Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 136317 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Fadli H. S.
"Tesis ini berjudul ulama Betawi, studi tentang jaringan ulama Betawi dan kontribusinya terhadap perkembangan Islam abad ke-19 dan 20. Tesis ini meneliti tentang jaringan ulama Betawi yang belajar langsung kepada ulama Timur Tengah, khususnya Makkah dan Madinah serta upaya pembaharuan keagamaan di Betawi abad ke-19 dan 20.
Tesis ini mencoba mengembangkan teori Azyumardi Azra yang mengungkapkan adanya keterkaitan intelektual antara ulama Nusantara dengan ulama Makkah dan upaya pembaharuan yang dilakukan oleh mereka ketika kembali ke tanah air. Perbedaan hanya terletak pada ruang dan waktu.
Tesis ini menggunakan pendekatan sosial-intelektual historis untuk menggali fenomena sejarah dengan metode deskriptif-interpretatif analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumentasi, studi kepustakaan dan observasi langsung di pesantren dan makam ulama Betawi.
Tesis ini menjelaskan hubungan intelektual ulama Betawi yang belajar kepada sejumlah ulama Makkah yang berbeda. Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya bermukim selama 7 tahun dan belajar kepada Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, seorang mufti Makkah. Guru Mugni bermukim di Makkah selama 9 tahun dan berguru kepada Syaikh Sa'id al-Babasor, Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Sa'id al-Yamani, Syaikh Muhammad Ali al-Maliki dan Syaikh Abdul Karim al-Dagestani. Sementara Habib Ali Abdurrahman al-Habsyi berguru kepada Habib Husein bin Muhammad al-Habsyi, Sayyid Bakri Syatha, Syaikh Muhammad Said Babesail dan Syaikh Umar Hamdan. Sedangkan Guru Marzuqi menimba ilmu di Makkah selama 7 tahun, Guru Mansur belajar di Makkah selama 4 tahun dan Guru Khalid menuntut ilmu di Makkah selama 11 tahun. Balk Guru Marzuqi, Guru Mansur maupun Guru Khalid belajar kepada Syaikh Sa'id al-Babasor, Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Sa'id al-Yamani, Syaikh Muhammad Ali al-Maliki dan Syaikh Abdul Karim al-Dagestani dan lain sebagainya.
Selama di Makkah, mereka mendapatkan pembaharuan keislaman dari ulama Makkah yang menekankan keseimbangan antara syari'ah dan tasawuf. Hal ini terjadi karena mereka berguru kepada ulama Makkah yang bermuara kepada Syaikh al-Qusyasi dan Syaikh Abdul Aziz al-Zamzami, ulama Makkah terkemuka abad ke-17 yang mempelopori gerakan harrnonisasi syari'ah dan tasawuf yang kemudian dikenal dengan gerakan "neo-sufisme ". Setelah memperoleh ilmu yang cukup memadai, mereka kembali ke Betawi dan mengajarkan keilmuan yang telah mereka terima di Makkah kemudian melahirkan ulama Betawi lainnya di abad ke-20 yang melaksanakan kontinuitas pembaharuan keilmuan Islam di Betawi.
Ulama Betawi yang tersebut di atas menggunakan sarana penyebaran pembaharuan yang sama yaitu lewat beberapa karyanya dan berdakwah melalui pengajian dan halaqah yang dilakukan di masjid, langgar, majelis taklim dan pesantren kecuali Sayyid Usman yang menggunakan kitab tulisannya dan percetakan dalam menyebarkan pembaharuan. Ulama Betawi beserta muridnya secara umum menekankan pembaruan yang lebih bersifat evolusioner, bagi mereka pembaruan lebih merupakan proses dialektika intelektual yang tidak dapat dipaksakan sehingga bisa dipahami jika persentuhan Islam dengan budaya Betawi tanpa menimbulkan konflik. Hal ini bisa terjadi karena Islam yang hadir di Betawi lebih bermadzhab Syafi'i dan berfaham Ahli Sunnah Wal Jama'ah yang cenderung lebih toleran dan inklusif serta menghargai budaya dan tradisi lokal.
Hampir semua ulama Betawi memiliki jaringan intelektual guru-murid (intellectual genealogy) yang menyebar ke lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam langgar (mushola), masjid, madrasah, pondok pesantren dan majelis taklim serta mursid-khalifah (mystical genealogy). Pengaruh ulama Betawi melalui kedua bentuk jaringan ini tidak bisa diremehkan. Melalui kedua bentuk jaringan inilah ulama Betawi mentransmisikan wacana dan praktik keagamaan yang mereka terima di Makkah dan Madinah kepada masyarakat Betawi. Maka dapat dikatakan bahwa aktivitas intelektual dan akademik merupakan ciri khas yang paling menonjol dalam jaringan ulama Betawi. Koneksi di antara mereka satu sama lain mengambil bentuk hubungan guru dengan murid yang disebut "hubungan vertikal". Hubungan akademis juga mencakup bentuk-bentuk lain seperti guru dengan guru atau murid dengan murid yang disebut dengan "hubungan horizontal".

This thesis entitle Moslem scholar Betawi, study about network of Moslem scholar Betawi and their contribution to Islamic growth in the 19th to 20`h centuries. This thesis check about network of Moslem scholar of Betawi which learn direct to Moslem scholar in the middle east, specially Makkah and Madinah and also the religious renewal effort in Betawi in thel9th to 20th centuries.
This thesis try to develop theory of Azyumardi Azra laying open the existence of intellectual related Moslem scholar of Nusantara with Moslem scholar of Makkah and effort of renewal by them when returning to the ground irrigate. Different result however is seen in the place and time.
This thesis use approach of historical intellectual social to convey phenomenon of history with method of analytical descriptive-interpretative. In collecting the data it uses a documentation study, a library research and direct observation in pesantren and resting place of Moslem scholar Betawi.
This thesis explain intellectual relationship Moslem scholar of Betawi which learn to a number of Moslem scholar of different makkah. Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya live during 7 year and learn to Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, a mufti Makkah. Mugni live in makkah during 9 year and learn to Syaikh Said al-Babasor, Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Said al-Yamani, Syaikh Muhammad Ali al-Maliki and Syaikh Abdul Karim al-Dagestani. Habib Ali Abdurrahman al-Habsyi learn to Habib Husein bin Muhammad al-Habsyi, Sayyid Bakri Syatha, Syaikh Muhammad Said Babesail and Syaikh Umar Hamdan. Marzuqi studied in Makkah during 7 year. Mansur learn in Makkah during 4 year. Khalid studied in Makkah during 11 year. Marzuqi, Mansur and also Khalid learn to Syaikh Said al-Babasor, Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Said al-Yamani, Syaikh Muhammad Ali al-Maliki and Syaikh Abdul Karim al-Dagestani and others.
During in Makkah, they get Islamic renewal from Moslem scholar of Makkah emphasizing balance between syari'ah and. tasawuf This matter is happened because they learn to Moslem scholar of Makkah which have estuary to Syaikh al-Qusyasi and Syaikh Abdul Aziz al-Zamzami, Moslem scholar notable Makkah in the I7th pioneering balancing movement syar'ah and tasawuf which later then recognized with movement "neo-sufisme". After obtaining science which adequate enough, they return to Betawi and teach their science which have accepted in Makkah later then bear Moslem scholar other Betawi in the 20`h executing continuity Islamic renewal in Betawi.
Moslem scholar of Betawi use medium spreading is same renewal that is passing of their masterpiece and miss ionize to teaching and halaqah in mosque, impinge, ceremony of taklim and pesantren except Sayyid Usman using book of and printing office in propagating renewal. Moslem scholar of Betawi with their pupil in general emphasize renewal having the character of evolusioner, for them the renewal more represent process of intellectual dialectic which cannot be forced so that can be comprehended if touch of Islam culturally Betawi without generating conflict. This matter deflect happened because Islam which attended to Betawi more Syafi'I persuasion and Sunnah Wal Jarna'Ah which tend to more lenient and inclusive and also esteem local tradition and culture.
Most of all Moslem scholar of Betawi have intellectual network of intellectual genealogy disseminating to institutes of education of Islam, example mushola, mosque, school, pesantren and ceremony of taklim and also mursidkhalifah (mystical genealogy). Influence of Moslem scholar of Betawi with this network does not deflect underestimated. Form of network of this is Moslem scholar of Betawi of transmission of religious and practice discourse which they accepted in Makkah and Madinah to society Betawi. So can be said that a intellectual activity and academic represent most uppermost individuality in network of Moslem scholar Betawi. Relation of among them one another take form of relation learns with pupil is called "vertical relation". Academic relation also include cover other forms like teacher with teacher or pupil with pupil is called with "horizontal relation".
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T16829
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Azyumardi Azra
Jakarta: Prenada Media, 2004
297.9 AZY j
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Komaruddin Hidayat
Yogyakarta : Jalasutra, 2004
297.6 KOM m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Rochmiatun
"Hingga pertengahan abad XX terdapat perbedaan kategori ulama (ulama birokrat/ulama penghulu dan ulama non-penghulu/ulama bebas) di Palembang. Hal ini bermula dari proses birokratisasi agama, ketika sistem kekuasaan merasa berkewajiban untuk memberikan pelayanan keagamaan atau ketika kekuasaan melihat agama harus dikendalikan. Sementara itu, sejak dekade kedua abad XX banyak terjadi konflik antara ulama-ulama bebas maupun ulama birokrat Palembang yakni antara ulama bebas yang berorientasi Islam tradisionalis dan ulama bebas yang berorientasi Islam modernis. Di sisi lain, bersamaan dengan bangkitnya gerakan Islam modernis di Palembang, pada awal abad XX, berdatangan juga para ulama tradisionais lainnya yang bermukim di Mekkah. Ulama-ulama yang berfaham Islam tradisionalis ini diantaranya mulai melakukan upaya gerakan pembaharuan dalam bidang pendidikan Islam yakni dengan mendirikan lembaga berupa "Madrasah". Upaya pendirian lembaga pendidikan dengan sistem madrasah ini menunjukkan bahwa adanya unsur "pembaharuan" yang kemudian menegaskan perbedaannya dengan sistem pendidikan Islam tradisional.
Kajian ini mengungkap kontinuitas tradisi keilmuan dalam bentuk penulisan karya-karya keagamaan serta pengajaran agama yang dilakukan oleh ulama bebas dan ulama birokrat setelah Kesultanan Palembang dihapus, serta peran ulama bebas dan ulama birokrat di Karesidenan Palembang di tengah wacana adanya gerakan pembaharuan Islam dan gerakan nasionalisme. Dalam perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat Palembang, ulama bebas dapat dikatakan sebagai agent of change yakni tokoh yang mampu membawa perubahan sosial sebab terbukti mempunyai kemampuan yang enabling bagi lingkungannya. Sedangkan ulama birokrat dipandang tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat atau tidak berperan sebagai agent of change, hal ini disebabkan ulama birokrat dibatasi oleh salah satu perannya yakni sebagai pejabat pemerintah kolonial yang harus loyal terhadap aturan-aturan.

Until the mid-twentieth century, the categories of ulama were differentiated into two types: bureaucratic ulama/ulama penghulu (headman ulama) and independent ulama in Palembang. These differences have resulted from the process of bureaucraticization of religion, when the power system feels obliged to provide religious services or when the power considers that religion must be strongly controlled. On the one hand, since the second decade of the twentieth century, the conflicts between independent Muslim ulama with their orientation on traditionalist perspectives and those with modernist perspectives took place. On the other hand, along with the rise of the Modernist movement in Palembang, in the early twentieth century, the other traditionalist scholars who lived in Mecca also took part in these movements. Scholars with traditionalist Islam perspectives partly initiated their efforts of renewal movement in the field of Islamic education by establishing the institution in the form of 'Madrasah'. This effort of establishment of educational institutions with the madrasah system demonstrates the element 'renewal' which then confirms the difference with the traditional Islamic educational system.
This study reveals the continuity of the tradition of knowledge in the form of writing works of religious matters as well as religious instructions conducted by independent scholars and bureaucratic ulama after the Palembang Sultanate had been removed, and the role of independent ulamas and bureaucraticic ulamas at the residency of Palembang in the middle of the discourse of Islamic reform movements and the nationalist movements. In the changes that occur in people of Palembang, the independent scholars can be regarded as the agent of change who is capable of bringing about social changes because it has proved to have the enabling capabilities for the environment. Meanwhile, the bureaucratic clerics are considered not to have the ability to make changes in the society, or they do not act as agent of change due to the fact that bureaucratic ulama are constrained by one of their role as the colonial government officials who should be loyal to the rules.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
D2157
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Syamsu AS
Jakarta: Lemtera Basritama, 1996
297.67 MUH u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Zuhairansyah Arifin
Depok: Rajawali Press, 2023
297.4 ZUH d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mahrus Irsyam, 1944-
Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984
324.2 MAH u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Orang zaman dahulu yang hendak menggemilangkan kebajikan yang bercahaya itu pada tiap umat di dunia. Ia lebih dulu berusaha mengatur negerinya; untuk mengatur negerinya ia lebih dulu membereskan rumahtangganya; untuk membereskan rumah tangganya, ia lebih dulu membina dirinya ; untuk membina dirinya, ia lebih dulu meluruskan hatinya ; ...."
IKI 2:10 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>