Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 83910 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yufi Adriani
"Suami yang memutuskan untuk menikah lagi tanpa terlebih dahulu menceraikan istrinya yang pertama sering disebut dengan istilah poligami. Poligami bukanlah merupakan masalah yang baru, tetapi telah ada dalam kehidupan manusia sejak dahulu diantara berbagai kelompok masyarakat di berbagai kawasan dunia (Rochayah, 2005). Secara harafiah, definisi dari poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan poligami (Mulia, 1999). Bentuk perkawinan poligami adalah suatu bentuk keluarga yang lebih besar, segala hak dan kewajiban dalam perkawinan harus dijalankan untuk dua keluarga atau bahkan lebih. Dengan ini diperkirakan bahwa masalah yang akan timbul dalam perkawinan akan lebih banyak (Rochayah, 2005). Semuanya berebut untuk memperoleh kebutuhan hidup berkeluarga berupa makanan, pakaian yang jenisnya tertentu, tempat tinggal dan nafkah lainnya. Problem psikologis lain yang mungkin muncul dalam keluarga poligami adalah dalam bentuk konflik internal dalam keluarga, baik diantara sesama istri, antara istri dan anak tiri atau diantara anak-anak yang berlainan ibu.
Pertengkaran yang terjadi pada anak-anak berpengaruh terhadap sibling relationship diantara mereka. Sibling relationship yang dimaksud adalah interaksi total (fisik, verbal dan komunikasi non verbal). Dari dua atau lebih individu yang mempunyai orangtua biologis sama dan melibatkan pengetahuan, persepsi, sikap, belief dan perasaan antara mereka dari waktu ke waktu ketika seorang saudara (sibling) menyadari kehadiran saudaranya yang lain (Brody, 1996). Istilah dan definisi sibling relationship tidak hanya berlaku bagi sibling yang berasal dari satu ayah dan satu ibu, namun bisa juga berlaku bagi anak-anak yang mempunyai satu ayah namun berlainan ibu atau satu ibu namun berlainan ayah. Anak yang mempunyai satu ayah namun berlainan ibu atau sebaliknya secara khusus disebut sebagai half sibling (Johnston, 1998). Definisi di atas menjelaskan bahwa anak-anak yang lahir dari istri pertama dan istri kedua dalam keluarga poligami bisa disebut sebagai half sibling.
Selain istri yang akan menerima kenyataan bahwa suaminya telah berpoligami, anak-anak pun harus menerima bahwa kini kasih sayang ayahnya akan terbagi dengan saudara-saudara lain yang lahir dari ibu yang berbeda. Hal ini dapat menimbulkan rasa cemburu pada anak yang lahir terlebih dahulu dari istri pertama. Brody (1996) mengungkapkan bahwa rasa cemburu dan insecure terhadap half sibling karena merasa posisinya sudah digantikan oleh orang lain membuat hubungan diantara half sibling diwarnai dengan konflik. Oleh karena itu, penelitian ini akan melihat secara lebih dalam bagaimana gambaran sibling relationship (terutama hubungan antara half sibling) pada keluarga poligami; Bagaimana bentuk hubungan dari half sibling pada keluarga poligami. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui metoda wawancara. Subjek wawancara adalah empat orang anak yang berasal dari keluarga poligami dan mempunyai half sibling.
Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori poligami; sibling relationship; half sibling; Faktor-faktor yang saling berhubungan terhadap terbentuknya sibling relationship.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah dimensi hubungan yang terjadi pada keempat subjek diwarnai oleh konflik dan ketegangan. Menurut mereka, konflik muncul karena mereka merasa ayahnya memberikan perlakuan yang berbeda pada anak-anaknya. Pembagian waktu, kasih sayang dan perhatian ayah yang dirasakan tidak adil sering menimbulkan konflik diantara mereka. Sedangkan subjek yang merasa bahwa hubungan dengan half sibling-nya cukup hangat karena memang dia merasa bahwa ayahnya cukup adil dan juga subjek menemukan kenyamanan ketika bersama dengan half sibling-nya. Bentuk hubungan hostile sibling ditemukan pada dua subjek. Perasaan cemburu, marah dan iri selalu ada dalam hubungan yang terjalin antara mereka dengan half siblingnya. Meskipun mereka mempunyai perasaan itu, namun mereka cenderung untuk tidak menampakkannya secara frontal di depan half siblingnya. Bentuk hubungan lain yang juga terjadi pada hubungan di antara half sibling adalah loyal sibling dan congenial sibling. Subjek tetap menempatkan nilai-nilai dan kepentingan keluarganya di atas segalanya meskipun mereka merasa nyaman dan hangat yang ketika berhubungan dengan half siblingnya. Bentuk loyal sibling lebih karma mereka merasa bahwa mereka adalah saudara sehingga merasa perlu saling tolong menolong. Bentuk dan dimensi hubungan half sibling ternyata dapat berbeda pada keluarga poligami. Meskipun keluarga poligami penuh dengan konflik namun dimensi warmth dari sibling relationship juga bisa ditemukan pada keluarga poligami begitupun dengan bentuk yang lainnya.
Gambaran hubungan half sibling untuk penelitian selanjutnya bisa dilihat juga dari sepasang subjek yang berasal dari ayah yang sama. Sehingga gambaran yang diberikan mengenai bentuk dan dimensi dari sibling relationship akan semakin kaya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T16818
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hellen Damayanti
"Sibling relationships merupakan suatu fenomena yang unik dan selalu menarik untuk dibahas karena hubungan ini merupakan ikatan terpanjang yang mungkin dimiliki oleh seseorang dengan orang lain sepanjang hidupnya. Hubungan seseorang dengan saudara kandungnya dimulai sejak mereka lahir dan akan terus berlanjut sampai salah salu dari mereka meninggal.
Pada tahap awal masa kanak-kanak, seseorang melewatkan lebih banyak waktu mereka bersama dengan saudara kandungnya daripada dengan orangtua karena orangtua hares bekerja Karena itu, sibling relationships sangat bervariasi secara luas mulai dari afeksi, permusuhan, dan persaingan. Kedekatan yang terjalin biasanya lebih sering terjadi pada kakak beradik wanita daripada kakak beradik pria (White and Riedmann, 1992 dalam Cicirelli, 1995).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hal-hal apa sajakah yang khan dalam sibling relationships pada pria dan wanita dewasa muda dengan saudara kandung yang semuanya sama jenis kelamin dan faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi terbentulmya kekhasan tersebut.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori mengenai sibling relationships dari Cicirelli (1995), Brody (1996), dan Borden (2003) serta beberapa tokoh lain. Kualitas sibling relationships akan dilihat dari variabel konstelasi keluarga dan hubungan antara orangtua dan anak. Variabei konstelasi keluarga terdiri dari jarak usia, pola interaksi berdasarkan jenis kelamin, dan urutan kelahiran. Hubungan antara orangtua dan anak terdiri dari kualitas hubungan dan pengaturan hubungan.
Sampel yang diambil dalam penelitian ini berjumlah empat orang yang terdiri dari dua orang pria dan dua orang wanita dimana seluruhnya berada pada usia dewasa muda dan memiliki saudara kandung yang semuanya sarna jenis kelamin. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa keempat subyek memiliki hubungan yang dekat dengan salah satu dari saudara kandungnya dan berkonflik dengan saudara kandungnya yang lain. Selain itu, tampak adanya perbedaan pola interaksi antara subyek pria dan wanita dimana topik pembicaraan dari kedua subyek pria dengan saudara kandungnya lebih sering berkisar pada masalah pekerjaan. Mereka lebih memilih untuk mengambil alih tugas dan tanggung jawab dari saudara kandungnya, dan konflik yang terjadi dianlara mereka berupa fisik dan verbal. Sedangkan pada kedua subyek wanita, topik pembicaraan mereka lebih mengarah pada minat dan hobi. Mereka juga lebih berharap dapat meningkatkan kedekatan emosi, dan konfilik yang terjadi di antara mereka terbatas pada konflik verbal. Keempat orang subyek memiliki hubungan yang tidak dekat dengan orangtua masing-masing, begitu pula dalam hubungan dengan saudara kandungnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18093
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfah Nisa`il Jannah
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan hubungan antara sibling relationship dan adaptabilitas karier pada siswa kelas 9 SMP. Pengukuran sibling relationship dilakukan dengan alat ukur Lifespan Sibling Relationship Scale milik Riggio yang dimodifikasi oleh Mirah 2014. Pengukuran adaptabilitas karir menggunakan alat ukur Career Adapt-Abilities Scale milik Savickas Porfeli 2012.
Penelitian ini menggunakan teknik korelasi pearson product momen. Partisipan penelitian ini berjumlah 291 orang yang merupakan siswa kelas 9 SMP Negeri di Depok dan Jakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan positif antara sibling relationship dan adaptabilitas karier pada siswa kelas 9 SMP r=0,294 dan p.

This research was conducted to get the correlation between sibling relationships and career adaptability upon 9th grade junior high school students. The sibling relationships were measured by using Lifespan Sibling Relationship Scale which is constructed by Riggio and then modified by Mirah 2014. Meanwhile, the career adaptability was measured by using Career Adapt Abilities Scale modified by Savickas and Profeli 2012.
This is research using pearson product moment correlation. There were 291 participants of this research who were 9th grade junior high school students in Depok and Jakarta. The research shows that there are positive and significant relations between sibling relationship and career adaptability in 9th grade junior high school students r 0,294 and p.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S68955
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Maury Putri Amanda Delia
"Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah hubungan saudara kandung dapat menjadi prediktor efikasi diri dalam keputusan karier siswa kelas 9 di Jakarta. Pengukuran hubungan saudara kandung dilakukan dengan menggunakan alat ukur The Lifespan Sibling Relationship (LSRS), dan pengukuran efikasi diri dalam keputusan karier diukur menggunakan alat ukur Career Decision Self-Efficacy Short Form (CDSE-SF). Partisipan penelitian ini berjumlah 111 siswa kelas 9 di Jakarta Selatan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan saudara kandung dapat menjadi prediktor efikasi diri dalam keputusan karier siswa kelas 9, dan menunjukkan bahwa semakin baik hubungan saudara kandung yang dipersepsikan siswa, maka semakin baik pula efikasi diri dalam keputusan kariernya. Pada penelitian ini, hubungan saudara kandung memiliki kontribusi sebesar 9% terhadap efikasi diri dalam keputusan karier, sehingga masih ada faktor-faktor lain yang memiliki kontribusi terhadap efikasi diri dalam keputusan karier siswa. Oleh karena itu, pada penelitian selanjutnya, penting untuk dipertimbangkan faktor eksternal lainnya yang memiliki kontribusi terhadap efikasi diri dalam keputusan karier siswa kelas 9 dan memperbanyak jumlah sekolah yang diteliti dengan SMP yang lebih bervariasi.

This study aimed to see whether the sibling relationship could be a predictor of career decision self-efficacy regarding 9th grade students in Jakarta. Sibling relationship was measured using The Lifespan Sibling Relationship (LSRS), and the career decision self-efficacy was measured using the Career Decision Self-Efficacy Short Form (CDSE-SF). This study involved 111 participants from the 9th grade students in South Jakarta. The result found that sibling relationship has a role in career decision self-efficacy on 9th grade students and indicated the higher the sibling relationship perception of 9th grade students, the higher became their career decision self-efficacy. In this study, sibling relationship has only 9% contribution to career decision self-efficacy. Therefore, for further research, it is important to consider other external factors that may contribute to career decision self-efficacy on 9th grade students and it is also suggested to have more participants from more variant schools.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Very Dwi Vasianti
"ABSTRAK
Anak prasekolah rentan mengalami peningkatan reaksi persaingan saudara kandung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kualitas kelekatan ibu-anak dengan tingkat reaksi persaingan saudara kandung. Penelitian ini bersifat cross sectional pada 102 responden dengan menggunakan teknik cluster sampling dan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara kelekatan aman (r= -0.252) dengan tingkat reaksi persaingan saudara kandung, namun terdapat hubungan positif antara kelekatan resistan (r= 0.309) dan menghindar (r= 0.196) dengan tingkat reaksi persaingan saudara kandung. Orang tua perlu meminimalkan tingkat reaksi persaingan saudara kandung dengan mengontrol jenis kualitas kelekatan antara ibu dan anak.

ABSTRACT
Preschool children are at risk of having increased levels of sibling rivalry. This study aimed to know the correlation between mother-child attachment style and the level of sibling rivalry. This study used cross-sectional design with 102 respondents which were collected with cluster sampling technique and questionnaire as data collection tool. The result of Spearman?s Correlation test showed that there were negative correlation between secure attachment (r= -0.252) with the level of sibling rivalry, however there were positive correlation between resistant attachment (r= 0.309) and avoidant attachment (r= 0.196) with the level of sibling rivalry. Parents need to minimize the level of sibling rivalry by controlling the attachment style between mother and children"
2016
S63747
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yayah Hidayah
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dalam pernikahan poligami dengan kekerasan dalam rumah tangga dan stress kaum lbu (khususnya wanita yang dipoligami) pads pemakahan poligami. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus pada tiga wanita yang dipoligami oleh suaminya. Apakah ada dampak bagi seorang istri sebelum dan se udah pemakahan poligami, terutama terhadap kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan fisik, yang menyebabkan rasa sakit, cidera, luka atau carat pads tubuh istrinya atau bahkan menyebabkan kematian. Kekerasan psikologis seperti setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya did, h.ilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya pada suaminya. Kekerasan seksual, setiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual pemaksaan seksual atau sampai menjauhkan diri dad kebutuhan seksual. Kekerasan ekonomi, mencakup kepada membatasi istri untuk bekerja, atau bahkan bekerja untuk dickploitasi atau tindakan menelantarkan anggota keluarga dalam bidang ekonomi. Perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, yang menyebakan seorang istri terisolasi dari lingkungan sosialnya.
Stress adalah salah satu bagian yang menjadi target peneliti apakah dari poligami kemudian adanya kekekrasan dalam rumah tangga apakah berdampak pada stress Ibu-ibu yang dipoligami oleh suaminya Secara fisik perang yang mengalarni stress akan mengalami perubahan seperti terlihat dari gejalanya yaitu sakit kepala, leher, sakit dibagian dada atau sariawan dan banyak sekali gejalanya. Secara emosional juga terlihat oarang yang mengalami stress seperti mudah tersinggung, depresi, gelisah, merasa tidak berdaya atau prustasi dan sebagainya. Adapun secara perilaku dapat dilihat seperti menggigit kuku, gelak tawa yang tinggi, memakai obat-obatan, berj alan mondar-mandir dan banyak lagi.
Dari hasil penelitian terhadap ketiga wanita yang dipoligami oleh suaminya maka terdapat berbagai fakta kekerasan yang diakibatkan oleh pernikahan poligami tersebut. Lebih spesifik ialah kekerasan secara psikologis yang cukup dominan terjadi dalam keluarga tersebut dan menyebabkan stresss yang berkepanjangan.

The objective of this research is to find out the relationship in polygamy marriage with violence in household and depressed mothers (particularly those that are made co-wives) in polygamy marriage. This research applies qualitative method using an approach of case study on three women being made co-wives by their husbands. Are there impacts on wives before and after polygamy marriage, particularly with regard to violence in household?
Physical violence means violence that causes pain, injury, wound, or physical defect on wife's body or even causes death. Psychological violence means any acts or sayings that result in fear, loss of self-confidence, loss of ability to act and feeling of powerless against the husband. Sexual violence means every act covering sexual harassment, sexual coercion, until refrain from sexual need. Economic violence covers restricting the wife from working, or even working to be exploited, or act of abandoning family members in terms of economics. Seizure of freedom haphazardly causing a wife isolated from her social environment.
Depression constitutes one of the parts that become the target of the researcher whether polygamy and household violence bring impacts on the depressed mothers that made co-wives by their husbands. Physically, a depressed person will experience changes as seen from the symptoms, such as headache, neck ache, chest-ache, or naphtha and many other symptoms. Emotionally, a depressed person can also be seen from the symptoms such easily getting insulted, depressed, and restless, feeling of powerless or frustrated, etc. While behaviorally, it can be seen from the symptoms such as biting the nails, high cackles, consuming drugs, walling back and forth, etc.
The result of research to the three women made co-wives by their husbands unveils various violence facts resulting from the said polygamy marriage. The more specific result is the psychological impacts in the families and cause prolonged depression.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20787
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Malika Alia Rahayu
""Poligami" banyak digunakan untuk mengacu pada praktik laki-laki Muslim yang menikahi lebih dari satu istri. (Hirschfelder & Rahmaan, 2003). Pihak istri kedua seringkali mengalami dampak negatif dari pernikahan poligami, seperti pandangan negatif dari masyarakat, konflik dalam keluarga, persaingan dengan istri pertama, dampak sosial, serta kekerasan dalam rumah tangga (Mulia, 2004; Nurohmah, 2003). Dewasa muda adalah periode penyesuaian terhadap pola hidup yang baru, salah satunya adalah pernikahan. Penyesuaian ini akan dirasakan semakin sulit dan menjadi masalah jika bentuk pernikahan yang dijalankan adalah bentuk pernikahan yang ?tidak umum?, seperti poligami. Masalah yang dihadapi istri kedua tersebut merupakan pengalaman hidup yang akan mempengaruhi kondisi psychological well-being mereka. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dan menghimpun informasi dari empat orang wanita dewasa muda yang menjadi istri kedua. Kesimpulan umum dari penelitian ini adalah wanita dewasa muda yang menjadi istri kedua dalam pernikahan poligami memiliki gambaran psychological well-being yang bervariasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being wanita dewasa muda yang menjadi istri kedua adalah faktor demografis, dukungan sosial, mekanisme evaluasi diri, variabel kepribadian, religiusitas, serta beberapa faktor lain, seperti motivasi pernikahan, pemahaman mengenai poligami, serta antisipasi terhadap konsekuensi sebagai istri kedua. Selain itu, penyesuaian yang baik dalam pernikahan juga nampak mempengaruhi kondisi psychological well-being istri kedua dalam pernikahan poligami.

The term "polygamy" refers to a matrimonial system between a man and many women at the same time (Hirschfelder & Rahmaan, 2003). Second wife is often had negative impacts from this marriage, such as negative social reaction from the society, conflict among the family when the women choose to be the second wife, conflict with the first wife, social impacts, and domestic violence (Mulia, 2004; Nurohmah, 2003). Early adult is a period of adjustment to new patterns of life, such as marriage. This adjustment would be more difficult if the young adult has to run the ?unfamiliar? matrimonial system like polygamy. These challenge and problems that have to be faced by the second wife are a particular life experience that could affect her psychological well-being. The researcher used qualitative methods to the four informants. The result of this research showed that these second wives are different in their psychological well-being. These variations are influence by the demographic factors, social support, self-evaluation mechanism, personality factor, religiosity, and any other factors such as motivation to get married, understanding about the essence of polygamous marriage, and also their anticipation toward the consequence of being a second wife. This research also found that good marital adjustment affects psychological well-being condition for second wife in her early adult period."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
306.872 RAH p
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Errant Bodies Press, 2003
701.8 SUR
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Leli Nurohmah
"Penelitian ini mengungkapkan pengalaman perempuan dalam menjalani perkawinan poligami. Hal ini digali melalui pemaknaan mereka pada perkawinan poligami dan strategi bertahan dalam perkawinan poligami. Untuk mengetahui makna perkawinan dalam persepsi perempuan dan strategi yang mereka terapkan, penelitian ini menggunakan konsep perkawinan, perkawinan poligami, dan perkawinan menurut perspektif feminis. Selain itu, digunakan teori kuasa Foucault dan teori strategi bertahan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berperspektif perempuan dan mengumpulkan data melalui wawancara mendalam. Subjek penelitian berjumlah sepuluh orang perempuan Betawi Cinere yang menjalani perkawinan poligami.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan memberi makna yang beragam pada perkawinan mereka, di antaranya perkawinan sebagai wadah untuk menyatukan rasa cinta, Fase hidup yang harus dilalui sebagai perempuan, pengabdian pada orang tua dengan menerima perjodohan, dan melepaskan status janda. Perkawinan poligami sebagian besar dimaknai sebagai taqdir yang harus mereka lalui. Dalam perjalanannya, perkawinan poligami lebih banyak menimbulkan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, karena perlakuan tidak adil dari suami. Bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak-anak terjadi karena tidak dipenuhinya hak dasar manusia meliputi pemenuhan sandang, pangan, papan dan kasih sayang. Selain itu menimbulkan kekerasan baik kekerasan fisik, ekonomi, psikis, dan seksual. lni menunjukkan bahwa pencapaian keluarga sakinah mawaddah dan rahmah dalam keluarga sangat mungkin tidak tercapai dalam perkawinan poligami.
Dalam menjalani kehidupan tersebut ada strategi yang dilakukan oleh para subjek : pertama, strategi resistensi berupa "perlawanan sehari-hari" walaupun tidak bertahan lama karena sering menjadi stimulus tindak kekerasan suami. Kedua, strategi adaptasi melalui kepasrahan perempuan pada kondisi yang mereka hadapi, sikap menerima, dan mengabdikan diri sepenuhnya pada tugasnya sebagai perempuan ; serta berbaik hati dengan keadaan menjadi salah satu upaya yang dilakukan oleh para subjek agar mereka tetap bertahan dalam menjalani perkawinan poligami.

This research exposes women experience in passing through and living on polygamy marriage. It is explored through their understanding on polygamy marriage and endurance strategies in polygamy marriage. To find out the meaning of marriage in women's understanding and their survival strategies, this research uses the concept of wedding, polygamy marriage, and marriage as indicated by feminist perspective. The authority theory of Foucault and theory of endurance strategy are used, too. This research applies a qualitative approach of women perspective and compiles data through in-depth interview. The research subject is the ten Betawi women in Cinere, which live in polygamy marriage.
The research result said that women have various understanding on marriage, e.g. marriage is such space to share love and affection with her spouse, marriage is part of the living stage that must be passed through as women, and dedication for the parents by accepting the future husband from their parents, or just releasing a widowhood status. Most of women interpret polygamy marriage as destiny that should be passed through. In its implementation, polygamy marriages develop more violence against women and children because they receive injustice treatment from their husband: Violence against women and children is occurred since there is no fulfillment for basic human rights such as clothes, food, home and affection.
It also extends in any physical, economical, psychological and sexual violence. This could be said that to establish a "sakinah mawaddah and rahmah" (peaceful and blessing) family in such polygamy marriage.
In passing through such life, the subjects conduct strategies i.e.: first, strategy of everyday form of resistance. However, it sometimes does not work since this become stimulus for any violence of their husbands. Second, adaptation strategies such as surrender and accept with those conditions, and dedicate totally their nature as women; and be warm-hearted and have forgiving heart with the condition become an effort of the subject to live on polygamy marriage.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11896
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Muflichah
"Menurut hukum Islam tujuan perkawinan adalah menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang untuk memperoleh keturunan yang sah dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh syari'at Islam. Demikian juga dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, undang-undang perkawinan kita telah mengatur prinsipprinsip serta asas-asas perkawinan dalam rangka mewujudkan keluarga bahagia. Salah satu asas-asas perkawinan tersebut adalah "asas monogami" yaitu seorang suami hanya boleh mempunyai seorang istri dan sebaliknya. Namun apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat melakukan poligami yaitu perkawinan dengan lebih dari seorang istri. Meskipun dikehendaki pihak-pihak yang bersangkutan, harus ada alasan-alasan serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, dan ditetapkan oleh Pengadilan. Mengenai alasan-alasan untuk dapat berpoligami diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 yaitu :
  1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
  2. Istri mendapat cacat badan yang tidak dapat disembuhkan.
  3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suami yang hendak berpoligami ditentukan dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 yaitu :
  1. Persetujuan dari istri/istri-istri.
  2. Kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak.
  3. Jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak.
Apabila diperhatikan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar oleh seorang suami untuk melakukan poligami seperti yang ditentukan oleh Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 tersebut di atas, nampaknya alasan-alasan termaksud dirumuskan pembentuk undang-undang secara umum.
Berdasarkan hasil analisis terhadap kasus tentang permohonan untuk melakukan poligami di Pengadilan Agama Purwokerto selama kurun waktu 7 tahun, yaitu dari tahun 1989 sampai dengan tahun 1996, 20 kasus yang dijadikan sampel penelitan. Dari 20 kasus permohonan izin poligami tersebut, ada 17 permohonan dikabulkan dan 3 permohonan ditolak oleh Pengadilan Agama Purwokerto. Dari kasus tentang permohonan izin poligami, ternyata alasan yang paling banyak dijadikan dasar untuk melakukan poligami adalah karena istri tidak dapat melahirkan keturunan, yaitu 10 kasus (50%), sedangkan alasan istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri ada 5 kasus (25%), alasan isterinya sakit ada 5 kasus (25%).
Di samping alasan-alasan yang dijadikan dasar untuk melakukan poligami seperti tersebut di atas, ternyata perkawinan poligami juga dipengaruhi faktor-faktor lain seperti faktor pendidikan, faktor sosial ekonomi, faktor lingkungan dan sebagainya.
Berdasarkan hasil analisis di atas dapat dideskripsikan bahwa ada korelasi negatif (hubungan terbalik) antara perkawinan poligami dengan faktor pendidikan, sosial ekonomi, dan lingkungan. Artinya semakin rendah tingkat pendidikan, sosial ekonomi, lingkungan, semakin banyak terjadi perkawinan poligami. Sebaliknya semakin tinggi tingkat pendidikan, sosial ekonomi, lingkungan, justru semakin jarang terjadi perkawinan poligami.
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, masalah poligami belum diatur secara tuntas, karena yang diatur baru menyangkut alasan-alasan, syarat-syarat serta tata cara untuk melakukan poligami. Ini berarti baru mengatur masalah-masalah sebelum terjadinya poligami. Sedangkan masalah-masalah setelah terjadinya poligami belum diatur. Seperti hak dan kewajiban para pihak, hak istri pertama (dengan anak-anaknya) terhadap penghasilan suami, hak untuk mendapat perlindungan hukum apabila suami tidak berlaku adil, dan sebagainya.
Sikap masyarakat terhadap poligami ternyata oukup beragam, terbukti dari 20 orang responden yang dijadikan sampel, 10 orang responden (50%) menyatakan tidak setuju sama sekali dengan perkawinan poligami apapun alasannya karena dalam kenyataannya hanya akan membawa kesengsaraan bagi istri dan anak-anaknya, dan sulit diharapkan suami akan berlaku adil. Enam orang responden (30%) menyatakan setuju adanya poligami dengan syarat bahwa poligami tersebut benar-benar didasarkan kepada alasan-alasan yang rasional dan masuk akal sehat. Selebihnya yaitu empat orang responden (20%) menyatakan setuju adanya poligami dengan alasan poligami justru dapat mengatasi masalah keluarga.
Sikap atau pandangan responden yang tidak setuju dengan poligami mendapat pembenaran secara empiris, karena apapun alasannya, sebagian besar kaum wanita tetap tidak dapat menerima poligami dengan perasaan ikhlas. Kenyataan juga menunjukkan betapa pahitnya keluarga yang berpoligami."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>