Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 69050 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rochida Rasidi
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: W. kalimantani ditemukan pertama kali pada tahun 1980 oleh Palmieri dkk pada lutung P. cristatus di Kalimantan. Parasit ini mirip dengan W. bancrofti yang merupakan parasit filaria terpenting di dunia. Parasit ini hanya ditemukan pada manusia, tidak terdapat pada hewan, sehingga pengobatan, patologi dan imunologi penyakit filariasis ini tidak dapat dipelajari dengan baik (model hewan yang baik sampai sekarang belum ditemukan). Ditemukannya W. kalimantani pada lutung Presbytis memberikan landasan untuk memakai parasit dan hewan tersebut sebagai model wukereriasis. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perkembangan larva filaria W. kalimantani dalam nyamuk Ae. togoi sebagai vektor eksperimental. Nyamuk Ae. togoi yang dipelihara di laboratorium diinfeksi dengan mikrofilaria W. kalimantani dari lutung P. cristatus. Nyamuk disimpan dalam kamar dengan suhu 26° C dan kelembaban 80%. Setiap hari setelah infeksi 10 ekor nyamuk dibunuh, 5 ekor langsung dibedah dalam larutan garam faal untuk mempelajari perkembangan larva, dan 5 ekor lainnya dimasukkan dalam alkohol panas 70% untuk kemudian diwarnai dengan trikrom agar dapat diukur panjang, lebar dan ekor larva. Pengukuran dilakukan dengan mikrometer dengan pembesaran 100 dan 450 kali; setiap hari diukur ± 30 ekor larva.
Hasil dan Kesimputan:
1. Larva W. kalimantani menjadi bentuk infektif dalam nyamuk Ae. togoi daLam waktu 16 1/2-20 1/2 hari setelah infeksi. Panjang larva stadium III W. kalimantani tidak berbeda banyak dengan Larva stadium III W. bancrofti (1655,8-1648,7 μ).
2. Pola perkembangan larva W. kalimantani dalam nyamuk Ae. togoi menyerupai perkembangan Larva W. bancrofti dalam nyamuk Cx. guinquefasciatus. Kami berpendapat bahwa nyamuk Ae. togoi dapat dipakai sebagai vektor eksperimental di laboratorium.
"
1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maskana
"ABSTRAK
Research on the community structure of earthworm has been carried out on the edge area of the Gunung Halimun National Park. This research emphasizes on the population of earthworm, density, association, and the environmental effect.
Three species of earthworm were found ; Allolobophora rosea, Pheretima javanica, and P. capensis , A. rosea belongs namely to Megascolecidae family, while both species of P. jacanica and P. capensis belongs to the Lumbricidae family.
P. javanica was well distributed and found five research locations ; Citalahap, Cisarua 1, Cisarua I , Legokheulang and Cipongkor. P. capensis was not found in Cisarua I while A. rosea was not found in Citalahap.
Population of these three species were Relatively high A. rosea (60591100m2), followed by P. javanica (1191 I. 100m2), and P. capensis (863 1 100m2). Distribution patterns of the earthworm at five locations seem to be clumped together into one species group. The association of the three species at five different locations were only found in Legokheulang; between P. javanica and P. capensis, and in Cipongkor between P. javanica and A. rosea.
Beside pH and humidity of soil, other environmental factors such as air temperature, ground surface temperature, air pressure, light intensity, and thickness of mulch affect the earthworm populations.
Observation on cocoa production showed that within 90 days, A. rosea produced three pea of cocon containing one egg as an embryo. This condition leds us to believe that A. rosea production is low, it means that this species is not commercially feasible. But, from the protein point of view that the content o1 A. rosea (38.63%) can be very useful as a source protein for animal chew, human food, and medicine."
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The current study investigated the effect of temu ireng (Curcuma aeruginosa rhizome) sequester on parasitic worm infection in primary school students located in Kecamatan Taman Sari in West Jakarta
.."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Christine Hendrie
"Filariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing Filaria dan ditularkan melalui gigitan nyamuk. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat diberbagai negara tropis dan subtropis termasuk di Indonesia dengan perkiraan 6 juta orang terinfeksi filariasis (2004). Pada tahun 2000 WHO mendeklarasikan "The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by 2020" dan Indonesia merupakan salah satu negara yang menyepakati kesepakatan tersebut. Strategi dari program tersebut adalah dengan pengobatan tahunan berbasis komunitas pada populasi yang berisiko menggunakan dietilkarbamazin (DEC) 6mg/kg berat badan dalam kombinasi dengan albendazol 400 mg. Oleh WHO dianjurkan untuk mengevaluasi program eliminasi karena anak-anak dengan serodiagnosis pada anak berusia 6-10 tahun untuk mengetahui apa transmisi masih berlangsung. Oleh sebab itu, peneliti ingin meneliti lebih lanjut tentang penggunaan serodiagnosis, Brugia Rapid, dalam memantau keberhasilan program eliminasi filariasis setelah 5 tahun pengobatan kombinasi DEC-abendazol di daerah endemik filariasis timori, Pulau Alor dengan mengetahui prevalensi antibodi anti filaria IgG4 pada anak-anak sekolah dasar. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder IgG4 dengan Brugia Rapid dari desain studi uji cross sectional pada Anak Sekolah Dasar setelah 5 tahun pengobatan. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan prevalensi IgG4 pada berbagai kelompok umur dengan nilai tertinggi pada usia 10 tahun (6,78%). Terdapat perbedaan bermakna pada prevalensi IgG4 pada anak usia < 10 tahun (1,41% - 2,63%) dibandingkan dengan anak usia > 10 tahun (6,78%). Perbedaan prevalensi juga diamati antara kelompok laki-laki (4,94%) dan perempuan (3,03%) meskipun perbedaan ini tidak bermakna. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa prevalensi IgG4 pada anak Sekolah Dasar tidak dipengaruhi jenis kelamin tapi dipengaruhi oleh umur.

Filariasis is a disease caused by filarial worms and transmitted to humans through mosquito bites. The disease is still a public problem in tropical and subtropical countries including Indonesia where it is estimated that 6 million people were infected filariasis (2004). In 2000 WHO launched "The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by 2020" and Indonesia is one of the countries agreed in this agreement. The strategy of this program is an annual treatment of Diethylcarbamazine Citrate (DEC) 6mg/kg body weight in combination with 400 mg albendazol to risked population. To evaluate the success of the program, WHO recommended to use serodiagnosis in children aged 6-10 years. Therefore, this research is proposed to investigate furthur the use of serodiagnosis, Brugia rapid, in monitoring the success of the filariasis elimination program after five years treatment with a combination of DEC-Albendazole (2002-2007) in filariasis timori endemic area, Alor Island by determining the prevalence IgG4 anti-filaria antibody in primary school children. The research was conducted using secondary data of IgG4 detected by Brugia rapid from a cross sectional study in Primary School Children after 5 years treatment. The result showed that there was differences in the prevalence of various age groups with the highest prevalence at the age of 10 years (6,78%) . The differences of the prevalence between children < 10 years old (1, ...% - 2,..%) and children > 10 years old (6,78%) is significant. However, the difference of IgG4 prevalence between boys and girls is not significant. This study revealed that sex of the children did not influence the prevalence of IgG4 but it was influenced by age."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Wijaya
"ABSTRAK
Penerapan pengobatan massal dalam memberantas cacingan murid sekolah dasar di kota
Depok telah bertahun-tahun dilaksanakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan program pemberantasan cacingan dengan penerapan pengobatan massal
(pendekatan blankei treatmeny terhadap prevalensi cacingan serta perilaku hidup bersih
dan sehat murid sekolah dasar di kelurahan Mcmyung Depok dengan desain penelitian
rancangan potong lintang atau crow; sectional. Scbanyak 438 sampel murid sekolah dasar
dipilih secara acak dari 795 total populasi murid kelas satu, kelas tiga dan kelas lima
sekolah dasar di kelurahan Meruyung Depok.
Dari penelitian ini diperolch rata-rata prevaiensi cacingan murid adalah 1,l% dan
gambaran kondisi kebersihan murid mengalami perbaikan tiap kelasnya, separuh
respondcn keias lima memiliki sikap baik namun pengetahuan dan praktek/ perilaku
hidup bersih dari murid kelas lima umumnya buruk. Data diolah dengan menggunakan
uji chi square dan diperoleh tidak ada hubungan yang bermakna antara pengobatan
massal terhadap prevalensi cacingan dan kondisi kebersihan diri anak. Pada penelitian ini
juga dihasilkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara karaktcristik murid
dengan prcvalcnsi cacingan. Namun berdampak pada kebiasaan minum obat cacing pada
murid yang diberikan oleh orang tuanya di rumah.

ABSTRACT
Applying of' mass medication in fighting against worm infestation in primary school in
town of Depok have through years executed without existence of data survey early and
also evaluation survey. This research aim to for the influence of wormy eradication
program with applying of mass medication (approach of treatment blanket) to obtain the
prevalence on worm infestation and clean living behavior at primary school using cross
sectional study design in sub-district of' Meruyung Depok using transversal crosscut
device or sectional cross. ln amount of 438 students of primary school were randomly
selected from the 795 total population of first class student, third class student and iitth
class student in primary school in the Sub district Meruyung Depok.
From this research obtained prevalence rate of worm infestation of the student was I, 1%
and there was an improvement condition of hygiene of the student, knowledge and clean
living behavior of fifth class students majority badness. Data were analyzed using Chi
square to see the relation of mass medication to obtained the prevalence of worm
infestation. It was revealed that mass medication do not have any relation with wormy
PICVUIUIIUC UIIU U15 UUIIUILIUII UI. |l_y5lG|lC U1 UIC DLUUCIIL UUUHUDC LHCIU Wilb HU blglllllbdlll.
ditterence amon the class but it took influence in habit of taking medicine worm to
children that given by their parents at home.

"
2007
T34440
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Infeksi cacing merupakan salah satu infeksi kronik yang banyak menyerang anak balita dan anak usia sekolah dasar. Pada penelitian ini ingin diketahui pengaruh infeksi cacing terhadap pertumbuhan anak balita yang kurang kalori protein. Sebanyak 90 balita yang kurang kalori protein tingkat I (KKPI) dari beberapa posyandu di kelurahan Kramat, Jakarta Pusat diperiksa tinjanya dengan cara Kato-Katz. Anak yang terinfeksi cacing diobati dengan pirantel pamoat 10 mg per kg berat badan. Setelah pengobatan, berat badan anak dipantau selama 3 bulan, untuk melihat perubahan status gizi. Agaknya pengobatan infeksi cacing saja belum dapat mengubah status gizi seluruh penderita askariasis. Mungkin jumlah kalori yang dikonsumsi anak asetiap harinya kurang mencukupi untuk kebutuhan tumbuh kembang anak."
MPARIN 9 (1-2) 1996
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efikasi tiga macam obat cacing terhadap jumlah telur dan jenis cacing pada anak babi. Sejumlah 24 ekor anak babi yang terinfeksi cacong parasit secara alami dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan derajat infeksi cacing dan bobot badan. Kelompok 1 tidak mendapat obat cacing; kelompok 2 mendapat febantel 10% dosis tunggal 50mg per bobot badan; kelompok 3 mendapat albendazol 20% dosis tunggal 25mg/kg bobot badan; dan kelompok 4 mendapat oksibendazol dosis tunggal 10mg/kg bb. Sampel tinja diambil 3 hari pertama setelah pengobatan. Setelah itu penimbangan dan pengambilan sampel tinja dilakukan setiap 10 hari sekali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampai hari ke-60, kelompok yang mendapat albendazol tidak memperlihatkan telur cacing Ascaris, sedangkan cacing Trichuris sp. walaupun berkurang, tapi masih ditemukan telurnya. Untuk cacing tipe strongyle dan Strongyloides sp., hasil ini terlihat setelah hari ketiga pemberian antelmintik."
MPARIN 10 (1-2) 1997
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Suatu studi mengenai pola kandungan cacing parasitik pada tikus liar telah dilakukan di Pulau Siberut, Sumatera Barat, dengan tujuan untuk mengungkap keanekaragaman jenis, habitat, inang, penyebaran dan peranannya terhadap kesehatan masyarakat. Sejumlah 513 spesimen terdiri atas 499 dan 14 spesimen (10 dan 3 jenis) cacing parasitik ditemukan pada 27 ekor tikus mentawai (Rattus lugens) dari 30 ekor yang dikoleksi (90%) dan pada 3 ekor tikus pagai (Maxomys pagensis) dari 6 ekor yang dikoleksi (50%). "
MPARIN 12 (1-2) 1999
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Telah dilakukan penelitian di daerah sekitar Kampus UI depok untuk mengetahui jenis-jenis cacing endoparasit pada saluran pencernaan tikus Rattus spp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 60 tikus yang ditangkap pada tahun 1988 dan 1991 ada 4 jenis cacing endoparasit yaitu 2 dari kelas Nematoda (Rictularia sp. dan Viktorocara sp.) dan 2 jenis lainnya dari kelas Cestoda (Raillietina sp. dan larva strobilocercus Taenia taeniaeformis). Jenis-jenis tikus Rattus yang tertangkap dan terinfeksi ada 5 jenis, yaitu R.tiomanicus, R.argentiventer, R.norvegicus, R.exulans, dan R.rattus diardi
"
MPARIN 6 (1-2) 1993
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Puspita
"Latar belakang: Filariasis limfatik dan infeksi cacing usus merupakan masalah kesehatan yang penting di Indonesia. Pada tahun 2000, WHO telah mencanangkan program eliminasi filariasis di negara endemis, termasuk Indonesia. Strategi program tersebut dengan pengobatan tahunan berbasis komunitas pada populasi yang berisiko menggunakan dietilkarbamazin (DEC) 6mg/kg berat badan dalam kombinasi dengan albendazol 400 mg, selama 5 - 10 tahun.
Tujuan: Mengetahui efektivitas pengobatan kombinasi DEC-albendazol pada program eliminasi filariasis terhadap cacing usus. Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder dari desain studi longitudinal berupa prevalensi infeksi cacing usus Ascaris lumbricoides, cacing tambang, dan Trichuris trichiura sebelum, selama, dan setelah pengobatan filariasis selama 5 tahun (tahun 2002-2007) di Desa Mainang, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.
Hasil: Pada tahun 2002 sebelum pengobatan didapatkan prevalensi A. lumbricoides, cacing tambang, dan T.trichiura berturut-turut 34,3%, 28,7%, dan 11,2%. Pada tahun 2003, prevalensi turun menjadi 22,3%, 13,0%, dan 8,5%. Prevalensi terus mengalami penurunan setiap tahun dan pada tahun 2006 prevalensi menjadi 17,8%, 0,7%, dan 0,7%. Namun pada tahun 2007 didapatkan kenaikan angka prevalensi menjadi 27,6%, 4,4%, dan 1,9%. Sedangkan pada 28 sampel kohort didapatkan prevalensi A. lumbricoides, cacing tambang, dan T.trichiura berturut-turut 37,0%, 35,7%, dan 7,1% pada tahun 2002. Dan di akhir pengobatan, prevalensi A.lumbricoides tetap tinggi, yaitu 25,9%, sedangkan prevalensi cacing tambang dan T.trichiura telah turun hingga 0%.
Kesimpulan: MDA yang diberikan setahun sekali selama 5 tahun berturut-turut efektif menurunkan prevalensi infeksi cacing tambang dan T.trichiura, namun tidak cukup poten dalam menurunkan prevalensi infeksi A.lumbricoides.

Background: Both lymphatic filariasis and intestinal helminth infections are important public health problems in Indonesia. WHO launched a filariasis elimination program in 2000 targeting all endemic countries, including Indonesia. The strategy is to treat all the population at risk annually, using diethylcarbamazine (DEC) 6 mg/kg in combination with albendazole 400 mg, for 5 ? 10 years.
Objective: To determine the efficacy of the DEC-albendazole combination in treating intestinal helminth infections. Methods: This research uses secondary data from a longitudinal study held in Mainang Village, Alor, East Nusa Tenggara. The data show the prevalence of Ascaris lumbricoides, hookworm, and Trichuris trichiura infections, before, during, and after the 5-years filariasis treatment (2002 ? 2007).
Results: Before the treatment in 2002, the prevalence of A. lumbricoides, hookworm, and T.trichiura infections were 34,3%, 28,7%, and 11,2%. In 2003, the prevalence decreased to 22,3%, 13,0%, and 8,5%. The prevalence continuously decreased each year and in 2006 it was 17,8%, 0,7%, and 0,7%. But in 2007, there was an increase in prevalence to 27,6%, 4,4%, and 1,9%. In the 28 cohort samples, the prevalence of A. lumbricoides, hookworm, dan T.trichiura infections were 37,0%, 35,7%, and 7,1% in 2002. At the end of the treatment, the prevalence of A.lumbricoides infection was still high (25,9%), but the prevalence of hookworm and T.trichiura infections decreased to 0%.
Conclusion: The Mass Drug Administration (MDA) given once a year for 5 consecutive years is effective to reduce the prevalence of hookworm and T.trichiura infections, but it is not effective for A.lumbricoides.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>