Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 217838 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Laksmi Wingit Ciptaning
"Ruang lingkup dan cara penelitian : Respon ovarium terhadap stimulasi FSH sangat dipengaruhi oleh fungsi reseptor FSH (FSHR). Genotip FSHR memainkan peranan yang mendasar pada respon fisiologis organ target terhadap stimulasi FSH. Telah diketahui polimorfisme pada gen reseptor FSH mempengaruhi sensitivitas reseptor terhadap FSH. Persentase penderita Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) pada wanita usia reproduksi cukup besar yaitu sekitar 5 -10 % dan dalam penanganannya membutuhkan terapi induksi ovulasi, salah satunya dengan menggunakan FSH eksogen. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan penelitian terhadap polimorfisme gen reseptor FSH pada penderita SOPK di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : a). Distribusi genotip dan frekuensi alel FSHR di posisi 307 dan 680 ekson 10 pada kelompok SOPK dan kelompok normal. b). Kadar FSH basal pada wanita penderita SOPK dan wanita normal. c). Hubungan antara distribusi genotip FSHR di posisi 307 dan 680 dengan level FSH basal pada kelompok SOPK dan kelompok normal. Kesimpulan : Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan distribusi genotip maupun frekuensi alel pada posisi 307 dan 680 pada ekson 10 gen reseptor FSH antara kelompok wanita penderita SOPK dan kelompok wanita normal. Ada perbedaan bermakna antara kadar FSH basal pada kelompok SOPK dan kelompok normal . Tidak terdapat perbedaan kadar FSH yang bermakna pada varian genotip posisi 307 maupun posisi 680 gen FSHR antara kelompok SOPK dan kelompok normal, dengan kadar FSH basal tertinggi pada posisi 307 pada kelompok SOPK dimiliki oleh genotip Threonin/Threonin dan kadar FSH basal tertinggi di posisi 680 pada kelompok SOPK dimiliki oleh genotip Asparagin/Serin."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T 16217
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Dwi Hartanti
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Endometriosis merupakan salah satu masalah yang sering dijumpai pada wanita usia reproduktif. Kelainan ini dapat menyebabkan terjadinya infertilitas. Hormon estrogen memegang peranan penting dalam patogenesis endometriosis. Biosintesis estrogen merupakan rangkaian reaksi yang memerlukan enzim untuk mengkatalisis salah satu reaksi komponennya yaitu aromatase. Sel yang mengekspresi aromatase adalah sel granulosa yang aktifitasnya dikendalikan oleh FSH. Agar dapat menjalankan fungsinya, FSH harus berikatan dengan reseptor spesifiknya, yaitu reseptor FSH. Interaksi FSH dengan reseptor FSH yang merupakan bagian integral membran sel granulosa akan sangat menentukan respon ovarium untuk menghasilkan estrogen melalui aktifitas katalitik enzim aromatase. Respon ovarium terhadap FSH ditentukan oleh genotip reseptor FSH. Hasil skrining mutasi gen reseptor FSH menunjukkan adanya dua polimorfisme pada gen reseptor FSH. Polimorfisme pertama terdapat pada posisi 307 domain ekstraseluler, yang dibaca sebagai kode Alanin (Ala) atau Threonin (Thr). Polimorfisme kedua terdapat pada posisi 680 domain intraseluler, yang dibaca sebagai kode Asparagin (Asn) atau Sarin (Ser). Sensitivitas reseptor FSH terhadap FSH ditentukan oleh kombinasi alel yang terbentuk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh polimorfisme gen reseptor FSH pada wanita-wanita dengan endometriosis. Hasil dan Kesimpulan : Analisis pada reseptor FSH dengan PCR-SSCP dalam penelitian ini mendapatkan perbedaan frekuensi alel Mn dan Ser yang bermakna antara wanita dengan endometriosis dengan wanita normal (p < 0,05, chi-square), sedangkan frekuensi alel Ala dan Thr pada kedua kelompok tidak terdapat perbedaan bermakna. Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar FSH basal antara genotip-genotip pada kedua daerah polimorfik reseptor FSH pada kedua kelompok Genotip SerfSer cenderung memiliki kadar FSH basal yang lebih tinggi, baik pada wanita dengan endometriosis maupun wanita kontrol. Penelitian ini menunjukkan bahwa polimorfisme gen reseptor FSH tidak berperan dalam patogenesis endometriosis walaupun alel Ser cenderung berasosiasi dengan endometriosis. Karena banyaknya penderita endometriosis yang mengikuti program fertilisasi in vitro (FIV), maka disarankan untuk memeriksa polimorfisme gen reseptor FSH pada penderita endometriosis yang mengikuti program FIV agar dicapai hasil yang optimal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T 16209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Joko Wahyono
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Respon ovarium terhadap stimulasi FSH (Follicle Stimulating Hormone) pada setiap individu akan bervariasi dari hiporespon sampai hiper-respon yang dapat menyebabkan hiperstimulasi. Diduga hal ini berkaitan dengan adanya polimorfisme pada kodon 680 ekson 10 gen reseptor FSH (FSHR). Dengan demikian polimorfisme FSHR ini dapat dijadikan prediktor dalam menentukan dosis preparat FSH untuk induksi folikel ovarium wanita peserta program reproduksi berbantuan. Pada situs polimorfik ini akan mengkode asam amino Asparagin (Asn) atau Serine (Ser), sehingga genotip FSHR yang terbentuk adalah homosigot Asn (NN), heterosigot Asn/Ser (NS), dan homosigot Ser (SS). Metoda Polymerase Chain Reaction - Single Stranded Conformation Polymorphisms (PCR-SSCP) dan Polymerase Chain Reaction - Restriction Fragment Length Polymorphisms (PCR-RFLP) dapat digunakan untuk mendeteksi polimorfisme pada kodon 680 ekson 10 gen FSHR. Penelitian ini merupakan studi cross-sectional dengan subyek 91 wanita usia reproduktif peserta program reproduksi berbantuan dengan teknik IVF (in vitro fertilization) dan ICSI (infra cytoplasmic sperm injection) dengan informed consent. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan studi tentang perbandingan efektivitas metoda PCR-SSCP dan PCR-RFLP untuk deteksi polimorfisme kodon 680 ekson 10 gen FSHR.
Hasil dan Kesimpulan : Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa hasil uji beda proporsi yang berpasangan nilai p (n = 91) = 0,491 adalah tidak berbeda bermakna, sedangkan uji kesesuaian kappa (x) = 0,795 adalah sangat kuat dengan nilai p (n = 91) < 0,01 adalah sangat bermakna. Kesimpulan penelitian ini adalah Ho diterima karena metoda PCR-SSCP dan PCR-RFLP mempunyai efektivitas yang lama untuk mendeteksi polimorfisme pada kodon 680 ekson 10 gen FSHR. Metoda PCR-SSCP digunakan untuk deteksi polimorfisme kodon 680 ekson 10 gen FSHR pada jumlah sampel besar dan perlu dilakukan klarifikasi dengan metoda PCR-RFLP sebagai pembanding, sedangkan metoda PCR-RFLP untuk jumlah sampel kecil. Klarifikasi genotip FSHR dilakukan dengan analisis sikuensing DNA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16218
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laksmi Wingit Ciptaning
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Respon ovarium terhadap stimulasi FSH sangat dipengaruhi oleh fungsi reseptor FSH (FSHR). Genotip FSHR memainkan peranan yang mendasar pada respon tisiologis organ target terhadap stimulasi FSH. Telah diketahui polimorfisme pada gen reseptor FSH. mempengaruhi sensitivitas reseptor terhadap FSH, Persentase penderita Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) pada wanita usia reproduksi cukup besar yaitu sekitar 5 -10 % dan dalam penanganannya membutuhkan terapi induksi ovulasi, salah satunya dengan menggunakan FSH eksogen. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan penelitian terhadap polimorfisme gen reseptor FSH pada penderita SOPK di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : a). Distribusi genotip dan frekuensi alel FSHR di posisi 307 dan 680 ekson 10 pada kelompok SOPK dan kelompok normal. b), Kadar FSH basal pada wanita penderita SOPK dan wanita normal. c). Hubungan antara distribusi genotip FSHR di posisi 307 dan 680 dengan level FSH basal pada kelompok SOPK dan kelompok normal.
Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan distribusi genotip maupun frekuensi alel pada posisi 307 dan 680 pada ekson 10 gen reseptor FSH antara kelompok wanita penderita SOPK dan kelompok wanita normal. Ada perbedaan bermakna antara kadar FSH basal pada kelompok SOPK dan kelompok normal . Tidak terdapat perbedaan kadar FSH yang bermakna pada varian genotip posisi 307 maupun posisi 680 gen FSHR antara kelompok SOPK data kelompok normal, dengan kadar FSH basal tertinggi pada posisi 307 pada kelompok SOPK dimiliki oleh genotip Threonin/Threonin dan kadar FSH basal tertinggi di posisi 680 pada kelompok SOPK dimiliki oleh genotip Asparagin/Serin."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Previous studies had shown that pasak bumi(PB) root chloroform extract given to laboratory animal would cause aphrodisiac effect and increase the testosterone hormone,FSH and LH whic mechanism of action was assumed to be by central simulation....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Trisnawulan
"ABSTRAK
Mola hidatidosa merupakan penyakit trofoblas yang disertai peningkatan kadar Human Chorionic Gonadotropin (= HCG). Telah dilaporkan terjadinya gejala hipertiroidisme pada panderita mola yang ada kemungkinan berlanjut dengan timbulnya penyulit krisis tiroid yang dapat berakibat fatal. Hiperfungsi tiroid tersebut disebabkan pengaruh keaktifan tirotropik dari HCG. Penelitian ini bertujuan untuk memantau kadar hormon tiroid pada penderita mola hidatidosa.
Dari bulan Maret sampai dengan Agustus 1986 telah diperiksa serum dari 12 penderita MR. Pemeriksaan dilakukan secara serial: sebelum pengeluaran jaringan mola, lalu dilanjutkan pada hari ke 3 - 5, 1 bulan dan 2 bulan sesudahnya.
Dilakukan penetapan kadar hormon tiroksin (= T4) dan ambilan tiroksin (= Ambilan T4) dengan cara "Enzyme Immuno Assay" (=EIA) menggunakan kit ENDAB Irmruno Assay, kemudian nilai Indeks tiroksin babas (= ITB) dihitung. Diperiksa pula kadar "Thyroid Stimulating Hormone" (=TSH) dengan cara Radio Immuna Assay (=RIA) dan kadar hCG urin dengan test aglutinasi.
Sebelum dilakukan pengeluaran jaringan mola ke 12 kasus semuanya menunjukkan tanda tanda hipertiroidisme secara laboratoris (Ti, ambilan T4, ITB) dengan atau tanpa disertai gejala klinia. Setelah pengeluaran jaringan mola kelainan ini akan menurun dan mencapai kadar normal pada kurang lebih 1 bulan sesudahnya. Kadar TSH makin meningkat tetapi masih dalam batas batas normal. Keadaan ini seiring dengan penurunan kadar hCG urin. Hasil-hasil tersebut sesuai dengan yang didapatkan oleh peneliti peneliti terdahulu.
Disarankan untuk memasukkan pemeriksaan kadar hormon tiroid pada protokol panatalaksanaan penderita mola hidatidosa untuk mempertimbangkan pengobatan terhadap kelainan barman ini dan menghindari penyulit yang mungkin terjadi. "
1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lieke Koes Handayani
"Latar Belakang: SOPK dijumpai pada 5-20% perempuan usia reproduksi. AMH digunakan sebagai penanda SOPK karena pada penderita SOPK salah satu gejalanya adalah terjadinya anovuasi yang menyebabkan peningkatan kadar AMH. SOPK juga berkaitan dengan adanya resistensi insulin dan hiperandrogen yang berkorelasi dengan obesitas dan inflamsi kronik yang dapat menyebabkan risiko terjadinya sindrom metabolik.
Tujuan: Mengetahui hubungan peningkatan kadar AMH pada penderita SOPK dan fenotip SOPK dengan kejadian Sindrom Metabolik.
Metode: Penelitian ini menggunakan disain potong lintang di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada penderita SOPK pada bulan Januari 2013 hingga Desember 2017. Data penderita SOPK yang memenuhi kriteria inklusi dicatat dan dilakukan analisis statistik.
Hasil: Dari pengumpulan data Januari 2013 hingga Desember 2017 di RSUPN Cipto Mangunkusumo didapati 109 kasus SOPK yang memenuhi kriteria inklusi. Penderita SOPK tesebut memiliki median kadar AMH 7.10 ng/ml (3.11-34.06) dan yang mengalami sindrom metabolik 21% dengan median kadar AMH 7.21ng/ml (2.83-20.20) yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak sindrom metabolik (p=0.387). Sedangkan untuk fenotip yang terbanyak adalah fenotip 4 (OA dan PCOM) yaitu 41.3% dan yang mengalami sindrom metabolik terbanyak adalah fenotip 1 (OA+PCOM+HA)  sebanyak 56.5% dengan median kadar AMH  yang tertinggi sebesar 13.92ng/ml.
Kesimpulan: Kadar AMH pada penderita SOPK yang mengalami sindrom metabolik  trend nya lebih tinggi dibandingkan yang tidak sindrom metabolik. Fenotip 1 (OA+PCOM+HA) adalah kelompok fenotip yang paling banyak mengalami sindrom metabolik.

Background: PCOS is present in 5-20% women of reproductive age. AMH is used as a marker because one of the sign is anovulation that cause elevated AMH level. PCOS is also associated with the presence of insulin resistance and hyperandrogen that correlate with obesity and chronic inflammation that will increase the risk of metabolic syndrome.
Purpose: To evaluate the correlation between AMH level in PCOS patients with the incidence of Metabolic Syndrome.
Method: This research used cross sectional design with consecutive sampling. Data that fulfilled the inclusion criteria were collected and analyzed.
Result: Data collection from January 2013 to December 2017 at RSUPN Cipto Mangunkusumo found 109 cases of PCOS meet the inclusion criteria. Patients with PCOS have median level of AMH 7.10 ng/ml (3.11-34.06). Twenty one percent of the patient had metabolic syndrome with median level of AMH 7.21ng/ml (2.83-20.20) higher than non-metabolic syndrome (p = 0.387). The largest number of phenotypes on PCOS patients is phenotype 4 (OA and PCOM) which is 41.3%. Most metabolic syndrome is phenotype 1 (OA + PCOM + HA) as much as 56.5% with median highest AMH level of 13.92 ng/ml.
Conclusion: AMH levels in patients with PCOS who have metabolic syndrome are higher than non-metabolic syndrome. Phenotype 1 (OA + PCOM + HA) is a group of phenotypes with the most metabolic syndrome."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Roselina Panghiyangani
"Pendahuluan: Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan masalah reproduksi yang sering terjadi pada perempuan usia reproduksi, namun hingga saat ini etiopatogenesis SOPK masih belum jelas. Penelitian ini bertujuan menganalisis peran sel granulosa folikel ovarium dalam etiologi SOPK, keterkaitan genotip FSHR Asn680Ser dengan patogenesis SOPK dan peran gen CYP19A1(aromatase) dalam patogenesis SOPK.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik observasional berbentuk studi seran lintang (cross sectional study) dan dilakukan di Departemen Biologi FKUI, Klinik Yasmin-RSCM Kencana dan Laboratorium terpadu FKUI pada tahun 2011-2014. Sebanyak 142 subyek penelitian (66 pasien SOPK dan 76 pasien bukan SOPK) terlibat dalam penelitian ini. Sampel penelitian berupa darah tepi dan cairan folikel ovarium yang diaspirasi ketika proses ovum pick up sebagai sumber sel granulosa. Dilakukan isolasi DNA untuk analisis RFLP polimorfisme FSHR Asn680Ser, dilakukan kultur sel granulosa untuk mengetahui kemampuan proliferasi sel granulosa dan analisis ekspresi mRNA aromatase sel granulosa dengan metode RT-qPCR.
Hasil: Indeks proliferasi sel dan ekspresi mRNA aromatase sel granulosa pada kelompok SOPK lebih rendah secara bermakna dibandingkan bukan SOPK (p<0,05). Tidak ditemukan perbedaan bermakna distribusi genotip FSHR Asn680Ser antara kelompok SOPK dan bukan SOPK (p>0,05), tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kadar hormon FSH basal berdasarkan variasi genotip FSHR Asn680Ser pada kelompok SOPK dan bukan SOPK (p>0,05). Tidak ditemukan perbedaan yang bermakna indeks proliferasi sel granulosa berdasarkan variasi genotip FSHR Asn680Ser baik pada kelompok SOPK maupun bukan SOPK (p>0,05). Tidak terdapat korelasi antara indeks proliferasi sel granulosa dengan ekspresi mRNA aromatase (p>0,05).
Kesimpulan: Indeks proliferasi sel dan tingkat ekspresi mRNA aromatase sel granulosa kelompok SOPK menurun dibandingkan kelompok bukan SOPK. Genotip FSHR Asn680Ser tidak menentukan kerentanan individu untuk menderita SOPK. Kadar hormon FSH basal dan indeks proliferasi sel granulosa tidak berbeda antara kelompok SOPK dan bukan SOPK berdasarkan variasi genotip FSHR Asn680Ser. Tidak ada korelasi antara indeks proliferasi sel dengan ekspresi mRNA aromatase sel granulosa pada penelitian ini.

Introduction: Polycystic ovary syndrome (PCOS) is a common reproductive problem in women at reproductive age, but until now aetiopathogenesis of PCOS has not been fully understood. The objective of this study was to analyse interrelationship between proliferation of ovarian follicular granulosa cells, CYP19A1 expression and polymorphism at codon 680 of FSHR towards the etiology of PCOS.
Methods: Observational analytic in the form of cross-sectional study was used in this research. The study was carried out between 2011-2014 at the Department of Biology, Integrated laboratory of Faculty of Medicine University of Indonesia and Yasmin clinic at the Cipto Mangunkusumo Hospital. A total of 142 subjects (66 patients with PCOS and 76 patients without PCOS) were involved in this study. Granulosa cells for culture were obtained from ovarian follicular fluid and total RNA was isolated from the cells. DNA samples were extracted from peripheral blood. Granulosa cell proliferation index was determined by counting under a phase-contrast microscope. CYP19A1 expression was measured by qRT-PCR, whereas polymorphism at Asn680Ser FSHR was performed by RFLP.
Result: Cell proliferation index and CYP19A1 mRNA expression levels in the granulosa cells of the PCOS group was significantly lower than non-PCOS (p < 0.05). There was no significant difference found in Asn680Ser FSHR genotype distribution between PCOS and non-PCOS group (p > 0.05). Based on Asn680Ser FSHR genotype variation, no significant difference was found between basal FSH hormone levels in the PCOS and non- PCOS group (p > 0.05) and FSHR genotype variation did not correlate with granulosa cell proliferation index between PCOS and non-PCOS group (p > 0.05). Moreover, there was no correlation between the granulosa cell proliferation index with aromatase mRNA expression levels (p > 0.05).
Conclusion: Cell proliferation index and CYPA1 expression of granulosa cells in PCOS group were lower compared to the non PCOS group although no correlation was found between the two parameters. Asn680Ser FSHR genotype did not correlate with individual susceptibility to PCOS. FSHR genotype variation did not correlate with basal FSH levels and granulosa cell proliferation index between PCOS and non-PCOS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusnita Rahman
"

Latar Belakang: Melasma merupakan bercak hiperpigmentasi yang sebagian besar terdapat pada wajah. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kadar hormon tiroid secara bermakna lebih tinggi pada pasien melasma. Akan tetapi, belum terdapat penelitian yang menjelaskan perbedaan kadar hormon tiroid pada gradasi derajat keparahan melasma.

Tujuan: Mengetahui perbandingan kadar hormone tiroid pada derajat melasma yang berbeda yaitu pada melasma ringan atau sedang-berat yang dinilai dengan mMASI dan Janus II facial analysis system.

Metode: Empat puluh delapan perempuan disertakan sebagai subjek penelitian potong lintang ini. Sampel dipilih menggunakan metode consecutive sampling. Subjek dinilai derajat keparahan melasma secara subjektif menggunakan skor mMASI di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Cipto Mangunkusumo setelah diagnosis ditegakkan. Pemeriksaan dikonfirmasi menggunakan alat Janus II facial analysis system di RSPAD Gatot Subroto. Subjek penelitian kemudian diperiksa hormon tiroid FT4 dan TSH.

Hasil: Berdasarkan skor mMASI, 24 pasien (50%) didiagnosis sebagai melasma derajat ringan dan 24 pasien (50%) didiagnosis sebagai melasma derajat sedang. Sebanyak 2 pasien (4%) juga didiagnosis dengan hipertiroid subklinis dan 1 pasien (2%) didiagnosis dengan hipotiroid subklinis. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara derajat melasma berdasarkan mMASI dengan kadar TSH dan FT4 serum. Pemeriksaan Janus menggunakan modalitas cahaya polarisasi memiliki korelasi positif dengan kadar FT4 serum (r = 0,3, p = 0,039) dan skor mMASI (r = 0,314, p = 0,03).

Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan kadar TSH serum antar berbagai derajat melasma berdasarkan penilaian mMASI dan Janus II facial analysis system. Kadar FT4 serum memiliki korelasi positif dengan hasil penilaian Janus II facial analysis system menggunakan modalitas cahaya polarisasi.

 

 



Background:

Melasma is characterized by hypermelanosis manifested mostly on facial area. Previous studies have shown that thyroid hormone level was significantly higher in melasma patient. However, no studies has defined comparison of thyroid hormone level on varying severity of melasma yet.

Aim

To study comparison of thyroid hormone level across varying severity of melasma, between mild and moderate-severe melasma, evaluated using mMASI and Janus II facial analysis system.

Metode:

Forty eight women included in this cross-sectional study. Samples were included using consecutive sampling method. The severity of melasma was measured subjectively using mMASI score in Dermatology and Venereology Outpatient Clinic of Cipto Mangunkusumo General National Hospital after the diagnosis of melasma has been made. The measurement was confirmed using Janus II facial analysis system in Gatot Subroto General Army Hospital. Lastly, we measured the level of FT4 and TSH of each patients.

Results:

Based on mMASI score, 24 patients (50%) were diagnosed as mild melasma and 24 patients (50%) were diagnosed as moderate-severe melasma. As many as two patients (4%) were also diagnosed with subclinical hyperthyroidism and one patient (2%) with subclinical hypothyroidism. There is no assosciation between severity of melasma and level of TSH and FT4. Janus examination using polarisasi light modalities has weak positive correlation with level of FT4 (r = 0,3, p – 0,039) and darkness score of mMASI (r = 0,3, p = 0,03).

Conclusion:

There is no association between TSH and varying severity of melasma. Using mMASI and Janus. FT4 level has weak positive correlation with Janus facial analysis system examiniton results on polarisasi light modalities.

 

"
Jakarta: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dheeva Noorshintaningsih
"Usia subur merupakan usia yang paling penting dalam reproduksi perempuan. Usia subur berkisar 15 tahun hingga 46 tahun. Usia memiliki pengaruh terhadap sekresi GnRH, pada saat perempuan menempuh dekade ketiga dan keempat folikel akan mengalami penurunan sehingga sekresi GnRH juga akan terpengaruh, namun menjelang menopause sekresi GnRH akan meningkat karena folikel sudah tidak ada lagi dan tidak akan yang memberikan umpan balik negatif kepada GnRH, maka itu sekresi GnRH pada orang menopause tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kadar LH berdasarkan perempuan dengan usia subur yang mengalami gangguan menstruasi. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional analitik, dalam penelitian ini terdapat 74 perempuan usia subur (15-45 tahun) yang mengalami gangguan menstruasi yang terlibat. Data pada penelitian didapatkan dengan menggunakan data sekunder yang berasal dari hasil pemeriksaan laboratorium dan kuesioner SCL-90 pada penelitian ?Peranan Adiponektin terhadap Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) dan Hubungannya dengan Faktor Genetik, Endokrin, dan Metabolik?. Data pada penelitian ini dianalisis dengan menggunakan program SPSS for Windows versi 17.0 dengan analisis chi-square. Berdasarkan analisis, didapatkan hasil bahwa proporsi usia dibawah 30 tahun yang memiliki kadar LH yang tergolong normal lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi usia dibawah 30 tahun yang mempunyai kadar LH abnormal yaitu masing-masing nilainya 60,9% dan 39,1%. Perbedaan proporsi tersebut secara statistic bermakna dengan P sama dengan 0,009. Sementara, tidak terdapat perbedaan bermakna kadar LH pada aktivitas fisik, status gizi, gejala gangguan mental emosional, serta status SOPK perempuan dengan gangguan menstruasi. Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa usia memiliki peran dalam perbedaan kadar LH pada perempuan dengan gangguan menstruasi.

Reproductive age is the most important phase in women?s reproductive cycle. In most women the reproductive age is around 15-46 years old. Age has influence on GnRH secretion, when women take the third and fourth decades of follicles will decrease so the secretion of GnRH may also be affected, but the menopause GnRH secretion will increase as the follicle is no longer there and that will not give negative feedback to GnRH, the GnRH secretion was higher in the menopause. This study aimed to compare the levels of LH by women of reproductive age, especially in women with menstrual disorders. The study design is cross-sectional analytic involving 74 women of childbearing age (15-45 years) who experience menstrual disorders. The study was conducted using secondary data derived from the results of laboratory tests and the SCL-90 questionnaire of study titled "The Role of Adiponection to polycystic ovary syndrome (PCOS) and Its Relationship to Genetic Factors, Endocrine and Metabolic". Data analysis was performed with SPSS for Windows version 17.0 using chi-square analysis. Based on the analysis, showed that the proportion aged under 30 years who have a relatively normal LH levels higher than the proportion aged under 30 years who have abnormal levels of LH values ​​respectively 60.9% and 39.1%. The difference was statistically significant proportion of the P equals 0.009. Meanwhile, there were no significant differences in the levels of LH in physical activity, nutritional status, symptoms of mental, emotional, as well as the status of PCOS women with menstrual disorders. It can be concluded that there are differences in the role of age in LH levels in women with menstrual disorders."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>