Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27476 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Joyce Setyawati
"ABSTRAK
Pengamatan kualitas indra penglihatan telah dapat kita ikuti sejak tahun 1987 dengan keluarnya surat keputusan Menteri Kesehatan yang mengatakan kebutaan merupakan bencana nasional. Kemudian survai morbiditas mata dan kebutaan yang diselenggarakan Departemen Kesehatan pada tahun 1982 menunjukkan kebutaan dua mata 1,2% dari jumlah penduduk (1,2). Katarak merupakan penyebab kebutaan utama, pembedahan merupakan suatu penanggulangan kebutaan karena katarak. Pembedahan katarak pada prinsipnya dibedakan menjadi 2 cara yaitu pengambilan lensa secara utuh dan pengambilan lensa dengan meninggalkan kapsul posterior. Prinsip bedah katarak yang terakhir ini disebut sebagai bedah katarak ekstra kapsular. Cara pembedahan katarak terakhir ini kini lebih disukai dengan makin dikenalnya pemakaian lensa intraokular (3).
Kejadian penyulit selama atau pasta bedah katarak dapat selalu terjadi. Kesulitan membedah katarak ekstra kapsular antara lain, pupil yang kecil dan tekanan bola mata yang tinggi. Kedua hal tersebut akan menyulitkan pengeluaran dan pembersihan sisa-sisa lensa disamping penyulit--penyulit karena tingginya tekanan bola mata.
Kesulitan mengeluarkan massa lensa menyebabkan manipulasi yang lebih banyak pada iris dan endotel kornea. Hal ini merangsang terjadinya iritis dan oedema kornea. Sisa korteks lensa yang tertinggal dapat menimbulkan uveitis. Disamping itu pupil yang kecil pada bedah katarak akan lebih menyulitkan peradangan lensa intraokular.
Setiap tindakan berupa pengirisan konjungtiva, kornea, sklera maupun manipulasi iris pada bedah katarak ektra kapsular akan menimbulkan reaksi radang dimana akan terbentuk mediator peradangan yaitu prostaglandin, khususnya PGE2 ( 4 ). PGE2 selain menimbulkan reaksi radang pasca bedah dapat juga menimbulkan penciutan pupil. Di mata penghambatan sintesa prostaglandin akan mencegah terjadinya penciutan pupil.
Untuk mendapatkan midriasis yang cukup telah dipergunakan bermacam--macam obat terutama yang bekerja melalui saraf autonom yakni golongan obat simpatomimetik dan antikolenergik ( 4,5 ).
Di Bagian Ilmu Penyakit Mata RSCM 1 jam pra bedah katarak ekstra kapsular midriasis diperoleh dengan tropikamid 1% dan fenilefrin 10% ( 6 ). Meskipun demikian penciutan pupil masih dapat terjadi juga. Manipulasi pada bedah intraokular agaknya menimbulkan keluarnya mediator peradangan prostaglandin yang menyebabkan penciutan pupil selain menyebabkan peradangan pasca bedah intraokular ( 7 ).
"
1990
T58490
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sofyetti
"Walaupun insiden infeksi intra okular setelah operasi katarak menurun secara tajam selama 30 tahun terakhir tetapi hal tersebut masih merupakan salah satu penyulit bedah yang paling menimbulkan bencana. (1) Pada permulaan abad ke 20 infeksi setelah bedah intra okular lebih kurang 10 % (Axenfeld, T. 1908). Setelah teknik aseptik dipopulerkan terdapat penurunan infeksi intra okular yang tajam. Sebelum tahun 1950 angka kejadian endoftalmitis pasca bedah menurun menjadi 1 %. (2). Setelah tahun 1945 dilaporkan penurunan menjadi 0,35 % (1), bahkan penelitian lain melaporkan terjadi penurunan sampai 0,1% (3). Penurunan angka infeksi bakteri pasca bedah dari permulaan abad ke 20 sampai sekarang berkurang disebabkan oleh perbaikan teknik aseptik yang digunakan dalam bedah mata. (1). Infeksi ini umumnya disebabkan oleh terjadinya kontaminasi pada saat pembedahan baik dari adneksa mata pasien ataupun dengan alat-alat dan bahan yang digunakan waktu operasi termasuk tetesan dan cairan yang dipakai biasanya untuk membersihkan bilik mata depan. (3,4). Untuk mencegah infeksi dianjurkan pemakaian antibiotik infeksi subkonjungtiva. (3,5)"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T58510
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhri Rahman
"Program Operasi Katarak Gratis merupakan salah satu program kerja Dinas Kesehatan Kota Depok yang telah dilaksanakan sejak tahun 2004 dan pada tahun 2015 target program operasi katarak di Kota Depok tidak terpenuhi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang membahas tentang evaluasi program operasi katarak gratis di Kota Depok pada tahun 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak tercapainya target program operasi katarak gratis di Kota Depok disebabkan oleh kurangnya pelatihan yang diberikan kepada petugas kesehatan di masyarkat, kurangnya sosialisasi program operasi katarak gratis di masyarakat dan banyaknya masyarakat Kota Depok yang telah terdaftar menjadi pasien BPJS. Di era BPJS saat ini masyarakat yang terdaftar menjadi pasien BPJS tidak diperbolehkan mengikuti program operasi katarak gratis karena dapat berpotensi terjadinya pembiayaan ganda terhadap pasien tersebut.

Free Cataract Surgery Program has been implemented since 2004 in Depok. However, in 2015 the target of cataract surgery program in Depok is not fulfilled. This study is a qualitative descriptive study with aim to evaluate the free cataract surgery program in Depok 2015. The results showed that the target of free cataract surgery program not fulfilled caused by the lack of training that given to health workers in the community, lack of socialization about free cataract surgery program, and majority of public who already have registered in BPJS. In BPJS era, people who have registered in BPJS are not allowed to register for free cataract surgery program because it would be a double burden for BPJS.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
S64934
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Referano Agustiawan
"Tujuan: Mengetahui jumlah berbagai kategori IMT pada penduduk Lombok usia ?50 tahun, prevalensi katarak senilis, proporsi katarak senilis di kelompok IMT rendah dan mencari hubungan IMT dengan katarak senilis.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional cross-sectional, meliputi 2720 subyek dari 68 klaster. Semua subyek dilakukan kunjungan rumah untuk pemeriksaan oftalmologi yang meliputi pemeriksaan visus secara kasar dengan pin-hole, pemeriksaan lensa serta segmen posterior menggunakan senter, dan oftalmoskopi langsung. Setiap subyek dihitung IMT-nya. Hubungan IMT dan katarak senilis dihitung dengan analisa statistik multivariat.
Hasil: Subyek yang dapat diperiksa secara lengkap sebesar 93,5% dari semua target. Prevalensi katarak di Lombok 12,4%. Penduduk yang masuk dalam kategori IMT severe thinness 13,6%, mild thinness 12,7%, normal 59%, mild overweight 7,7%, dan severe overweight 7%. Proporsi katarak senilis pada IMT rendah sebesar 36,6%. Tidak ada hubungan secara statistik antara IMT dan katarak senilis.
Kesimpulan: Prevalensi katarak senilis di Lombok masih cukup tinggi, dan diperlukan penanganan yang komprehensif dan lintas sektoral. Distribusi IMT di penduduk Lombok usia ?50 tahun merupakan distribusi normal. Perin diteliti lebih lanjut tentang hubungan antara katarak senilis dan IMT dengan memperhatikan jenis katarak dan faktor-faktor resiko katarak yang lain.

Objective: To determine the frequency of each category of BMI, prevalence of senile cataract, proportion of senile cataract in thin subjects, and the relationship between thinness and senile cataract of population aged 50 years and older living in Lombok.
Method: An observational cross-sectional study was carried out involving 2720 subjects aged 50 years. and over divided into 68 clusters. Home visits were conducted for ophthalmology examination including visual acuity evaluation with pin-hole, inspection of posterior segment and lens using flash light, and direct ophthalmoscopy. HMI was calculated after ophthalmology examination. Relations between BMI and senile cataract was anal-zed using multivariate statistical method.
Result: Ninety three point five percent subjects were examined completely. Prevalence of senile cataract in Lombok was 12,4%, severe thinness category was 13,6%, mild thinness 12,7%, normal 59%, mild overweight 7,7%, and severe overweight 7%. Proportion of senile cataract in subjects with low BMI was nearly 36,6%. No stastitical correlation was found between BMI and senile cataract.
Conclusion: Prevalence of senile cataract in Lombok is quite high. More comprehensive cataract management is needed. Normal BMI distribution was detected in this study. Further study is necessary to find the relationship between BMI and senile cataract regarding contribution of cataract maturation, type and other risk factors."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mas Andam Syarifah
"Katarak menjadi penyebab kebutaan tertinggi di Indonesia. Dilaporkan oleh Kementrian kesehatan RI bahwa hasil survey yang dilakukan terhadap penduduk dibeberapa kota besar di Indonesia sebanyak 3% mengalami kebutaan, dan 81% dari nilai tersebut diakibatkan oleh katarak. Cara yang paling ampuh dalam mengatasi katarak ialah operasi dan perawatan setelahnya. Namun, diperlukan biaya 70 juta rupiah untuk operasi satu mata. Salah satu cara yang dihimbau ialah dengan mendeteksi dini pada kelainan mata. Pemeriksaan dilakukan oleh seorang spesialis mata yaitu Ophtalmology, dengan menggunakan bantuan fundus image mata dapat merepresentasikan keadaan pasien. Oleh karena itu diperlukan cara yang mampu mendeteksi katarak secara otomatis. Proses pembelajaran mesin menjadi cara yang banyak digunakan dalam menyelesaikan berbagai masalah, seperti masalah supervised atau masalah unsupervised. Untuk mengklasifikasi pasien katarak atau normal, dapat dibantu dengan metode Convolutional Neural Network (CNN) dengan model arsitektur VGG16 yang merupakan metode pembelajaran dengan algoritma deep learning biasa digunakan sebagai metode penyelesaian masalah gambar. Fundus image mata akan diekstrak menjadi fitur map yang akan menjadi ciri dari data. Kemudian setiap fitur map diolah melalui lapisan lainnya. Setiap lapisan berisikan parameter yang perlu dioptimasi agar proses pembelajaran data menjadi mudah dan efektif. Oleh karena itu diperlukan metode optimasi yang dapat mencari parameter terbaik yang dapat meminimumkan fungsi loss. Pada penelitian ini, dibangun metode optimasi RAdam berbasis Lookahead yang mampu mempercepat proses komputasi dan mempertahankan stabilitas dari learning rate. Dari hasil eksperimen pengklasifikasian fundus image mata katarak dan mata normal menggunakan model CNN dengan arsitektur VGG16 dan optimasi Lookahead-RAdam mendapatkan nilai loss 0,00608, akurasi 97,5% dan waktu lama proses 2388,081 detik.

Cataracts are the leading cause of blindness in Indonesia. It was reported by the Ministry of Health of the Republic of Indonesia that the results of a survey conducted on the population of several big cities in Indonesia were 3% blind, and 81% of this value was caused by cataracts. The most effective way to deal with cataracts is surgery and aftercare. However, it costs 70 million rupiah for one eye surgery. One of the recommended ways is for early detection of eye disorders. The examination is carried out by eye specialists, namely Ophthalmologists, using the help of a fundus image of the eye to represent the patient's condition. However, specialists in Indonesia are not evenly distributed throughout the country. Therefore, we need another way that can detect cataracts automatically. The machine learning approach is an approach that is widely used to solve various problems, such as supervised problems or unsupervised problems. There are many methods to help classify cataract or normal patients, one of which is by the Convolutional Neural Network (CNN) with the VGG16 architectural model which is a learning method with deep learning algorithms commonly used as a method of solving image problems. The Fundus image of the eye will be extracted into a feature map that will characterize the data. Then, each feature map is processed through other layers. Each layer contains parameters that need to be optimized so that the data learning process becomes easy and effective. Therefore, we need an optimization method that can find the best parameters that can minimize the loss function. In this study, constructed the RAdam optimization based Lookahead which is able to accelerate the computation process but also maintain the stability of the learning rate. From the experimental results of the classification of the fundus images of cataract and normal eye using the CNN model with the VGG16 architecture and the optimization Lookahead-RAdam, the value of loss is 0.00608, accuracy of 97.5% and a processing time of 2388.081 seconds."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ellya Thaher
"Rendahnya jumlah operasi katarak di Puskesmas binaan Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) dapat dilihat dari data 5 tahun terakhir yang memperlihatkan bahwa jumlah operasi hanya sebanyak 47 operasi setahun, untuk itu perlu diteliti mengapa penderita katarak tidak memanfaatkan fasilitas operasi katarak yang telah disediakan di Puskesmas.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang: persepsi penderita terhadap penyakit dan pengobatan, persepsi penderita terhadap pelayanan kesehatan, faktor jarak tempat pelayanan kerumah, faktor biaya operasi katarak, faktor kebutuhan yang dirasakan penderita dan pemanfaatan pelayanan operasi katarak di Puskesmas.
Penelitian ini dilakukan di 3 Puskesmann yaitu: Puskesmas Lubuk Alung, Sicincin dan Tarusan. Sebagai informan adalah penderita katarak yang sudah seharusnya di operasi dan penderita katarak yang sudah di operasi tetapi tidak memanfaatkan pelayanan operasi katarak yang ada di Puskesmas, penelitian ini juga melibatkan Kepala Puskesmas dan perawat Puskesmas.
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara mendalam. Informan terdiri dari 11 orang penderita katarak, 2 orang diantaranya telah dioperasi di tempat lain.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:
1. Hampir semua informan tidak mengetahui penyebab timbulnya katarak, tetapi semua informan tahu pengobatan katarak dan akibat jika tidak dioperasi.
2. Sebagian besar informan mengetahui bahwa di Puskesmas ada pelayanan operasi katarak dengan kualitas cukup baik.
3. Hampir semua informan mengatakan bahwa jarak ketempat pelayanan dari rumah dekat dan tidak menjadi hambatan.
4. Sebagian besar informan tidak tahu berapa biaya operasi katarak, mereka ada yang mempermasalahkan dan ada yang tidak mempermasalahkan sesuai dengan kesanggupan mereka.
5. Semua informan sangat menginginkan agar mata mereka yang buta dapat melihat kembali.
6. Sebagian besar informan keluarganya berobat ke Puskesmas dan sebagian besar mereka pemah berobat ke Puskesmas. Alasan mereka tidak memanfaatkan pelayanan operasi katarak yang tersedia di Puskesmas adalah karena takut operasi dan tidak ada biaya.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: hambatan utama yang dihadapi informan adalah rasa takut operasi dan tidak ada biaya untuk operasi. Untuk meningkatkan pemanfaatan pelayanan operasi katarak dimasa datang, maka diperlukan penyebarluasan informasi, agar semua masyarakat mengetahui bahwa di Puskesmas ada pelayanan operasi katarak. Penyuluhan yang terus menerus tentang penyakit katarak serta memberikan informasi yang rinci tentang biaya operasi katarak. Untuk mengatasi hambatan biaya diharapkan subsidi dari pemerintah daerah bagi masyarakat yang tidak mampu.

The Analysis of Cataract Patients Behavior Who Didn't Utilize the Cataract Surgery Facility at Puskesmas Lubuk Alung, Sicincin and Tarusan, West Sumatera Province, 2000Low number of cataract surgery in Community Health Center (Puskesmas) cultivated by Community Eye Care Institution (BKMM) can be seen from last 5 years data which showed numbers of surgery only 47 a year, it need to take investigated the reason why cataract patients does not utilize cataract surgery service facility at the Puskesmas.
This research objective is to gather information about patients perceptions to the disease and its therapy, healthcare service, distance factor, surgery cost factor, perceived need by the patients and the utilization of the cataract surgery service at the Puskesmas.
This research done in 3 Community Health Center such as Lubuk Alung, Sicincin and Tarusan. The informant is a cataract patient that actually has to be operated and already operated but did not take cataract surgery service at the Puskesmas, This research also involve the Head and nurses of the Puskesmas.
This research used qualitative research design with in depth interview technical to compile data. Informant consist of 11 cataract patients which 2 of them already surgery at the other health service.
The result showed:
1. Almost all informants do not know why they get cataract, but all informants know how to deal with the sickness and its consequence if they ignore the sickness.
2. There are major of informant know that there is good quality of cataract surgery service at the Puskesmas.
3. Almost all informants stated no problem with the distance between house and Puskesmas.
4. There are major of informant does not know the cataract surgery cost and the take it as problem according the ability.
5. All informants really want to use their blind eyes like before again.
6. There are major of informant take the Puskesmas treatment.
The reason why their does not utilize cataract surgery service at the Puskesmas because they fear with surgery and the cost does not available.
The conclusion of this research is cost and fear feeling to have surgery make them avoiding to utilize the service. To increase the utilization of the cataract surgery service at the Puskesmas in the future, there is necessary to socialize information so that community knows there is cataract surgery service at the Puskesmas. Continue extension about cataract disease and detail information about the surgery cost has to be taken. And of course there are expectations of government subsidy for the poverty community.
"
2001
T9366
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Maulida
"ABSTRAK Penelitian ini bertujuan membandingkan prediktabilitas refraksi kelompok sudut tertutup primer dengan katarak yang menjalani fakoemulsifikasi berdasarkan perhitungan kekuatan lensa tanam menggunakan formula Hoffer-Q dan SRK/T. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Dilakukan analisis pada 46 mata dari 42 orang, dua puluh tiga mata pada masing-masing kelompok. Sebelum operasi, dilakukan pemeriksaan biometri pertama dengan IOL Master untuk tiap kelompok dan pada 2/3 minggu pasca operasi dilakukan pengukuran BCVA. Proporsi dalam 0,5 D 56,52% pada kelompok Hoffer-q dan 52,18% pada SRK/T, Mean Absolute Error (MAE) 0,58 ± 0,39 D pada kelompok Hoffer-q dan 0,59 ± 0,34 D pada SRK/T, Mean Refractive Error (MRE) -0,39 ± 0,59 D pada kelompok Hoffer-q dan -0,41 ± 0,54 D pada SRK/T. Formula Hoffer-q dan SRK/T memiliki prediktabilitas refraksi yang sebanding pada kelompok sudut tertutup primer dengan katarak.

ABSTRACT
This study is aimed to compare refractive predictability of 2 formula; Hoffer-q and SRK/T in primary angle closure disease with cataract. This is a Randomized Clinical Trial. Analysis was done in 46 eyes from 42 subjects, which divided into 23 eyes in each group. The first biometry with IOL Master was done before the surgery and BCVA was done at 2 or 3 weeks after the surgery. Proportion within 0,5 D is 56,52% for Hoffer-q and 51,18 for SRK/T, Mean Absolute Error (MAE) was 0,58 ± 0,39 D for Hoffer-q dan 0,59 ± 0,34 D for SRK/T, Mean Refractive Error (MRE) was -0,39 ± 0,59 D for Hoffer-q and -0,41 ± 0,54 D for SRK/T. Hoffer-q and SRK/T have comparable refractive predictability in primary angle closure disease with cataract.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asti Ayudianingrum
"Penelitian dengan desain potong lintang ini membahas cakupan pengguna kacamata (CPK) pasca operasi katarak terkait status sosioekonomi. Hasil penelitian menunjukkan usia, informasi dokter dan tingkat ekonomi rumah tangga (ruta) berhubungan kuat terhadap proporsi pengguna kacamata (p<0,05). Kelompok usia produktif memiliki CPK lebih rendah namun penelitian ini hanya melibatkan usia 50 tahun keatas sehingga tidak mempresentasikan usia produktif seluruhnya. Kelompok yang menerima informasi dokter memiliki CPK lebih tinggi dari yang tidak menerima informasi dan CPK pada kelompok tingkat ekonomi ruta kaya lebih tinggi dibanding ruta lainnya. Kesimpulannya adalah semakin tinggi informasi dokter dan tingkat ekonomi ruta maka semakin tinggi nilai CPK.

This study discussed the correlation between socioeconomy and spectacle coverage rate (SCR) after cataract sugery. The multivariate analysis showed that physician information, age and the economic level of household had a strong relation with SCR (p<0.05). Productive age had a lower SCR. This study included age of 50 and above, therefore it did not represent the real proportion of productive age. Participants who received physician information to use spectacle after cataract surgery had a higher SCR. Physician information is important in influencing SCR. The richest household had the highest SCR. The richest the household was, the highest value of SCR."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55739
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eni Zatila
"Katarak merupakan penyebab utama kebutaan di Indonesia dan dunia pada umumnya. Diperkirakan l,5% prevalensi kebutaan terjadi di Indonesia dan merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Provinsi Sumatera Selatan merupakan Salah satu provinsi di Indonesia dengan prevalensi kebutaan yang cukup tinggi 1,3%). Tingginya penumpukan kasus (backlog) katarak disebabkan oleh ketidakseimbangan antara insiden katarak dengan operasi yang dilakukan setiap tahunnya.
Operasi katarak merupakan salah salu tindakan operatif yang terbukti cost effective. Bcberapa jenis metode operasi diharapkan bisa mengatasi backlog katarak dan bisa diterima baik dari sisi provider juga dari penerima pelayanan (penderita). Manual Small Incision Cataract Surgery (MSICS) dan Phacoemalsfficarion diharapkan bisa rnenjadi standar operasi katarak di negara berkembang seperti Indonesia dan Sumatera Selatan khususnya di kota Palembang. Penelitian ini membandingkan dua metode operasi katarak, MSICS dan phacoemulsification.
Penelitian ini bertujuan membandingkan biaya rata-rata dan output operasi katarak yang dilakukan di dua klinik khusus mata di Palembang, Sumatera Selatan yaitu Palembang Eye Centre untuk metode MSICS dan Sriwijaya Eye Centre untuk metode Phacoemulsificataion. Sampel adalah 55 penderita yang dioperasi dengan metode MSICS dan 60 pasien yang dioperasi dengan metode phacoemulsification. Penelitian dilakukan secara prospektif dari bulan Februari sampai dengan April 2008. Data demografi penderita, visus sebelum dan sesudah operasi diperoleh dari rekam medis dan observasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya total pada phacoemulsification lebih besar dibandingkan metode MSICS. Phacoemulsification membutuhkan biaya investasi yang besar untuk mesin phacoemulsification dan mikroskop operasi serta biaya bahan medis habis pakai dan lensa tanam per kasus yang dioperasi. Pada metode MSICS biaya bahan medis habis pakai ini mengambii porsi 46 % dari biaya total dan 63 % pada metode phacoemulsiiication. Biaya bahan medis habis pakai adalah Rp.866.850 untuk MSICS dan Rp.2.008.750 untuk phacoemulsification. Perbandingan biaya rata-rata per operasi adaiah Rp. 1.895.019 untuk metode MSICS dan Rp.3.20l.4l6 untuk phacoemulsiiication. Biaya investasi per unit operasi pada metode MSICS lebih tinggi dibandingkan dengan metode phacoemulsification sedangkan biaya operasional dan pemeliharaan rata-rata per operasi pada metode MSICS lebih rendah.
Pada penelitian ini sebanyak 8l,8% penderita yang dioperasi dengan metode MSICS dan 96,7 % penderita yang dioperasi dengan metode phacoemulsification bisa mencapai perbaikan visus 6/ 12 atau lebih pada 4 minggu post operasi. Pada penelitian ini hanya biaya dari sisi provider yang dihitung, sementara biaya dari sisi penderita tidak dihitung. Pengukuran visus post operasi hanya dilakukan sampai minggu ke-4. Karena keterbatasan inilah, hasil evaluasi ekonomi ini harus diinterpretasikan secara hati-hati dan metode operasi manakah yang lebih cost-effective belum dapat disimpulkan. Kesimpulan yang bisa dibuat dari penelitian ini adalah biaya operasi katarak dengan metode MSICS Iebih effisien secara ekonomi dan bisa dipilih sebagai altematif dalam penanganan baclog katarak.

Cataract is the main cause of avoidable blindness in Indonesia and throughout the world. There are an estimated prevalence l.5 % of blindness in Indonesia, the highest one in South East Asia. South Sumatera is one of the province in Indonesia having high prevalence of blindness (l,8%). A huge backlog of cataract blindness is due to imbalance of cataract incidence and surgery done every year.
Cataract extraction is one of the cost eiective surgical interventions. Any type of cataract surgery, which is expected to tackle the backlog has to be affordable to service provider and the service recipient (patient). Manual Small incision Cataract Surgery (MSICS) and Phacoemulsilication are expected to be the standard of care for cataract surgery. A small incision is done and does not need to be sutured makes both of these methods to have high quality in restoring visual function after cataract surgery.
This study was done to make comparison of these two methods, MSICS and phacoemulsification, aimed to compare the average cost and output of cataract surgeries done in two Eye Care Centre in Palembang, South Sumatera, namely Palembang Eye Centre for MSICS methods and Sriwijaya Eye Centre for phacoemulsitication methods. The sample of 55 patient for MSICS and 60 patient for phacoemulsification were enrolled prospectively from February to April 2008. Data on patient demography, pre operative and post operative visual acuity were abstracted from medical record and observation. Output was measured as visual acuity 4 weeks post operatively.
The total cost for phacoemulsification was higher than that for MSICS in this study. Phacoernulsitication requires a high capital investment for a phacoemulsiiication machine and a more expensive operating microscope along with higher cost per case for disposable and a foldable IOL. Consumable cost contributes 46 % of total cost for MSICS and 63 % for Phacoemulsitication. Consumable cost was Rp.866.850 for MSICS and Rp.2.008.'/50 for phacoemulsification. Cost per catarct surgery was Rp.l.895.0l9 for MSICS as compared to Rp.3.20l.4l6 for phacoemulsitication. Average investment cost for MSICS was higher than that for phacoemulsification. Average operational cost (without consumable cost in operating room) and average maintence cost of MSICS were lower than phacoemulsification in this study.
The result of the study showed that 81,8 % patients of MSICS procedures and 96,7 % patients of phacoemulsification procedures achieved 6/ 12 or better visual acuity 4 weeks postoperatively. In this study Only provider cost was calculated while the consumer cost was not included. Visual acuity was measured merely 4 weeks postoperatively. BCVA (Best Corrected Visual Acuity) is used as an outcome measure for cataract surgery. These limitations of the study make the result of this economic evaluation sould be interpreted cautiously. Whether one method is more cost-effective can not be concluded from this study. The conclusion of this study is that the MSICS method being the more efficient method to tackle cataract backlog.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T33917
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Artini
"Pendahuluan: Glaukoma primer sudut tertutup akut (GPSTA) adalah penyakit mata yang disebabkan oleh tertutupnya seluruh anyamari trabekulum oleh pangkal iris secara mendadak. GPSTA menycbabkan kcbutaan yang bersifat permanen. Penanganan cepat dan segera adaiah mutlak untuk mencegah kebutaan. Penatalaksanaan awal adaiah menurunkan TIO secepat mungkin dengan pemberian medikamentosa gabungan inisial atau parasentesis yang dilanjutkan dngan Iridektomi Perifer Laser (IPL). Proses infiamasi ras Asia Iebih berat dan TGP-B2 dan TNF-a merupakan petanda iskemia dan inflamasi.
Tujuan: (1) Menilai rcspons parasentesis pada pasien GPSTA; (2) Membandingkan kadar TGP-B2 dan TNF-a humor akuos pasien GPSTA dengan pasien katarak; (3) Menilai efek pemberian deksametason terhadap kadar TGP-B2 dan TNF-a humor akuos pasien GPSTA; (4) Memperhitungkan faktor risiko terhadap suksesnya IPL pada pasien GPSTA.
Bahan dan Cara: Penelitian ini merupakan studi prospektif dengan uji pra-pasca untuk menilai respons parasentesis dan studi komparatif belah lintang untuk membandingkan kadar TGP-B2 dan TNF-a humor akuos pasien GPSTA dengan pasien katarak. Untuk menilai efek deksametason terhadap kadar TGF-B2 dan TNF-a humor akuous dilakukan studi ldinis acak terkontrol tersamar ganda. Untuk mencari faktor risiko yang mempengaruhi keberhasilan IPL dilakukan perhitungan bivariat, dilanjutkan regresi logistik. Subjek penelitian adalah semua pasien GPSTA dengan Iama serangan di bawah 1 bulan.
Hasil penelitian analisis pada 45 mata pasien GPSTA yang menjalani parasentesis, TIO awal turun. Kadar TGF-B2 dan TNF-a humor akuos pasien GPSTA, rnasing-masing, 4 kali dan 3 kali dari pasien katarak. Setelah IPL dan randomisasi antara kelompok kontrol dan deksametason, deksametason menurunkan kadar TGF-B2 dan TNF-a pasien GPSTA secara tidak signifikan. Faktor risiko yang mempengaruhi keberhasilan IPL adalah respons TIO pascaparascntesis dan luas SAP. Inflamasi tidak berpengaruh terhadap IPL, tetapi sekuele yang diakibatkannya mempengaruhi tindakan tersebut, yaitu SAP. Selain itu, faktor respons terhadap tindakan parasentesis juga turut berperan secara signifikan.
Kesimpulan: Tindakan parasentesis menurunkan TIO awal pasien GPSTA. Kadar TGF-B2 dan TNF-a humor akuos tinggi pada pasien GPSTA. Pengaruh deksametason menurunkan kadar TGP-B2 dan TNF-a secara tidak signifikan. Keberhasilan tindakan IPL adalah 95% pada pasien GPSTA yang mempunyai respons baik terhadap parasentesis dengan luas SAP di bawah 4 jam. Sebaliknya, bila pasien GPSTA tidak memberi respons baik pascaparasentesis dan luas SAP 9-12 jam, maka keberhasilan IPL hanya 5%.

Introduction: Acute primary angle closure glaucoma (APACG) is an eye disease caused by sudden closure of trabecular meshwork by the iris root. APACG could cause permanent blindness. Rapid management was essential in preventing blindness. Early management of this disease was done by reducing IOP as quickly as possible by the administration of initial combined medications or paracentesis, followed by laser peripheral iridectomy. Inflammatory process in the Asian race was more severe and TGP-B2 and TNF-a. constituted the signs of ischemia and inflammation.
Objective: (1) To evaluate the response to paracentesis in APACG patients; (2) to compare the TGP-B2 and TNF-a levels of aquous humor in APACG patients and cataract patients; (3) to analyze the effects of the administration of dexamethasone on the TGF-B2 and TNF-a levels of aquous humor in APACG patients; (4) to calculate the risk factors against the success of laser peripheral iridectomy in APACG patients.
Material and methods: This study was a prospective study with pre-post tests design to evaluate the response to paracentesis. Cross-sectional comparative study was perfomied to compare the TGF-B2 and TNF-a. levels of aquous humor in APACG patients and cataract patients. To evaluate the effects of dexamethasone on the TGF-B2 and TNF-a levels of aquous humor, a double-mask, randomized controlled trial was performed. To identify the risk factors affecting the success of laser peripheral iridectomy, a bivariate calculation was done, followed by logistic regression calculation. The subjects of the study were all APACG patients with the duration of attack under one month.
Results: Analysis in 45 eyes of APACG patients undergoing paracentesis showed t.hat early IOP decreased by 49%. The TGF-B2 and TNF-a levels of aquous humor in APACG patients were four and three times as high as those in cataract patients respectively. After laser peripheral iridectomy and randomization between the control group and dexamethasone group, it showed that dexamethasone reduced the TGF-B2 and TNF-a levels of APACG patients insignificantly. The risk factors affecting the success of laser peripheral iridectomy was the response to IOP after paracentesis and the size of peripheral anterior synechiae (PAS). Inflammation did not affect laser peripheral iridectomy; however, the sequele that it caused affected the intervention, i.e. PAS. In addition, the response factor inparacentesis also played a significant role.
Conclusion: Paracentesis could reduce early IOP in APACG patients. The TGF-B2 and TNF-a levels of aquous humor were high in APACG patients. The effect of dexamethasone in reducing the TGF-B2 and TNF-a levels was not significant. The success rate of laser peripheral iridectomy was 95% in APACG patients with good response to paracentesis with the size of PAS under 4 hours. By contrast, if APACG patients did not give a good response to paracentesis and the size of PAS was 9-12 hours, the success rate of laser peripheral iridectomy was only 5%."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2006
D785
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>