Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173929 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"The main problem facing Indonesian people today is nutrition deficiency which brings effect to low quality of human resources. ...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rhiza Caesari Kristata
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Cahya Rahmadiyah
"ABSTRAK
Balita merupakan kelompok resiko yang mudah terkena masalah kesehatan diantaranya masalah
pertumbuhan dan perkembangan. Pemberian nutrisi pada balita usia 6-24 bulan yang sesuai dapat
meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan. Pemberian nutrisi pada balita usia 6-24 bulan
meliputi pemberian ASI dan MPASI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
pemberian MP ASI dan karakteristik keluarga dengan pertumbuhan dan perkembangan anak (6-24
bulan) di Kelurahan Curug kecamatan Cimanggis, Depok. Penelitian ini menggunakan deskriptif
korelasional, pendekatan cross sectional dengan 1 02 sam pel keluarga dengan balita usia 6-24
bulan yang diambil secara proportional cluster sampling. Uji Chi Square ditemukan tidak ada
hubungan pemberian MP ASI dengan pertumbuhan dan perkembangan. Hal ini dikarenakan faktor
langsung yang mempengaruhi pe1iumbuhan dan perkembangan balita adalah nutrisi dimana balita
usia 6-24 bulan masih diberikan ASI. Hasil penelitian didapatkan Iebih banyak Ibu yang
memberikan MP ASI yang sesuai dengan pedoman pemberian MP ASI memiliki balita dengan
pertumbuhan baik dan perkembangan yang sesuai. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi
masukan pelayanan kesehatan dalam upaya peningkatan tumbuh kembang balita melalui
peningkatan promosi kesehatan tentang pentingnya MP ASI sesuai pedoman dan melanjutkan
menyusui pada balita usia 6-24 bulan

ABSTRACT
Toddler is a group in human development that are at problems including the risk of problems of
growth and development. Nutrition in toddlers aged 6-24 months that are required way to enhance
the growth and development of nutrition in toddlers including breast feeding and solid foods. The
aim of study was to determine the relationships between family characteristics and the provision of
complementary feeding with the growth and development of children (6-24 months) in Curug
Cimanggis subdistrict, Depok. This study used a descriptive correlational, cross-sectional
approach with a sample of 102 children aged 6-24 months taken by proportional cluster sampling.
Chi Square test found no association between the provision of complementary feeding and growth
and development. This was because the factors that directly influence the growth and development
of toddlers is where the nutrition of children aged 6-24 months are still breastfed. But with a good
financial arrangement and being able to modify the food, the family may have children with good
growth. The results of this study are expected to provide input in improving health care toddler
growth and development through the improvement of health promotion of the importance of
appropriate complementary feeding guidelines and continue breastfeeding in infants aged 6-24
months."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
T42060
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kahar
"ABSTRAK
Salah satu tujuan implementasi program kependudukan dan Keluarga Berencana adalah menurunkan tingkat fertilitas sebagai upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk. Selama kurun waktu 20 tahu pelaksanaan program KB, sejak dimulai secara resmi tahun 1970 telah membawa berbagai kebehasilan. Antara lain dapat dilihat dari cakupan pemakaian kontrasepsi hingga tahun 1989/1990 tercatat jumlah peserta KB aktif {68,6 %) dari seluruh Pasangan Usia Subur di tanah air. Demikian pula terjadi penurunan fertilitas sebesar 37,91 % selama 20 tahun terakhir dari TFR 5,61 {1970) menjadi 3,40 (1989). Tingkat penurunan tersebut akhir-akhir ini semakin tajam seiring meningkatnya penggunaan kontrasepsi.
Pada tingkat regional Propinsi Bengkulu keberhasilan pelaksanaan program KB cukup tinggi, terutama dilihat dari cakupan kontrasepsi 'sampai tahun 1989/1990 tercatat (72,9 %) dari seluruh PUS melebihi pencapaian secara nasional. Namun belum diikuti dengan penurunan fertilitas yang sepadan, yakni TFR pada tahun 1989 sebesar (4,200) jauh lebih tinggi dibanding TFR secara nasional. Disamping itu meskipun. perencanaan program diatur dan ditetapkan secara nasional serta ditangani melalui susunan organisasi dalam pola yang sama, namun tingkat keberhasilannya di lapangan (tingkat desa) menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan yang cukup menyolok.
Penelitian ini bertujuan mengkaji herhagai faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan pelaksanaan: program KB di lapangan, baik kesertaan ber KB maupun dampak.program (penggunaan kontrasepsi) terhadap penurunan fertilitas. Faktorfaktor tersebut mencakup (1) faktor program yakni kegiatan motivasi KIE dan pelayanan kontrasepsi, (2) faktor. lingkungan setempat yakni keberadaan tokoh masyarakat, institusi dan kelompok sebaya, dan (3) faktor individu yakni tingkat sosial ekonomi.
Untuk maksud tersebut penelitian ini menggunakan metode survei terhadap responden (PUS) dan wawancara mendalam terhadap informan. Disamping dalam bentuk participant observation, serta dukungan data sekunder. Analisa data betsifat kuantitatif dan kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan ketiga faktor (variabel) di atas berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan pelaksanaan program KB di lapangan. Faktor program yakni motivasi KIE dan pelayanan kontrasepsi sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan program KB. Sementara faktor lingkungan setempat, yakni institusi, tokoh masyarakat dan kelompok sebayla sangat menentukan tingkat kesertaan ber KB. Meskipun hubungan tersebut tidak begitu nyata terhadap pilihan untuk ,memakai metode efektif yang digunakan oleh akseptor. Demikian 'pula faktor sosial ekonomi berpengaruh terhadap tingkat kesertaan ber KB dan penurunan fertilitas.
Semetara perbedaan keberhasilan yang cukup menyolok menurut lokasi (desa) lebih banyak ditentukan oleh faktor lingkungan setempat dan faktor sosial ekonomi responden. Baik tingkat kesertaan ber KB (penggunaan kontrasepsi) maupun dampak program terhadap penurunan fertilitas.
Keberhasilan implementasi program KB tidakterlepas dari kemajuan dalam sektor-sektor lain terutama kemajuan tingkat sosial ekonomi yang dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat di pedesaan, dapat mempercepat terwujudnya norma keluarga kecil bahagia dan sejahatera."
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Sunardi
"Tujuan: Mengoptimalkan tumbuh kembang anak dengan mengetahui hubungan antara pola pemberian ASI dan MP·ASI dengan stunting pada bayi usia 6-12 bulan dan mengkatkan kadar seng serum bayi usia 6-12 bulan.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain nested case control. Subyek penelitian adalah bayi stunting dan tidak stunting.
Hasil: Jumlah subyek 90 bayi usia 6-12 bulan, 30 kasus, 60 kontrol. Kelompok kasus diambil secara purposive, sedangkan kelompok kontrol adalab bayi tidak stunting dengan matching jenis kelamin dan usia dalam rasio satu banding dua yang diambil acak sederhana. Subyek terdiri atas 45 bayi perempuan dan 45 bayi Iaki-laki. Sebagian besar (73,3%) subyek berusu.9-12 bulan. Berat badan lahir <-1 SD ditemukan pada 24,4% subyek dan panjang badan lahir <-1 SD pada 15,9% subyek (n= 44). Responden, yaitu ibu subyek, sebagian besar (87,8%) berusia antara 17-'15 lahun dan 58,9"10 berpendidikan rendah. Hampir seluruh subyek (96,7%) mendapat asupan seng di bawah AKG 2004. Pada penelitian ini didapatkan BB lahir <-1 SD merupakan faktor risiko yang bennakna (OR =1,51; P < 0,001) Untuk stunting. Uji statistik menuujukkan pola pemberian ASI dan MP-ASI kalegori tidak baik meningkatkan risiko stunting (OR = 1,122; 95% CI 0,351-3,581), walaupun seeara statistik tidak bermakna. Dengan analisis tambahan didapatkan tidak dilanjutkanya ASI setelah mendapat MP-ASI merupakan faktor risiko bermakna Untuk stunting (p ~0,039; OR 5,8). Rerata kadar seng serum bayi stunting 12,4 ± 1,7 umoL, yaitu termasuk dalam rentang marjinaI (10,7-<13 umol/L). Sebanyak 56,1% subyek stunting mempunyai kadar seng serum di bawah niIai normal (13 umol/L) dan 20% mempunyai kadar seng serum rendah «10,7 umol/L). Uji kore1asi menunjukan tidak ada hubungan antara kadar seng serum dengan asupan seng dan panjang badan untuk usia.
Kesimpulan: Pola pemberian ASI dan MP-ASI kategori tidak baik meningkatkan risiko stunting. Rerata kadar seng serum bayi stunting pada peneitian ini berada dalam rentang marjinal.

Objective: Aim of the study was to optimize child grosth by investigating the relationship between breastfeeding and complementary feeding practice and stunting among 6-12 mo infants, and to examine the zinc status of 6-12 months old stunted infants.
Method : A "nested" case-control design was used in this study. Subjects were stunted and nonstunted infants.
Results : A total of90 subjects of 6-12 mo infants in Tangerang participated in this study (30 cases and 60 _Is). Purposive sampling was used to obtain cases, while simple random sampling was used among matched controls (by gender and age). Gender were equally distributed in both groups. Mostof1he subjects (733%) were between 9-12 mo. Birth weight <-1 SD were found in 24.4% and length (n = 44) <-I SO in 15.9% subjects. Respondents, the subjects'mothers; mostly (87.8%) were between 17-35 yr and 58.9% were low educated.. Almost all (96.7%) subjects had zinc intake below Indonesian RDA 2004. This study demonstrated that birth weight <-1 SD was a significance risk factor (p<0.001; OR = 7.57) fur stunting. Statistical analysis showed that inappropriate breastfeeding and complementary feeding practice increased 1he risk fur stunting (OR= 1.122; 95% Cl 0351-3587), although statistically not significant. Further analysis showed that not continuing breastfeeding was a significant risk further for stunting (OR = 5.8 and p = 0.039). Mean serum zinc levels of 1he stunted subjects was 12.4 ± 1.7 umol/L (marginal levels 10.7-<13 pmollL). Serum zinc levels of 56.7% stunted subjects were under be normal levels (13 umol/L) and 20% hail low serum zinc levels <10.7 umol/L). Serum zinc levels did not show relationship with zinc in lake and height for age Z-score.
Conclusion : inappropriate feeding practice increased 1he risk for stunting. Mean serum zinc levels of stunted subjects in this study were in marginal range.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T32010
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurwiyoto
"Sistem perladangan merupakan adaptasi terbaik dari masyarakat yang tingkat teknologinya sederhana. Sistem perladangan ini dapat dipertahankan selama penduduk masih sedikit dan hutan tersedia, namun sekarang telah mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, sehingga menimbulkan pertanyaan :
Mengapa sistem perladangan di Bengkulu mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup ?
Apakah batas secara teknis dari kawasan hutan lindung yang ada sekarang sudah memadai ?
Penelitian ini mengajukan dua hipotesis.
(a) Terlalu besarnya jumlah penduduk yang bergantung pada bidang pertanian kecil, memaksa sebagian penduduk menggunakan tanah di kawasan hutan lindung sehingga mengakibatkan kerusakan hutan.
(b) Batas secara teknis dari kawasan hutan lindung di Kecamatan Kepahiang belum memadai.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebab-sebab sistem perladangan di Kecamatan Kepahiang mengakibatkan kerusakan hutan dan mengetahui batas secara teknis yang sesuai dari kawasan hutan lindung.
Variabel bebasnya adalah penggunaan tanah, yang mempengaruhi kerusakan hutan sebagai variabel tidak bebas. Responden berjumlah 127 kepala keluarga, dan data dikumpulkan melalui wawancara berdasarkan daftar pertanyaan. Sampel kesuburan tanah diambil di wilayah berlereng 15%-40% dan lebih dari 40%. Data penggunaan tanah dan kemampuan tanah berasal dari Badan Pertanahan Nasional.
Data dianalisis dengan uji Kruskal Wallis, dan data peta dianalsis dengan pendekatan analisis wilayah melalui teknik Overlay, kemudian keseluruhan data dikorelasikan.
Temuan hasil penelitian ini yang penting adalah bahwa sistem perladangan di Kecamatan Kepahiang dilakukan dengan membuka hutan primer dan luas tanah garapan 2,61 hektar tiap keluarga serta laju perluasan 0,49 hektar tiap keluarga tiap tahun. Daya dukung lingkungan yang ada sudah terlampaui sehingga sistem perladangan ini tidak dapat dipertahankan. Di samping itu, sifat berpindah-pindahnya bidang tanah garapan dengan mencari hutan primer mengakibatkan kerusakan hutan.
Orientasi usahatani penduduk adalah perkebunan kopi, di mana penggarapan tanah wilayah berlereng lebih dari 40% menyebabkan terjadinya penurunan kandungan N,P,K dan pH. Penggarapan di kawasan hutan lindung merupakan akibat terlalu besarnya jumlah petani yang bergantung pada tanah dan timbulnya lapar tanah karena meningkatnya kebutuhan petani.
Batas secara teknis dari kawasan hutan lindung menurut Tata Hutan Guna Kesepakatan, ternyata belurn memadai dan sebagian tanahnya digarap sebagai tempat usahatani. Batas secara teknis untuk kawasan hutan lindung meliputi 28.049 hektar, yang terdiri dari 15.202 hektar sebagai kawasan hutan lindung mutlak, dan 12.847 hektar sebagai daerah penyangga.

Shifting cultivation system is the best adaptation from community with simple level technology. The shifting cultivation system can be maintained as long as population are rare and forest are still available, however this system now results in environmental destruction, therefore rise the question:
Why do the shifting cultivation system in Bengkulu cause the destruction of environmental?
Is the present technical boundary of the protecting forest area appropriate?
The research proposes two hypothesis:
The large population that depends on small farming area, press forces the part of the population to cultivate the land in protecting forest area, that resulting forest destruction.
Technical boundary from protecting forest area in Kepahiang Sub-district is not sufficient yet.
The aims of the research are to get to know the causes of shifting cultivation system in Kepahiang Sub-district which result in forest destruction, and to know the appropriate technical boundary from protecting forest area.
The independent variable of this research is land utilization that influences forest destruction as a dependent variable.
The number of respondence are 127 head of household, and the data was collected by interviewing based on the questionnaire list, and soil fertility samples were taken from area of slope 15%-40% and more than 40 %. The data of land utilization and land capability were gained from "Badan Pertanahan Nasional".
The data were analyzed by Kruskal-Wallis test, and the data of maps were analyzed by region analysis approach with Overlay technic, then all of the data were correlated.
The important finding of this research is that the shifting cultivation system in Kepahiang Subdistrict is carried out by cultiving primary forest and cultivation area 2,61 hectare for each family with growth area 0,49 hectare each family every year. The present environmental carrying capacity is exceeded therefore this shifting cultivation system can not be maintained. In addition, the shifting cultivation system by looking for primary forest causes forest destruction.
The orientation of the farmer's work is coffee plantation, which the area cultivation in slope region is more than 40%, causes the declining deposit of N,P,K, and pH. The cultivation_ in protecting forest area is the result of too large number of farmers that depend on land, and need of land because of the increase of farmer's need.
Technical boundary of the protecting forest area according to "Tata Guna Hutan Kesepakatan" actually is not appropriate yet, and part of this land cultivated as farmer's work area. Technical boundary of this protecting forest area comprises 28.049 hectare, consists of 15.202 hectare as an absolute protecting forest area, and 12.847 hectare as a buffer zone.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Musfardi Rustam
"ABSTRAK
Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian bayi dan balita di negara berkembang termasuk Indonesia. Tingginya angka kesakitan dan kematian bayi di Indonesia terkait dengan kemampuan seorang ibu dalam pemberian air susu ibu (ASI) yang tidak memadai kepada bayinya. ASI merupakan minuman alami bagi bayi baru lahir pada bulan pertama kehidupan yang bermanfaat bukan hanya untuk bayi saja, tetapi juga untuk ibu, keluarga dan negara.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada bayi usia 6-12 bulan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain kasus kontrol tidak berpasangan (unmatched case control), dan pengambilan sampel menggunakan cluster random sampling pada 162 kasus dan 162 kontrol bayi berusia 6-12 bulan. Kasus adalah ibu yang membawa bayi usia 6-12 bulan dimana 1 bulan terakhir pernah menderita ISPA yang berkunjung ke Puskesmas terpilih, sedangkan kontrol adalah ibu yang membawa bayi usia 6-12 bulan dimana 1 bulan terakhir tidak pernah menderita ISPA yang berkunjung ke Puskesmas terpilih. Analisis data terdiri-dari analisis univariat, bivariat, stratifikasi, serta analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi yang diberi ASI tidak eksklusif memiliki Rasio Odds 1,69 kali (95% CI: 1,02-2,80) untuk mengalami kejadian ISPA dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI eksklusif setelah dikontrol variabel adanya perokok dalam rumah dan imunisasi. Promosi kesehatan pemberian ASI eksklusif 6 bulan, pemberian imunisasi dan program anti rokok perlu dilakukan secara berkesinambungan untuk menurunkan angka kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) penyakit ISPA.

ABSTRACT
Upper respiratory tract infection (URI) is a main disease among children in developing countries including in Indonesia. Infant under 1 year old morbidity and mortality in Indonesia still high. This is relating with mother ability to deliver inadequate breastfeeding for their child. Breastfeeding is a natural food for newborn particularly in the first month of live. This is not only for the child but also for mother, family and the country.
The objective of this study was to identify the relationship of exclusive breastfeeding to upper respiratory tract infection due to infant age 6 to 12 months in Kampar District. The design of this study is unmathced case control. Sample selected by cluster random sampling. Each group consist 162 cases and 162 controls infants age 6 to 12 month old. Case definition is mother with her infant suffered upper respiratory tract infection seeking for treatment at the selected health center in the last month. Control definition is mother with her infant without upper respiratory tract infection symptoms in the last month visiting to selected health center. Data analysis was using univariate, bivariate, stratification and multivariate using logistic regression.
The result of this study showed that the infant who gave the breastfeeding not exclusively had the risk to upper respiratory tract infection 1,69 times (95% CI: 1,02-2,80) at the of 6 to 12 months compared to infant whose gave the breastfeeding exclusively after controlling immunization and smokers at home. Health promotion for exclusive breastfeeding at least 6 month, immunized and no smoking at home need to strengthen to limit morbidity and mortality caused by acute upper respiratory infection at infant.
"
2010
T28490
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ansori
"Bayi umur 4 - 6 bulan mulai mendapatkan makanan pendamping ASI (MP-AS1) secara bertahap, disamping masih tetap mendapat ASI. Pada masa ini kekebalan anak yang didapat secara pasif dari ibunya mulai menurun, sementara bayi mulai mendapatkan makanan yang kurang mencukupi dari kebutuhannya. Beberapa basil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi KEP pada bayi lebib dari 15% berdasarkan indeks status gizi (BB/U). Hal ini menunjukkan bahwa masalah gizi pada bayi merupakan hal yang serius yang perlu segera ditangani.
Penelitian ini menganalisis data sekunder dari Penelitian " Pola menyusui, Usia penyapihan dan Pemberian MP-ASI dalam Kaitannya dengan Status Gizi Batita (6 - 36 bulan) Di Kecamatan Pedamaran Kabupaten Ogan Komering Mir Sumatera Selatan Tabun 2001". Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh tentang kekuatan hubungan umur pertama kali pemberian MP-ASI dengan status gizi bayi. Pada penelitian ini desain yang digunakan adalah cross sectional (potong lintang). Sampel adalah bayi umur 6 - 12 bulan yang mendapatkan ASI. Analisis yang digunakan adalah univariat, bivariat dan multivariat_
Hasil penelitian didapatkan bahwa prevalensi KEP sebesar 20,7%, rata-rata umur pemberian MP-ASI 3,8 bulan, sedangakan bayi yang diberi MP-ASI < 4 bulan sebesar 31,0%. Asupan energi dari rata-rata 764 kkal sedangkan asupan protein 16 gr. Dari basil analisis multivari.at didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara umur pertama kali pemberian MP-ASI dengan status gizi bayi umur 6 - 12 bulan. Bayi yang mendapatkan MP-ASI pada umur < 4 bulan kemungkinan akan mengalami risiko gizi kurang 5,2251 kali dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan MP-ASI pads mnur 4 - 6 bulan setelah dikontrol oleh asupan energi. Ternyata asupan energi berperan sebagai confounder, atau mempunyai pengaruh dalam meningkatkan hubungan umur pertama kali pemberian MP-ASI dengan status gizi bayi.
Untuk meningkatkan status gizi bayi maka perlu dilakukan peningkatan pelaksanaan monitoring pertumbuhan melalui kegiatan UPGK di posyandu, selain itu kepada ibu menyusui hams diupayakan untuk tidak memberikan makanan prelakteal dan memberikan MP-ASI dini, karena bila sudah mendapat makanan prelakteal dan IvfP-ASI yang diberikan pada umur < 4 bulan bisa merugikan bayi. Petugas kesehatan berperan penting dalam memberikan pendidikan/konseling terhadap ibu hamil tentang manajemen laktasi. Agar bayi dapat memenuhi kebutuhan gizinya perlu dikembangkan makanan lokal melalui pelatihan pembuatan makanan lokal yang memenuhi syarat gizi dan cita rasa.

The Relationship between the First Age of Introducing Complementary Feeding with Nutritional Status of Babies aged 6 - 12 Months at Pedamaran Subdistrict Ogan Komering Ilir District South Sumatera in 2001Babies aged 6 -12 months begins to get complemernary feeding gradually while still breast feeded. In this age, baby immunity which was received passively from his mother decreases, while he begins to receive an inadequate food. Several researches show that protein energy malnutrition (PEM) prevalence to babies is more than 15% based on nutritional status index (Weight/Age). This shows that baby nutrition remains serious matter to overcome.
The research analyzes secondary data obtained from the previous research titled "Breast feeding pattern, weaning age and complementary feeding in relation to the nutrition status of baby under three years ( 6 - 36 months) at Pedamaran Subdistrict, Ogan Komering Ilir District, South Sumatera in 2001". This research purpose is to obtain the relational strength between the first age of introducing complementary feeding and nutritional status of babies 6 - 12 months. This research uses cross sectional design, through univariat, bivariat, and multivariate analyses. Samples are baby aged 6 - 12 months who received Breast milk
The research result shows that Protein Energy Malnutrition (PEM) prevalence is 20,7%, mean of ages introducing complementary feeding is 3,8 months, mean of babies of age of introducing complementary feeding < 4 months is 31,0%, mean of energy intake is 764 kkal, and mean of protein intake is 16 gr. Multivariate analysis shows that there is significant relationship between first age of introducing complementary feeding and nutritional status of infant age 6 -12 months. Babies who received complementary feeding <4 months possible might experience with under nutrition (Weight/Age) risk more than 5,2251 than babies who received complementary feeding at 4 - 6 months of age after controlled by energy intake. Apparently, energy intake plays as confounder role, or has influence to increase the relationship between first age of complementary feeding and nutritional status of infants.
In order to improve baby nutritional status, there should be monitoring improvement through UPGK program at Posyandu. In addition, mother is expected not to administer prelacteal food and able to administer exclusive breast-feeding, because babies given prelacteal and administered of introducing complementary feeding at the age <4 months, they will be harmful. On the other hand there should be information given both to health officers and pregnant mothers about lactation management . In order to baby nutrient necessity, there should be it needs local/ordinary foods development through the training of local food production which fulfills nutrition condition and flavor.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T582
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widaryoto
"Penggunaan jamban yang rendah merupakan salah satu masalah di bidang kesehatan yang perlu mendapat perhatian karena peranannya dalam memutus mata rantai penularan penyakit. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan penggunaan jamban yang diwujudkan melalui Proyek Sarana Air Minum dan Jamban Keluarga (Samijaga), Proyek Penyediaan Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan, Proyek Peningkatan Kesehatan Lingkungan Permukiman, dan lain-lain.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan praktik penggunaan jamban. Faktor-faktor yang diteliti antara lain adalah jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan, jenis jamban, asal perolehan jamban, letak jamban, jarak jamban, luas jamban, pencahayaan, udara sekitar jamban, ketersediaan air, pembinaan tenaga kesehatan, dan perhatian tokoh masyarakat.
Penelitian ini menggunakan rancangan studi "cross sectional". Survei dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner terhadap 192 kepala keluarga yang memiliki jamban sebagai responden. Analisis yang digunakan adalah analisis univariat, analisis bivariat, dan analisis multivariat dengan regresi logistik multivariat.
Hasil penelitian menginformasikan bahwa pengguna jamban keluarga sebesar 82,8%. Dan analisis diperoleh hasil bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan praktik penggunaan jamban keluarga adalah faktor pengetahuan tentang jamban, udara sekitar jamban, ketersediaan air, dan pembinaan tenaga kesehatan. Faktor yang paling dominan berhubungan adalah faktor udara sekitar jamban dengan nilai Odds Ratio (OR) sebesar 159,077 (95%CI: 8,885-2.848,070), yang berarti bahwa jamban dengan kondisi udara sekitar jamban baik mempunyai peluang untuk digunakan sebesar 159,077 kali dibanding jamban dengan kondisi udara sekitar kurang baik, setelah dikontrol variabel lain.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, masih adanya responden yang tidak mendapat pembinaan tenaga kesehatan dan masih adanya pemilik jamban yang tidak menggunakan jamban, maka penulis menyarankan agar pembinaan oleh tenaga kesehatan dalam bidang kesehatan lingkungan khususnya tentang penggunaan jamban harus ditingkatkan dan dilaksanakan secara berkala (minimal satu kali dalam sebulan). Disamping itu, memberdayakan kembali kader kesehatan lingkungan yang telah ada dan membentuk serta melatih kader kesehatan lingkungan bila belum ada, akan membantu dan menambah jangkauan pembinaan kesehatan lingkungan khususnya tentang penggunaan jamban sampai tingkat desa. Mengingat pentingnya pengetahuan tentang jamban dalam praktik penggunaan jamban, penyebarluasan informasi tentang jamban kepada masyarakat perlu terus dilakukan, misalnya dengan pemberian leaflet tentang manfaat jamban. Hal utama yang perlu diperhatikan dalam setiap kegiatan pembangunan jamban adalah menciptakan kondisi udara sekitar jamban yang baik (tidak bau), antara lain dengan cara mengupayakan agar lekukan pada leher angsa menampung air dengan baik dan membuat lubang ventilasi jamban yang memadai. Ketersediaan air di jamban juga perlu diperhatikan, yaitu dengan membuat fasilitas penyediaan air (bak air). Dan untuk menunjang keberhasilan kegiatan penyehatan lingkungan permukiman, khususnya tentang penggunaan jamban, maka kerja sama dengan instansi terkait perlu dilakukan secara baik.

Low utilization of latrine have been one of health problems which needs more attention since it plays major role in cutting the chain of infectious diseases. Government has been conducted efforts to increase the latrine utilization implemented in projects such as drinking water facility and family latrine project (Samijaga), water supply and environmental health project, the residential environment health improvement project, etc.
The aim of this research is to find out factors related to utilization of latrine. Factors under study included gender, education, knowledge, latrine type, source of latrine, placement of latrine, width of latrine, lighting, air surrounding the latrine, water supply, training by health personnel, and community leaders' concern.
The research was using cross-sectional study design. Survey was conducted through interview using questionnaire to 192 heads of family who have their own latrine as respondent. Analysis conducted were univariate analysis, bivariate analysis, and multivariate analysis using multivariate logistic regression.
The study found that the utilization of family latrine was 82,5%. The analysis showed that factors related to the use of latrine were knowledge, air surrounding the latrine, water supply, and training by health personnel. The most dominant factor was air surrounding the latrine with Odds Ratio (OR) of 159.077 (95% Cl: 8.8825-2848.070), which means that latrines with good surrounding air condition have 159.077 higher chance to be used compared to latrines with bad surrounding air condition, after controlled by other variables.
Based on the study results, some respondents had not been trained by health personnel yet and some latrine owners who never use their latrine, researcher suggested that training by health personnel emphasizing the use latrine should be increased and conducted periodically (at least once a month): Beside that, there is a need to empower the existing environmental health cadres and to attract and train the new ones, in order to extend the community education and extension about the use of latrine down to village level. Considering the importance of using latrine, the information regarding it should be continuously implemented, for example through leaflet distribution. Important thing to be considered when building a latrine is air condition surrounding the latrine (should be good and not smelly), for example by making sure that the goose neck could hold water well and by providing sufficient air ventilation. Latrine's water supply needs to be concerned as well, by providing water supply facility (water basin). To support the success of residential environmental health activities, particularly the utilization of latrine, good coordination with other related institutions should be implemented.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T13042
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>