Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 47919 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gardjito Hardjosukarso
"Penelition ini bertuiuan untuk menilai derajat Hipertensi Pulmonal (HP) secora kwantitatif dengan pemeriksaan "Pulsed Doppler Echocardiography" (PDE). Penelition dilakukan terhadap 60 penderita HP, semua menialani kateterisasi jantung. Kelompok kelola terdiri dari 15 orang normal.
Parameter PDE dilakukan pengukuran "right ventricel pre ejection period" (RPEP), "acceleration time" (ACT), "right Ventricel ejection time" (RVEP) serta rosio RPEP/ACT, RPEP/RVET don AcT/RVET. BerdosarKan panjang fase AcT.
penderita dibagi dalom 2 kelompok, yaitu kelompok ACT < 80 ms (kelompok A) dan ACT = 80-120 ms (kelompok B). Berdasarkan "mean pulmonary artery pressure" (MPA) dari kateterisasi jantung, penderita dikelompokkan menjadi kelompok 20-40 mmHg (HP-1), 41-60 mmHg (HP-2) don >60 mmHg C HP-3 ), berturut-turut sesuai dengan deraiat ringan, sedang dan berat. Berdasarkan "pulmonary arterial resintance" ( PAR ) penderita HP karena pirau intrakardial dibagi 2, yaitu kelompok < 5HRU (PAR-1) dan > 5 HRU (PAR-2). Nilai Parameter PDE dari tiap kelompok dibandingkan dengan nilai MPA dan PAR dari hasil pemeriksaan kateterisasi jantung. penderita dibagi 2 golongan, yaitu HP hiperkinetiK don HP pasif, selonjutnya parameter PDE kedua golongon tersebut dibandingkan.
Didapatkon korelasi kuat antara AmPA masing-masing dengan RPEP ( MPA = 5.14 + 0.44 RPEP, r = 0.76, SEE = 9.34, X0.01), ACT ( MPA = 84.69 + 0.55 ACT, r =-0.78, SEE=8.99, p<0.01), dan RPEP/ACT (MPA= 18.93 + 15.90 RPEP/ACT, r=0.87, SEE= 7.07, P<0.01). Juga didapatkan korelasi kuat antara PAR dengan RPEP (PAR = -7.93 + 0.12 RPEP, r = 0.82, SEE = 2-055, P<0-01), ACT ( PAR = 17.44 - 0.15 ACT, r = -0.84, SEE = 1.89, P<0.01) dan RPEP/ACT (PAR= -1.16 + 4-24 RPEP/Ac75 r = 11.90, SEE=1.56, P<0-01). Rasio RPEP/ACT dapat membedakon kelcmpoK HP-1, HP-2 don HP-3 secara bermakna (HP-13 1.03-+0.27, dibanding HP-2, 2-02 (0.36, P<0.05 ; HP-2 dibanding HP-3, 2.82±0.423 p<0.05). Rasio RPEP/ACT 1.61 atau kurang sesuai dengan HP ringan, rasio 2.22 atau lebih sesuai dengan HP berat, rasio antara 1.61 - 2.22 sesuai dengan HP sedang. Parameter tersebut juga dapat menentukan tingginya PAR. Parameter PDE golongan HP hiperkinetik tidak berbeda bermakna dibanding HP pasif.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa RPEP, ACT don RPEP/ACT merupakan Parameter PDE yang dapat dipokai untuk menilai secora kwanitatif don kwanitatif dero,iat HP. Rasio RPEP/ACT merupakan satu-satunya parameter sensitif yang dapat digunakan untuk menentukan HP ringan, sedang dan berat. Golongan HP hiperkinetik dan HP pasif mempunyai parameter PDE soma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendro Darmawan
"Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai perubahan area katup mitral (AKM) dan respon hemodinamik dengan Doppler ekokardiografi (DE) pada stenosis katup mitral (SKM) yang dilakukan uji latih baring. Menilai perubahan gradien tekanan (MVPG) dan aliran katup mitral (MVF) dalam penerapannya terhadap rumus Gorlin. Perekaman dilakukan pada istirahat dan akhir uji latih. Penelitian dilakukan pada 20 penderita SKM (18 SKM murni dan 2 SKM+Insufisiensi katup mitral).
Parameter hemodinamik yang dinilai adalah AKM, dimensi atrium kiri, denyut jantung (DJ), curah jantung (CJ), isi sekuncup (IS); MVPG, MVF dan rasio ∆ MVPG/∆ MVF. Berdasarkan derajat stenosis penderita dibagi atas SKM ringan (AKM >1,5 cm2), SKM sedang (AKM 1-1,5 cm2) dan berat (AKM <1,0 cm2). Membuat korelasi AKM Doppler dengan kateterisasi, menilai perubahan AKM dengan uji latih dan menilai berbagai respon hemodinamik dengan AKM.
Ada 8 penderita yang mempunyai data kateterisasi. Penilaian AKM dari Doppler dengan kateterisasi mempunyai korelasi yang balk (r=0,7365,p=O,04). Hanya 12 penderita yang dapat dinilai AKM dengan uji latih. Tidak didapatkan perubahan AKM dengan uji latih (p >0,05). Terdapat korelasi antara AKM dengan delta CJ (r=0,7552,p=0,0001) dan dengan delta IS (r=0,52,p=0,02), tetapi tidak mempunyai korelasi dengan delta DJ (selisih DJ puncak uji latih dengan istirahat) dengan r=0,09 maupun dengan delta DJ yang diperoleh dari selisih DJ pada saat rekaman Doppler pada akhir uji latih dengan DJ istirahat (r=-0,05). Nilai DJ pada puncak uji latih (dari EKG) tidak sama dengan DJ pada saat rekaman Doppler pada akhir uji latih (136 ± 13 dan 108 T 19). Terdapat keterbatasan DE untuk mendapatkan rekaman pola pada puncak uji latih, disamping penentuan "slope" dari pola mempunyai pengaruh terhadap perhitungan AKM.
Perubahan gradien tekanan rata-rata {delta mMVPG) tidak mempunyai korelasi dengan AKM (r=0,01). Terdapat korelasi antara MVF dengan AKM (r=0,6692,p=0,001) begitu jugs pada rasio ∆MVPG/∆ MVF mempunyai korelasi terbalik dengan AKM (r=- 0,8247, p=0,00001). Perubahan hemodinamik ini mengikuti rumus Gorlin.
Penelitian ini menyimpulkan, bahwa pemeriksaan Doppler ekokardiografi dapat dipakai untuk menilai perubahan hemodinamik pada penderita SKM yang dilakukan uji latih. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Aulia Fanani
"Latar Belakang: Hipertrofi ventrikel kiri VKi merupakan adaptasi kardiak pada hipertensi dan meningkatkan risiko gagal jantung diastolik. Hipertrofi VKi sering ditemui pada gagal jantung diastolik, namun hubungan hipertrofi VKi dengan kapasitas fungsional dan parameter disfungsi diastolik masih kontroversi.
Tujuan: Menilai korelasi IMVKi dengan kapasitas fungsional, perubahan parameter diastolik, dan global longitudinal strain GLS pada pasien hipertensi laki-laki asimptomatik dengan hipertrofi VKi.
Metode: Pasien hipertensi laki-laki asimptomatik dengan IMVKi>115 gr/m2 tanpa masalah koroner, aritmia, penyakit jantung bawaan, dan penyakit jantung katup masuk kriteria studi. Uji latih ergocycle menggunakan protokol ramp. Akuisisi IMVKi pada awal uji dan pengukuran parameter diastolik E/A, E/e rsquo;, IVRT dan GLS pre dan puncak uji.
Hasil: Terdapat 41 subjek dengan usia 55 32-64 tahun. Median nilai IMVKi subjek 129 116-319 gr/m2, dengan rerata kapasitas fungsional 5,7 1 METs. parameter diastolik pre dan puncak uji latih beban tidak berbeda bermakna. Rerata GLS pre uji rendah namun berbeda bermakna pada puncak uji latih pre vs puncak: -15,4 vs 18,5 ; p

Backgrounds: Left Ventricular Hypertrophy LVH is an adaptation on hypertension and increases diastolic heart failure risk. LVH are common in diastolic heart failure. Prior studies showed various results on correlation Left ventricular mass index LVMI, with functional capacity and diastolic parameters.
Objectives: To assess correlations of LVMI with functional capacity, diastolic parameters changes, and global longitudinal strain GLS in male asymptomatic hypertensive patients with LVH.
Methods: Male asymptomatic hypertensive patients with LVMI 115 gr m2 without history of CAD, arrhythmia, congenital, and valvular heart disease are recruited. Stress test use ramp protocol. Initial LVMI is acquired, and diastolic parameters E A, E e, IVRT and GLS are acquired at pre and peak stress test.
Results: Forty one patients were recruited aged 55 32 64 years old. The median of LVMI was 129 gr m2 and mean functional capacity was 5,7 METs. Pre and peak stress test diastolic parameter values were insignificant. Pre stress test GLS mean was low but increased at peak pre vs peak 15,4 vs 18,5 p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felix
"[Latar belakang: Gagal jantung adalah penyebab utama kematian pada thalassemia akibat penumpukan besi dari transfusi darah. Ekokardiografi sering digunakan untuk evaluasi fungsi jantung, namun interpretasi hasilnya sangat bergantung dari operator. Uji berjalan 6 menit adalah metode sederhana yang terbukti mempunyai reliabilitas baik untuk menilai kapasitas fungsional kardiorespirasi sehingga dapat menjadi alternatif penilaian fungsi jantung anak thalassemia.
Tujuan: Mendapatkan uji berjalan 6 menit sebagai metode sederhana untuk mengukur fungsi jantung anak thalassemia.
Metode: Penelitian kasus kontrol pada subjek thalassemia dan kontrol berusia 11-18 tahun yang dipilih secara consecutive sampling. Subjek thalassemia mempunyai rerata feritin serum >2500 ng/mL dalam 6 bulan terakhir. Subjek kontrol dalam kondisi sehat dan tidak pernah menjalani transfusi darah. Uji berjalan 6 menit dilakukan pada kedua subjek, sedangkan ekokardiografi konvensional (EK) dan tissue Doppler (ETD) hanya dilakukan pada subjek thalassemia oleh seorang konsultan kardiologi anak. Data sekunder lain pada subjek thalassemia diambil dari rekam medis yaitu rerata hemoglobin pra-transfusi dalam 1 tahun terakhir, feritin serum dan saturasi transferin dalam 6 bulan terakhir.
Hasil: Sebanyak 40 subjek thalassemia dan 109 kontrol berpartisipasi dalam penelitian ini. Median usia subjek thalassemia 13,4 (11-17,9) tahun dan kontrol 14,2 (11,3-17,9) tahun. Rerata hemoglobin pra-transfusi 7,6±0,6 g/dL. Median feritin serum 4246,5 (2506-10749,7) ng/mL dan saturasi transferin 100 (50-100) %. Setelah dilakukan matching usia dan jenis kelamin, jarak tempuh uji berjalan 6 menit pada subjek thalassemia lebih pendek daripada kontrol (465,1±74,2 vs 671±94,2, p<0,001). Parameter fungsi sistolik dan diastolik jantung dari EK dalam batas normal, tetapi ETD menunjukkan 45% subjek thalassemia mengalami gangguan fungsi diastolik (rasio E/E’ >8). Tidak ada faktor yang berkorelasi dengan jarak tempuh pada subjek thalassemia, sedangkan tinggi badan berkorelasi dengan jarak tempuh pada kontrol berdasarkan analisis bivariat.
Kesimpulan: Jarak tempuh antara subjek thalassemia lebih rendah daripada kontrol. Peran ETD lebih baik daripada EK dalam mengevaluasi fungsi jantung. Uji berjalan 6 menit dapat digunakan sebagai skrining fungsi jantung pada anak thalassemia.;Background: Heart failure is leading cause of mortality in thalassemia due to transfusion-induced iron overload. Evaluation of cardiac function is routinely performed with echocardiography. However, its interpretation depends on operator. The six minute walk test is a simple and reliable method to assess cardiorespiratory performance, therefore, it is suggested to be an alternative in evaluating cardiac function in thalassemia.
Aim: To obtain six minute walk test as a simple method in order to evaluating cardiac function in thalassemia.
Methods: This case control study was performed in thalassemia subjects (cases) and controls aged 11-18 year old which were selected with consecutive sampling. Cases should have mean serum ferritin level >2500 ng/mL in last 6 months. Controls must be in healthy condition and have never had blood transfusion. Both cases and controls performed six minute walk test, while echocardiography (conventional and tissue Doppler) was only done in cases by a pediatric cardiologist. Other secondary data collected from medical records in cases were mean of pre-transfusion hemoglobin in last 1 year, serum ferritin and transferin saturation in last 6 months.
Results: There were 40 cases and 109 controls involved in this study with median age were 13.4 (11-17.9) and 14.2 (11.3-17.9), respectively. The mean of pre-transfusion hemoglobin was 7,6±0,6 g/dL. The median serum ferritin was 4246.5 (2506-10749.7) ng/mL and transferin saturation 100 (50-100) %. After sex and age matching, the six minute walk distance was lower in cases than controls (465.1±74.2 vs 671±94.2, p<0.001). Conventional echocardiography did not find any systolic and diastolic dysfunction in cases. However, tissue Doppler echocardiography found 18 (45%) subjects with E/E’ ratio >8, which were categorized as diastolic dysfunction. There were no factors correlated to six minute walk distance in cases, while body height was correlated to six minute walk distance in controls based on bivariat analysis.
Conclusion: The distance of six minute walk test in thalassemia subjects was shorter than controls. Tissue Dopper echocardiography is better than conventional in order to evaluating cardiac function. The six minute walk test can be used for screening cardiac function in thalassemia.;Background: Heart failure is leading cause of mortality in thalassemia due to transfusion-induced iron overload. Evaluation of cardiac function is routinely performed with echocardiography. However, its interpretation depends on operator. The six minute walk test is a simple and reliable method to assess cardiorespiratory performance, therefore, it is suggested to be an alternative in evaluating cardiac function in thalassemia.
Aim: To obtain six minute walk test as a simple method in order to evaluating cardiac function in thalassemia.
Methods: This case control study was performed in thalassemia subjects (cases) and controls aged 11-18 year old which were selected with consecutive sampling. Cases should have mean serum ferritin level >2500 ng/mL in last 6 months. Controls must be in healthy condition and have never had blood transfusion. Both cases and controls performed six minute walk test, while echocardiography (conventional and tissue Doppler) was only done in cases by a pediatric cardiologist. Other secondary data collected from medical records in cases were mean of pre-transfusion hemoglobin in last 1 year, serum ferritin and transferin saturation in last 6 months.
Results: There were 40 cases and 109 controls involved in this study with median age were 13.4 (11-17.9) and 14.2 (11.3-17.9), respectively. The mean of pre-transfusion hemoglobin was 7,6±0,6 g/dL. The median serum ferritin was 4246.5 (2506-10749.7) ng/mL and transferin saturation 100 (50-100) %. After sex and age matching, the six minute walk distance was lower in cases than controls (465.1±74.2 vs 671±94.2, p<0.001). Conventional echocardiography did not find any systolic and diastolic dysfunction in cases. However, tissue Doppler echocardiography found 18 (45%) subjects with E/E’ ratio >8, which were categorized as diastolic dysfunction. There were no factors correlated to six minute walk distance in cases, while body height was correlated to six minute walk distance in controls based on bivariat analysis.
Conclusion: The distance of six minute walk test in thalassemia subjects was shorter than controls. Tissue Dopper echocardiography is better than conventional in order to evaluating cardiac function. The six minute walk test can be used for screening cardiac function in thalassemia., Background: Heart failure is leading cause of mortality in thalassemia due to transfusion-induced iron overload. Evaluation of cardiac function is routinely performed with echocardiography. However, its interpretation depends on operator. The six minute walk test is a simple and reliable method to assess cardiorespiratory performance, therefore, it is suggested to be an alternative in evaluating cardiac function in thalassemia.
Aim: To obtain six minute walk test as a simple method in order to evaluating cardiac function in thalassemia.
Methods: This case control study was performed in thalassemia subjects (cases) and controls aged 11-18 year old which were selected with consecutive sampling. Cases should have mean serum ferritin level >2500 ng/mL in last 6 months. Controls must be in healthy condition and have never had blood transfusion. Both cases and controls performed six minute walk test, while echocardiography (conventional and tissue Doppler) was only done in cases by a pediatric cardiologist. Other secondary data collected from medical records in cases were mean of pre-transfusion hemoglobin in last 1 year, serum ferritin and transferin saturation in last 6 months.
Results: There were 40 cases and 109 controls involved in this study with median age were 13.4 (11-17.9) and 14.2 (11.3-17.9), respectively. The mean of pre-transfusion hemoglobin was 7,6±0,6 g/dL. The median serum ferritin was 4246.5 (2506-10749.7) ng/mL and transferin saturation 100 (50-100) %. After sex and age matching, the six minute walk distance was lower in cases than controls (465.1±74.2 vs 671±94.2, p<0.001). Conventional echocardiography did not find any systolic and diastolic dysfunction in cases. However, tissue Doppler echocardiography found 18 (45%) subjects with E/E’ ratio >8, which were categorized as diastolic dysfunction. There were no factors correlated to six minute walk distance in cases, while body height was correlated to six minute walk distance in controls based on bivariat analysis.
Conclusion: The distance of six minute walk test in thalassemia subjects was shorter than controls. Tissue Dopper echocardiography is better than conventional in order to evaluating cardiac function. The six minute walk test can be used for screening cardiac function in thalassemia.]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Charles Krisnanda
"Latar Belakang: Konfirmasi diagnosis gagal jantung dengan fraksi ejeksi terjaga (HFpEF) berdasarkan algoritma HFA-PEFF masih dirasa sulit untuk diaplikasikan karena terdapat komponen uji lanjutan berupa uji ekokardiografi dengan protokol uji latih beban dan hemodinamik secara invasif. Belum terdapat pemeriksaan untuk mengkonfirmasi diagnosis HFpEF secara lebih mudah dan terbukti secara klinis.
Tujuan: Mengevaluasi apakah pemeriksaan ekokardiografi melalui protokol uji angkat kaki secara aktif (AKA) dapat menjadi alternatif diagnostik uji ekokardiografi dengan protokol latih beban menggunakan ergocycle (ergocycle stress echo) dalam mengkonfirmasi diagnosis pada populasi suspek HFpEF berdasarkan algoritma HFA-PEFF.
Metode: Studi komparatif diagnostik yang mengevaluasi pasien suspek HFpEF berdasarkan algoritma HFA-PEFF dengan skor intermediate dan high. Pasien suspek HFpEF menjalani pemeriksaan ekokardiografi protokol uji AKA dan protokol uji latih beban menggunakan ergocycle (ergocycle stress echo) yang sesuai algoritma HFA-PEFF.
Hasil: Dari 66 pasien suspek HFpEF, terdapat 14 pasien (21%) dengan hasil ergocycle stress echo positif (average E/e' >=15). Dari 14 pasien, protokol ekokardiografi dengan uji AKA positif terhadap 8 pasien (57,1%). Sensitivitas dan spesifisitas ekokardiografi dengan protokol uji AKA bila dibandingkan dengan protokol ergocycle stress echo adalah 57,1% dan 100% secara berurutan. Area di bawah kurva receiver operating characteristic (ROC) adalah 0,96 (p<0,001). Didapatkan tiga nilai potong untuk average E/e’ (>=15, >12,8 dan >12,2) pada protokol uji AKA yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 57,1% dan 100%; 85,7% dan 88,5; dan 100% dan 84,6% secara berurutan.
Kesimpulan: Pemeriksaan ekokardiografi dengan protokol uji AKA dapat menjadi alternatif diagnostik ekokardiografi dengan protokol ergocycle stress echo dalam mengkonfirmasi diagnosis pada pasien suspek HFpEF dengan skorintermediate dan high berdasarkan algoritma HFA-PEFF.

Background: Confirmation of heart failure with preserved ejection fraction (HFpEF) diagnosis based on the ESC HFA-PEFF algorithm is still difficult to apply because further tests are needed through echocardiography stress test and invasive hemodynamic test. There are currently no clinically proven and less complex tests to confirm the diagnosis of HFpEF.
Objective: To evaluate whether echocardiography through the active leg raise (ALR) protocol can become an alternative diagnostic test to ergocycle stress echocardiography protocol (ergocycle stress echo) in confirming the diagnosis of suspected HFpEF patients based on HFA-PEFF algorithm.
Methods: This is a comparative diagnostic study that evaluated patients with HFA-PEFF algorithm suspected HFpEF patients (intermediate and high scores). Suspected HFpEF patients underwent echocardiographic examination through the ALR protocol and ergocycle stress echo according to the HFA-PEFF algorithm.
Results: Of the 66 patients with suspected HFpEF included in the study, 14 patients (21%) had positive ergocycle stress echo results (average E/e' >=15). Of the 14 patients, the echocardiography protocol with the ALR was positive for 8 patients (57.1%). The sensitivity and specificity of echocardiography with the ALR when compared with the ergocycle stress echo protocol were 57.1% (95%CI 28.9% - 82.3%) and 100% (95%CI 93.2% - 100%), respectively. The area under the receiver operating characteristic (ROC) curve is 0.96 (p<0.001). Three cutoff values for the average E/e' >=15, >12.8 and >12.2 in the ALR protocol ​​were proposed which had a sensitivity and specificity of 57.1% and 100%; 85.7% and 88.5%; and 100% and 84.6%, respectively.
Conclusion: Echocardiography with the ALR protocol may become an alternative to ergocycle stress echocardiography in diagnosis confirmation of suspected HFpEF patients with intermediate and high scores based on the HFA-PEFF algorithm.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Destianti
"Latar belakang: Pemeriksaan cardiac siderosis dengan MRI T2 1,5 Tesla merupakan baku emas tetapi belum ada yang menggunakan MRI 3 Tesla. Provinsi Aceh merupakan daerah yang mempunyai banyak pasien thalassemia mayor di Indonesia, sampai saat ini belum ada data mengenai cardiac siderosis dan gangguan fungsi diastolik yang diperiksa dengan ekokardiografi tissue Doppler. Pemeriksaan cardiac siderosis yang tersedia di Aceh adalah MRI 3 Tesla.
Tujuan: Menilai korelasi antara gangguan fungsi diastolik dengan cardiac siderosis ekokardiografi tissue Doppler dan feritin serum pada pasien anak thalassemia major di Aceh.
Metode: Studi observasional dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh pada bulan Juli hingga September 2018. Dilakukan pencatatan data karakteristik, Hb pre-transfusi, feritin serum, data ekokardiografi dan nilai MRI T2 3 Tesla jantung. Korelasi antara MRI T2 jantung dengan ekokardiografi dan feritin serum dinilai dengan uji Pearson.
Hasil: Penelitian ini mengikutsertakan 34 subyek usia 8-17,5 tahun. Cardiac siderosis didapat pada 8 (23,5%) subyek. Gangguan diastolik didapati pada 10 (29,5%) subyek. Tidak dijumpai korelasi antara MRI T2 jantung dengan fungsi diastolik ETD (r= 0,086; p= 0,62). Terdapat korelasi signifikan antara MRI T2 dengan feritin serum (r= -0,537; p < 0,0001).
Simpulan: Terdapat korelasi kuat antara MRI T2 jantung dengan kadar feritin serum, tetapi tidak terdapat korelasi antara fungsi diastolik dengan MRI T2 3 Tesla jantung

Backgrounds: Cardiac T2 MRI at 1,5 T remains gold standard for cardiac siderosis. However in some centres only MRI 3 T is available. Aceh Province is the largest region with thalassemia careers in Indonesia, there are no data about cardiac siderosis and diastolic dysfunction in children with thalassemia major in Aceh. Thalassemia center in Aceh has only MRI 3 Tesla
Objectives: To study correlation diastolic function cardiac siderosis with cardiac T2 MRI 3 Tesla among Acehnesse children thalassemia.
Methods: Observational studies were conducted at Dr. General Hospital Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh from July to September 2018. Data on characteristics, pre-transfusion hemoglobin, serum ferritin, echocardiography and cardiac T2 MRI were recorded. Correlation between heart T2 MRI is carried out by the Pearson test as well as serum ferritin.
Results: Thirty-four subjects participated in the study aged 8-17.5 years. Eight subjects (23.5%) experienced cardiac siderosis which was examined by cardiac T2 MRI T2 3 Tesla. Diastolic dysfunction examination by tissue Doppler echocadiography were found in 10 (29.5%) subjects. There was no correlation between MRI of heart T2 with diastolic function tissue Doppler echocardiography (r = 0.086; p = 0.62). There was a significant correlation between MRI T2 and serum ferritin (r = -0.537; p <0.0001).
Conclusion: There was no correlation between cardiac T2 MRI 3 Tesla and diastolic function ETD. There was a strong and significant correlation between MRI T2 and serum ferritin. Tissue Doppler can detect early diastolic dysfunction in thalassemia patients better than conventional.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatius Yansen Ng
"Latar Belakang. Fibrilasi atrium (AF) adalah komplikasi aritmia yang paling sering ditemukan pada pasien yang menjalani operasi bedah pintas arteri koroner (BPAK) dengan insidens yang bervariasi antara 20-50%. Walaupun diketahui sebagai gangguan yang bersifat sementara, namun AF pasca operasi dapat mengancam jiwa serta dikaitkan juga dengan peningkatan angka kesakitan dan kematian yang bermakna, sehingga perlu diketahui faktor-faktor yang dapat menjadi prediktor terhadap kejadian AF pasca BPAK. Penelitian ini menilai interval elektromekanikal atrium yang diukur dengan menggunakan ekokardiografi Doppler jaringan dan dispersi interval elektromekanikal sebagai prediktor kejadian AF pasca BPAK. Metode. Seratus delapan pasien diambil secara konsekutif untuk studi potong lintang ini, mulai bulan Mei hingga September 2012 dari pasien penyakit jantung koroner yang menjalani operasi BPAK di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta. Pasien menjalani pemeriksaan ekokardiografi sebelum operasi BPAK. Dilakukan penilaian terhadap interval elektromekanikal dengan Doppler jaringan pada lateral atrium kiri serta dispersi interval interatrial. Pasien dimonitor selama perawatan terhadap kejadian AF.
Hasil. Dalam studi kami, 27 dari 108 (25%) pasien mengalami AF pasca operasi BPAK. Dari analisa terlihat perbedaan interval elektromekanikal di atrium kiri sebesar 18.04 ms dan terdapat perbedaan dispersi interval interatrial 10.25 ms antara kelompok pasien yang mengalami AF pasca BPAK dan yang tidak mengalami AF. Dari hasil analisa didapatkan nilai titik potong interval elektromekanikal di lateral atrium kiri sebesar 77,75 ms dan dispersi interval elektromekanikal sebesar 38,95 ms sebagai prediktor terhadap kejadian AF pasca BPAK.
Kesimpulan. Interval elektromekanikal pada lateral atrium kiri dan dispersi interval interatrial dengan menggunakan Doppler jaringan merupakan potensial prediktor terhadap kejadian AF pasca BPAK.

Background. Atrial fibrillation (AF) is the most common arrhythmia complication in patient undergone coronary artery bypass grafting (CABG) with the incidence of 20- 50% according to different studies. Although this complication is temporary but can be life threathening, and increased the number of mortality and morbidity. Thus, it is very important to identified factors that can predict the occurance of AF post CABG. This study use atrial electromechanical interval and interval dispertion measured by tissue Doppler echocardiography as predictor of AF post CABG.
Methods. One hundred and eight patients were included in this cross sectional study. Samples were taken consecutively from May to September 2012 among patients with coronary artery disease undergoing CABG at the National Cardiovascular Center Harapan Kita Jakarta. The patients underwent a preoperative transthoracic echocardiography with tissue Doppler evaluation. We measured the atrial electromechanical interval in the lateral of left atrium and interatrial interval dispertion. Patients was monitored thorugh out hospitalization for the occurance of AF.
Result. In our study, 27 out of 108 (25%) patients developed AF post CABG. There are 18.04 ms electromechanical interval difference in the lateral of left atrium and 10.25 ms interatrial dispersion difference between patients who suffer from post operative AF and non AF. From this study we have 77,75 ms as the cutoff point for interval electromechanical in the left atrium and 38.95 ms as the cutoff point for dispersion of interatrial interval as the predictor for AF post CABG.
Conclusion. The interval of Electromechanical in the lateral left atrium and interatrial interval dispersion using tissue dopper echocardiography are potensial predictor the occurrence of AF post CABG.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alexandra Gabriella
"Latar belakang: Demam rematik dan komplikasinya masih merupakan masalah
kesehatan pada banyak negara berkembang. Katup mitral merupakan katup yang paling
sering terlibat oleh proses rematik, dengan derajat keparahan yang tinggi (60-70%
pasien), baik stenosis dan/atau regurgitasi. Tatalaksana pada pasien dengan stenosis katup
mitral berat telah digunakan sebagai modalitas terapi sejak hampir tiga dekade terakhir.
Pemilihan kandidat KMTP yang telah umum digunakan adalah dengan Skor Wilkins.
Skor Wilkins yang dinilai dari TTE memiliki beberapa kelemahan dibandingkan
modalitas TEE. Keterbatasan lain Skor Wilkins adalah terdapat variabel morfologi katup
mitral yang tidak dimasukkan dalam Skor Wilkins antara lain area katup mitral, morfologi
komisura, kalsifikasi komisura, dan area katup mitral awal. Selain itu angka keberhasilan
dini KMTP di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain di
dunia.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan morfologi katup mitral
(area katup mitral, ketebalan katup, tebal fusi komisura, tebal kalsifikasi komisura, fusi
korda) terhadap luaran keberhasilan dini KMTP.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien stenosis mitral berat
akibat penyakit jantung rematik yang menjalani tindakan KMTP. Luaran keberhasilan
dini yang optimal adalah tercapainya ukuran area katup mitral ≥ 1,5 cm2 tanpa disertai
regurgitasi mitral sedang atau lebih yang dievaluasi paska tindakan KMTP dengan
ekokardiografi. Penilaian katup mitral dilakukan secara detil dengan TEE meliputi Skor
Wilkins dari TEE (pliabilitas, ketebalan ketup, kalsifikasi, fusi korda), area katup mitral
(AKM) 3D pra tindakan, tebal fusi komisura anterolateral dan posteromedial, tebal
maksimal kalsifikasi komisura. Semua variabel dilakukan uji statistik bivariat, dan
selanjutnya dilakukan analisis multivariat.
Hasil: Total terdapat 41 pasien yang menjalani KMTP. Sebanyak 18 (43,9%) pasien
mencapai hasil luaran dini optimal. Didapatkan rerata AKM 3D pra 0,6 cm2 pada sampel.
Dari uji analisis multivariat didapatkan AKM 3D pra dan tebal fusi komisura anterior
merupakan faktor morfolgi katup yang secara independen berhubungan dengan
keberhasilan dini KMTP.
Kesimpulan: Pada populasi dengan Skor Wilkins yang rendah, AKM pra KMTP dan
ketebalan komisura anterolateral berhubungan dengan keberhasilan dini KMTP.
Sedangkan Skor Wilkins yang rendah itu sendiri tidak lagi berhubungan dengan
keberhasilan dini KMTP.

Background: Rheumatic fever and its complication is still a major health problem in
developing countries. The mitral valve is the most commonly and severely affected (65%-70% of patients) by rheumatic process by stenosis and/or regurgitation. Percutaneous
Transcatheter Mitral Comisurotomy (PTMC) has been used for almost 3 last decades.
Wilkins Score has been used for choosing candidates for PTMC. There are several mitral
valve features that is not included in the Wilkins score. Nevertheless, the success rate of
PTMC in Indonesia still considered lower than other countries.
Aim: This study aims to know the association of mitral valve morphology (mitral valve
area, valve thickness, thickness of commissural fusion, thickness of commisure
calsification, subvalvar involvement) with immediate success of PTMC.
Methods: This is a cross-sectional study, data was taken procpectively in patients with
rheumatic heart disease whom undergone PTMC. Optimal immediate success was
defined as mitral valve area ≥ 1,5 cm2 without mitral regurgitation moderate or more,
which was evaluated after PTMC using echocardiography. Detailed assessment of mitral
valve using TEE including Wilkins Score from TEE (pliability, valve thickness,
calsification, chordal fusion), mitral valve area (MVA) 3D, thickness of anterolateral and
posteromedial commissural fusion, maximum thickness of commissural calsification
were taken before the PTMC procedure. All morphological variables undergone bivariate
analysis and whichever is eligible to multivariate analysis.
Results: Forty-one patients undergone PTMC procedure. Eighteen patients (43,9%)
achieved optimal immediate result. Mean MVA by 3D echo before PTMC was 0,6 cm2.
After multivariate analysis, MVA 3D and thickness of anterolateral commisure were the
only morphological features which independently associated with early success of
PTMC.
Kesimpulan: In population with low Wilkins score, the score is no longer associated
with the immediate optimal outcome of PTMC. Instead, MVA 3D pre-PTMC and
thickness of anterolateral commissure are associated with immediate optimal outcome of
PTMC."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suprohaita
"Latar belakang: Penurunan curah jantung merupakan masalah yang penting dalam penatalaksanaan pasca-bedah jantung terbuka karena penurunan curah jantung ini meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien. Modalitas untuk pemantauan curah jantung bergeser dari invasif ke non-invasif. Alat ultrasonic cardiac output monitor (USCOM) dan ekokardiografi menjadi alat baru yang non-invasif. Bila dibandingkan dengan alat ekokardiografi yang membutuhkan keahlian khusus, alat USCOM dapat dijadikan alat pengukuran indeks curah jantung alternatif secara intermiten oleh tenaga medis terlatih.
Tujuan: Untuk mengetahui kesesuaian hasil pengukuran indeks curah jantung dengan alat USCOM dibandingkan ekokardiografi pada anak pasca-bedah jantung terbuka dengan pintasan jantung paru.
Metode: Studi potong lintang (cross sectional) pada anak pasca-bedah jantung terbuka dengan PJP dengan metode pengukuran simultan indeks curah jantung dengan alat USCOM dan ekokardiografi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dari bulan Juni-Juli 2014.
Hasil: Tiga belas pasien yang menjalani bedah jantung terbuka berhasil diukur dengan alat USCOM dan ekokardiografi secara simultan. Subyek terdiri atas 8 laki-laki dan 5 perempuan dengan median usia 3 tahun (1-12 tahun). Median berat badan, tinggi badan, dan luas permukaan tubuh berturut-turut 11 kg (5,5-29 kg), 82 cm (63-133 cm), dan 0,53 m2 (0,32- 0,98 m2). Diagnosis terbanyak berturut-turut adalah tetralogi Fallot (5 subyek), defek septum ventrikel (3 subyek), dan DORV (2 subyek). Pada analisis Bland-Altman indeks curah jantung yang diukur dengan alat USCOM dibandingkan ekokardiografi didapatkan perbedaan rerata sebesar 0,115 L/menit/m2 (IK95% -0,536 hingga 0,766) dan batas kesesuaian -3,616 hingga 3,846 L/menit/m2. Hasil tambahan penelitian ini berupa perbedaan rerata indeks isi sekuncup 0,03 mL/m2 (IK95% -5,002 hingga 5,065) dan batas kesesuaian -28,822 hingga 28,885 mL/m2. Perbedaan rerata diameter LVOT -0,017 cm (IK95% -0,098 hingga 0,064) dan batas kesesuaian -0,285 hingga 0,251 cm. Perbedaan rerata nilai VTI didapatkan sebesar -2,991 cm (IK95% -4,670 hingga -1,311) dan batas kesesuaian -12,616 hingga 6,635 cm.
Kesimpulan: Pengukuran indeks curah jantung dengan alat USCOM dibandingkan ekokardiografi pada anak pasca-bedah jantung terbuka dengan PJP didapatkan perbedaan rerata kedua pengukuran kecil dan batas kesesuaian 95% yang lebar. Pada pengukuran indeks curah jantung yang makin rendah, perbedaan atau selisih rerata semakin kecil dan memiliki kesesuaiannya lebih baik.

Background: Low cardiac output is important problem in post-open heart surgery management because this condition increase morbidity and mortality. Modality of cardiac output monitoring shifted from invasive to non-invasive. Ultrasonic cardiac output monitor (USCOM) and echocardiography are new non-invasive tools. Echocardiography needs special skill, but USCOM can used by trained user because of fast learning curve of skill.
Objectives: To determine the agreement of cardiac index measurement by USCOM and echocardiography in children after open heart surgery with cardiopulmonary bypass.
Methods: Cross sectional study using simultaneous measurement of cardiac index by USCOM and echocardiography on post-open heart surgery patient in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, from Juni-Juli 2014.
Results: Thirteen post-open heart surgery of pediatric patient were enrolled (8 male and 5 female, median of age 3 years old (1-12 years old). Median of body weight, height, and body surface area respectively were 11 kg (5,5-29 kg), 82 cm (63-133 cm), dan 0,53 m2 (0,32-0,98 m2). Diagnosis of patient were tetralogi Fallot (5 subject), ventricular septal defect (3 subject), dan double outlet right ventricle (2 subject). This study using Bland-Altman analysis of cardiac index measurement by USCOM and echocardiography. Mean bias was 0,115 L/minute/m2 (95%CI -0,536 to 0,766) and limit of agreement was -3,616 to 3,846 L/minute/m2. Secondary outcome of this study was mean bias of stroke volume index 0,03 mL/m2 (95%CI -5,002 to 5,065) and limit of agreement was -28,822 to 28,885 mL/m2. Mean bias of LVOT diameter was -0,017 cm (95%CI -0,098 to 0,064) and limit of agreement was -0,285 to 0,251 cm. Mean bias of VTI was -2,991 cm (95%CI -4,670 to -1,311) and limit of agreement -12,616 to 6,635 cm.
Conclusion: Cardiac index measurement by USCOM and echocardiography in children after open heart surgery has narrow mean bias and wide limit of agreement. Mean bias was narrower and good agreement in patient with low cardiac index."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ngantung, Robert Noldy
"Latar Belakang: Jaringan adiposa epikardial (JAE) sebagai jaringan adiposa visera penting peranannya dalam proses aterosklerosis di arteri koroner. Studi sebelumnya menunjukkan ketebalan adiposa epikardial lebih besar pada pasien dengan penyakit jantung koroner (PJK) Tujuan Mengetahui korelasi antara ketebalan adiposa epikardial dengan derajat stenosis arteri koroner pada pasien PJK stabil.
Metode: Dilakukan studi potong lintang pada tujuh puluh pasien PJK stabil yang menjalani angiografi koroner. Derajat stenosis arteri koroner dinilai dengan skor Gensini > 40 (berat) dan ≤ 40 (ringan-sedang). Ketebalan adiposa epikardial dinilai dengan ekokardiografi transtorakal pada fase sistolik akhir tampilan parasternal long axis.
Hasil: Nilai rerata ketebalan adiposa epikardial adalah 5,96 mm (SB 1,76) dan nilai median skor Gensini adalah 35,0 (kisaran 2-126). Analisis bivariat menunjukkan korelasi positif kuat yang bermakna (r = 0,768, p < 0,001). Nilai titik potong terbaik dari ketebalan adiposa epikardial yang memiliki nilai klinis berkaitan dengan derajat stenosis arteri koroner berdasarkan skor Gensini adalah 6,15 mm dengan sensitivitas 85,29%, spesifisitas 83,33%, nilai duga positif 82%, nilai duga negatif 85% dengan AUC sebesar 0,893 (IK 95% 0,814-0,971, p < 0,001).
Simpulan: Ketebalan adiposa epikardial berkorelasi signifikan dengan derajat stenosis arteri koroner berdasarkan skor Gensini. Ketebalan adiposa epikardial 6,15 mm memiliki kemampuan yang cukup baik untuk membedakan pasien PJK stabil ringan-sedang dan berat berdasarkan skor gensini.

Background: Epicardial adipose tissue (EAT) as part of visceral adipose tissue, has an integral role in the atherosclerotic cardiovascular disease. Previous studies have shown that EAT is thicker in those with coronary heart disease.
Objective: To determine the correlation of epicardial adipose thickness with the severity of coronary artery stenosis in stable coronary heart disease (CHD) patient.
Method: A cross-sectional study was conducted on seventy stable CHD patient undergoing coronary angiography. Severity of coronary artery stenosis was evaluated using Gensini scoring system : > 40 (severe) and ≤ 40 (mild-moderate). Epicardial adipose tissue was measured using transthoracic echocardiography at end-systole from parasternal longaxis view.
Results: Mean value of epicardial adipose thickness was 5,96 mm (SD 1,76) and median value of Gensini score was 35,0 (range 2-126). The correlation test showed a significant strong-positive correlation (r = 0,768, p < 0,001). The best cut-off point of epicardial adipose thickness which has a clinical value correlating to severity of coronary artery stenosis based on Gensini scoring system was 6,15 mm with the sensitivity 85,29 %, specificity 83,33%, positive predictive value 82 %, negative predictive value 85 % and AUC of 0,893 (CI 0,814-0,971, p < 0,001).
Conclusion: Epicardial fat thickness is significantly correlated to the severity of coronary artery stenosis based on Gensini scoring system. The thickness cutoff point of 6,15 mm has a good capability in discriminating mild-moderate dan severe stable CHD patient based on Gensini scoring system.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>