Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 108363 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ichtijanto
"A. Latar Belakang Masalah
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (disingkat UUP) yang disusun berdasar Pancasila sebagai cita hukum nasional berlaku bagi seluruh penduduk Indonesia menggantikan hukum perkawinan lama. Sesudah menjadi Undang-undang, Rancangan Undang-undang Perkawinan (RUUP) yang diajukan oleh Pemerintah mengalami perubahan fundamental, terutama perubahan falsafah hukumnya dan rumusannya. Undang-undang ini diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 3019), berlaku efektif sejak 1 Oktober 1975 sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang diundangkan pada tanggal 1 April 1975 (Lembaran Negara Nomor 12). Perubahan dari RUUP menjadi UUP terutama mengenai falsafah hukumnya dan rumusannya. Dari proses sejarah pembentukan UUP, dapat disimpulkan bahwa: a) UUP sudah tidak mengandung ketentuan yang bertentangan dengan Hukum Agama; b) perkawinan adalah sah bila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat I UUP); c) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (disingkat NTR) dan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dijamin kelangsungannya,1
Dalam negara Republik Indonesia yang berdasar atas hukum. Undang Undang Dasar 1945 (UUD) sebagai hukum dasar menyatakan, "Negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu" [Pasal 29 ayat (1)]. Dengan adanya kebebasan memeluk agama maka di Indonesia, maka di Indonesia ada pluralitas agama.2 UUP mendudukkan hukum-hukum agama dibidang perkawinan pada kedudukan esensial pasal 2 ayat (1) UUP. Maka di Indonesia berlaku hukum-hukum perkawinan agama sehingga di Indonesia ada pluralitas hukum perkawinan. Setelah menjadi UUP (yang mendudukkan dalam kedudukan fundamental dan esensial), Pasal 57 UUP menentukan pengertian perkawinan campuran sebagai berikut:
Pasal 57 UUP berbunyi: "Yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Penjelasan Pasal 57 UUP berbunyi "Cukup jelas".3 Pasal 57 UUP berasal dari Pasal 64 RUUP. Dalam proses pelaksanaan UUP timbul perbedaan pendapat tentang pengertian dan pengaturan perkawinan campuran. Ada pendapat yang berakibat tidak ada pelayanan perkawinan antar penganut agama yang berbeda;4 Pelayanan perkawinan dengan pelaksanaan dan pencatatan yang beraneka ragam.5 Ada perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda yang dilangsungkan di luar negeri walaupun kedua pasangan tetap?"
Depok: Universitas Indonesia, 1993
D143
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ichtiyanto
"Legal aspects of interfaith marriages in Indonesia"
Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Dep. Agama RI, 2003
346.016 ICH p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Gaby Arijane Trihadi
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S25837
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarasti Pradina Paramita
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S25654
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfa Djoko Basuki
Jakarta: UI-Press, 2005
PGB 0427
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Loebis, A.B. (Ali Basja)
Jakarta: [Publisher not identified], [Date of publication not identified]
346.016 598 LOE h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Novie Yulianie
"Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban terhadap negaranya, sebaliknya Negara mempunyai kewajiban memberikan perlindungan hukum terhadap warga negaranya. Dengan semakin pesatnya interaksi antar orang yang melewati batas Negara, semakin besar kemungkinan timbulnya permasalahanpermasalahan hukum yang menyangkut hukum perkawinan terutama perkawinan campuran beda kewarganegaraan yang berlaku di Indonesia kurang memuaskan bagi kaum perempuan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kurang mencerminkan hak-hak perempuan. Bagaimanakah upaya yang dilakukan untuk melindungi istri warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan campuran beda kewarganegaraan? Bagaimanakah status kewarganegaraan istri warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan campuran ditinjau dari Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia?.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode Yuridis Normatif dan spesifikasi penelitian yang digunakan adalah Deskriptif Analitis. Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa dalam mewujudkan perlindungan hukum bagi istri warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan campuran beda kewarganegaraan adalah dengan adanya kewajiban bagi laki-laki warga Negara asing yang ingin melangsungkan perkawinan dengan perempuan warga Negara Indonesia harus mendepositokan uang sebesar Rp 500.000.000.,(Lima Ratus Juta Rupiah) di Bank Syariah di Indonesia sebagai jaminan untuk kelangsungan hidup bagi istri warga Negara Indonesia beserta anak atau keturunannya. Kewarganegaraan seseorang menurut Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 menganut asas ius sanguinis (menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan). Sedangkan kewarganegaraan seseorang menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 menganut asas ius soli (menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat kelahiran).
Penulis menyarankan agar pemerintah harus lebih serius dalam menangani pengaturan mengenai pelaksanaan perkawinan campuran yang lebih menegakkan hukum yang berpihak terhadap perempuan.

Every citizen has the right and duty to his country, opposite the State has an obligation to give legal protection to its citizens. With the rapid interaction of people who cross the line between the States, the greater the likelihood of legal problems concerning mixed marriages, especially marriage laws that apply different citizenship in Indonesia is less satisfactory for women. Law No. 1 of 1974 on Marriage reflects the lack of women's rights. How the efforts made to protect the wife of Indonesian citizens who hold different nationalities mixed marriages? How is the citizenship status of Indonesian citizen's wife that establishes mixed marriages in terms of Act No. 62 of 1958 On Citizenship and Law Number 12 Year 2006 on Citizenship of the Republic of Indonesia?.
The research method used is the method of Normative Legal research and specification used is Analytical Descriptive. In conclusion it can be said that in the realization of legal protection for the wife of Indonesian citizens who hold citizenship is different from mixed marriages with the obligation for male foreign nationals who wish to establish a marriage with a woman citizen of Indonesia must deposit money amounting to Rp 500,000,000., (Five Hundred Million Rupiah) in Islamic Banking in Indonesia as a guarantee for the survival of the wife of Indonesian citizens and their children or descendants. Citizenship of a person according to Law No. 62 of 1958 adopted the principle of ius sanguinis (citizenship determines a person based on descent). While the citizenship of a person according to Law Number 12 Year 2006 adopted the principle of ius soli (citizenship determines a person based on place of birth).
The author suggested that the government should be more serious in handling the arrangements regarding the implementation of mixed marriages are more in favor of enforcing the law against women.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30108
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Scheers, J. H.
Djakarta: Pustaka Rakyat, 1952
347.015 98 SCH s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Andriani Junarwati
"ABSTRAK
Berdasarkan Pasal 57 Undang-undang Perkawinan,perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Undang-undang Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958 mengakibatkan kedudukan wanita dalam menentukan kewarganegaraannya dan kewarganegaraan anak dibatasi. Anak mengikuti kewarganegaraan ayahnya dan perempuan sebagai isteri mengikuti kewarganegaraan suami demi mencapai kesatuan hukum dalam keluarga. Indonesia tidak menghendaki adanya dwi kewarganegaraan. Implementasi dari Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 berakibat adanya perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Undang-undang Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958 kemudian dirubah karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan pada saat ini. Atas desakan dari para keluarga dari perkawinan campuran maka pemerintah mengganti Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 dengan Undang-undang Kewarganegaraan nomor 12 Tahun 2006. Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 menyatakan anak-anak mempunyai dwi kewarganegaraan terbatas sampai mereka berusia 18 tahun dan setelah usia 18 tahun mereka dapat memilih kewarganegaraannya. Undang-undang ini telah membawa perubahan dibidang kewarganegaraan terhadap status anak akan tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan kedudukan perempuan dalam perkawinan campuran. Tradisi Patriarki yang masih mempengaruhi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 yaitu Pasal 26 ayat 1 yang menyatakan isteri WNI mengikuti kewarganegaraan suami WNA apabila hukum dari negara suami menentukan demikian. Begitu juga sebaliknya isteri seharusnya tidak kehilangan kewarganegaraan WNInya karena menikahi WNA dan status hukum isteri seharusnya tidak diikutkan dengan status hukum suami. Hak Asasi perempuan untuk memperoleh status kewarganegaraan beserta segala hak yang melekat pada status tersebut."
2007
T17050
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumbanraja, Indira Sarah
"Perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran adalah fenomena yang marak terjadi di masyarakat dunia. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, tulisan ini menjelaskan peranan HPI dalam pengaturan dan keberlakuan perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran oleh karena adanya interaksi antara dua atau lebih stelsel hukum. Berdasarkan pembahasan perjanjian-perjanjian perkawinan tersebut, dapat disimpulkan bahwa masing-masing negara memiliki pengaturan perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran yang berbeda dan para pihak diharapkan memperhatikan hal tersebut sebelum menyusun perjanjian.

Prenuptial agreement in mixed marriage is a worldwide phenomenon. With the research methodology of normative law, this writing explains the role of Private International Law/PIL in regulation and enforcement of prenuptial agreement because of the interaction between two or more laws. Based on the discussion of the prenuptial agreements, it can be concluded that each country has different regulation on prenuptial agreement in mixed marriage and it is best for the parties to pay attention on this matter before getting into agreement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56034
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>