Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 32150 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wiwien Heru Wiyono
"Pasien penderita penyakit pant obstruktif kronik ( PPOK ) tampaknya mendapatkan manfaat dari program rehabiltiasi paru. Penelitian ini mengkaji manfaat program rehabilitasi paru pada pasien rawat jalan yang menderita PPOK, dengan menggunakan St George Respiratory Questionnaire (SGRQ) dan six min walking distance test (6MWD), yang mengukur kualiti hidup kesehatan dan toleransi latihan fungsional sebagai hasil pengukuran utama. Penelitian ini merupakan penelitian prospektif, terbuka, acak dengan kelompok kontrol paralel yang diberikan program rehabilitasi pasien rawat jalan pada 56 pasien penderita PPOK (52 orang laki-laki dan 4 orang perempuan). Kelompok aktif(n= 27) diberikan program edukasi dan latihan selama 6 minggu. Kelompok kontrol (n= 29) diperiksa secara rutin sebagai pasien medis rawat jalan. SGRQ dan 6MWD ditakukan pada saat awal penelitian dan setelah 6 minggu. Didapatkan hasil SGRQ dan 6MWD sebelum dan sesudah terapi. Berdasarkan statistik, SGRQ menurun dan skor 6MWD meningkat secara signifikan pada kelompok aktif dibandingkan kelompok kontrol. Disimpulkan bahwa program selama 6 minggu pada pasien rawat jalan ini secara signifikan telah rneningkatkan kualiti hidup dan kapasitas fungsional pasien PPOK derajat ringan hingga sedang. (MedJ Indones 2006; 15:165-72)

Patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD) have been shown to be benefit from pulmonary rehabilitation programs. We assessed an entirely outpatient-based program of pulmonary rehabilitation in patients with COPD, using the Si George's Respiratory Questionnaire (SGRQ) and six minutes walking distance test (6MWD) (which measures health-related quality of life and functional exercise tolerance) as the primary outcome measure. We undertook a randomized, opened, prospective, parallel-group controlled study of outpatient rehabilitation program in 56 patients with COPD (52 men and 4 women). The active group (n~27) took part in a 6-weeks program of education and exercise. The control group (n=29) were reviewed routinely as medical outpatients. The SGRQ and 6MWD were administered at study entry and after 6 weeks. Outcome with SGRQ and 6MWD before and after therapy was performed. Decrease score SGRQ and increase 6MWD in both groups of study, it was analyzed by statistic study and in active group the decrease of SGRQ and the increase of 6MWD was statistically significant. In conclusion 6-weeks outpatient-based program significantly improved qualify of life and functional capacity in mild-to-moderate COPD patient. (Med J Indones 2006; 15:165-72)"
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-3-JulySept2006-165
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Achmad Gozali
"Latar Belakang: Beban penyakit paru obstruktif kronik PPOK terus menunjukkan peningkatan di seluruh dunia. Penyakit komorbid yang biasa muncul pada PPOK salah satunya adalah penyakit kardiovaskular contohnya aritmia. Prevalens aritmia pada PPOK berkisar antara 12-14 . Terdapat kesamaan faktor antara PPOK dan aritmia, antara lain usia tua dan perokok. Aritmia yang disebabkan oleh obat-obatan bronkodilator juga banyak menyita perhatian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalens aritmia pada pasien PPOK stabil.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di Poliklinik Asma- PPOK Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan pada bulan Januari-April 2018 untuk melihat prevalens aritmia pada pasien PPOK stabil. Delapan puluh tiga pasien PPOK stabil di ambil untuk ikut dalam penelitian ini secara consecutive sampling. Pada semua pasien dilakukan anamnesis, pemeriksaan tekanan darah, pemeriksaan tekanan darah, elektrokardiografi EKG dan laboratorium.
Hasil: Sebanyak 83 pasien ikut serta dalam penelitian ini dengan subjek terbanyak laki-laki 95,2 . Usia rerata subjek adalah 66,58. Prevalens aritmia pada pasien PPOK stabil sebesar 24,1 dengan distribusi sinus takikardia sebesar 9,64 , PVCs sebesar 8,43 , PACs sebesar 3,61 dan sinus bradikardia sebesar 2,41 . Ditemukan hubungan bermakna antara kadar klorida dengan kejadian aritmia pada pasien PPOK stabil. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara usia, jenis kelamin, kelompok PPOK, penggunaan obat-obat bronkodilator, kadar pO2 dan pCO2 dengan kejadian aritmia pada pasien PPOK stabil.
Kesimpulan: Prevalens aritmia pada pasien PPOK stabil dalam penelitian ini adalah sebesar 24,1 . Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dengan lebih baik hubungan aritmia dengan faktor-faktor yang mempengaruhi.

Background:Chronic obstructive pulmonary disease COPD represents an increasing burden worldwide. One of the major comorbodities in COPD is cardiovascular events such as arrhythmias. The estimated prevalence of arrhythmias in COPD patients is 12-14 . Chronic obstructive pulmonary disease and arrhtyhmias have common risk factors, such as older age and smoking. Arrhythmias caused by bronchodilators have received considerable attentions. The aim of this study is to reveal the prevalence of arrhythmias in stable COPD patients.
Method: This study is a cross sectional study among stable COPD patients who visit asthma ndash; COPD clinic in Persahabatan Hospital on January to April 2018 to explore the prevalence of arrhythmias in COPD patients. Eighty three COPD patients were participating in the study on a consecutive sampling basis. All patients were interviewed, doing blood pressure, electrocardiography ECG and laboratory examination. Result: A total of 83 patients participated in this study with almost all of the subjects were males 95,2 . The mean age of the subjects was 66,58. The prevalence of arrhythmias in stable COPD patients was 24,1 with sinus tachycardia by 9,64 , PVCs by 8,43 , PACs by 3,61 , and sinus bradycardia by 2,41 . There was a significant association between chloride level and arrhythmias events in stable COPD patients. There was no significant association between sex, age, bronchodilator use, pO2 dan pCO2 levels with arrhythmias events in stable COPD patients. Conclusion: The prevalence of arrhythmias in stable COPD patients in this study is 24,1. Further study is needed to determine the association between arrhythmia and the affecting factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57619
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harris, William
New Delhi: SEARO, 2001
362.196 HAR n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Weinberger, Steven E.
Philadelphia, PA: Elsevier, 2019
616.24 WEI p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Muslim Nazaruddin
"Latar belakang: Kapasitas difusi paru berdasarkan karbon  ke  sirkulasi pulmoner. Nilai DLCO prediksi pada asma cenderung normal atau sedikit monoksida (DLCO) didesain untuk mengukur laju perpindahan gas CO dari alveolus meningkat sedangkan pada PPOK kapasitas difusi cenderung menurun akibat emfisema. Sindrom tumpang-tindih asma-PPOK dinyatakan sebagai entitas yang unik dengan kombinasi karakteristik asma dan PPOK. Tujuan utama penelitian ini adalah mengetahui nilai DLCO pada pasien tumpang tindih asma- PPOK (TAP) di RSUP Persahabatan Jakarta.
Metode: Uji DLCO dengan metode napas tunggal dan beberapa pemeriksaan penunjang lainnya telah dilakukan pada 40 pasien yang terdiagnosis sebagai TAP. Diagnosis TAP pada subjek penelitian ditegakkan menggunakan kriteria pedoman GINA/GOLD 2017. Kriteria akseptabilitas dan reprodusibilitas DLCO napas tunggal dinilai menggunakan kriteria dari ATS/ERS 2017. Hasil uji DLCO disajikan dalam nilai mutlak dan nilai persen prediksi.
Hasil: Rerata nilai DLCO mutlak dan %DLCO prediksi yang didapatkan dalam penelitian ini adalah 17.98 ± 5.37 mL/menit/mmHg dan 84.16 ± 18.29%. Jika menggunakan persamaan penyesuaian DLCO berdasarkan kadar hemoglobin didapatkan nilai %DLCO prediksi sedikit meningkat dibanding sebelumnya. Terdapat 10 subjek (25.0%) yang mengalami penurunan nilai DLCO. Enam diantaranya mengalami penurunan ringan dan empat lainnya mengalami penurunan sedang.
Kesimpulan : Rerata nilai DLCO pada subjek TAP di RSUP Persahabatan Jakarta dapat diinterpretasikan normal, lebih menyerupai asma dibandingkan PPOK. Hasil ini juga mengindikasikan kebanyakan pasien TAP dalam penelitian ini tidak mengalami penurunan luas permukaan alveolar yang mengganggu proses difusi

Background: Diffusing capacity of the lung for carbon monoxide (DLCO) was designed to measure transfer rate of carbon monoxide from alveoli to pulmonary circulation. As we know, DLCO predicted value in asthma proved to be normal or slightly elevated. On contrary it decreased in COPD with emphysematous pattern. Asthma–chronic obstructive pulmonary disease overlap (ACO) declared as a unique entity with combined characteristics between asthma and COPD. The aim of the research is to find out DLCO value of ACO patient in Persahabatan Hospital, Jakarta.
Method: We have conducted single-breath DLCO and other required test to 40 patients diagnosed with ACO using GINA/GOLD 2017 guidelines. The acceptability and reproducibility of single-breath DLCO was done according to ATS/ERS 2017 criteria. The result then presented as absolute value and percent predicted value.
Results: The mean DLCO of our patient is 17.98 ± 5.37 mL/minute/mmHg with percent predicted value is 84.16 ± 18.29%. Using adjusted DLCO equation for hemoglobin, we found that the value is slightly increased, 85.17 ± 18.04%. However, we found 10 patient (25.0%) with DLCO decrease. Six of them have DLCO predicted value <75% (mild-decrease) and four of them have DLCO predicted value <60% (moderate-decrease).
Conclusion: The mean DLCO value of patient with ACO in our hospital can be interpreted as normal, similar with asthma, rather than COPD. It also indicate most of our patient did not have alveolar loss that altering diffusion process.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Okta Hariza
"Rehabilitasi pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang stabil bertujuan untuk mengurangi sesak, meningkatkan toleransi latihan, dan meningkatkan status kesehatan. Pada dekade terakhir banyak dikembangkan teknik terapi mandiri salah satunya adalah menggunakan perangkat positive expiratory pressure (PEP). Penelitan ini bertujuan untuk menilai efektivitas latihan pernapasan menggunakan perangkat PEP pada volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), kapasitas fungsional, dan kualitas hidup pada pasien PPOK. Desain penelitian yang digunakan yaitu studi intervensional prospektif yang membandingkan efek sebelum dan sesudah latihan pernapasan menggunakan PEP selama 8 minggu. Subjek yang menyelesaikan penelitian sebanyak 20 orang. Latihan pernapasan dilakukan dua kali sehari dengan durasi 15 menit pada masing-masing sesi latihan. Tekanan yang digunakan disesuaikan dengan kemampuan pasien yaitu inspirasi berbanding ekspirasi 1:3. Tekanan ditentukan sebelum memulai latihan dan dievaluasi setiap dua minggu. Hasil keluaran yang dinilai adalah nilai VEP1, kapasitas fungsional yang diukur dengan kecepatan berjalan dalam uji jalan 4 meter dan kualitas hidup yang diukur dengan kuesioner St. George s Respiratory Questionnaire (SGRQ). Nilai VEP1 sebelum intervensi adalah 1369,5±569,63 ml dan sesudah sebesar 1390±615,01 ml (p=0.585). Kecepatan berjalan sebelum intervensi 1,43±0.31 m/s dan sesudah 1,56±0,40 m/s (p=0.248). Skor kuesioner SGRQ domain gejala terdapat penurunan dari rerata 44,00±17,88% menjadi 25,31±14,06% (p=0.000), domain aktivitas dari rerata 54,22±28,18% menjadi 40,38±24,25% (p=0.006), domain dampak dari 32,83% (0,00-67,46) menjadi 16,32% (0,00-61,33) (p=0.002), dan skor total dari 39,46% (6,30-75,42) menjadi 25,96% (5,24-61,34) (p=0.001). Peningkatan kecepatan berjalan dan perbaikan skor SGRQ memenuhi nilai minimum clinically important difference (MCID). Latihan pernapasan menggunakan perangkat PEP selama 8 minggu dapat meningkatkan nilai VEP1, kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien PPOK.

Rehabilitation of stable chronic obstructive pulmonary disease (COPD) aims to reduce dyspnoe, increase exercise tolerance, and improve health status. In the last decade, many independent therapy techniques have been developed, one of them is positive expiratory pressure (PEP). The aim of this study was to assess the effectiveness of breathing exercises using a PEP device on Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1), functional capacity, and quality of life in COPD patients. The study design was a prospective interventional studies that compared the effects before and after breathing exercises using PEP for 8 weeks. Twenty subjects completed the study. Breathing exercises were carried out twice a day, 15 minutes duration at each session. The pressure used is adjusted to the patient's ability, reaching inspiration to expiration ratio of 1:3. Pressure was determined before starting the exercise and evaluated every two weeks. The outcome were FEV1, functional capacity measured by walking speed in the 4 meter gait speed assesment and quality of life as measured by the St. George s Respiratory Questionnaire (SGRQ). FEV1 ​​before intervention were 1369,5±569,63 ml and after 1390±615,01 ml (p=0.585). Walking speed before intervention was 1,43±0,31 m/s and after 1,56±0,40 m/s (p=0,248). The symptom domain SGRQ questionnaire score has a decrease from 44,00±17,88% to 25,31±14,06% (p=0,000), the activity domain from 54,22±28,18% to 40,38±24,25% (p=0.006), the impact domain of 32,83% (0,00-67,46) to 16,32% (0,00-61,33) (p=0,002), and the total score of 39,46% (6,30-75,42) to 25,96% (5,24-61,34) (p=0.001). Increase in walking speed and SGRQ score exceed the minimum clinically important difference (MCID). Breathing exercises using a PEP device for 8 weeks can increase FEV1, functional capacity and quality of life of COPD patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57620
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabilah Nurul Islami
"Latar belakang: Indonesia memiliki beban tuberkulosis (TB) paru tinggi. Aspergilosis paru kronik (APK) sering ditemukan pada pasien TB. Diagnosis APK menjadi tantangan di Indonesia karena keterbatasan sumber daya. Diperlukan alat diagnostik yang mudah, murah, dan memberikan hasil cepat dengan akurasi baik untuk membantu menegakkan diagnosis APK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai diagnostik ICT Aspergillus pada pasien TB paru.
Metode: Penelitian ini berdesain potong lintang dan merupakan bagian dari penelitian payung tentang diagnosis APK pada pasien TB paru di Jakarta. Serum pasien TB paru yang memenuhi kriteria inklusi diperiksa menggunakan ICT Aspergillus (LDBio, Diagnostics, Lyon, France) dan IgG Spesifik Aspergillus ELISA (Bordier affinity products, Crissier, Switzerland) sesuai protokol di Laboratorium Mikologi Departemen Parasitologi FKUI pada Februari-November 2021.
Hasil: Dari 105 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi, sebanyak 58,1% adalah laki-laki. Rerata usia pasien 47,1617,1 tahun. Proporsi hasil positif ICT Aspergillus adalah 10,5% dan IgG spesifik Aspergillus ELISA 43,8%. Sensitivitas ICT Aspergillus 23,9%, dengan spesifisitas 100%, nilai duga positif 100%, dan nilai duga negatif 62,8%.
Kesimpulan: Kemampuan diagnostik ICT Aspergillus belum optimal sebagai alat skrining, tetapi dapat dipertimbangkan sebagai alat diagnosis pasien TB paru suspek APK pada daerah dengan sumber daya terbatas.

ackground: Indonesia has high pulmonary tuberculosis (TB) burden. Chronic pulmonary aspergillosis (CPA) is common in pulmonary TB patients. Diagnosing CPA is challenging in Indonesia because of the limited resources available. A new rapid and robust diagnostic tool is needed. This research aims to evaluate the diagnostic value of the ICT Aspergillus in pulmonary TB patients.
Methods: This cross-sectional study is a part of the CPA diagnostic research of pulmonary TB patients. Pulmonary TB patients' serum fulfilling the inclusion criteria were assessed using ICT Aspergillus (LDBio, Diagnostics, Lyon, France) and Aspergillus-specific IgG ELISA (Bordier affinity products, Crissier, Switzerland) in Mycology Laboratory of Parasitology Department FMUI in February-November 2021.
Results: From 105 subjects included, the proportion of men 58,1% with 47,1617,1 years age means. The Aspergillus IgG was positive in 10,5% patients with ICT, and 43,8% with ELISA. The sensitivity of ICT Aspergillus was 23,9%, the specificity was 100%, the positive predictive value was 100%, and the negative predictive value was 62,8%.
Conclusion: ICT Aspergillus has a fair diagnostic capacity in pulmonary TB patients as screening tools for CPA. However, the usage of ICT Aspergillus as point-of-care test in limited-resource settings needs to be considered.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadiya Diena Nasuha
"Latar belakang: Aspergillosis paru kronik (APK) menjadi salah satu penyakit yang sering ditemukan pada pasien dengan kerusakan jaringan paru, misalnya tuberkulosis (TB). Deteksi antibodi Aspergillus merupakan modalitas utama pendukung diagnosis APK. Penelitian ini, bertujuan untuk mengetahui cut-off optimal ELISA manual Bordier dalam deteksi antibodi Aspergillus di Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang. Pemeriksaan sampel menggunakan metode ELISA manual Bordier sebagai uji diagnostik APK. Data yang diperoleh dianalisis untuk menentukan cut-off optimal pemeriksaan.
Hasil: Sebagian besar subjek penelitian merupakan kelompok usia <60 tahun (89,1%) dengan rentang usia 17-72 tahun dan median 34 tahun. Cut-off optimal memberikan sensitivitas 43,48% dan spesifitas 100%. Sedangkan, sensitivitas pada cut-off 0.780, 0.850 dan 0.930 menunjukkan sensitivitas yang lebih baik dibandingkan dengan cut-off 1,595 dan cut-off pabrik (>1,0). Diabetes (15,6%) dan asma (10,9%) diketahui menjadi temuan yang lebih banyak pada pasien APK dibandingkan penyakit komorbid lainnya.
Kesimpulan: ELISA manual Bordier cut-off 1,595 dengan spesifitas 100%, dapat menjadi alat skrining awal diagnosis APK. Hasil positif pada pemeriksaan disertai gejala klinis dan radiologis mengarah APK dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan hasil negatif membutuhkan investigasi lanjut dengan pemeriksaan ELISA otomatis.

Introduction: Chronic pulmonary aspergillosis (APK) is one of the diseases that are often found in patients with lung tissue damage, for example tuberculosis (TB). Aspergillus antibody detection is the main modality supporting the diagnosis of APK. This study aims to determine the optimal cut-off of Bordier's manual ELISA in the detection of Aspergillus antibodies in Indonesia.
Method: This study used a cross-sectional study design. Sampel examination using Bordier's manual ELISA method as a diagnostic APK test. The data obtained are analyzed to determine the optimal cut-off of the examination.
Result: Most of the study subjects were <60 years old age group (89.1%) with an age range of 17-72 years and a median of 34 years. The optimal cut-off provides 43.48% sensitivity and 100% specificity. Meanwhile, the sensitivity at cut-offs of 0.780, 0.850 and 0.930 showed better sensitivity compared to cut-offs of 1.595 and factory cut-offs (>1.0). Diabetes (15.6%) and asthma (10.9%) are known to be more common in APK patients than other comorbid diseases.
Conclusion: ELISA manual Bordier cut-off 1,595 with 100% specificity, can be an early screening tool for APK diagnosis. Positive results on examination accompanied by clinical and radiological symptoms leading to APK can be used to establish a diagnosis, while negative results require further investigation with automated ELISA examination.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bima Suryaatmaja
"Latar Belakang : Hipertensi pulmoner (HP) merupakan faktor independen kematian, kematian kardiovaskular, dan gagal jantung pada pengamatan 4 tahun pasien pascabedah katup mitral. Masalah pasien pascabedah thoraks adalah menurunnya fisiologi dan mekanik paru yang menyebabkan gangguan ventilasi perfusi dan hypoxia induced pulmonary vasoconstriction sehingga perbaikan HP pascabedah menjadi lambat.
Tujuan Penelitian : Menilai efek latihan pernapasan sebagai adjuvan latihan fisik yang terstruktur terhadap penurunan tekanan sistolik arteri pulmoner (TSAP) pada pasien pascabedah katup mitral dengan hipertensi pulmoner.
Metode : Penelitian ini merupakan studi eksperimental acak tersamar ganda dan prospektif. Kelompok perlakuan diberikan latihan pernapasan 50% volume inspirasi maksimal (VIM) sebagai adjuvan latihan fisik atau plasebo pada kelompok kontrol selama rehabilitasi fase 2. Sampel diambil secara konsekutif dari populasi terjangkau pascaoperasi katup mitral yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Didapatkan 43 subyek yang terbagi dalam 2 kelompok yakni 21 orang kelompok perlakuan dan 22 orang kelompok kontrol. TSAP dinilai dengan ekokardiografi sebelum dan sesudah program latihan.
Hasil Penelitian : Didapatkan nilai TSAP sesudah latihan pada kelompok kontrol lebih rendah secara signifikan (35 (29-39) mmHg vs 43 (40-51) mmHg;P<0.001) dan ∆TSAP kelompok perlakuan lebih besar secara signifikan (16 (12-30) mmHg vs 3.5 (2-4) mmHg;P<0.001) bila dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Kesimpulan : Terdapat penurunan TSAP yang lebih besar pada kelompok yang mendapatkan latihan pernapasan 50% VIM dibanding kelompok plasebo.

Background: Pulmonary hypertension is an independent factor for mortality, cardiovascular mortality, and heart failure in four years observation of patients underwent mitral valve operation. In patient with open chest surgery, lung physiology and mechanic function deteriorates. This leads to ventilation perfusion mismatch and hypoxia induced pulmonary vasoconstriction, causing problems in recovery post operatively.
Objectives: To study the effect of respiratory training as an adjuvant to structured physical exercise in the decrease of pulmonary artery systolic pressure in patient with pulmonary hypertension post mitral valve surgery.
Methods: a double blind randomized trial was done, dividing 2 groups of subjects. It company the effect of respiratory training of 50% of maximum inspiratory volume (MIV) as an adjuvant intervention to the current phase 2 rehabilitation program in intervention group vs control group. Sample was taken consecutively in patient underwent mitral valve operation and fulfilled inclusion criteria. 43 subjects were divided in 2 groups. 21 patients were given respiratory training and 22 patients were in the placebo group. Systolic pulmonary artery pressure (sPAP) was measured by echocardiography before and after intervention was performed.
Result: sPAP and ∆sPAP in the intervention group were significantly lower compare to the placebo group; (35 (29-39) mmHg vs 43 (40-51) mmHg; p<0.001) and (16 (12-30) mmHg vs 3.5 (2-4) mmHg; p<0.001).
Conclusion: The decrease of sPAP was found to be significantly higher in the intervention group than placebo.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>