Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155227 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bambang Sujoko
"ABSTRAK
Penderita pasca IMA yang menunjukan elevasi segmen ST pada ULJB akan mendapat serangan koroner cukup besar berkisar 75% - 84% dan mempunyai gambaran klinik berupa infark anterior yang leas.
Insidensi untuk terjadi elevasi segmen ST pada ULJB bervariasi 2 - 3,5% ada pula yang mendapatkan 14 - 51% , sedangkan kematian tertinggi terjadi pada 6 bulan setelah IMA. Untuk menguji pernyataan tersebut dilakukan penelitian secara
retrospektip dan prosfektip pada penderita IMA yang masuk di R.S. Jantung Harapan Kita Jakarta dalam periode Nopember 1985 - Agustus 1988 dengan tujuan penelitian melihat serangan koroner berupa kematian, payah jantung,IMA dan angina berulang yang terjadi dalam periode tindak lanjut (" follow up ") 10 bulan.
Insidensi elevasi segmen ST pada ULJB pada penelitian ini didapat 14,81% dan didominasi 79,2% infarct anterior. Kelompok yang diteliti 19 penderita dengan hasil ULJB elevasi segmen ST , kelompok kontrol 12 penderita dengan hasil ULJB depresi segmen ST, kedua kelompok ini berlatar belakang infark anterior dan beralamat di Jakarta.
Variahel kedua kelompok ini jenis kelamin sama serta usia juga tidak berbeda bermakna kelompok yang diteliti berusia rata-rata 52,55 ± 6,58 tahun, sedang pada kelompok kontrol, berusia rata-rata 53,79 ± 8,05 tahun, faktor resiko juga tidak berbeda, lama ULJB yang dicapai juga tidak berbeda bermakna kelompok yang diteliti lama ULJB rata-rata 7,11 ± 2,98 menit sedang kelompok kontrol 7,83 ± 5,6 menit, denyut jantung yang dicapai juga tidak berbeda bermakna pada kelompok yang diteliti denyut jantung rata-rata 134,17 ± 13,47 / menit kelompok kontrol 123,17 ± 20,12 / menit.
Nilai ensim kreatinin kinase saat masuk rumah sakit pada kelompok yang diteliti adalah sangat tinggi dan berbeda bermakna dibanding kelompok kontrol yang menunjukan infark luas.
Pada tindak lanjut selama 10 bulan didapatkan serangan koroner hanya pada kelompok yang diteliti 31,5% dengan kematian pada 2 penderita .
Karena itu perlu dilakukan koroner angiografi pada penderita pasca IMA yang menghasilkan elevasi segmen ST pada ULJB guna pertimbangan Bedah pintas koroner atau medikamentosa.
"
1989
Tpdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wishnu Aditya Widodo
"Latar Belakang. Infark miokard akut (IMA) masih merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia dan dunia. Kejadian perdarahan pada pasien IMA berkaitan dengan angka mortalitas yang jauh lebih tinggi. Kejadian perdarahan ditemukan lebih tinggi pada populasi IMA dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) dibandingkan dengan IMA non elevasi segmen ST (IMA-NEST). Analisa register skala besar telah mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian perdarahan, dan beberapa diantaranya diaplikasikan sebagai sistem skor. Namun hingga saat tulisan ini dibuat, belum ada satupun sistem skor yang dibuat khusus untuk populasi IMA-EST.
Metode. Studi retrospektif kohort dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta pada pasien IMA-EST yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP). Kejadian perdarahan positif menggunakan definisi Bleeding Academic Research Consortium (BARC). Karakteristik dasar, pemeriksaan klinis awal, data laboratorium, roentgen, terapi awal, tindakan IKPP, dan terapi selama perawatan merupakan kategori dari variabel yang dikumpulkan melalui rekam medis dan sistem informasi rumah sakit. Data kemudian diolah dengan analisis multivariat menggunakan metode logistik regresi dan diberikan pembobotan sehingga menjadi suatu sistem skor. Sistem skor ini kemudian diuji kembali dengan menggunakan populasi yang sama.
Hasil. Sebanyak 579 sampel berhasil dikumpulkan, dengan 42 diantaranya mengalami perdarahan (7.3%). Variabel yang masuk ke dalam model akhir adalah jenis kelamin perempuan, kelas Killip 3 / 4, Umur ≥ 62 tahun, Leukosit >12.000, Kreatinin >1.5, IMT ≥ 25, Lesi koroner multipel, Akses femoral, dan Pemasangan TPM. Uji diskriminasi dan kalibrasi dari model akhir menunjukkan hasil yang baik. Model alternatif dibuat dengan menghilangkan variabel yang berkaitan dengan hasil dan prosedur tindakan intervensif.
Kesimpulan. Sistem skor baru ini merupakan suatu sistem untuk memprediksi kejadian perdarahan pada populasi IMA-EST yang menjalani IKPP. Skor ini memiliki nilai kalibrasi dan diskriminasi yang baik sehingga diharapkan dapat membantu menentukan strategi tatalaksana selama perawatan.

Background. Acute myocardial infarction still become one of the leading mortality cause in the world. Among these patients, ST elevation myocardial infartion (STEMI) has the greatest mortality rate among other type of Myocardial Infarction. When a myocard infarct patient have bleeding events, mortality rate greatly increased. Up until now, there is no specific bleeding risk assessment tool to predict bleeding events in STEMI patient.
Methods. A retrospective cohort study, done in National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta in STEMI patients underwent Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI). Bleeding event was defined according to definition by Bleeding Academic Research Consortium (BARC). Categories for data obtained was basic characteristics, clinical examinations, initial therapies, lab results, x-ray, PPCI procedures, and in hospital treatments. Statistical analysis was done using multivariat analysis using logistic regression method and then converted to a scoring system.
Result. 579 sampels fit the inclusion and exclusion criteria. Bleeding event occured in 42 patients (7.3%). Score was created by assignment of variables that included in the final model according to their Odds Ratio (OR) values. The variables are female gender, Killip class 3 / 4, Age ≥ 62 y.o, White blood cell >12.000, Creatinine >1.5, Body Mass Index ≥ 25, Multiple coronary lesion, Femoral access, and TPM implantation. These variabels was converted into two type of scoring system. The complete model contains all of the variables, and the alternative model discard variables related to interventional result and procedures.
Conclusion. A new scoring system quantifies risk for in-hospital bleeding event in STEMI patients underwent PPCI, which enhances baseline risk assessment for STEMI care.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Wasid
"Telah diteliti secara prospektif mengenai perbandingan gambaran klinik awal infark miokard akut (IMA) dan beberapa hubungan di antaranya, pada 2 grup pasien IMA waktu masuk di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita (RSJHK) dan Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada periode tertentu, tahun 1986. Grup I terdiri dari 30 pasien IMA usia lebih dari 60 tahun (usia rata rata 67,4 ± 6,9 tahun) yang selanjutnya disebut grup studi, dengan 45 pasien IMA usia kurang dari
60 tahun (usia rata rata 49, 6 ± 7.6 tahun) yang selanjutnya disebut grup kelola.
Hasilnya menunjukkan bahwa keluhan sakit dada tidak khas lebih banyak terdapat pada grup I daripada grup II dengan perbedaan yang bermakna yaitu 83.3% berbanding 2.2% (p< 0.001), sedangkan keluhan sakit dada khas IMA lebih banyak pada grup II daripada grup I dan perbedaannya juga bermakna, yaitu 13.3% berbanding 97.8% (p<0.001). Ternyata keluhan sakit dada tidak khas tersebut tidak ada hubungan dengan Diabetes Melitus (DM), tetapi ada hubungan yang bermakna dengan usia, yakni makin lanjut
usia maka makin tidak khas sakit dadanya (p< 0.0007).
Pada usia lanjut terdapat hubungan yang bermakna antara keluhan lemas dengan timbulnya gangguan sistim hantaran jantung (p< 0.002), dan antara DM dengan meningkatnya jumlah kematian pasien (p < 0.002).
Akhirnya dapat disimpulkan, bahwa gambaran klinik awal IMA pada usia lanjut mempunyai beberapa perbedaan yang bermakna dengan IMA usia muda, mengenai gejala dan tanda klinik, maupun hubungannya dengan perjalanan penyakitnya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutasoit, Katrina Ruth Ulima
"Intervensi koroner perkutan primer (IKPP) merupakan pilihan utama terapi repefusi pada infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMAEST) dan obstruksi mikrovaskular (OMV) merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada IKPP. Osteoprotegerin (OPG) merupakan tumor necrosis factor receptor yang konsentrasinya meningkat pada pasien IMA-EST. Studi yang menganalisis hubungan konsentrasi serum OPG dengan luasnya infark masih sangat terbatas.
Metode. Tiga puluh enam pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) pada bulan September hingga November 2013, direkrut secara konsekutif pada studi potong lintang ini. Dilakukan analisis hubungan antara konsentrasi serum OPG sebelum IKPP dengan hs-trop T 24 jam pasca IKPP.
Hasil. Analisis bivariat menunjukkan hubungan antara konsentrasi serum OPG dengan hs-trop T (r = 0.41, p =0.015). Analisis multivariat konsentrasi serum OPG dan onset nyeri mempengaruhi luas infark (indeks kepercayaan 5.15 – 49.19, p =0.017 dan indeks kepercayaan 2.56 - 15.28, p = 0.005).
Kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan antara konsentrasi serum osteoprotegerin saat masuk dengan luas infark miokard yang diukur dengan hs-trop T pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.

Primary percutaneous coronary intervention (PPCI ) is the preferred option for reperfusion therapy in acute ST-elevation myocardial infarction (STEMI) patients and microvascular obstruction (MVO) is one of the complication that might occurred during PPCI. Osteoprotegerin (OPG) is a tumor necrosis factor receptors that may increased in STEMI patients. Studies that analyze the relationship between serum concentrations of OPG with the extent of infarction are still very limited.
Method. Thirty six patients underwent PPCI were enrolled in this cross sectional study during September to November 2013. We analyzed the relationship between serum concentrations of OPG before PPCI with the level of hs-trop T measured 24 hours after PPCI.
Results. Bivariate analysis showed a significant correlation between serum osteoprotegerin concentration and hs-trop T (r=0.41, p=0.015). Multivariate analysis showed significant correlation between the extent of infarction with both onset of pain (confidence interval 2.56-15.28, p=0.005) and serum osteoprotegerin concentrations (confidence interval 5.15-49.19, p= 0.017).
Conclusion. This study showed that serum osteoprotegerin concentration have a significant relationship to the extent of infarction measured with hs-trop T in acute STEMI patients underwent PPCI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrew
"Pendahuluan: Intervensi koroner perkutan primer (IKPP) telah menjadi salah satu pilihan terapi pada pasien dengan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) yang dapat menurunkan angka kematian dengan signifikan. Sebagian pasien yang menjalani IKPP mengalami kegagalan reperfusi optimal yang disebut sebagai no-reflow phenomenon (NRP). Penilaian NRP ini dapat menggunakan berbagai metode, salah satunya dengan menggunakan thrombolysis in myocardial infarction flow (TIMI flow). Kegagalan reperfusi juga meningkatkan kejadian major adverse cardiac event (MACE) pada pasien. Hiperaktivitas trombosit diketahui berperan pada patofisiologi terjadinya NRP. Nilai mean platelet volume (MPV) yang merupakan ukuran rerata volume dari trombosit dianggap dapat menggambarkan aktivasi trombosit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran nilai MPV dengan TIMI-flow dan MACE pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan terhadap 137 subyek dengan IMA-EST yang menjalani IKPP. Pemeriksaan MPV dilakukan pada saat masuk rumah sakit dengan alat Sysmex XN-2000. Subyek dibagi berdasarkan kelompok dengan reperfusi sub-optimal (TIMI flow < 3) dan reperfusi optimal (TIMI flow 3). Luaran klinis berupa MACE dilakukan observasi selama minimal 90 hari pasca tindakan.
Hasil: Sebanyak 27.7% dan 28.9% pasien mengalami kegagalan reperfusi dan MACE. Tidak terdapat hubungan antara nilai MPV pada saat masuk rumah sakit dengan kegagalan reperfusi dan kejadian MACE 90 hari pada pasien IMA-EST di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Kesimpulan: Nilai MPV tidak dapat digunakan dalam memprediksi kegagalan reperfusi dan kejadian MACE pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.

Introduction: Primary percutaneous coronary intervention (PCI) has become one of the treatment options in patients with acute myocardial infarction with ST segment elevation (STEMI) which can significantly reduce mortality. In some patients who undergo primary PCI experience failure of optimal reperfusion called the no-reflow phenomenon (NRP). NRP assessment can use various methods, one of them using thrombolysis in myocardial infarction flow (TIMI flow). Failure of reperfusion also increases the incidence of major adverse cardiac events (MACE) in patients. Platelet hyperactivity is known to play a role in the pathophysiology of NRP. The mean platelet volume (MPV) which is a measure of the average volume of platelets is considered to be able to describe platelet activation. This study aims to determine the role of MPV values ​​with TIMI-flow and MACE in STEMI patients undergoing primary PCI.
Methods: A retrospective cohort study was conducted on 137 STEMI patients who underwent primary PCI. MPV examination is performed at hospital admission with Sysmex XN-2000. Subjects were divided into groups with sub-optimal reperfusion (TIMI flow <3) and optimal reperfusion (TIMI flow 3). Clinical outcomes in the form of MACE were observed for at least 90 days post-treatment.
Result: 27.7% and 28.9% of patients experienced failure of reperfusion and MACE, respectively. There is no relationship between the MPV value at hospital admission with failure of reperfusion and the incidence of 90-day MACE in IMA-EST patients at the Harapan Kita Heart and Vascular Hospital.
Conclusion: MPV values ​​cannot be used in predicting reperfusion failure and MACE events in STEMI patients undergoing primary PCI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58733
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianto
"Latar belakang: PCSK9 telah diketahui sebagai molekul yang berperan dalam regulasi kadar kolesterol LDL darah. Dua dekade ini, PCSK9 diketahui memiliki mekanisme kerja lain yang melibatkan proses inflamasi, peningkatan Lp(a), aktivasi jaras protrombotik dan platelet, metabolisme triglyceride-rich lipoprotein, serta modifikasi plak yang juga dapat berperan dalam patogenesis berbagai spektrum penyakit aterosklerotik, termasuk IMA-EST. Kemajuan dalam strategi penatalaksanaan IMA-EST telah berhasil meningkatkan kesintasan, akan tetapi sekelompok pasien masih mengalami luaran klinis buruk meski telah mendapatkan tatalaksana optimal. Adanya polimorfisme gain of function E670G PCSK9 dipikirkan dapat memiliki peranan dalam risiko residual pasien-pasien tersebut Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara polimorfisme PCSK9 pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan luaran kardioserebrovaskular mayor. Metode: Sebanyak 423 pasien dengan IMA-EST yang menjalani IKPP diperiksakan polimorfisme PCSK9 pada saat admisi. Pemeriksaan polimorfisme PCSK9 didapatkan dengan menggunakan Real Time PCR. Data luaran kardioserebrovaskular mayor dan data penunjang lain didapatkan dari rekam medik dan follow-up telepon. Hasil: Terdapat 2,1 % polimorfisme berupa alel mutan (AG). Terdapat 65 (15,4%) subjek penelitian yang mengalami luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 180 hari. Didapatkan analisis kesintasan menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara polimorfisme E670G PCSK9 dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 180 hari (HR 7,486; IK95% 3.57-15.697; P=0,0000). Kesimpulan: Pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP, terdapat hubungan yang bermakna antara polimorfisme E670G PCSK9 dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 180 hari.

Background: PCSK9 is a molecule that regulates blood LDL cholesterol level. Recent evidences suggest that PCSK9 may also have other mechanisms, such as inflammation, increased Lp(a), triglyceride-rich lipoprotein metabolism, activation of prothrombotic pathways and platelets, and modification of atherosclerotic plaque, which all may play a role in the pathogenesis of atherosclerotic diseases, including STEMI. Previous advances in the management of STEMI had succeed in increasing survival. However, some STEMI patients still experienced adverse outcomes eventhough they already received optimal management in accordance with the guidelines. Polimorphysm gain of function PCSK9 may have a role in the residual risk that those patients have. However, our knowledge regarding this association between polymorphism gain of function E670G PCSK9 and MACCE in STEMI is still unknown. Objective: The aim of this study is to evaluate the association between polymorphism Gain of Function E670G PCSK9 with MACCE in STEMI patients who underwent primary PCI. Methods: In total, 423 patients with STEMI who were treated with primary PCI had their plasma sample drawn during admission and evaluated for Polymorphism PCSK9. PCSK9 Polymophism was measured with PCR RT. MACCE and other supportive data were taken from the medical records and telephone follow-up. Results: The prevalence of Poymorphisme E670G PCSK9 in STEMI patient who underwent PPCI is 2,1 %. There were 65 (15,4%) study participants who experienced MACCE in 180 days. Survival analysis shows a significant association between Polymorphsm Gain of Function E670G PCSK9 and MACCE in 180 days. (HR 7,486; IK95% 3.57-15.697; P=0,0000). Conclusion: There was significant association between Polymorphsm gain of function E670G PCSK9 and 180 days MACCE in STEMI patients treated with primary PCI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andriyani Risma Sanggul
"Infark Miokard Akut dengan elevasi segmen ST/ ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) adalah bagian dari sindrom koroner akut yang berat dan menetap akibat oklusi total arteri koroner sehingga diperlukan tindakan revaskularisasi segera untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya. Tindakan revaskularisasi dilakukan dalam 12 jam onset serangan angina pektoris dan didapatkan elevasi segmen ST yang menetap atau ditemukan Left Bundle Branch Block (LBBB). Tatalaksana Intervensi Koroner Perkutan primer lebih disarankan dibandingkan fibrinolisis. Penelitian mengenai mortalitas selama 3 tahun pada pasien pasca STEMI dengan IKP primer belum pernah dilakukan di Indonesia sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tersebut. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan waktu pengamatan selama 3 tahun. Populasi studi adalah adalah semua pasien diagnosis STEMI dengan terapi IKP primer berusia ≥ 18 tahun dan keluar rawat hidup Tahun 2011-2012 di RSJPD Harapan Kita. Kriteria inklusi sampel adalah pasien didiagnosa STEMI dan keluar rawat dalam keadaan hidup 01 Januari 2011- 31 Desember 2012 dan Pasien STEMI yang berusia ≥ 18 tahun dengan total sampel sebanyak 466 orang. Data pasien diperoleh dari Jakarta Acute Coronary Syndromes (JACS) dan rekam medis. Analisis data dilakukan dengan Stata 12. Pada analisis multivariat dengan menggunakan uji cox regression time independent, didapatkan pasien STEMI dengan IKP primer yang tidak teratur kontrol memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan kontrol teratur ( Adj HR = 5,7 ; 2,447 ? 13,477 ; p value = 0,0001). Pasien STEMI yang DM memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan tidak DM ( Adj HR = 2,66 ; 1,149 - 6,150; p value = 0,034). Pasien STEMI dengan kelas killip II memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan kelas killip I (Adj HR = 2,31 ; 0,99 ? 5,363 ; p value = 0,05). Model estimasi risiko hazard: H(1095h,t)=ho (1095h) exp [(0,91DM )+ (0,84 x Killip Admisi) + ( 1,75 x Kontrol)]. Keteraturan kontrol, diabetes mellitus dan kelas killip admisi memengaruhi risiko mortalitas pasien STEMI dengan IKP primer di RSJPD Harapan Kita.

ST -Segment Elevation Myocardial Infarction ( STEMI ) is a part of the heavy acute coronary syndromes and settled due to total occlusion of the coronary arteries that required immediate revascularization to restore blood flow and myocardial reperfusion as soon as possible . Revascularization performed within 12 hours of onset of angina pectoris and ST segment elevation obtained were settled or discovered Left Bundle Branch Block ( LBBB ) . Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI) Procedures more advisable than fibrinolysis. The purpose of this study to determine the factors that affect the risk of 3 years mortality and resulted in a scoring system STEMI patients with primary IKP based on demographic and clinical patients at the Hospital Cardiovascular Harapan Kita . This study used a retrospective cohort design with observation time for 3 years . The study population was is all STEMI patients with a diagnosis of PPCI ≥ 18 years old and alive at discharge at 2011-2012 in RSJPD Harapan Kita . The inclusion criteria were patients diagnosed STEMI alive at discharge at January 2011 - December 2012 and STEMI patients ≥ 18 years old with a total sample of 466 people . Data obtained from the patient Jakarta Acute Coronary Syndromes ( JACS ) and medical records . Data analysis was performed with Stata 12. In multivariate analysis using Cox regression test time independent , STEMI patients with PPCI who irregular control have a higher mortality risk than regular controls ( Adj HR = 5.3 ; 2.345 to 13.026 ; p value = 0.0001 ) . STEMI patients with DM have a higher mortality risk than not DM ( Adj HR = 2,66 ; 1,149 to 6,150 ; p value = 0,034 ) . STEMI patients with killip class II had a higher mortality risk than Killip class I ( Adj HR = 2,31 ; 0,991 to 5,363 ; p value = 0,035 ) . Hazard risk estimation model : H(1095h,t)=ho (1095h) exp [(0,91DM )+ (0,84 x Killip Admisi) + ( 1,75 x Kontrol)]."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T46531
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Susanto Kosasih
"ABSTRACT
The incidence of coronary teart disease including acute myocardial infarcticn (AMI) is increasing in Indcnesia. Arrhythmia is the most frequent complication that may cause death. Recent studies revealed a close association between Mg and K levels and tte risk of arrhytrrnia in NWI. This study was ccnducted to determine the patterns of plasma and erythrocytes Mg levels and serum potassium levels of patients with PMI and Fngina Pectoris (PP), within 40 hours after the diagnosis was established, and to find out whether the patterns of those electrolytes in cne group differ from the patterns in the other group of patients. Qnother objective of this study was to elucidate the correlation between the electrolyte levels and the evidence of arrhythmia in PMI. Tre subjects for this study were patients with AMI and patients with P as control group, admitted to the ICCIJ Ciptomangtrukusumo Hospital. The diagnosis of DMI was established according to IA-D criteria, including clinical signs and symptoms, ECB patterns and cardiac enzyme levels. Blood samples were collected for the determination of plasma Mg levels, erythrocytes Mg levels and serum K levels at time of diagnosis (0 hour) and sub-sequently B hours, 16 hours, 24 hours, 32 hours and 40 hours after the establishment of diagnosis. This study included 31 patients with FNI, Consisting of 13 patients without arrhythmia (group II) and 1B patients with arrhythmia (group III). Group II consisted of 12 males and 1 female, aged 37-67 years (Yi = 53,1 years; SD = 6,B). Group III included 14 males and 4 females, aged 35-B5 years Ki = 58,1 years; SD 1O,5). Group I as ccntrol group consisted of 12 patients with symptoms of AP, of which B were males and 4 were females, aged 35-57 years (§= 50,1 years; SD= 6,B). The interval between AMI or AP attack and the time of diagnosis in group I was 3-6 hours (Y = 4,16 I1:urs, SD = O,°20); in group II the interval was 2-6 hours (F= 4,07 rcurs, E.D= 1,1-4), while in group III the interval was 2-6 hours (m?= 4,05 hours, SD = 1,2). Arhythnia in grcnp III was detected between 0 hour (at time of diagnosis) to 24 hours after diagnosis; 6 patients (55,372) at time of diagnosis, 6 other patients (25,314) at 8 hours, 4 patients (22,2A) at 16 hours, and only in 2 patients (11,1Z) at 24 tours after the diagnosis. Plasma Mg, erythrocyte Pkg and serum K levels in patients with PP were relatively constant during the study, showing a plateau pattem. .The mean levels of plasma Mg, erythrocyte Mg and serum K in DP patients were 2,25 mg/dL, 5,136 mg/CL and 3,74 |m|.:1/dL ruspectively in PHI without arrhytrrnia patients, the mean plasma Mg level at O hour (i = 1,96 mg/dL; SD = O,1B) was lower than the levels in AP patients (Y = 2,17 mg/dL; SD = 0,24), but the difference was not significant. The plasma Mg levels showed a si nificant decrease compared to the level at 0 hour, reacted its lowest level at 16 hours (i=1,74 mg/dL)§ SD = 0,2O), followed by an increase of its level starting from 24 to 40 hours, forming a parabolic pattern. In GMI without arrhytrmia patients, the mean erythrocyte Mg level at 0 hour (i = 5,22 mg/dL; SD = 0,32) was significantly lower than its level in AP patients (Y = 5,36 mg/dL; SD = 0,27). The pattern of erythrocyte Mg levels during 40 hours observation showed a constant increase starting from 8 hour to 40 hour (F = 5,42 mg/dL; SD = 0,34), forming a linear inclination. Erythrocyte Mg levels showed a significant increase compared to the levels at 0 hour, starting from 24 hours to 40 hours after diagnosis. The change in plasma Mg levels in the AMI without arrhythmia group did not run concurrently with the change in erythrocyte Mg levels. In AMI without arrhythmia the mean serum K level group at time of diagnosis (E = 4,33 mmol/dl.; SD = O,34) was significantly higher compared to the mean level in the AP patients (i°= 3,69 mmol/dL; SD I 0,26). The pattern of serum K levels in this group, declined starting at B hours, reached its lowest level at 32 hours (i = 4,03 nrnol/dL; SD 0,32); followed by an increase, but its level at 40 hour is significantly lower compared to its level at time of diagnosis. There was a significant difference between the serum K level at 24 hours and 32 fours and its level at time of diagnosis. This study revealed that in AMI without arrhythmia patients there was a significant decrease in plasma Mg, serum K and erythrocyte Hg levels during 40 hours after diagnosis. There was a significant difference in the electrolyte patterns between AMI and AP patients groups at the same time of observation. The decrease in plasma Mg levels in AMI with arrhythmia patients followed the same pattern as that found in patients without arrhythmia, but the levels in arrhythmia patients were consistently and significantly lower. The arrhythmia risk in AMI patients tend to be higher in patients showing low plasma Mg levels. Erythrocyte Mg levels in AMI with arrhythmia patients follcned the same pattern as that found in patients without arrhythmia, but their levels in arrhythmic patients were consistently higher. This study failed to proof the efficacy of erythrocyte Ng level determinations to predict arrhythrmia in AML patients. The pattern of serum K levels in AMI with arrhythmia followed the same pattern as that found in AMI without arrhythmia, but the levels in AMI with arrhythmia were consistently lower. The arrhythmia risk tend to be higher in AMI patients showing low serum K levels. The determination of plasma Ng and serum K levels at time of diagnosis might be used to predict arrhythmia in AMI. The arrhythmia risk increase if plasma Mg level is lower than 2,0 mg/dL and or serum K level is lower than 4,0 mmol/dL at time of diagnosis. The risk tend to be greater for combined hypomagnesemia and hypokalemia compared to one. The frequency of arrhythmia in AMI did not correlate well with the decrease in erythrocyte Mg levels, but there was a good correlation between arrhythmia and the decrease in plasma Mg and serum K levels.

ABSTRAK
Di Indonesia penyakit jantung koroner termasuk infark miokard akut (IMA) cenderung meningkat dari tahun ke tahm dengan komplikasi terbanyak berupa gangguan irama jantung (GIJ) yang dapat menyebabkan kematian. Akhir-akhir ini para peneliti menghubungkan penurunan kadar K dan Mg sebagai salah satu 'faktor' risiko terjadinya GIJ pada IMG. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pola perubahan kadar Mg plasma, Mg eritrosit dan K serum pada penderita infark miokard akut dan angina pectoris (PP) selama 40 jam sejak diagnosis ditegakkan serta hubungan perubahan kadar elektrolit tersebut dengan timbulnya GIJ pada IMG. Subyek penelitian adalah penderita infark miokard akut dan sebagai kontrol diambil penderita angina pectoris, yang dirawat di ICED RSIM. Diagnorsis ditegakkan berdasarkan kriteria N-D, yaitu keadaan klinis, gambaran E16 dan pemeriksaan ensim kardiak. Perneriksaan kadar Mg plasma, Mg eritrosit dan K serum dilakukan secara serial sebanyak 6 kali pengambilan. Pengambilan pertama setelah diagnosis clitegakkan disebut jam ke 0 selanjutnya jam ke 8 jam ke 16, jam ke 24, jam ke 32 dan jam ke 40. Didapatkan 31 penderita IMA kelompok kasus terdiri dari 13 panderita tidak mengalami GIJ (kelompok II) dan 1B penderita mengalami GIJ (kelompok III). Kelompok kontrol (kelompok I) terdiri dari 12 penderita IDP. Kelornpok I terdiri dari B orang pria dan 4 orang wanita dengan usia berkisar- antara 35-57 tahun, E = 50,1 tarun (SD = 6,B). Kelompok II terdiri 12 penderita pria dan 1 penderita wanita dengan usia berkisar' antara 37 - 67 tahun , Y = 53,0 (SD = 6,B). Kelornpok III terdiri dari 14 orang pria dan 4 orang wanita dengan usia ber-kisar' antara 35 - S5 tafun, i = 53,1 tahan (SD = 10,5). Selang waktu terjadinya serangan IVA dan FP sampai diagnosis ditegakkan diruang ICU untuk kelompok I berkisar' antara 3 - 6 jam, Y = 4,16 jam (SD = O,90). Lhtuk kelompok II berkisar antara 2 - 6 jam, a? = 4,07 jam (SD = 1,14), kelcmpok III herkisar' antara 2 - 6 jam, ?R = 4,05 jam (SD = 1,I2). ldaktu terjadinya GIJ pada kelompok III berkisar antara jam ke O sampai jam ke 24 setelah diagnosis ditegakkan. Dar-i 18 penderita yang mengalami EIJ, 6 orang (I5,3 Z) terjadi jam ke 0, 6 orang (BJ Z) terjadi pada jam ke B, pada 4 orang (22,2 Z) terjadi pada jam ke 16 dan hanya 2 orang (11,1 Z) terjadi pada jam ke 24. Pala kadar Pg plasma, Mg eritrosit dan K serum pada gderita PP salama 40 jam setelah diagnosis ditegakkan membentuk pola yang mendatar. kadar rata- rata Mg plasma , Vg eritrosit dan K ser-um pada kelornpok AP berturut turut 2,25 mg/dl., 5,56 mg/dL dan 3,74 mmol/L. Kaclar' rata-rata rt; plasma pender-ita IMG tang BL] pada jam ke 0 (x = 1,96 mg/dl.; SD = 0,1B) Iebih rendah dibanding panderita DF? (7 = 2,17 mg/dL; SD = O,24), tetapi secara statistik tidak berbeda bermakna. Pola kadar Mg plasma pada pendarita IMG tanpa GIJ menunjukkan penurunan dan mencapai kadar- rata-r-ata terendah pada jam ka 16 (52 = 1,74 mg/dI_; SD = 0,2O) yang secara statistik ber-becla ber-makna dibanding jam ke 0, kenudian diikuti peningkatan kambali mulai jam ke 24 dan maningkat tems sampai jam ke 40, sehingga mambentuk pola parabolik. Kadar rata-rata Mg aritrorsit pada penderita IPR tang; GIJ pada jam ka O (YZ = 5,22 mg/dL; SD = 0,32) lebih rendah secara bermakna dibanding kelmpok PP (7 = 5,86 mg/dL.; SD = 0,27?). Pala kadar' Mg eritrosit selama 40 jam menunjukkan peningkatan yang dimulai pada jam ke B dan terus meningkat sampai jam ke 40 (Y = 5,42 mg/dl.; SD = 0,ZS4), nembentuk pola linier maningkat. Kadar Mg eritrosit meningkat berrnakna mulai jam ke 24 sampai jam ke 40 setelah diagnosis ditegakkaw dibancling jam ke 0. Perubahan kadar' I?q plasma pada kelompok IMA tanpa GIJ tidak paralel dengan pola psrubahan kadar Mg eritrosit. Kadar rata-rata K serum penderita IMA tang BL] pada jam ke 0 (i = 4,33 rmol/L ; SD = O,34) lebih tinggi sscara beramakna ditnanding kelompok »9P ( 5? = 3,69 nmol/L; SD = O,26). Pola kadar' K serum pada penderita IMQ tanpa GIJ menunjukkan penurunan dirrulai pada jam ka B dan mencapai kadar terendah pada jam ke 32 (i = 4,03 mmol/L; SD O,32), kemudian rneningkat kembali pada jam ke 40, tetapi masih lebih randah secara bermakna dibanding jam ke 0. Penurunan kadar pada jam ke 24 dan 32 berbeda bermakna ds-ngan jam ke O. Dari hasil pa1e1itian ini. dapat dibuktikan bahwa pada IMQ gang QQ terjadi penurunan kaclar Mg plasma, K serum dan Mg eritrcrsit secara bermakna selama 40 jam setelah diagnosis ditegakkan. Didapatkan pula perbedaan antara parubahan pola kadar- elektrolit tersetut salama 40 jam pada penderita dibandingkan dangan kelompok ¢P dalam waktu yang sama. Pala penurunan kadar' Hg plasma pada penderita IMA dengan GIJ sama dengan penderita IFR tanpa GIJ, tetapi kadarnya pada pendarita IMA dengan GIJ selalu lebih rendah secara bermakna. Kadar Mg plasma yang rendah, canderung meningkatkan r-isiko terjaclinya GIJ pada IMQ. Pola kadar mg eritrosit pada penderita IMA dengan GIJ sama dengan penderita IMQ tanpa GIJ, akan tetapi kadarnya pada pender-ita IPR dengan GIJ selalu lebih tinggi. Dari penelitian ini tidak terbukti kadar- M3 aritrosit dapat digunakan untuk meramalkan kemungkinan terjadinya GIJ. Pola kadar K serum pada penderita IMA dengan GIJ sarna dengan penderita IHA tanpa GLJ, tetapi kadarnya pada penclerita IMQ dengan GIJ selalu lebih rendah. Kadar' l< serum yang rendah, cenderung meningkatkan risiko terjadinya GIJ. Kadar Mg plasma kurang dari 2,0 mg/dl dan K serum kurang dari 4,0 n-mol/L pada jam ke O sa-telah diagnosis ditegakkan, kemmgkinan dapat dipakai untuk memperkirakan akan terjadinya GIJ. Bila penderita IM4 mengalami hipomagrresemia disertai hipokalemia, risiko terjadinya EIJ lebih besar dibandingkan bila hipnmagnesia atau hipmkalemia saja. Persentase GIJ pada penderita INQ tidak menunjukkan perubahan dengan penurunan kadar' Mg eritr-cnsit, tetapi pawurunan parameter Mg plasma dan serum dapat manujukkan hubungan yang cukup baik."
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lies Dina Liastuti
"Penelitian ini meneliti tentang selisih antara tagihan dengan klaim yang dibayar oleh para penjamin biaya kesehatan terhadap pelayanan kasus Infark Miokiard Akut di RSJPDHK serta selisih antara tagihan dengan klaim menggunakan tarif INA-CBG`s. Tujuan dari penelitian adalah untuk dapat memperoleh data karakteristik, mutu layanan dan permasalahan biaya dan pembayaran klaim terhadap RS oleh para penjamin/pembayar. Penelitian ini mendapatkan 5472 pasien Infark Miokard Akut selama periode 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2012 terdiri dari laki laki 81,5% dan perempuan 18,5%, rata-rata usia 56,3 tahun rentang usia yang lebar (21-97 th vs 26-96 th). Sebagian besar berasal dari DKI Jakarta (51%), Tingkat keparahan I 46%, Tingkat II 47,4%, dan Tingkat III 5,9%. Lebih dari separuh pasien (54,64%) mendapat tatalaksana intervensi PTCA atau bedah jantung (CABG), sedangkan 44,54% pasien dirawat tanpa tindakan intervensi non bedah maupun bedah. Penelitian mendapatkan 43,7% pasien dengan jaminan Askes, dan hanya 2,9 % dijamin dengan Jamkes yang dibayar dengan sistem INA-CBG`s. Lama rawat pasien rata rata 7,71±6,30 hari, 87,8, % keluar RS dengan status sembuh. Kesimpulan : Mutu layanan IMA di RSJPDHK tidak dibedakan berdasarkan jenis penjamin, dan adanya selisih antara tagihan RS dengan klaim yang dibayar oleh para penjamin berhubungan secara bermakna dengan kode diagnosis, jumlah tindakan sekunder, lama rawat dan tingkat keparahan penyakit. Penelitian mendapatkan nilai selisih dalam simulasi perhitungan antara tagihan terhadap klaim dengan sistem INA-CBG`s.

The Study examined the differences between the published rates and the CBG rates among patients with acute myocardial infarction (AMI) in National Cardiovascular Center (NCC) Harapan Kita. The purpose of this study is to examine whether there is quality and other differences among AMI patients paid by difference payers and payment levels. This study analyzed medical records of patients with AMI during the period of January 1, 2009 until December 31, 2012. The study found 5,472 patients with AMI consisting of 81.5% males and 18.5% females with the mean age of 56.3 years (range between 21-97 years vs. 26-96 years). Most of the patients were from Jakarta (51%). On severity levels, 46% patients were in severity level I, 47.7% severity level II, and 5.9% level III. More than half (54.6%) patients were treated with intervention (PTCA) or surgical procedures (CABG), while 44.4% patients were treated conventionally. We found that 43.7% of patients were covered by Askes, and only 2.9% were Medicaid (Jamkesmas) that were paid on DRGs. The average length of stays was 7.7 days and 87.8% were discharged in a good recovery. There was no difference in quality of treatment by difference payers or payment system although there was significant discrepancy in charges among difference payers. This differences in charges were associated differences in diagnoses, the number of secondary procedures, length of stays, and severity of the cases. It is concluded that the doctors provided the same quality of services among AMI patients, regardless of payers` status or charges."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T36106
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Athikah Khairunnisa
"Latar belakang: COVID-19 menyebabkan respon inflamasi sistemik yang dapat disertai dengan pembentukan trombus koroner dan berhubungan dengan morbiditas serta mortalitas yang tinggi. Pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan beban trombus intrakorener yang tinggi berhubungan dengan luaran klinis yang lebih buruk. Tujuan: Mengetahui hubungan antara COVID-19 dengan beban trombus intrakoroner pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Metode: Terdapat 181 pasien IMA-EST yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) pada periode April 2020 hingga November 2021 dianalisis secara retrospektif. Beban trombus intrakoroner menurut TIMI saat IKPP dibagi menjadi beban trombus tinggi (BTT) dan beban trombus rendah (BTR). COVID-19 dibagi menjadi positif dan negatif berdasarkan pemeriksaan laboratorium, kemudian dinilai hubungannya dengan BTT. Hasil: Beban trombus intrakoroner tinggi berdasarkan TIMI didapatkan pada 70,2% pasien. Subjek COVID-19 positif cenderung mempunyai resiko 3,03 kali (95% IK: 1,11 – 8,31; p=0,025) untuk mengalami BTT. Namun, dari analisis multivariat tidak didapatkan hubungan antara status positif COVID-19 dengan BTT. Pada model akhir analisis multivariat, faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian beban trombus tinggi adalah nilai CRP > 5 mg/L dengan odds ratio 3,29 (95% IK: 1,09 – 9,88; p=0,034) dan merokok (OR 2,92; 95% IK: 1,12 – 7,58; p=0,027). Kesimpulan: Status COVID-19 positif tidak berhubungan dengan kondisi beban trombus intrakoroner tinggi pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Kata Kunci: IKP primer; IMA-EST; COVID-19; C-reactive protein; trombus; beban trombus

Introduction: COVID-19 infection causes a systemic inflammatory response that increases the activation of coagulation system prone to hypercoagulable conditions that can trigger thrombus formation. Erosion of susceptible atherosclerotic plaques can lead to intracoronary thrombus which is the main cause of ST segment elevation acute myocardial infarction (STEMI). STEMI patients undergoing primary percutaneous coronary intervention (PPCI) with a high intracoronary thrombus burden were associated with a worse clinical outcome. Objective: Aimed to determine association between COVID-19 positivity and other factors related to intracoronary thrombus burden in STEMI. Methode: A total of 181 patients with STEMI who underwent PPCI between April 2020 and November 2021 were retrospectively analized. Intracoronary thrombus burden based on TIMI criteria was reclassified into high thrombus burden (HTB) and low thrombus burden (LTB). HTB was analyzed with COVID-19 which divided into positive and negative based on laboratory results. Results: HTB was found in 70,2% patients. Positive COVID-19 patients tend to showed HTB during PPCI (OR 3,03; 95% IK: 1,11–8,31; p=0,025). From multivariate analysis, there is no association between COVID-19 positivity and HTB. In the last model of multivariate analysis, CRP > 5 mg/L (OR 3,29; 95% IK: 1,09 – 9,88; p=0,034) and smoking status (OR 2,92; 95% IK: 1,12 – 7,58; p=0,027) were associated with HTB. Conclusion: There is no association between COVID-19 positivity and HTB in STEMI patients underwent PPCI. Keywords: Primary PCI; STEMI; COVID-19; intracoronary thrombus; thrombus burden."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>