Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 77042 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vincent Sugeng Fajar
"Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Ketentuan mengenai perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat, hukum Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Perkawinan mempunyai akibat hukum terhadap harta kekayaan suami isteri yaitu sejak perkawinan dilangsungkan akan terbentuk harta bersama. Terhadap ketentuan mengenai harta bersama, suami isteri dapat melakukan penyimpangan dengan membuat perjanjian perkawinan. Ketentuan mengenai perjanjian perkawinan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbeda dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Agar dapat berlaku bagi pihak ketiga, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mewajibkan perjanjian perkawinan untuk didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri sedangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mewajibkan perjanjian perkawinan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan di Kantor Catatan Sipil bagi golongan masyarakat yang tunduk kepada Hukum Perdata Barat atau oleh Pegawai Pencatat Nikah di Kantor Urusan Agama bagi golongan Indonesia asli. Tesis ini membahas apakah perjanjian perkawinan yang dibuat setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dapat berlaku terhadap pihak ketiga serta apa akibat perjanjian perkawinan terhadap pihak ketiga? Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, ketentuan hukum mengenai perkawinan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, perjanjian perkawinan yang didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat berlaku terhadap pihak ketiga. Dengan pendaftaran perjanjian perkawinan sesuai ketentuan yang berlaku, perjanjian perkawinan membawa akibat hukum bagi pihak ketiga yaitu dalam melakukan perbuatan hukum pihak ketiga hanya terkait dengan harta salah satu pihak dari suami isteri tanpa melibatkan harta pasangannya. Pemerintah perlu mensosialisasikan ketentuan mengenai pendaftaran perjanjian perkawinan untuk menghindari kesimpangsiuran yang terjadi di masyarakat."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16432
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beby Humaira
"ABSTRACT
Pada praktiknya, perjanjian perkawinan mengatur mengenai harta dalam perkawinan, yakni mengenai pemisahan harta. Persyaratan perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974, yakni perjanjian perkawinan harus didaftarkan ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau Kantor Urusan Agama. Namun pada kenyataannya, masih banyak para pihak suami isteri yang membuat perjanjian perkawinan tetapi tidak didaftarkan. Hal ini mengakibatkan perjanjian perkawinan tersebut hanya berlaku bagi kedua belah pihak yang membuat perjanjian, tidak berlaku bagi pihak ketiga. Penulis tertarik meneliti masalah perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan ini apabila harta dalam perkawinan dipindahtangankan secara sepihak (oleh salah satu pihak suami atau isteri saja) kepada pihak ketiga melalui jual beli. Untuk mencari solusi dari masalah ini penulis melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif, perundang-undangan, dan analitis. Karya ilmiah ini menggunakan kajian ilmu hukum normatif dan tipe berdasarkan sifatnya merupakan penelitian deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat hukum terhadap perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan ialah tidak berlakunya atau mengikatnya perjanjian perkawinan tersebut terhadap pihak ketiga, sehingga harta yang diperjualbelikan bagi pihak ketiga masih merupakan harta bersama. Oleh karena itu, maka dalam proses jual beli harta bersama tersebut pihak ketiga harus mendapat persetujuan kedua belah pihak suami isteri. Apabila dilakukan dengan tanpa persetujuan salah satu pihak suami isteri, maka pihak tersebut dapat mengajukan pembatalan jual beli harta bersama tersebut. Mengenai perlindungan terhadap pihak ketiga, perlindungan hanya dapat dilakukan apabila pihak ketiga beritikad baik pada saat proses jual beli harta bersama tersebut.

ABSTRACT
In practice, marriage agreements usually regulate property in marriage, namely regarding the separation of assets. The requirements of the marriage agreement are regulated in Article 29 of Law No. 1 of 1974, as the marriage agreement must be registered with the Department of Population and Civil Registration or the Office of Religious Affairs. But in the reality, there are still many spouses that make marriage agreements but not registered. That caused the marriage agreements are only valid for both parties who making the agreement, but not for third parties. The author is interested in examining the issue of marriage agreements that are not registered if the assets in marriage are unilaterally transferred (by one of the husband or wife) to a third party through buying and selling. To find a solution to this problem, the author conducted there search with a qualitative, legislatif, and analytical approach. This scientific work uses the study of legal science and type based on its nature which is descriptive research. The results of the study indicate that the legal consequences of the marriage agreement that is not registered are the non-valid or attachement of the marriage agreement to a third party, so that the traded asset by the third party is still considered as a joint asset. Therefore, in the process of buying and selling shared assets, the third party must obtain the approval of both husband and wife parties. If it is carried out without the consent of one of the husband and wife parties, then the party may submit a cancellation of the sale of the joint assets. Regarding the protection of third parties, protection can only be done if the third party has good intentions during the process of  buying and selling of the joint assets."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggyka Nurhidayana
"

ABSTRAK

Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh calon pasangan suami-istri mengenai harta benda perkawinan, selain harus dibuat di hadapan Notaris harus pula disahkan/dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan agar perjanjian perkawinan yang dibuat berlaku pula terhadap pihak ketiga. Dalam penelitian tesis ini, dibahas mengenai bagaimana keberlakuan perjanjian perkawinan yang belum disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan terhadap suami-istri dan pihak ketiga serta bagaimana perlindungan hukum bagi istri terhadap perbuatan hukum yang dilakukan suami atas harta bersama yang diikat dalam  perjanjian perkawinan yang belum disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, dengan menganalisis Putusan Nomor 82/Pdt.G/2018/Pn.Skt. dan kesesuaian putusan tersebut dengan KUHPerdata, UU Perkawinan, dan KHI. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis dengan tipologi penelitian preskriptif. Pasal 29 UU Perkawinan mengatur bahwa perjanjian perkawinan harus disahkan/didaftarkan oleh pagawai pencatat perkawinan. Akibat hukum dari perjanjian perkawinan yang belum disahkan adalah tetap mengikat kedua belah pihak, namun tidak mengikat pihak ketiga. Sehingga keberlakuan perjanjian perkawinan yang belum disahkan/dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan tetap mengikat kedua belah pihak. Dengan demikian perjanjian perkawinan dapat menjadi salah satu bentuk perlindungan hukum kepada salah satu pihak saat terjadi sengketa pembagian dan pemisahan harta kekayaan. Dapat diambil kesimpulan bahwa Notaris harus mensosialisasikan perjanjian perkawinan secara jelas kepada para penghadapnya, sehingga mereka mengetahui akibat hukum dari perjanjian perkawinan yang telah disahkan kepada pihak ketiga dan perjanjian perkawinan yang dibuat di hadapan Notaris dapat menjadi alat bukti yang kuat untuk mengajukan gugatan pemisahan harta kekayaan dalam  perkawinan.

 

Kata Kunci: Perjanjian perkawinan, Notaris, Pegawai Pencatat Perkawinan.

 


ABSTRACT

Marriage agreements made by prospective spouses regarding marital property, other than to be made in the presence of the Notary, must also be confirmed / signed by the marriage registrar in order for the marriage agreement to be valid with the third party. In the study of this thesis, it discusses how the validity of the marriage agreement has not been ratified by the marriage registrar against the spouse and the third party and how the legal protection of the wife against the lawful act of the husband on the common property is bound by the marriage agreement which has not been confirmed by the employee marriage registrar, by analyzing Decision No. 82 / Rev.G / 2018 / Pn. and the suitability of the decision in accordance with the Penal Code, the Marriage Law, and the KHI. The type of research used is descriptive analysis with typological research typology. Article 29 of the Marriage Law stipulates that the marriage agreement must be ratified / signed by the marriage registrar. The legal consequences of unresolved marriage agreements remain binding on both parties, but not third parties. So that the validity of the marriage agreement not yet signed / signed by the marriage registrar remains binding on both parties. Thus the marriage agreement can be one form of legal protection to either party in the event of a division of property and property disputes. It can be concluded that the Notary must explicitly negotiate the marriage agreement with his or her party, so that they are aware of the legal consequences of the marriage agreement being passed to the third party and that the marriage agreement made before the Notary can be a powerful tool for filing a suit of separation of property in marriage.

 

Keywords: Marriage agreement, Notary, Marriage Registrar.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvien
"Perjanjian perkawinan dibuat untuk mengatur harta benda milik suami istri. Perjanjian perkawinan yang telah dibuat harus didaftarkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil bersamaan dengan pendaftaran akta nikah. Namun dalam praktiknya para pihak yang membuat akad nikah tidak melampirkan akad nikah pada saat pencatatan nikah. Pentingnya pencatatan berdampak pada status aset dan hutang pihak ketiga. Berdasarkan aturan, akad nikah yang tidak tercatat membuat akad nikah tidak sah, karena tidak memenuhi asas publisitas. Dengan menggunakan metode penulisan normatif, makalah ini akan membahas tentang perjanjian nikah yang tidak tercatat dalam akta nikah dengan menganalisis Putusan Nomor 25 / Pdt.G / 2013 / PN.Tbn. Dapat disimpulkan bahwa akad nikah siri akan membatalkan akad nikah yang tidak mengikat pihak ketiga. Namun keberadaan akad nikah tetap berlaku bagi pihak yang membuatnya. Penulis menyarankan kepada hakim untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai tata cara pembuatan dan pencatatan akad nikah serta mempertimbangkan pula untuk menentukan perpanjangan atau pembaharuan akad nikah.

The marriage agreement is made to regulate the property belonging to the husband and wife. Marriage agreements that have been made must be registered at the Population and Civil Registry Service together with the registration of a marriage certificate. However, in practice, the parties making the marriage contract do not attach the marriage contract at the time of registration of marriage. The importance of record-keeping has an impact on the asset and debt status of third parties. Based on the regulations, an unregistered marriage contract invalidates the marriage contract, because it does not fulfill the principle of publicity. By using the normative writing method, this paper will discuss about marriage agreements that are not recorded in the marriage certificate by analyzing Decision Number 25 / Pdt.G / 2013 / PN.Tbn. It can be concluded that the siri nikah contract will cancel the marriage contract that is not binding on a third party. However, the existence of the marriage contract still applies to the party who made it. The author suggests the judge to provide socialization to the public regarding the procedures for making and recording marriage contracts and also considering determining the extension or renewal of the marriage contract."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roswita Harimurti
"Perkawinan sangat penting artinya dalam kehidupan manusia. Dengan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi lebih terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia dan kehidupan rumah tangga dapat terbina dalam suasana yang lebih harmonis. Oleh karena itu, sangat tepat jika Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 digunakan sebagai pedoman pelaksanaan perkawinan.
Masalah perkawinan juga telah diatur di dalam Hukum (Syari'at) Islam yang mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat di Kompilasi Hukum Islam di samping sumber hukum Islam yaitu al Qur'an, hadits dan sunnah Rasul. Hazairin telah menyatakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan ijtihad bagi umat Islam sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah al-Qur'an dan sunnah Rasul. Terkait dengan perkawinan, ditemukan beberapa permasalahan hukum perkawinan di bawah umur.
Persoalan yang timbul adalah (a) bagaimana kriteria "di bawah umur" menurut ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan menurut Hukum Perkawinan (Syari'at) Islam, (b) bagaimana keabsahan perkawinan di bawah umur sesuai ketentuan syari'at Islam dan (c) bagaimana upaya penyelesaian hukum terjadinya perkawinan di bawah umur yang tidak mendapatkan persetujuan kedua orangtua. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis telah melakukan penelitian pada kasus yang terdapat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Pembahasan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yang bersifat Yuridis-Normatif dikaitkan dengan analisa data sekunder dan dirangkai dengan hasil wawancara dengan narasumber. Pada bab Simpulan sesuai analisis, ditemukan adanya kejanggalan pada pertimbangan hukumnya karena tidak dinyatakan secara tegas bahwa perkawinan itu dilakukan karena alasan utama yaitu calon isteri telah hamil sebelum melakukan perkawinan yang sah. Tetapi lebih ditekankan pada faktor kecakapan melakukan perbuatan hukum terkait faktor usia. Namun pada akhirnya, perkawinan itu dapat terlaksana didasarkan pada pertimbangan sesuai syari'at Islam yaitu demi kepentingan kedua mempelai di kemudian hari dan demi kepentingan kemaslahatan masyarakat pada umumnya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T16302
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Setiadi
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996
S20890
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nitra Reza
"Pada saat ini perbuatan perjanjian kawin masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat tidak setuju karena perjanjian kawin dianggap tidak etis sehingga dapat menyinggung perasaan suami. Sebagian kecil masyarakat setuju dengan perjanjian kawin karena merupakan salah satu kebutuhan bagi yang membutuhkannya. Perjanjian kawin merupakan suatu upaya yang dapat dilakukan oleh isteri untuk melindungi harta yang dimilikinya. Pada saat ini perjanjian kawin dapat dibuat secara tertulis balk notariil maupun dibawah tangan. Dari beberapa macam perjanjian kawin yang aria, maka perjanjian kawin yang tepat untuk melindungi harta isteri dalam perkawinan ialah perjanjian kawin diluar persekutuan harta benda dalam perkawinan. Dengan adanya perjanjian kawin maka isteri dapat melakukan berbagai perbuatan hukum. Misalnya menandatangani perjanjian kredit dan juga berbagai macam perbuatan lainnya antara lain yang berkaitan dengan tanah dalam rangka menandatangani Akta Jual Beli, Akta Hibah, Akta Pemberian Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan tanpa meminta persetujuan suami sebagai teman nikahnya. Peranan Notaris sangat dibutuhkan untuk melayani kepentingan masyarakat umum dalam hal membuat akta otentik maupun legalisasi akta dibawah tangan. Perbedaan antara akta notaril dengan dibawah tangan terletak pada daya pembuktiannya. Akta notaril memiliki daya pembuktian secara lahiriah sehingga menjamin kepastian hukum dan tanggal. Dengan metode kepustakaan dan wawancara dengan informan, terbukti bahwa semua akta perjanjian kawin yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan semuanya dibuat secara notariil."
2005
T14532
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gunawan Budimulia Sjamsuddin
"ABSTRAK
Setiap manusia yang pada waktunya akan melangsungkan perkawinan biasanya akan menjumpai hal—hal yang berhubungan dengan harta benda dalam perkawinan, Pada waktu tersebut biasanya dibicarakan mengenai perjanjian perkawinan, yaitu hal—hal yang mengatur harta benda calon suami istri dalam perkawinan nantinya. Tidak semua calon suami istri membicarakan perjanjian yang demikian apalagi di Indonesia, karena sebagai orang Timur yang sering bertenggang rasa dan tidak materialistis. Akan tetapi tidaklah berarti hal ini tidak penting di bicarakan karena pada saatnya orang memerlukan hal itu, dan juga pihak ketiga dapat pula berkepentingan dengan harta benda mereka. Karena itu pula pembuat Undang undang telah mengatur hal tersebut secara tegas dalam pasal-pasalnya. Sejak tahun 1974 telah kita dapati Undang Undang yang mengatur tentang Perkawinan yang relatif telah lengkap. Penulis merasa perlu untuk menelaah peraturan-peraturan yang lama yang telah ada untuk kemudia membandingkannya dengan Undang undang yangsekarang ada agar diketahui sampai sejauh mana kekurangan dan kelebihan Undang undang kita yang sekarang. Dan dari situ pula dapat diketahui apakah peraturan lama tetap berlaku atau tidak lagi, Hasil penelitian. Dari hasil perbandingan dapat diketahui bahwa masih perlunya penjelasan untu kelengkapan lebih lanjut dari pasalpasal yang mengatur tentang perjanjian perkawinan dalam Undang Undang no.1 tahun 1974 itu juga dari PP.no.9 thn.1975. Baik dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata/B.W., dengan Hukum Islam, dengan hukum Adat, dengan hukum peraturan perkawinan Campuran, dengan H.O.C.I.sts. 1933/no.74 ternyata kita rupanya harus lebih banyak menggunakan pasal 66 UU Perkawinan no.1/thn.74 yaitu terpaksa kembali ke peraturan2 lama yang ada sebelum UU tersebut sepanjang tidak diatur dalam UU itu dan isinya tidak bertentangan dengan Undang Undang tsb. Kesimpulan dan Saran 1.Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian antara calon suami istri mengenai harta bendanya, baik yang sudah ada sebelum perkawinan maupun yang akan ada sesudah perkawinan berlangsung dan merupakan perjanjian untuk menentukan apakah akan ada harta terpisah secara tertentu atau seluruhnya. Undang Undang Perkawinan ternyata tidak memuat secara lengkap dan terperinci mengenai perjanjian perkawinan sehingga permasalahan yang didapati terpaksa harus menunjuk kembali pada hukum lama sepanjang tidak bertentangan dengan Undang Undang Perkawinan itu.Tapi pada pokoknya hampir sudah menampung aspirasi semua hukum perkawinan dalam bidang hukum harta benda walaupun disan-sini terdapat perbedaan. Bahwa apapun hasilnya lepas dari kurang dan lebihnya Undang Undang Perkawinan adalah suatu karya yang berharga, yang merupakan langkah awal dari usaha kodifikasi dan unifikasi hukum nasional. Tetapi tetap dirasakan perlu untuk diberikan peraturan pelaksanaan yang lebih lengkap dibawah P.P.no.9- tahun 1975, baik berupa peraturan Menteri ataupun Direktur Jendral untuk menampung permasalahan yang cukup banyak dalam hukum positif di Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Ridzka Maheswari Djasmine
"Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris sudah seharusnya memberikan penyuluhan hukum terkait pembuatan akta perjanjian perkawinan agar tidak melanggar batas-batas hukum dan agama sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Jika kemudian pasangan suami-istri yang berbeda agama ingin membuat perjanjian perkawinan (postnuptial agreement) yang isinya tidak hanya mengatur mengenai harta kekayaan para pihak tetapi juga mengenai agama yang akan dianut oleh anak-anak para pihak, apakah sesuai kewenangannya Notaris kemudian dapat membuat perjanjian perkawinan tersebut atau justru Notaris tidak dapat membuat perjanjian perkawinan tersebut. Permasalahan yang diangkat mengenai batasan para pihak dalam membuat perjanjian perkawinan dan akibat hukum pembuatan klausula moralitas dalam perjanjian perkawinan terhadap perkawinan beda agama yang dilangsungkan di luar negeri. Bentuk penelitian ini yuridis-normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Hasil analisis adalah batasan dalam membuat perjanjian perkawinan terdiri dari batasan hukum berupa peraturan perundang-undangan seputar harta kekayaan dan batasan agama berupa hukum agama para pihak. Apabila Notaris membuatkan perjanjian perkawinan antara para pihak yang perkawinannya dilangsungkan di luar negeri akan tetapi perkawinan tersebut merupakan perkawinan beda agama dan kehendak para pihak yang akan dituangkan ke dalam perjanjian perkawinan tidak hanya mengatur mengenai harta kekayaan para pihak tetapi juga mengenai agama yang akan dianut oleh anak-anak para pihak, maka akan memiliki implikasi terhadap tiga pihak, yaitu terhadap Notaris, terhadap para pihak, dan terhadap pihak ketiga. Saran berupa dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang Perkawinan yang memperjelas ketentuan Pasal 29 dan mempertegas larangan perkawinan beda agama serta timbulnya kewenangan PP-INI untuk mengadakan seminar dengan pembahasan mengenai substansi perjanjian perkawinan yang hanya berisikan tentang harta kekayaan.

Notaries as public officials who are authorized to make authentic deeds and have other authorities based on the Notary Office Law should provide legal explanation regarding the formulation of a marriage agreement deed so as not to violate legal and religious boundaries as stated in Article 29 paragraph (2) of the Marriage Law. If then a married couple of different religions wants to make a postnuptial agreement whose contents not only stipulate the assets of the parties but also regarding the religion that will be adhered to by the children of the parties, is it within the Notary's power to draft such an agreement or even the Notary cannot draft the marriage agreement. Issues raised regarding the limitations of the parties in making marriage agreement and the legal consequences of including morality clauses in marriage agreement for interfaith marriage held abroad. The form of this research is juridical-normative with explanatory research type. The results of the analysis are the limitations in making a marriage agreement consisting of legal restrictions in the form of laws and regulations regarding assets and religious restrictions are in the form of religious laws of the parties. If a Notary draws up a marriage agreement between parties whose marriage was held abroad, but it is an interfaith marriage and the will of the parties to be poured into the marriage agreement regulates not only the assets of the parties but also regarding the religion to which the children will adhere, it will have implications for three parties, namely the Notary, against the parties, and against the third party. Suggestions in the form of revising the Marriage Law which clarifies the provisions of Article 29 and reinforces the prohibition on interfaith marriage as well as the emergence of PP-INI's authority to hold seminars with a discussion of the substance of the marriage agreement, which only comprises assets."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhrani Ahliyah
"ABSTRAK
Penulisan skripsi ini berfokus pada pembatalan perkawinan karena
saudara sesusuan yang ditinjau dari Hukum Islam. Menurut Hukum Islam, perkawinan yang dilakukan oleh saudara sesusuan dilarang. Selain itu, pembuktian hubungan sesusuan menjadi fokus skripsi ini karena pembuktiannya tidak mudah. Apabila perkawinan dibatalkan, maka perkawinan dianggap tidak pernah terjadi sehingga akan berakibat pada status hukum suami-istri, harta dalam perkawinan, dan anak. Skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan
yang bersifat deskriptif-analitis dengan data sekunder sebagai sumber datanya.
Pembatalan perkawinan karena hubungan sesusuan belum mempunyai pengaturan mengenai batasan timbulnya hubungan sesusuan, sehingga berdampak pada sulitnya pembuktian di pengadilan. Akibat dari pembatalan perkawinan tidak membuat anak sah kehilangan hak dari orang tuanya.

ABSTRACT
This thesis focus is annulment of marriage which caused by acknowledgement by the “nest-mother” that the spouses are related by nest relationship. In Islamic Law perspective, marriage that happens between people who related by nest relationship is forbidden. In case of the marriage is annulment occurs, the marriage will be considered as never happened, so this will affect the legal status of the child from the marriage. The writing of this thesis uses literature based research method with secondary data as its data resources. There is no specific regulation concerning about annulment of marriage which caused by
nest relation yet, and it will has an impact on authentication process in the Court.
Annulment of marriage has no impact to the child‟s rights in that marriage."
2015
S58534
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>