MEN/1978. However, the value of Wet Bulb Globe Temperature (WBGT) control room is still in the limit permitted by the Minister of Manpower Decree No: Kep-51/Men/1999.
This study also did not find any cases hypothermia on the DCS operator workers, because a decrease in body temperature that°Ccurred was in the normal temperature limits. Based on the results, the researchers suggested that the form of engineering control be reset control room temperature to reach a comfortable temperature allowed (21°C) or the barrier that separates between the workers, the source cooling (air conditioner) equipment and improve facilities such as selfprotective jacket, gloves and headgear. Increase physical activity at work and more often to eat and drink also suggested that body heat is not lost.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Dwirani
"PT. Pupuk Kujang (PTPK) merupakan salah satu industri penghasil pupuk atau produsen pupuk urea terbesar di Indonesia dengan kapasitas produksi terpasang sebesar 570.000 ton/tahun dan produk antara ammonia sebesar 330.000 ton/tahun serta produk sampingan yaitu nitrogen dan oksigen. Limbah yang berpotensi besar mencemari lingkungan pada pabrik PTPK adalah ammonia (NH3) karena dalam unit proses pembuatan pupuk urea pada PTPK, Limbah yang dikeluarkan banyak terkandung ammonia dalam bentuk gas. Apabila Limbah ini dibuang langsung ke udara ambien dan langsung dimanfaatkan oleh manusia untuk bernafas maka hal ini akan mempengaruhi kualitas udara ambien dan mengurangi derajat kesehatan manusia, tidak hanya akan memberikan potensi bahaya terhadap para pekerja, melainkan juga terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik.
Gas ammonia adalah suatu gas yang tidak berwarna, dan menimbulkan bau yang sangat kuat. Dalam udara, ammonia dapat bertahan kurang lebih satu minggu. Gas ammonia terpajan melalui pernapasan dan dapat mengakibatkan iritasi yang kuat terhadap sistem pernapasan. Karena sifatnya yang iritasi, polutan ini dapat merangsang proses peradangan pada saluran pernapasan bagian atas yaitu saluran pemapasan mulai dari hidung hingga tenggorokan.
Terpajan gas ammonia pada tingkatan tertentu dapat menyebabkan gangguan pada fungsi paru-paru dan sensitivitas indera penciuman.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, diketahui bau ammonia yang ditimbulkan dari kegiatan proses produksi masih sangat terasa pada siang dan malam hari baik itu di lingkungan kerja maupun di luar lingkungan kerja yaitu lingkungan permukiman masyarakat sekitar. Gangguan saluran pemapasan lebih banyak dikeluhkan oleh pekerja pabrik (terpajan ammonia risiko tinggi) dibandingkan pekerja non pabrik (terpajan ammonia risiko rendah). Sementara itu, di lingkungan permukiman masyarakat pun, sebagian besar merasa terganggu dengan bau dari gas ammonia tersebut.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah 1) Adakah hubungan antara konsentrasi ammonia di kedua lingkungan kerja tersebut dengan gangguan kesehatan pekerja (gangguan saluran pernapasan), 2) Apakah terdapat hubungan yang nyata antara segmentasi demografi usia, lama tinggal, dan status pekerjaan dengan persepsi masyarakat mengenai kualitas udara yang terkontaminasi ammonia?
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah 1) Adanya hubungan yang signifikan antara konsentrasi ammonia di kedua lokasi tersebut di atas dengan gangguan kesehatan pekerja (gangguan saluran pemapasan), bahwa pekerja pads zona pemajanan konsentrasi ammonia risiko tinggi mempunyai kemungkinan relatip untuk menderita gangguan saluran pernapasan lebih besar daripada pekerja pada zona pemajanan dengan konsentrasi ammonia risiko rendah, 2) Terdapat persepsi yang berbeda secara nyata mengenai kualitas udara ammonia di lingkungan permukiman berdasarkan segementasi demografi usia, lama tinggal, dan status pekerjaan.
Variabel penelitian adalah konsentrasi gas ammonia, gangguan saluran pernapasan dan persepsi masyarakat. Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan pengukuran langsung, kuesioner, wawancara dan observasi iangsung. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan rencana kelola lingkungan yang terdapat di PTPK, dan arch angin dominan. Besar sampel berdasarkan formulasi tertentu dan pemilihan responden berdasarkan purposive sampling untuk masyarakat, dan stratified random sampling untuk pekerja.
Analisis data dilakukan untuk membuktikan hipotesis yaitu analisis chi square test untuk membuktikan hipotesis pertama, dan analisis chi square test untuk membuktikan hipotesis kedua.
Analisis kualitas udara dilakukan pada dua zona pemajanan, yaitu lingkungan kerja terpajan konsentrasi ammonia risiko tinggi dan lingkungan kerja terpajan konsentrasi ammonia risiko rendah. Hasil analisis memperlihatkan pads zona pemajanan konsentrasi ammonia risiko tinggi, kualitas udara ammonia pada lingkungan kerja pabrik sebagian besar berada di atas nilai ambang batas yang ditetapkan (25 ppm) yaitu unit kerja urea sebesar 35,51 ppm; unit kerja ammonia sebesar 23,33 ppm; unit kerja utilitas sebesar 34,0 ppm; dan unit kerja bagging sebesar 35,07 ppm. Sedangkan pada zona pemajanan konsentrasi ammonia risiko rendah, kualitas udara ammonia di lingkungan kerja non pabrik berada di bawah nilai ambang batas yang ditetapkan, sebesar 0,102 pprn pada main office, dan sebesar 0,085 ppm pads daerah diktat dan construction office. Sementara itu kualitas udara ammonia untuk lingkungan permukiman masyarakat berada di bawah nilai ambang batas yang ditetapkan (2 ppm). Hasil kualitas udara ambien untuk ammonia memperlihatkan pada dusun Poponcol sebesar 0,013 ppm, dan dusun Pejaten sebesar 0,022 ppm.
Analisis perhitungan odds ratio dengan chi square test menunjukkan adanya kebermaknaan hubungan antara konsentrasi ammonia pada kedua zona terpajan ammonia risiko tinggi dan rendah dengan gangguan saluran pernapasan, batuk, asma, dan kesulitan bemapas (p-value <0,05). Sedangkan untuk gangguan saluran penapasan, batuk dengan dahak, tidak memiliki kebermaknaan hubungan (p-value>0,05). Hasil perhitungan memperlihatkan odds ratio batuk sebesar 2,1; odds ratio batuk dengan dahak sebesar 1,3; odds ratio asma sebesar 1,8; odds ratio kesulitan bemapas adalah 1,1.
Berdasarkan hasil analisis chi square test, diperoleh hasil yaitu tidak terdapat hubungan yang beimakna antara demografi usia, lama tinggal, dan status pekerjaan terhadap persepsi mengenai kualitas udara yang terkontaminasi ammonia.
Menjawab beberapa rumusan perrnasalahan di atas, beberapa kesimpulan dibuat sebagai berikut:
1. Konsentrasi ammonia di lingkungan kerja terpajan ammonia risiko tinggi, yaitu unit urea, unit utilitas, dan unit bagging, telah melampaui NAB (25 ppm), dan di unit ammonia berada sedikit di bawah NAB. Sementara itu konsentrasi ammonia di lingkungan kerja terpajan ammonia risiko rendah berada di bawah NAB (25 ppm).
2. Pekerja yang berada pada zona yang terpajan konsentrasi ammonia risiko tinggi, mempunyai risiko 2,1 kali lebih besar mengalami gangguan batuk; 1,8 kali lebih besar mengalami gangguan asma; 1,1 kali lebih besar mengalami gangguan kesulitan bemapas, dibandingkan pekerja yang berada pads zona yang terpajan konsentrasi ammonia risiko rendah.
3. Persepsi kualitas udara ammonia sangat menyengat tidak dipengaruhi oleh usia seseorang, lama tinggal dan status pekerjaan (bekerja dan tidak bekerja). Persepsi seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor lain seperti pengetahuan internal seseorang, kebutuhan dan pengalaman.
Berdasarkan hasil dan pembahasan, saran yang dapat diberikan adalah:
1. Pencemaran udara ruangan pada unit bagging dapat dikurangi dengan membuat ventilasi yang sesuai dan memasang filter untuk menangkap polutan dari sumber dan polutan dari udara luar ruangan.
2. Diinstruksikan keharusan penggunaan APD bagi pekerja yang terpajan gas ammonia di lingkungan kerja terpajan ammonia risiko tinggi khususnya dalam penggunaan masker, baik itu masker with canister ataupun masker with catridges. Hal ini dikarenakan untuk melindungi pernapasan pars pekerja dari berbagai polutan, khususnya gas ammonia yang terhirup di lokasi kerja.

PT. Pupuk Kujang is the biggest one of fertilizers industry with production capacity 570.000 ton urea annually and 330.000 ton ammonia per year. Also PTPK produces side products, which are nitrogen and oxygen. Pollution that has become potential pollution to the environment at PTPK is ammonia, because in unit process of urea fertilizers making, the emission contain ammonia in gas phase. If the emission is directly exhausted to ambient air it continuously inhale by human being, it will effect to ambient air quality and human health, not only potentially effect to factory worker, but also effect to public community which are living near by industrial area.
Ammonia gas is a colorless gas with a strong odor. In the air, ammonia will last about one weeks. Ammonia gas exposed by inhalation and can cause strong irritation to respiratory system. This pollutant can irritate the inflammation process of upper respiratory, to the nose and throat. Exposure ammonia gas in certain level can effect to pulmonary function and odor sensitivity.
Based on field research, odor of ammonia which is caused by production process still strong in the morning and in the night time, both of workplace environment and public housing environment. The effect to respiratory symptoms are more complained by factory worker rather than non factory worker. Besides, most of the public feel annoyed by the strong odor of ammonia.
Research problem identified from the background are 1) Is there any association between ammonia concentration at factory workplace and office workplace to worker health symptoms (which is respiratory symptoms)?, 2) Is there any association between public perception to ammonia polluted air quality with demography segmentation, which are ages, length of stay, and occupational status.
Research hypothesis are following 1) There is association between ammonia concentration at workplace that exposures to high risk and exposures to low risk to health effect of factory worker. Most of the worker in high risk zone have more risk factor to get respiratory symptoms rather than the worker in low risk zone, 2) There are di ferences perception to air quality based on demography segmentation, which are ages, length of stay, and occupational status.
Research variable are a ammonia gas concentration, a respiratory symptoms, and community perception. Collecting data have been done by primary measurement, questionnaire, in deep interview, and field observation. Location were chosen based on environmental and management planning (rencana kelola lingkungan), from the dominant wind rose. Sample size were defined based on certain formulation. Respondent samples of public were chosen based on purposive sampling and respondent samples of worker were chosen based on stratified random sampling.
Data analyzed using chi square test analysis to verify the first hypothesis, and also chi square test analysis to verify the second hypothesis.
Air quality analysis have been done at two exposure zone, which are workplace exposure to high risk, and workplace exposure to low risk. Conclusion of analysis shows, at most of workplace exposure to high risk, ammonia air quality over threshold limit value (25 ppm) which are 35,61 ppm at urea plant unit, 23,33 ppm at ammonia plant unit, 34,0 ppm at utility plant unit, and 35,07 ppm at bagging plant unit. Meanwhile, at the workplace exposure to low risk, ammonia air quality below threshold limit value, which are 0,102 ppm at main office and 0,085 at diktat and construction office. At the public housing environment, ammonia air quality is in below threshold odor concentration (2 ppm). The result of ambient air quality for ammonia gas shows 0,013 ppm at dusun Poponcot and 0,022 ppm at dusun Pejaten.
Odds ratio analysis shows there are significantly association between concentration ammonia at both zone to respiratory symptoms, cough, asthma, and shortness of breath, which are odds ratio for cough 2,1; odds ratio for cough with phlegm 1,3; odds ratio for asthma attack 1,8; and odds ratio for shortness of breath 1,1. It means that worker in high risk zone have more risk factor to get respiratory symptoms rather than the worker in low risk zone.
Chi square test analysis shows there are not significantly association between demography segmentation of ages, length of stay, and occupational status to perception of ammonia contaminated air odor.
To answer the problems, there are several recommendation following:
1. Ammonia concentration at the workplace exposure to high risk such as urea plant, utility plant, and bagging plant are over the TLV, and at ammonia plant, the concentration is below the TLV. Meanwhile, ammonia concentration at the workplace exposure to low risk, which are main office and diktat are below the TLV.
2. The worker in high risk zone have risk probability to get symptoms of cough 2,1 times; asthma attack 1,8 times; and shortness of breath 1,1 times more larger than the worker in low risk zone.
3. The perception of smell a strong ammonia odor does not influenced by ages, length of stay, and occupational status of person. The perception could be influenced by other factor, such as know ledges of the people, needs of people, and experiences.
Based on result and analysis, there are several recommendation following:
1. Indoor air pollution at bagging plant unit cart minimized with make a appropriate ventilation and put in air filter to minimize the pollutant from the source and pollutant from the outside.
2. Good instruction for using personal protective equipment to the worker at workplace that exposure to high risk, such as masker with canister, or masker with cartridge, to prevent the worker respiratory from kind of pollutants especially inhaled ammonia gas at the workplace.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14902
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yumaida
"Pemeliharaan merupakan aktifitas penting dalam suatu perusahaan, terutama perusahaan pengolahan pupuk. Pemeliharaan yang baik akan menjamin kelancaran kegiatan operasional. Namun tetap saja, setiap kegiatan operasional dan pemeliharaan yang dilakukan oleh suatu perusahaan tidak akan pernah bisa lepas dari risiko yang mungkin terjadi. Untuk menghindari maupun meminimalisir terjadinya risiko tersebut maka perlu dilakukan analisis risiko. Analisis risiko yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk memperoleh usulan penanganan risiko kegagalan pada pabrik pengolahan pupuk NPK Granular. Dengan menggunakan metode FMEA, diperoleh risiko kritis yang kemudian dianalisis lebih lanjut menggunakan FTA untuk memperoleh basic event sehingga dapat diusulkan tindakan penanganan risikonya.

Maintenance is the most important activity in a company, and also in fertilizer processing factory. Good quality maintenances will guarantee the process in right way. But the operational process and maintenance process always have risk probability. Risk analysis is needed to avoid and minimize the risk. In my research, the risk analysis is purposed to obtain options in managing risk for NPK Granular fertilizer processing factory. FMEA is used to obtain the risk crisis and FTA is used to obtain the basic event."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S658
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1992
S40822
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1993
S40658
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1994
S40925
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1990
S48801
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1991
S48778
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>