Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165216 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pri Utomo
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menilai fungsi paru pre dan post operasi dalam kaitannya klinik dan hemodinamik penderita MS. Pemeriksaan fungsi paru berupa kapasitas vital paksa (KVP) dan volum ekspirasi paksa detik pertama (VEPI) serta dibedakan dalam 2 kelompok, pertama kelompok fungsi paru tidak baik I buruk (KVP,VEPI < 75 % ) terdixi dari dengan TI, dan tanpa TI, sedangkan kelompok kedua, fungsi paru baik (KVP , VEPI } 75 %). Pembagian kelompok ini dihubungkan dengan klinik, hemodinamik dari pemeriksaan kateterisasi jantung.
Penelitian ini dilakukan secara retro-prospektif pada 21 penderita MS murni. 3 kasus diantaranya kombinasi dengan MT, yang berumur 33 tahun + 10.4 (15-54), terdiri dari 6 pria, 15 wanita, dimana telah dilakukan kateterisasi jantung dan spirometri serta ulangan 3-36 bulan (median 20 bulan) setelah operasi. Pada 11 kasus MS post MVR diperiksa secara dopier ekohardiografi untuk mengukur MVA dan mPA untuk dibandingkan dengan hemodinamik.
Hasilnya menunjukkan pada kasus MS pre operasi, terdapat perbedaan yang bermakna ( P < 0,05 ), kesatu antara umur 29.4 tahun + 8,1, kedua lama sakit 5.3 tahun ± 3.4 dalam kelompok fungsi paru tidak balk, dibandingkan dengan umur 42 tahun + 10.3, lama sakit 2.5 tahun ± 1.3 dalam kelompok fungsi paru baik.
Terdapat perbedaan yang bermakna ( p < 0,05 ), kesatu antara PA sistolik 70.8 mmHg + 22.9 mean 53.2 mmHg + 18.6, diastolik 39.3 mmHg + 13.5, kedua RV sistolik 68.8 mmHg ± 20.9, diastolik 9.3 mmHg (+ 4.6) dalam kelompok fungsi paru tidak balk, dibandingkan dengan PA sistolik 42.6 mmHg + 16.9 mean 31 mmHg ±12 diastolik 22 mmHg + 9, RV sistolik 46 + 11.3 diastolik 3.7 mmHg + 2, dalam kelompok fungsi paru baik.
Pada kasus MS yang disertai TI terdapat perbedaan yang bermakna (p < 0,05), kesatu antara RV diastolik 11.5 mmHg ± 3.7, kedua PA diastolik 45 mmHg + 10, ketiga PVR setinggi 10.8 HRU + 9.3 dalam kelompok fungsi paru tidak baik dengan TI dibandingkan dengan RV diastolik 3.7 mmHg } 2,PA diastolik 22 mmHg + 9, PVR sebesar 2.6 HRU +2.3 dalam kelompok fungsi paru baik ( tanpa TI ).
Fungsi paru post operasi KVP 83.7 % + 14.4 VEPI 83.6 % + 17.3 dibandingkan pre operasi KVP 68.8 % + 14.6, VEPI 67.7 % + 19.3 mempunyai perbedaan yang bermakna (p C 0.05).
Pada MS post operasi mPA 35.7 mmHg + 7.4 dan MVA 2.4 cm2 + 0.3 dibandingkan dengan pre operasi mPA 48.3 mmHg + 21, MVA 1cm2 + 0.5 masing masing mempunyai perbedaan yang bermakna ( p < 0.05 ).
Kesimpulan faktor lama sakit lebih memegang peranan dari pada umur. Lama sakit yang panjang mempunyai hubungan dengan hemodinamik dan fungsi paru yang buruk. Pada penderita MS dengan TI mempunyai tekanan diastolik RV,PA,PVR yang tinggi dan mempunyai fungsi paru yang lebih buruk. Penggantian katup mitral dapat menurunkan tekanan PA secara bermakna. Fungsi paru post operasi terdapat perbaikan yang bermakna secara umum.
"
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pudjo Rahasto
"ABSTRAK
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat gangguan regulasi pejamu sebagai respons terhadap infeksi. Renjatan sepsis adalah subset sepsis dengan abnormalitas sirkulasi, selular, dan metabolisme yang berkaitan dengan risiko kematian. Penelitian ini bertujuan untuk menilai peran ekokardiografi, biomarker kardiovaskular, fungsi ginjal dan saturasi oksigen vena sebagai prediktor kematian pasien renjatan sepsis. Pada pemeriksaan ekokardiografi dinilai fungsi diastolik E/e rsquo;, Fraksi Ejeksi Bilik Kiri, Indeks Kardiak, TAPSE, sedangkan biomarker kardiovaskular dinilai Troponin I dan NT Pro BNP, dengan disain penelitian kohort prospektif. Tempat penelitian di Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang, Banten. Selama periode 2 tahun penelitian ada 111 pasien masuk dalam kriteria renjatan sepsis yaitu adanya infeksi, hipotensi MAP < 65 mmHg dan Laktat darah > 2 mmol/L. Pada hari pertama dan kelima dilakukan pemeriksaan ekokardiografi dan laboratorium darah pada semua pasien renjatan sepsis. Pada pengamatan selama 10 hari diperoleh pasien yang meninggal 64 58 dan yang hidup 47 42 . Rerata umur pasien 48 18 tahun. Analisis bivariat ditemukan Fraksi Ejeksi Bilik Kiri abnormal memiliki risiko kematian 1,6 kali dibanding normal RR 1,6; p = 0,034 . Biomarker Troponin I abnormal menunjukkan risiko kematian 1,6 kali dibanding normal RR 1,6; p = 0,004 . Pasien dengan gangguan fungsi ginjal memiliki risiko kematian 1,5 kali RR 1,5; p = 0,024 . Pasien dengan Troponin I abnormal dengan atau tanpa gangguan fungsi ginjal menunjukkan peningkatan risiko kematian, demikian pula pada pasien dengan Troponin I normal yang disertai gangguan fungsi ginjal. Hasil analisis multivariat menunjukkan prediktor kematian pasien renjatan sepsis adalah kadar Troponin I dan Fraksi Ejeksi Bilik Kiri RR 1,83; IK95 1,049 ? 3,215; p = 0,043 dan RR 1,99; IK95 1,009 ? 3,956; p = 0,047 Simpulan: Troponin I dan Fraksi Ejeksi Bilik Kiri merupakan prediktor kematian pasien renjatan sepsis. Kata kunci :Ekokardiografi, Kematian, NT Pro BNP, Renjatan Sepsis, Troponin I.

ABSTRACT
Sepsis is a life threatening organ dysfunction caused by host regulation disorder in response to infections. Septic shock is a subset of sepsis with circulatory, cellular, and metabolic abnormalities associated with the risk of mortality. The aim of this study is to assess the role of echocardiography, cardiovascular biomarker, renal function and oxygen vein saturation as predictors of mortality in patients with septic shock. In this study, echocardiography examination including diastolic function E e 39 , Left Ventricle Ejection Fraction LVEF , Cardiac Index CI , and TAPSE, whereas cardiovascular biomarker Troponin I and NT Pro BNP were assessed. Research design of this study is cohort perspective. The study took place in Tangerang Regional General Hospital, Banten Province. During two years of research, there were 111 patients included in septic shock category, which indicated by the presence of infections, hypotension MAP 65 mmHg and serum lactate 2 mmol L. On the first and the fifth day, examinations on echocardiography and laboratory blood test were conducted on each patient of septic shock. During ten days of observation, 64 patients died 54 and 47 patients were survived 42 . The mean age of the patients was 48 18 years old. Bivariate analysis showed abnormal LVEF had 1.6 times higher mortality risk than normal RR 1.6 p 0.034 . Abnormal Troponin I biomarker showed 1.6 higher mortality risk, compared to normal RR 1.6 p 0.004 . The patients with kidney function disorder had 1.5 times higher mortality risk RR 1.5 p 0.024 . Patients with abnormal Troponin I with or without kidney function disorder showed increase in mortality risk. Normal Troponin I with kidney function disorder also increase in mortality risk. Multivariate analysis showed Troponin I and Left Ventricular Ejection Fraction as predictors of mortality in patients with septic shock RR 1.83 CI95 1.049 3.215 p 0.043 dan RR 1.99 CI95 1.009 3.956 p 0.047 In conclusion, Troponin I biomaker and Left Ventricular Ejection Fraction are predictors of mortality in patients with septic shock. Keyword Echocardiography, Death, NT Pro BNP, Septic Shock, Troponin I "
2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Primayudha Dirgatama
"Latar Belakang: Salah satu tata laksana revaskularisasi pada Penyakit jantung koroner (PJK) adalah bedah pintas arteri koroner (BPAK). Salah satu teknik BPAK menggunakan mesin pintas jantung paru (PJP) yang dapat menyebabkan reaksi inflamasi sehingga terjadi penurunan tahanan vaskular sistemik (TVS) sehingga meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Glutamin adalah asam amino non esensial yang dapat menjadi esensial kondisional pada keadaan kritis dan memiliki peran membantu regulasi tonus endotel.
Metodologi: Penelitian ini merupakan studi observasional analitik dengan desain penelitian kohort retrospektif. Sampel dipilih secara metode consecutive sampling dan metode randomisasi blok. Variabel-variabel yang diperiksa dilakukan uji normalitas. Variabel dengan sebaran normal dilakukan analisis statistik independent t-test, sedangkan variabel dengan sebaran tidak normal dilakukan analisis statistik Mann-Whitney test.
Hasil: Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian glutamin preoperasi pada pasien penyakit jantung koroner dengan FE rendah yang menjalani BPAK mengalami penurunan TVS pada jam keenam pascaoperasi (p = 0,04) namun mengalami peningkatan curah jantung pada jam keenam (p = 0,015). Hasil pada jam ke-24 TVS pascaoperasi juga mengalami penurunan namun terlihat signifikan bila melihat faktor perancu -844,9+27,8 (ejeksi fraksi praoperasi)+0,4 (Kadar Glutamin Praoperasi)+14 (Umur) Adjusted R square = 21,9%. Curah jantung jam ke-24 pascaoperasi mengalami peningkatan secara signifikan tanpa melihat variabel perancu (p = 0,037) maupun dengan melihat variabel perancu umur (p = 0,003) dan FE praoprasi (p = 0,006) (adjusted r quare = 23,6%).
Kesimpulan: Pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP, pemberian glutamin intravena praoperasi menyebabkan penurunan TVS disertai dengan peningkatan curah jantung pada pemantauan jam keenam dan jam ke-24.

Background: Coronary Artery Bypass Graft (CABG) is one of revascularization treatment in coronary artery disease patient. The most common CABG technique uses a cardiopulmonary bypass (CPB) machine which can cause an inflammatory reaction resulting in a decrease in systemic vascular resistance (SVR) thereby increasing mortality and morbidity. Glutamine is a non-essential amino acid that can become conditionally essential in critical situations such as systemic inflammatory respose syndrome (SIRS) and has a role in assisting the regulation of endothelial tone.
Methods: This study is an analytic observational study with a retrospective cohort study design. Samples were selected by consecutive sampling method and block randomization method. The variables examined were tested for normality. Variables with normal distribution were analyzed statistically by independent t-test, while variables with abnormal distribution were analyzed by Mann-Whitney test. Each confounding variables then put together and analyzed statistically with multivariate approach.
Results: Based on the results of the study, it can be concluded that preoperative administration of glutamine in patients with coronary heart disease with low ejection fraction (EF) who underwent CABG experienced a decrease in SVR at the sixth postoperative hour (p = 0.04) but increased cardiac output at the sixth hour (p = 0.015). The results at 24 hours postoperative also shows decreased SVR but were significant when looking at its confounding factors for preoperative EF (p = 0.001), preoperative glutamine levels (p = 0.01), and age (p = 0.013) (adjusted r square = 21.9%). Cardiac output at 24 hours postoperatively increased significantly regardless of confounding variables (p = 0.037) or by looking at its confounding factor; age (p = 0.003) and preoperative EF (p = 0.006) (adjusted r square = 23.6%).
Conclussion: In patients with low EF undergoing CABG with CPB, intravenous glutamin administration can decrease SVR and increase cardiac output in 6 hours and 24 hours observation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Roeswita
"Latar belakang: Stenosis mitral (SM) merupakan peyempitan dari orifisium katup mitral, dimana SM berat didefinisikan sebagai area katup mitral (AKM) <1 cm2 dan biasanya berhubungan dengan gradien transmitral >10 mmHg. Pada praktik klinis, ketidaksesuaian antara hasil pengukuran AKM dan gradien transmitral sering ditemukan. Pasien SM berat dengan gradien transmitral rendah (≤10 mmHg) memiliki kecenderungan menetapnya gejala klinis paska tindakan pembedahan katup mitral dan kurangnya perbaikan klinis paska tindakan komisurotomi mitral transkateter perkutan (KMTP). Namun hingga saat ini, belum banyak studi mengenai faktor yang berhubungan dengan gradien transmitral rendah pada SM berat. Tujuan:Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan gradien transmitral rendah pada SM berat. Metode: Studi potong lintang pada 322 pasien SM berat. Dilakukan evaluasi catatan rekam medik dan hasil pemeriksaan ekokardiografi transtorakal. SM berat didefinisikan sebagai SM dengan AKM <1 cm2 yang diukur secara planimetri dan gradien transmitral rendah didefinisikan sebagai gradien transmitral ≤10 mmHg. Hasil: Dari 322 subjek penelitian, sebanyak 36% memiliki gradien transmitral ≤10 mmHg, 68,9% perempuan dan 72% memiliki irama fibrilasi atrium (FA). Berdasarkan analisis multivariat, didapatkan faktor independen gradien transmitral rendah pada SM berat adalah net atrioventricular compliance (IK 95% 3,57–11,02, OR 6,27), maximal tricuspid regurgitation velocity (IK 95% 0,14–0,45, OR 0,26), irama fibrilasi atrium (IK 95% 1,20–4,91, OR 2,43) dan jenis kelamin perempuan (IK 95% 1,07–3,69, OR 1,99). Kesimpulan: Net atrioventricular compliance, maximal tricuspid regurgitation velocity, irama fibrilasi atrium dan jenis kelamin perempuan berhubungan dengan gradien transmitral rendah pada stenosis katup mitral berat.

Background: Mitral stenosis (MS) is the narrowing of mitral valve orifice, in which severe MS is defined as planimetered mitral valve area (MVA) <1 cm2 with transmitral gradient >10 mmHg. However, discrepancy between planimetered MVA and transmitral gradient is not uncommon in patients with severe MS, suggesting the presence of low gradient (LG) severe MS. Patients in this group display less benefit from valvuloplasty and a greater risk for persistent symptoms after mitral valve replacement (MVR). Yet, factors associated with LG severe MS has not been studied extensively. Objective: Aim of this study is to determine factors associated with LG severe MS. Methods: This is a cross-sectional study in 322 patients with severe MS. Medical records and transthoracic echocardiography examination results were evaluated. Severe MS was defined as planimetered MVA <1 cm2 and LG was defined as transmitral gradient ≤10 mmHg. Results: Of 322 subjects, 36% had transmitral gradient ≤10 mmHg, 68,9% were women, and 72% had atrial fibrillation. According to multivariate analysis, several independent factors to LG severe MS were net atrioventricular compliance (95% CI 3,57–11,02, OR 6,27), maximal tricuspid regurgitation velocity (95% CI 0,14–0,45, OR 0,26), atrial fibrillation (95% CI 1,20–4,91, OR 2,43) and women (95% CI 1,07–3,69, OR 1,99). Conclusion: Net atrioventricular compliance, maximal tricuspid regurgitation velocity, AF and women were associated with LG severe MS."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Pengkajian data yang diambil dari riwayat penyakit dan riwayat keluarga,
pemeriksaan fisik, dan pemerlksaan diagnostik digunakan untuk memformulasikan
diagnosa keperawatan atau diagnosa medik, untuk menentukan tujuan perawatan klien,
rencana asuhan keperawatan, dan untuk mengevaluasi upaya pencapaian tujuan klien.
Berbagai informasi perlu dikumpulkan oleh para perawat pada saat melakukan
pengkajian kepada klien. Oleh karenanya, perawat harus mampu memadukan data
riwayat medik kedalam pengkajian keperawatan sehingga berbagai tanggung jawab
keperawatan dan medik yang bersifat intrdependensi dapat dipenuhi berdasarkan urutan prioritas yang tepat. Beberapa teknik pemeriksaan fisik yang sama dapat dilakukan baik oleh perawat maupun oleh dokter."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 1998
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sidartawan Soegondo
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
616.1 SID p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Achyar
"Latar belakang Meskipun intervensi non-bedah dengan balon (percutaneous balloon mitral valvulotomy) merupakan pilihan utama pada stenosis mitral (MS), tetapi pada kasus-kasus tingkat lanjut, bedah ganti katup mekanis merupakan salah satu pilihan. Penelitian khusus tentang bedah ganti katup mekanis pada MS di Indonesia masih sedikit. Rumahsakit Jantung Harapan Kita Jakarta, dalam kurun waktu 1985-1995 telah melakukan penggantian katup mekanis pada 566 penderita, 348 diantaranya dilakukan penggantian pada katup mitral. Penelitian ini bertujuan untuk melihat keberhasilan awal dan lambat dari bedah ganti katup mekanis pada stenosis mitral, dan variabel prediktor kematian dari tindakan bedah ganti katup tersebut di Rumahsakit Jantung Harapan Kita Jakarta. Metode penelitian : Penelitian dilakukan secara retrospektrif dan observasional, terhadap penderita MS yang dilakukan bedah ganti katup mekanis di Rumahsakit Jantung Harapan Kita (RSJHK) Jakarta selama kurun waktu 1985-1995. Pengamatan dilakukan mulai Desember 1985-Juni 1997. Pengumpulan data pra, intra dan pasca-bedah, serta data pada saat kontrol rutin dipoliklinik, didapat melalui catatan rekam medik penderita. Penderita yang tidak kontrol rutin, dihubungi dengan surat, telepon, atau kunjungan rumah. Analisis ketahanan hidup dilakukan dengan metode Kaplan-Meier. Variabel prediktor untuk kematian awal dilakuan dengan uji regresi logistik, sedang untuk kematian lambat dilakukan dengan regresi Cox. Hasil: Terdapat 51 penderita, 24 pria (47,1%), dan 27 wanita (52,9%), berumur antara 15-63 tahun (37,8 ± 8). MS murni 37 penderita (72,5%), 11 penderita disertai regurgitasi mitral ringan (21,5%), dan 3 penderita disertai regurgitasi aorta ringan (6%). MS berat 38 penderita (75%), MS sedang 13 penderita (25%). Kematian awal 13,7% (7 penderita), penderita yang dapat diikuti sampai akhir penelitian 95% (36 penderita). Lama pengamatan 228,8 tahun-orang. Ketahanan hidup 5 tahun adalah 85,6 ± 6 %, sedang untuk 10 tahun 79 ± 8,4 %. Komplikasi yang terjadi selama pengamatan, perdarahan oleh karena anti-koagulan 0,5%/penderita-pertahun, emboli 0,5%/penderita pertahun, gagal jantung 2,5%/penderita-pertahun, gagal fungsi katup 0,9%/penderita-pertahun, endokarditis 1%/penderita-pertahun, ganti katup 0,5%/penderita-pertahun, kematian mendadak 0,5%/penderita-pertahun. Variabel prediktor terhadap kematian awal adalah lama pemakaian mesin by-pass (rasio odds 1,02, interval keyakinan 95% 1,00-1,04, p=0,049). Tidak ditemukan variabel prediktor kematian lambat. Kesimpulan : Angka kematian awal 13,7%. Ketahanan hidup 5 tahun dan 10 tahun masing-masing 85,6 ± 6%, dan 79 ± 8,4%. Variabel prediktor terhadap kematian awal adalah lama pemakaian mesin by-pass. Tidak ditemukan variabel prediktor terhadap kematian lambat. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57273
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martin Aurelius
"Bedah jantung terbuka merupakan salah satu tindakan untuk memperbaiki kondisi kelainan anatomis pada pasien dengan berbagai kelainan jantung yang pasti menggunakan mesin CPB (Cardiopulmonary bypass). Penggunaan mesin ini menimbulkan hemodilusi yang berakibat pada penurunan kadar hemoglobin darah pascabedah. Pada pasien pediatrik, efek hemodilusi yang terjadi lebih besar dibandingkan dengan pasien dewasa. Penelitian sebelumnya berhasil mengidentifikasi bahwa sebagian besar pasien mengalami komplikasi pascabedah, dengan mortalitas sebesar 13,6%. Hemoglobin pascabedah dihipotesiskan menjadi faktor yang kuat dalam mortalitas pasien. Penelitian kohort retrospektif ini menghimpun data hemoglobin pascabedah dari rekam medik elektronik pasien yang menjalani bedah jantung terbuka di Pelayanan Jantung Terpadu Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo pada Januari 2021 hingga Desember 2022 dilanjutkan dengan uji komparatif pada kelompok dengan dan tanpa mortalitas. Total 317 pasien diikutkan dalam penelitian ini. Mortalitas secara umum sebesar 11,7%. Hemodilusi teramati pada populasi pasien. Tidak ditemukan perbedaan signifikan dari hemoglobin pascabedah pada kelompok pasien dengan dan tanpa mortality (p=0,249). Didapatkan pula besar penurunan Hb prabedah ke pascabedah berbeda secara signifikan pada kedua kelompok tersebut (p<0,05). Hemoglobin pascabedah tidak berhubungan dengan mortalitas pasien pediatrik.

Open heart surgery is a procedure aimed to correct anatomical abnormalities in patients with various heart conditions, invariably employing the use of a Cardiopulmonary Bypass machine. The use of this machine induces hemodilution, resulting in a decrease in postoperative blood hemoglobin levels. In pediatric patients, the hemodilution effect is more pronounced compared to adult patients. Previous study showed that a significant proportion of patients experience postoperative complications, with a mortality rate of 13.6%. Postoperative hemoglobin is hypothesized to be an important factor in patient mortality. In this study, a retrospective cohort observational study was conducted to compare postoperative hemoglobin levels in patients with and without mortality. The data were obtained from the medical records of patients undergoing open heart surgery at the Integrated Cardiac Services at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2021 to December 2022. Total of 317 patients included in this study and overall patient mortality was 11,7%. There was no significant difference in postoperative hemoglobin in the groups of patients with and without mortality (p=0,249). This study also found that the decrease in Hb from pre-surgery to post-surgery was significantly different between the two groups (p<0,05). Postoperative hemoglobin is not associated with mortality in pediatric patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Megatia
"ABSTRAK
Latar belakang Dalam lima tahun terakhir, pengunaan kateter pada pasien penyakit ginjal kronis PGK di RSCM kerap diikuti stenosis vena sentral SVS , 60-70 . Sejak 2013 SVS ditangani melalui prosedur venoplasti, namun belum ada evaluasi keberhasilan. Penelitian ini ditujukan melakukan evaluasi keberhasilan venoplasti dan faktor risiko terjadinya stenosis. Metode Dilakukan studi deskriptif analitik dengan desain potong lintang melibatkan pasien PGK stadium 4-5 yang terdiagnosis simtomatik SVS, secara klinis dan radiologis, yang memiliki risiko stenosis, memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi serta menjalankan venoplasti. Variabel independen yaitu onset gejala, jenis, lokasi, durasi dan frekuensi pemasangan kateter. Variabel dependen adalah keberhasilan venoplasti dinilai dengan residual stenosis 60 tahun, 61,8 laki-laki dan 70,6 memiliki hipertensi sebagai etiologi PGK. Angka berhasilan venoplasti 85,3 , nilai rerata initial stenosis adalah 79,1 13,8 dan median residual stenosis 24,5 dengan range 10-90 . Letak stenosis terbanyak di vena subklavia 47,1 . Tidak didapatkan hubungan bermakna terhadap keberhasilan venoplasti, namun angka ketidakberhasilan venoplasti yang lebih tinggi ditemukan pada lokasi di vena subklavia OR 2,45; p = 0,627 dan frekuensi pemasangan kateter >2 kali OR 1,85; p = 0,648 . Kesimpulan Keberhasilan venoplasti pada SVS 85,3 dengan keberhasilan ditemukan dua kali lebih tinggi pada implantasi di vena subklavia dan frekuensi > 2 kali. Namun pada studi ini tidak bermakna secara statistik. Ketidakberhasilan venoplasti lebih sering ditemukan pada subjek dengan pemasangan kateter di vena subklavia, durasi pemasangan panjang, onset gejala lambat dan riwayat pemasangan berulang. ABSTRACT Background In the last five years, the use of deep vein catheter in chronic kidney disease CKD often leads to central vein stenosis CVS at Cipto Mangunkusumo Hospital 60 70 . Since 2013, CVS has been managed with venoplasty, and has never been evaluated. The study aimed to evaluate of its success rate and the risk factors might be correlated. Method A descriptive analytic study with cross sectional design conducted enrolling of stage 4 5 CKD patients with symptomatic CVS who underwent venoplasty. Independent variables are onset of symptoms, type, location, duration and frequency of catheter implantation. Dependent variable is venoplasty success, which was determined by residual stenosis 60 years old, 61.8 were male and 70.6 with hypertension. Venoplasty success rate found on this study was 85.3 , mean initial stenosis was 79.1 13.8 and median residual stenosis was 24.5 ranged of 10 90 . The most common stenosis was found in subclavian vein 47.1 . There was no significant correlation with venoplasty success rate. Nevertheless, higher venoplasty success rate found in subjects with catheter located in subclavian vein OR 2.45 p 0.627 and the frequency of implantation 2 times OR 1.85 p 0.648 . Conclusion Venoplasty success rate on CVS patients was 85.3 with success rate found twice higher with implantation at subclavian vein and frequency 2 times. However, there was no statistically significant correlation between stenosis risk factors with this success rate. Venoplasty failure is often found on CVS subjects with catheter implantation on subclavian vein, prolonged duration, delayed onset of symptoms and history of recurrent implantation. Keywords Central vein stenosis, venoplasty, risk factors."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Philadelphia: Elsevier , 2016
617.412 TEX
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>