Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4066 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hendarto Natadidjaja
"It is estimated that worldwide 300 million individuals are chronically infected by the Hepatitis B Virus (HBV), a cause for a great number of mortality due to chronic liver disease. It is also estimated that at least 30% of chronic hepatitis B patients will suffer from liver cirrhosis. Young patients, who are infected by HBV during infancy or childhood, have a higher incidence rate of cirrhosis compared to those who were infected as adults.1
Additionally, chronic HBV infection has also been acknowledged as the most important causative factor for hepatocellular carcinoma (HCC), especially in areas with an epidemiologically high incidence rate of HBV infection. Beasley et al found that adult males with chronic HBV infection have a relative risk for HCC 200 times that of uninfected individuals.
"
2001
AMIN-XXXIII-3-JuliSept2001-104
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Missy Savira
"ABSTRAK
<

Karsinoma hepatoseluler (KHS) merupakan karsinoma primer tersering pada sel hati. Sebagian besar KHS disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB) dan virus hepatitis C (VHC) yang memiliki patogenesis yang berbeda dalam menyebabkan KHS. Alfa-fetoprotein (AFP) sebagai penanda tumor pada KHS dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya status infeksi. Berbagai penelitian sudah dilakukan untuk mengetahui pengaruh pengaruh jenis virus penyebab KHS dengan kadar AFP namun hasilnya sangat beragam. Berdasarkan hal tersebut dan ditambah dengan belum adanya penelitian serupa yang menggunakan data pasien di Indonesia maka penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kadar AFP pada pasien KHS terkait infeksi VHB terhadap VHC. Penelitian ini dilakukan dengan desain studi potong lintang menggunakan 199 data AFP pasien KHS yang terdiri dari 129 kasus KHS terkait VHB dan 70 kasus KHS terkait VHC. Dari penelitian ini didapatkan sebanyak 97% dan 87.3% pasien KHS terkait VHC dan VHB mengalami peningkatan kadar AFP secara berurutan. Nilai median kadar AFP pada pasien KHS terkait VHB adalah 419 IU/mL sedangkan pada pasien KHS terkait VHC sebesar 400 IU/mL. Perbedaan nilai tersebut memiliki nilai p = 0.97 dalam uji Mann-Whitney U sehingga disimpulan tidak ada perbedaan bermakna pada rerata kadar AFP antara pasien KHS terkait VHB dibanding dengan VHC.


ABSTRACT

Hepatocellular carcinoma (HCC) is the most primary common carcinoma in liver cells. Most HCC are caused by the hepatitis B virus and hepatitis C that have different pathogenesis in causing carcinoma. Alpha-fetoprotein as tumor marker in HCC is influenced by various factors, one of which is infection status. Various studies have been carried out to determine the influence of the types of viruses causing HCC with AFP levels but the results are very diverse. Based on this and coupled with the absence of similar studies using patient data in Indonesia, this study aims to compare AFP levels in HCC patients related to HBV and HCV. Using cross-sectional design, this study included 199 data of AFP in patient with HCC comprises of 129 cases of HCC related to HBV and 70 cases of HCC related to HCV. From this study, it was found that 97% and 87.3% of HCC patients related to HCV and HBV experienced an increase in AFP levels consecutively. The median value of AFP levels in HBV-related HCC patients was 419 IU / mL while in HCV-related HCC patients was 400 IU / mL. The difference in value has a p value = 0.97 in the Mann-Whitney U test thus it is concluded that there is no significant difference in AFP levels between HBV-related HCC patients compared with HCV-related HCC.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairiyah Anwar
"Penyakit Hepatitis B merupakan penyakit infeksi yang disebabkan virus dan telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sebagai daerah yang termasuk kelompok endemis tinggi, saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 11 juta pengidap penyakit hepatitis B di Indonesia. Penularan virus hepatitis B melalui berbagai cara, akan tetapi penularan secara vertikal, dari orang tua pengidap penyakit hepatitis B kepada anaknya cukup besar (45,9%).
Untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit hepatitis B sejak dini, maka WHO telah merekomendasikan program imunisasi hepatitis B untuk semua bayi (Universal childhood immunization against Hepatitis B). Sebagai implementasinya, pemerintah Indonesia memasukkan program imunisasi hepatitis B ke dalam program imunisasi rutin secara nasiona] sejak tahun 1997. Hingga saat ini program imunisasi hepatitis B masih terus berjalan walaupun banyak kendala yang dihadapi, misalnya belum tercapainya target cakupan imunisasi dan indek pemakaian vaksin yang rendah.
Melalui pelaksanaan program imunisasi rutin dengan 7 jenis vaksin, diharapkan dapat menekan prevalensi kasus penyakit-penyakit tersebut. Namun dengan semakin banyaknya jumlah vaksin yang diberikan maka secara iangsung akan berdampak terhadap meningkatnya kebutuhan biaya kesehatan. Dan karena itu perlu diupayakan pelaksanaan program imunisasi yang efektif dan efisien, salah satunya adalah melalui pengendalian biaya khususnya pemilihan vaksin dan alat suntik.
PeIaksanaan imunisasi hepatitis B di Indonesia saat ini masih menggunakan alat suntik yang bersifat dapat digunakan kembali (reuseable) dan alat suntik disposable (sekali pakai). Dan segi keamanan dan nilai ekonomis kedua alat suntik tersebut masih rendah, sehingga keduanya tidak efisien dan mengakibatkan biaya operasional kegiatan imunisasi menjadi lebih mahal.
Studi tentang penggunaan alat suntik yang berbentuk uniject telah dilakukan dalam program imunisasi hepatitis B di D.I. Yogyakarta. Namun belum diketahui berapa besar efektifitas alat suntik tersebut dibandingkan alat suntik disposable.
Penelitian ini merupakan evaluasi ekonomi yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang biaya yang paling efektif dari penggunaan alat suntik disposable dan Uniject. Rancangan penelitian bersifat cross sectional, dengan mengambil kasus di Kabupaten Bantul D.I. Yogyakarta. Penelitian melibatkan 26 Puskesmas yang melakukan kegiatan imunisasi rutin termasuk hepatitis B. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah ditinjau dan sisi pemerintah (provider) dengan menggali biaya yang dikeluarkan oleh puskesmas dalam pelaksanaan imunisasi hepatitis B tahun 1999 dan 2000.
Hasil penelitian menunjukkan, besarnya total biaya dalam pelaksanaan imunisasi hepatitis B dengan alat suntik disposable 17,93% lebih mahal dibandingkan dengan alat suntik uniject. Komponen biaya terbesar dalam pelaksanaan imunisasi hepatitis B dengan alat suntik disposable adalah biaya operasional (rata-rata per puskesmas 97,36%, kemudian biaya investasi 2,56% dan biaya pemeliharaan 0,08%. Sedangkan pada pelaksanaan imunisasi dengan alat suntik uniject rata-rata per puskesmas untuk biaya operasional adalah 99,31%, biaya investasi 0,58%, dan biaya untuk pemeliharaan 0,11%.
Jumlah cakupan imunisasi hepatitis B dengan alat suntik disposable adalah 16.417 suntikan, dengan rata-rata 631 per puskesmas dari indek pemakaian vaksin 66,4%. Sedangkan dengan uniject cakupan mencapai 16.474 suntikan, dengan rata-rata cakupan per puskesmas adalah 644 bayi dan IP vaksin 100%.
Besarnya biaya satuan aktual untuk pelaksanaan imunisasi hepatitis B dengan alat suntik disposable adalah Rp. 31572,-, sedangkan dengan alat suntik uniject sebesar Rp. 27.553,-. Apabila komponen gaji dikeluarkan dari perhitungan total biaya, maka besarnya biaya satuan untuk imunisasi hepatitis B dengan disposable menjadi Rp.17.342; (turun 48,34%), sedangkan dengan uniject menjadi Rp. 13.627,- atau turun 50,54%. Perbedaan besarnya biaya satuan dipengaruhi oleh tingkat efisiensi alat suntik, jenis biaya yang dihitung dan cakupan imunisasi.
Mengacu pada besarnya biaya satuan aktual maka dapat disimpulkan, penggunaan alat suntik uniject jauh lebih cost effective dibandingkan alat suntik disposable. Dengan demikian biaya yang dikeluarkan untuk mencapai sasaran imunisasi hepatitis B dalam jumlah yang sama, akan jauh lebih murah apabila digunakan alat suntik uniject dari pada menggunakan alat suntik disposable.

Cost Effectiveness Analysis of Hepatitis B Vaccination Using Uniject and Disposable Syringe in Bantul District, Year 2000Hepatitis B is an infection disease caused by hepatitis B virus (VHB) which remains as public health problem globally, especially in Indonesia. With more than I1 million carriers, Indonesia is classified into high endemic group of countries. Among different mode of VHB transmission, vertical transmission from carrier to newborns is important in Indonesia (45,9%).
In objective of decreasing the morbidity and mortality of hepatitis B, WHO recommend "Universal Chilhood Immunization againt Hepatitis B" operationally, Indonesia integration hepatitis B vaccination into the routine program since 1997. Problems identified are lower level of coverage and higher wastage rate.
The Indonesia immunization program is now concentrating in providing 7 antigens all children in decrease the prevalens of targeted deseases. The increasing number of discs of vaccine required will result in increase of health budget. Immunization program therefore, will have to be more effective and efficient by selecting the right type of vaccine and syringe.
Currently reusable plastic syringe and disposable syringe are the types of syringe for hepatitis B vaccinetion in Indonesia. In form of safety and economic scale, both types of syringes are considered low quality and inefficient, which result in higher operational cost.
Study on the use of uniject had been carried out in province of yogyakarta, but the effectiveness of unijct compared to disposable syringes in not known.
This study an economic evaluation wich aims at providing information about the most cost effetive injection equipment between disposable syringe and uniject. A cross sectional study was designed for Bantul District, covering 26 Health Centres which implement routine immunization services including hepatitis B vaccination of hepatitis B vaccination. Data used in this study were facility-based data, complimented with primary data on the expenses related to the implementation of hepatitis B vaccination year 1999 and 2000.
The result of the study shows that the total cost hepatitis B vaccination using disposable syrunge was 17.93% higher than the total cost using uniject. The largest cost component for disposable syringe was operational cost (on average 97.36% per Health Center), investment cost 2.56%, maintenance cost 0,08%. where as for uniject, operational cost was 99.31%, investment cost 0.58% and maintenance cost 0.11%.
The hepatitis B coverage using disposable syringe was 16,417 or 637 per Health Center and vaccine utilization index was 66,4%. the hepatitis B coverage using uniject was 16,474 or 644 per Health Center with vaccine utilization index of 100%.
The actual unit cost of hepatitis B vaccination using disposable syringe was Rp. 33,572, compered to Rp. 27,553 for uniject. It the study excluded salary from the cost component, the actual unit cost for disposable would be Rp. 17,342 (reduced by 48.34%) and for uniject weld be Rp. 13,627 (reduced by 50.54%). The difference in cost unit is influenced by the unit price of injection equipment, cost variables and level of vaccination coverage.
Based on the actual unit cost, uniject is more cost effective than disposable syringe. So, the spend of budget for giving immunization hepatitis B in the same target with uniject more cheaper than disposable.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T590
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meta Dewi Tedja
"Ruang lingkup dan Cara penelitian: Virus Hepatitis B (VHB) merupakan penyebab tersering hepatitis kronik, sirosis hepatis dan karsinoma hepatoselular di negara-negara Asia Tenggara.
VHB merupakan virus DNA berukuran 3,2 kb, mempunyai untai ganda dengan susunan genom yang kompak dan sating tumpang tindih. Materi genetik VHB tersimpan daiam 4 Open Reading Frames pada untai negatif. Transmisi VHB terjadi melalui kontak dengan darah, komponen darah atau cairan tubuh lainnya. Diagnosis infeksi VHB didasarkan adanya HBsAg dalam serum. Hilangnya HBsAg dan terbentuknya anti-HBs merupakan petanda eliminasi virus. Namun demikian mutasi yang terjadi pada gen penyandi HBsAg mengakibatkan perubahan antigenisitas HBsAg sehingga virus lolos dart pemeriksaan yang menggunakan antibodi monoklonal terhadap HBsAg. Untuk mengetahui perubahan molekuler pada gen penyandi HBsAg maka dilakukan penelitian program magister ini dengan tujuan umum untuk mengetahui dasar molekuler kegagalan deteksi serologi HBsAg pada serum donor darah di Indonesia. Untuk itu dilakukan isolasi DNA VHB, ligasi ke vektor dan transformasi ke bakteri E.coli, dilanjutkan dengan reaksi sekuensing yang hasilnya dianalisis dengan perangkat bioinformatika.
Hasil dan kesimpulan: Pada serum donor darah dengan HBsAg (-), anti-HBs (-) dan anti-HBc (+) berhasil didapat DNA VHB pada 20 (29,9%) dart 67 sampeI; pada donor darah dengan HBsAg (-), anti-HBs (+) dan anti-HBc (+) didapat DNA VHB pada 5 (7.5%) dart 67 sampel. Sehingga jumlah total DNA VHB (+) didapat pada 25 (8,I%) dari 309 sampel dengan HBsAg (-), Pada sekuensing determinan 'a' gen S DNA VHB didapat 7 (28%) dari 25 sampel menunjukkan mutasi asam amino. Terdapat 3 pola substitusi asam amino: pola pertama substitusi M I 33L sebanyak I (4%) dari 25 sampel, polar kedua T123A sebanyak I (4%) dari 25 sampel, dan pola ketigaTI43M sebanyak 5 (20%) dari 25 sampel. Semua virus; termasuk dalam subtipe adw.
Pada studi bioinformatika, substitusi ini menyebabkan terjadinya penurunan nilai indeks antigenisitas asam amino yang bersangkutan dan asam amino yang berada di sekitarnya. Substitusi asam amino pada gen S mengakibatkan terjadinya perubahan sekuens gen P daerah reverse transcriplase yang tumpang tindih dengan gen S."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T8366
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prasna Pramita
"Chronic hepatitis B is still a major health problem in Indonesia. Unfortunately, to date, treatment of chronic HBV (Hepatitis B virus) infection had not shown satisfactory result. Monotherapy with alpha interferon or lamivudine have been widely used as treatment of chronic HBV. However, treatment response to Alpha interferon in Asian people was not satisfactory (15% - 20%), while monotherapy with lamivudine was not sufficient to eradicate HBV in chronically infected patients and commonly induce drug resistance. The occurrence of chronic hepatitis B resistant to lamivudine had encouraged development of newer agents such as adefovir, entecavir, emtricitabine and nucleoside analog. New therapeutic strategy using combination therapy should be considered if there is no sufficient response to monotherapy"
2005
IJGH-6-1-April2005-9
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Idwar
"Di dunia saat ini diperkirakan terdapat 350 juta pengidap virus hepatitis B, dimana hampir 78% di antaranya tinggal di Asia Tenggara. Menyangkut Indonesia yang mempunyai geograiis sangat luas dengan perilaku dan budaya yang beranekaragam, angka prevalensi hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi antara 2,50 - 36,17% (Sulaiman dkk, 1993). Dengan pervalensi ini Indonesia termasuk dalam kelornpok negara endemisitas sedang sampai dengan tinggi. Makin tinggi prevalensi infeksi hepatitis B pada suatu fempat, maka makin banyak anak-anak dan bayi yang akan terinfeksi oleh virus tersebut. Program imunisasi hepatitis dengan cakupan imunisasi sebesar 90 % dapat berkontribusi menurunkan angka kesakitan dan kernatian sebesar 80 % - 90 % (Soewandiono, 1996). Penurunan yang tajam di Dati II Aceh Besar terutama terlihat pada kontak pertama tahun 1997 yaitu 56 % turun menjadi 26,5 % pada tahun 1998, penurunan tajam untuk cakupan kontak pertama irnunisasi hepatitis B akan menimbulkan masalah kesehatan yang serius bagi masyarakat yang dapat menyebabkan meningkamya angka prevalensi hepatitis B dan pada akhimya akan bertambah penderita kronik yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati. Tujuan dari penelitian ini adalah diketaiiuinya gambaran status imunisasi hepatitis B (kontak pertama) pada bayi 0-11 bulan dan faktor - faktor yang berhubungan dengan status imunisasi hepatitis B pada bayi 0 - 11 bulan di Kabupaten Aceh Besar Propinsi Daerah Istirnewa Aceh pada Tahun 1998/ 1999. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Aceh Besar Propinsi Daerah istimewa Aceh terhadap 210 ibu rumah tangga yang mempunyai bayi berumur 0 - 11 bulan (yang lahir 1 April 1998 sampai dengan 31 Mamet 1999). Rancangan penelitian berbentuk cross-sectional yaitu dengan survei cepat (Rapid Survey) dan bersifat deslciptif analitilc Populasi Penelitian adalah semua ibu rumah tangga yang mempunyai bayi berumur 0 - ll bulan (Lahir 1 April 1998 - 31 Maret 1999) di Kabupaten Aceh Besar Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Rancangan Sampel Kluster dna tahap. Pengolahan dan analisis menggunakan komputer dengan program Epi Info (C Sample) untuk univariat dan bivariat, dan stata untuk multivariat, derajat kepercayaan yang digunakan adalah 95 % dengan batas nilai kemalmaan = 0,05. Sebanyak 124 orang bayi (59,0 %)te1ah mendapatkan imunisasi hepatitis B. Dengan derajat kesamaan sebesar 0,14 berarti cakupan imunisasi hepatitis B di antara desa di Dati II Aceh Besar pukup merata. 106 orang ibu-ibu (50,5%) di Dati II Aceh Besar berumur muda atau kurang dari sama dengan 29 tahun. Tingkat pengetahuan ibu, sebanyak 115 orang (54,8%) berpengetahuan baik, Sebesar 54,3% merniliki sikap yang positif terhadap imunisasi hepatitis B pada bayi 0-11 bulan. Tingkat pendidikan yang pemah dilalui oleh ibu yang terbanyak atau 107 orang (5l,0%) adalah maksimal tamat SD/sederajat. Sebagian besar atau 178 orang (84,8%) ibu tidak bekelja atau sebagai ibu rumah tangga. Untuk jarak antara tempat tinggal ibu dengan tempat pelayanan imunisasi untuk kategori dekat berjumlah 96 omg (45,7%) Sedangkan persentase ierkecu ada pada jmk kategori jauh 53 omg (25,2%) dan sisanya adalah tennasuk jarak sedang. Sebanyak 175 orang ibu (33,3%) tidak memberikan bayaran terhadap jasa pelayanan imunisasi hepatitis B. Sebanyak 103 orang (49,1%) telah mendapatkan informasi tentang hepatitis B sebelum membawa bayinya ke pos pelayanan imunisasi. Umur ibu yang lebih tua lebih banyak yang mengimunisasikan bayinya sebesar 2,164 kali dibandingkan ibu yang lebih muda karena lebih banyak pengalaman dan infozmasi yang telah didapat tentang manfaat imunisasi. Terdapat risiko 40,786 kali lebih besar untuk mengimuniaasikan bayinya pada ibu yang pengetahuannya baik tentang imunisasi dibandingkan ibu yang pengetahuannya kurang karena pengctahuan mempakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku. Ibu yang mempunyai sikap positif terhadap imunisasi meempunyai risiko 1,55 kali untuk rnengimunisasikan bayinya dibandingkan ibu yang mempunyai sikap negatiff Sikap yang positif dapat menjadi faktor predisposing atau pencetus yang menyebabkan ibu membawa bayinya Untuk diimunisasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seorang ibu maka makin besar peluang untuk mengimunisasikan bayinya yaitu 2,215 kali untuk pendidikan tamat SLTA/sederajat ke atas dan 0,961 kali untuk pendidikan tamat SLTP/sederajat. Ibu yang berpendidikan meinpunyai pengertian lebih baik tentang pencegahan penyakit dan kesadaran lebih tinggi terhadap masalah-masalah kesehatan yang sedikit banyak telah diajarkan di sekolah. Ibu yang bekeija mempunyai risiko 2,324 kali untuk mengimunisasikan bayinya dibandingkan dengan ibu yang tidak bekeija disebabkan kurangnya informasi yang diterima ibu rumah tangga dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan jarak ekonomi dekat dibandingkan yang jauh sebesar 1,01 kali, Sedangkan untuk jarak ekonomi sedang dibandingkan dengan jarak ekonomi jauh tidak terlihat adanya hubimgan yang bermakna. Ibu akan mencari pelayanan kesehatan yang terdekat dengan rumahnya karena pertimbangan akivitas lain yang harus diselesaikan yang terpaksa ditunda. Ibu-ibu yang membayar irnunisasi lebih banyak yang mengirnunisasikan bayinya sebesar 86,43 kali dikarenakan bahwa ibu-ibu tersebut telah menyadari pentingnya pelayanan kesehatan preventif dalam hal ini imunisasi bagi bayinya sehingga mau membayar. Terdapat risiko 4,89 kali lebih besar pada ibu yang telah mendapatkan infdfmasi sebelumnya untuk mengirnunisasikan bayinya. Terdapat hubungan yang kuat terhadap status imunisasi hepatitis B yaitu pengetahuan, biaya imunisasi, Informasi yang diterima ibu. Perlunya peningkatan status imunisasi hepatitis B pada bayi 0-11 bulan dengan cara memberlkan informasi yang lebih banyak kepada ibu-ibu di Dati II Aceh Besar khususnya ibu rumah tangga oleh petugas kesehatan setempat melalui pengajian-pengajian sedangkan untuk biaya hendaknya semurah mungkin sehingga tidak menjadi beban bagi ibu.

Currently, there are about 350 million people with hepatitis-B virus, which almost 78% among them live at South East Asia- As in Indonesia, the prevalences are vary among areas from 2,50-36,71% (Sulaiman et.al, 1993). These prevelanoes classify the country as moderate-to-high endemicity area. Further, this condition will consequently increase probability of babies being infected by the disease Hepatitis-B immunization program with a coverage of around 90% will significantly decrease morbidity and mortality rates up to 80-90% according to study by Soewandiono (1996). As reported in 1998, the immunization coverages decreasing from 56,0% in 1997 to just 26-5% in 1998. This trend will consequently increase the hepatitis-B prevalence, and iiirther increase patients with chronic hepatitis-B and cirrhosis hepatic disease. This study will therefore describe the hepatitis-B immunization status, i. e. iirst contact immunization, among babies O-11 month and find factors related to it at Kabupaten Aceh Besar- Respondents are 210 mothers of those babies, which bom between April 1998-March 1999. Design of the study is a cross sectional with a rapid survey approach. Sampling method used two staged cluster sampling. Collected data were analyzed using Epi Info (C Sample method) to achieve univariate and bivariate results. Confidence interval 95%with 5% level of significance were used. This study showed that 124 babies (59.0%) had been immunized. Homogeneity rate was 0.14, which means that the immunization program's coverages are homogenous among villages. Hundred and six mothers (50.5%) are young mother with less than 29 years old. From 210 respondents, 115 (54.8%) have good knowledge level on hepatitis-B immunization, and 54.3% have positive attitude to the immunization. Hundred and seven of them (51,o%) have finished elementary school and 178 of them (84.8%) are household mother and not economically work. Ninety six of them (45.7%) stay relatively close to the health service unit that provides the immunization. Only 53 of them (25.2%) responded 'far 'from the service unit'. There were 175 respondents (83.3%) informed that they did not pay or free for the immunization. Further, 103 of them (49.1%) had been given infomation about the immunization by the health care provider before they brought the babies for immunization. Those respondents with older age brought their babies for immunization 2,154 times greater than younger mothers. Mothers with good knowledge level brought their babies for immunization 76.179 greater than mothers with low level of knowledge. This concludes that knowledge is a very important factor for behavior. Furthemrore, mothers with positive attitude to the immunization will bring 6.205 times compare to not positive attitude mothers. Positive attitude can then be considered as predisposing or even precipitating factor for the mothers behavior. Futher result showed that the higher level of education the greater babies have opportunity to be immunized with Odds ratio of 4.609 between Senior High School level to Elementary School level, and with Odds ratio of 2.54 between Junior High School level compare to the Elementary School level. This study concludes that mothers with higher education will have higher understanding about health. This sandy surprisingly showed that mothers with economically job/activities brought their babies to be immunized 8.466 greater than mothers with no economically job. There is a significant relationship between distance and immunization status. Those mothers with close distance to the service unit brought their babies for immunization 4.740 greater than mothers with distance. Another surprising result is that those mothers who pay for the immunization have greater probabilities for immunization than those who did not pay with Odds ratio of 32.11. This is probably related to higher knowledge of important of the immunization among those who paid compare to those who did not. It is found that mothers with information before taking their babies for immunization had 11.57 times to have their babies immunized compare to those with no information.This study recommends that health care providers should strengthen their health care promotion to the mothers using religious meetings- Furthermore, although there is an indication of willing to pay for the immunization, still an accessible (economically) program is needed, so that it will not hinder mothers to bring their babies to be immunized."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T3175
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Genotipe virus hepatitis B (VHB) mempunyai hubungan yang erat dengan prognosis dan terapinya serta diperlukan untuk studi epidemiologi. Pemeriksaan ini hanya bisa dikerjakan di kota-kota besar saja karena kesulitan pengiriman sampel akibat masalah geografis maupun fasilitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah genotipe VHB dapat ditentukan dari serum kering pada kertas saring dan membandingkan hasil tersebut dengan serum yang diambil langsung dari pasien hepatitis B kronik (HBK) dan hepatoma. Dua puluh tiga sampel dapat diambil dari pasien HBK dan konsentrasi DNA VHB di tentukan dengan Cobas Amplicor HBM (Roche Diagnostics GmBH, Germany) kemudian diteteskan pada kertas saring (3 x 1 cm). Setelah dikeringkan dalam kantong plastik, diletakkan dalam amplop tertutup dan disimpan selama 1 minggu dalam suhu kamar (27 – 33 oC). Ekstraksi DNA dilakukan dari kertas saring tersebut setelah diinkubasi dan penentuan genotipe VHB dilakukan dengan PCR menggunakan primer-primer spesifik. Untuk perbandingan, telah didapatkan 20 sampel pasien HBK-HBe (+) dan 29 sampel pasien hepatoma yang tidak dikeringkan. Genotipe VHB dapat dideteksi pada 18/23 (78,2%) serum kering pada kertas saring sedangkan pada serum yang tidak dikeringkan, dari pasien HBK-HBe(+) 20/20 (100%) sampel terdeteksi dan dari pasien hepatoma 24/29 (82,7%) sampel. Proporsi genotipe yang terdeteksi sesuai dengan proporsi genotipe yang pernah dilaporkan di Indonesia. Kesimpulan penelitian ini adalah genotipe VHB dapat dideteksi dari serum kering pada kertas saring yang disimpan selama 1 minggu. (Med J Indones 2005; 14: 215-9)

HBV genotype has a close association with prognosis and therapy as well as for epidemiology study. However, this examination can be done only in large cities that are not practical to send serum sample due to geographical burden and facilities. The aim of this study is to know whether HBV genotype can be determined from dried and stored serum on filter paper and compare the result with sera drawn directly from chronic hepatitis B (CHB) and hepatoma patients. Twenty-three serum samples were obtained from CHB patients. HBV DNA were quantitatively determined with Cobas Amplicor HBM (Roche Diagnostics GmBH, Germany) and dropped on to 3 x 1 cm filter papers. After allowed to dry in a plastic clip, it were put in a closed envelope then stored for 1 week in room condition (27 – 33 oC). DNA extraction were done from the filter papers after a short incubation period and HBV genotypes were determined with PCR and specific primers. For comparison, 20 CHB-Hbe(+) samples and 29 hepatoma samples were drawn directly and not dried. HBV genotype were detected in 18/23 (78.2%) from dried serum samples on filter paper while in sera that were not stored, from CHB-HBe(+) samples, 20/20 (100%) could be determined while from hepatoma patients, 24/29 (82.7%) samples. The proportion of genotype were in line with other reported HBV genotype examination for Indonesia. It is concluded that detection of HBV genotype can be done from dried serum in filter paper and stored for 1 week. (Med J Indones 2005; 14: 215-9)"
Medical Journal Of Indonesia, 14 (4) October December 2005: 215-219, 2005
MJIN-14-4-OctDec2005-215
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Hepatitis B virus (HBV) infection is one of main didease that infects human kind and consitutes a serious health problem in community. As a consequency of their job ,health personel have gained higher risk to HBV infection...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Nowadays studies have shown that liver fibrosis is a reversible process. Theraupetic target on Hepatic Stellate Cell (HSC) through inhibition of fibrotic signaling transduction is one of the way to treat liver fibrosis (e.g. pentoxifylline)..."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Purnama Astuti
"ABSTRAK
Hepatitis virus B yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat, dapat ditularkan secara parenteral, oral, dan kemungkinan secara seksual. Infeksi virus hepatitis B (VHB) dapat diketahui dengan adanya antigen-antigen virus serta antibodinya yang dapat dideteksi di dalam serum penderita. Hepatitis B surface antigen (HBsAg) yang merupakan salah satu petanda serologi infeksi VHB, dilaporkan terdapat pada air susu ibu, sekret vagina, air liur, dan semen. Tetapi peranannya dalam penyebaran penyakit belum jelas. Dalam penelitian ini telah dilakukan pemeriksaan HBsAg secara kualitatif dan kuantitatif (titer) dengan teknik RPHA terhadap serum dan plasma semen 20 orang pria penderita hepatitis virus B. Plasma semen yang mengandung HBsAg terdapat pada 8 orang (40%) dari 20 orang yang diteliti. Dengan uji korelasi jenjang Spearman, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat korelasi positif antara titer HBsAg serum dengan titer HBsAg plasma semen (db=0.001). Selain itu, juga dapat disimpulkan bahwa titer HBsAg di alam plasma semen rendah ("
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1985
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>