Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172940 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S7322
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Basuki Budiman
"Kualitas manusia sebagai salah satu modal dasar pembangunan lebih mendapat perhatian pada Pelita V dalam rangka mempertinggi derajat kesejahteraan masyarakat. Hal ini ditetspkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Tersirat bahwa agar tercapai tingkat kualitas manusia yang dicita-citakan tersebut, pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan member! prioritas yang tinggi pada upaya peningkatan kesehatan masyarakat dalam keluarga termasuk peningkatan status gizi masyarakat di samp ing upaya-upaya prevent if, kuratif dan rehablitatif.
Kualitas manusia terdiri dari aspek ragawi dan aspek mental; yang termasuk aspek ragawi yaitu kebugaran dan pertumbuhan; sedangkan yang termasuk aspek mental yaitu kecerdasan dan keterampilan. Gangguan gizi yang erat kaitannya dengan pertumbuhan ragawi dan mental adalah kurang energi protein (KEP) dan kurang iodium.
Di Indonesia, KEP dan gangguan akibat kurang iodium (GAKI) merupakan dua dari empat masalah gizi utama. Prevalensi gizikurang pada anak usia di bawah lima tahun (balita) yang diukur atas dasar berat badan pada umur tertentu (kurang dari 70 % median acuan) menurun dari 29.1 persen (1983) menjadi 10.8 persen (1987)1. Laporan lain2 menyebutkan bahwa prevalensi menurun dari 14.4 persen (1978) menjadi 12.8 (1986) dengan penurunan yang besar terjadi didaerah perkotaan yaitu 4.2 persen di bandingkan daerah pedesaan sebesar 0.9 persen.
Besar dan luasnya masalah pertumbuhan ragawi di samping dinyatakan dengan prevalensi gizikurang pada anak balita, dapat pula dinyatakan dengan besarnya prevalensi gizikurang pada anak usia tujuh tahun yang diukur pencapaian tinggi badannya. Hal ini sekaligus dikaitkan dengan keadaan ekonouii suatu wilayah3'4,'.
Di Indonesia, prevalensi gizi kurang anak usia tujuh tahun secara nasional belum ads. Prevalensi gizikurang atas dasar indeks tinggi badan menurut umur (<=90% median acuan Indonesia hasil modifikasi acuan WHO-NCHS) anak baru masuk sekolah (6-8 tahun) di tiga provinsi yaitu Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat pada tahun 1988 berturut-turut adalah 9.8; 14.6 dan 16.4 persen. Oleh karena tinggi badan merupakan produk dari interaksi berbagai faktor dan kesempatan mengoreksi tinggi badan sebelum mencapai tinggi bada usia dewasa terjadi pada masa usia sekolah, maka pertumbuhan ragawi pada usia tersebut perlu mendapat perhatian secara khusus.
Di pinak lain, penderita GAKI di Indonesia pada tahun 1986 di perkirakan 30 juta penduduk mempunyai resiko tinggi mengalami defisiensi iodium dan bermukim di daerah endemis. Tiap tahun dari sejumlah itu terjadi 9200 bayi lahir mati. Di samping itu lebih dari 750 000 orang menderita kretin.Diperkirakan pula 3.5 jut a di antaranya dijumpai mengalami gangguan mental, gangguan motorik termasuk pertumbuhan ragawi, dan gangguan kordinasi. Pembesaran kelenjar gondok (goiter) da lam berbagai tingkat kurang lebih 8 juta orang.
Di satu pihak KEP dan GAKI mempunyai efek terhadap pertumbuhan; di lain pihak pertumbuhan tersebut merupakan hasil interaksi yang sangat komplek berbagai faktor. Berbeda dengan sebaran masalah KEP yang dapat terjadi dengan tidak mengenal kekhususan ketinggian tempat, sebaran masalah GAKI terutama terjadi di daerah pegunungan dan daerah aliran sungai yang deficit unsur iodium serta daerah yang sukar dijangkau dengan kendaraan umum. Daerah-daerah tersebut uraumnya secara sosial-ekonomis jug a kurang maju.
Oleh karena itu, pertumbuhan anak di daerah ysng endemik GAKI, kemungkinan bukan disebabkan oleh defisiensi iodium saja tetapi peranan sosial ekonomi perlu dipertimbangkan. Hubangan antara defisiensi iodium dan tinggi badan anak sekolah dasar kelas satu menjadi objek penelitian ini."
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tati Nuryati
"Kejadian kehamilan tidak diinginkan (KTD) di Indonesia saat ini cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu, terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian kehamilan, diantaranya adalah karakteristik ibu hamil dan riwayat keikutsertaan KB.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang hubungan karakteristik ibu hamil (umur saat hamil, umur menikah pertama, jumlah anak hidup yang dimillki, pendidikan dan pekerjaan) dengan kejadian kehamilan yang tidak diinginkan, serta faktor yang berpengaruh terhadap hubungan tersebut pada ibu yang mempunyai riwayat kehamilan periode 1999/2000 dan kehamilannya bukan karena gagal KB di Desa Penanggapan, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Berebes, Jawa Tengah.
Penelitian ini merupakan suatu penelitian dengan studi analitis pendekatan cross sectional, dengan menggunakan data primer. Sampel yang diambil adalah 97 ibu yang mempunyai riwayat kehamilan periode 1999/2000 dan kehamilannya bukan karena gagal KB di Desa Penanggapan, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Berebes, Jawa Tengah,
Dari hasil penelitian tersebut didapat besaran KTD sekitar 21,6 persen, dimana 33,3 persen dari mereka yang mengalami KTD berusaha mengakhiri kehamilannya, dan sekitar (14,3 persen) berhasil mengakhiri kehamilannya. Berdasarkan basil analitis multivariat ternyata karakteristik ibu hamil yang berhubungan secara bermakna dengan KTD adalah jumlah anak hidup (p= 0,00 OR = 19,82) dan pendidikan ( p=0,41 OR10,53), hubungan ini setelah dikontrol variabel riwayat keikutsertaan KB masih tetap bermakna.
Karena tingginya kasus KTD dan adanya usaha-usaha untuk mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan tersebut, maka diperlukan penanganan KTD dengan melakukan konseling yang mendalam oleh petugas kesehatan setempat, serta pencegahan KTD melalui program KB yang berkualitas.
Daftar Kepustakaan : 34 ( 1983-2001)

Correlation of Pregnant Women Characteristics by Unwanted Pregnancies in Desa Penanggapan, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah 1999/2000This research is aimed at getting figures on correlation of pregnant women characteristics (age when pregnant, age of first married, total children owned by pregnant women, education and occupation background) with the women having pregnancy period 1999/2000 and those pregnancies as not result of failure in Family Planning program at Desa Penanggapan, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
This research using cross sectional approach by primary data. The gotten sample is 97 respondents of pregnant women period 1999/2000 and as not result of failure in Family Planning program Desa Penanggapan, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
By such research may be found quantity of KTD around 21,6%, 33,3% of which had attempted to terminate their pregnancy and around I4,3% of which had terminated it successfully. In fact, from militarization analysis the pregnant women characteristics having correlation with KTD significantly, is total living children (p = 0.00 OR = 19.82) and educational background (p -- 0.01 OR = 10.53). It remain having significance upon being controlled by participation history in Family Planning program variable.
Because KTD cases is so high and any efforts for terminating pregnancy (abortion) of unwanted pregnancy, then, necessary to handle KTD using in deep counseling by local health professionals any to prevent it by qualified Family Planning program.
Literatures : 34 (1983-2001)"
2001
T5178
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Dewanto
"ABSTRAK
Agroekosistem adalah suatu lingkungan binaan dan menjadi bagian dari ekosistem alam yang didominasi oleh manusia dan tanaman pertanian. Keanekaragaman hayati yang rendah dan ekosistemnya yang tidak stabil, menyebabkan terjadi eksplosi hama atau organisme pengganggu tanaman (OPT). Kondisi tersebut menjadi kendala utama bagi lingkungan produksi sayuran di Kabupaten Dati II Banjamegara Jawa Tengah.
Pada sistem konvensional, penggunaan pestisida yang intensif dianggap sebagai cara pengendalian OPT yang efektif, Namun demikian, cara tersebut memiliki dampak negatif seperti: tercernarnya tanah dan air, ancaman bagi kesehatan manusia, dan tidak efisiennya usaha tani. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, di Indonesia telah diterapkan sistem pengendalian hama terpadu (PHT) untuk tanaman padi pada tahun 1989 dan untuk tanaman sayuran pada tahun 1992.
Sistem PHT adalah suatu konsep atau filosofi untuk menanggulangi masalah hama melalui pendekatan ekologi dan ekonomi. Ada tiga konsepsi dasar PHT yaitu: pengamatan agroekosistem, konsepsi ambang ekonomi (AE), dan konsepsi pelestarian lingkungan. Dalam program PHT, petani dilatih memahami konsepsi dasar itu melalui sekolah lapangan pengendalian hama terpadu (SLPHT) yang berlokasi di lahan milik petani, dengan proses belajar berdasarkan pengalaman, agar petani dapat menerapkan teknologi PHT di lahannya sendiri.
Tujuan dari studi ini ialah untuk mengetahui dampak implemetasi sistem PHT dibandingkan dengan sistem Konvensional pada komponen lingkungan yang meliputi: pendapatan usaha tani kentang dan kubis, keanekaragaman spesies serangga di pertanaman kentang/kubis, serta kadar residu pestisida di dalam hasil panen, tanah dan air larian yang berasal dari pertanaman kentang/kubis yang menerapkan sistem PHT dan sistem konvensional.
Metode penelitian yang digunakan adalah Ex Post Facto atau kausal komparatif dengan metode penetapan sampel Purposive Sampling dan Simple Random Sampling. Penelitian dilaksanakan di dataran tinggi Dieng Kabupaten Dati II Banjarnegara mulai bulan November 1998 sampai dengan Januari 1999. Wilayah penelitian meliputi kecamatan Batur, Pejawaran dan Wanayasa. Dipilih dua sampel desa dari tiap kecamatan, yang terdiri atas satu desa yang mewakili sistem PHT dan satu desa mewakili sistem konvensional (non PHT). Sebagai responden ditentukan 20 petani kentang dan 20 petani kubis dari setiap desa. Jumlah responden di enam desa sampel tersebut ialah 240 petani, yang terdiri atas 120 petani PHT dan 120 petani non PHT. Untuk mengamati residu pestisida dan keanekaragaman serangga, ditentukan empat petak pertanaman kentang dan empat petak pertanaman kubis di setiap desa.
Pengaruh implementasi PHT pada nisbah manfaat dan biaya (BIC Ratio) usahatani kentang dan kubis berbeda sangat nyata dibandingkan dengan sistem konvensional. Demikian pula keanekaragaman spesies serangga bukan sasaran pada pertanaman sistem PHT berbeda sangat nyata. Secara umum pengaruh sistem PHT pada kandungan residu pestisida (insektisida) di dalam hasil panen dan tanah berbeda nyata sampai sangat nyata dengan sistem konvensional, sedangkan residu di dalam air larian pada umumnya tidak berbeda nyata.
Berdasarkan batas maksimum residu (BMR) menurut SKB MENKES dan MENTAN No, 8811MENKESISKBIVIII11 996-7 1 11Kpts/ TP.27018196, kadar residu dalam hasil panen di wilayah studi masih rendah, Rata-rata kadar residu yang terdeteksi di dalam umbi kentang ialah 0,0026 ppm dan di dalam krop kubis 0,0024 ppm, sedangkan BMR untuk kartaphidroklorida untuk umbi kentang adalah 0,1000 ppm dan untuk krop kubis adalah 0,2000 ppm. Hasil peneiitian dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Pendapatan usaha tani kentang/kubis pada sistem PHT lebih tinggi daripada sistem konvensional. Nisbah manfaat dan biaya pada kentang sistem PHT ialah 1,04 dan sistem konvensional 0,85, sedangkan pada kubis sistem PHT ialah 1,18 dan sistem konvensional sebesar 0,82; (2) Keanekaragaman spesies serangga bukan sasaran di pertanaman kubis dan kentang yang menerapkan sistem PHT lebih tinggi daripada sistem konvensional, Rata-rata nilai keanekaragaman pertanaman sistem PHT adalah 2,01 dan sistem konvensional 1,10; dan (3) Kadar residu senyawa insektisida di dalam hasil panen (kentang dan kubis), di dalam tanah dan dalam air larian yang berasal dari pertanaman yang menerapkan sistem PHT lebih rendah daripada sistem konvensional, dengan perincian sebagai berikut: (a) residu insektisida pada basil panen pada sistem PHT adalah 0,0042 ppm, sedangkan pada sistem konvensional 0,0113 ppm, (b) Residu insektisida dalam tanah pada pertanaman sistem PHT ialah 0,0496 ppm dan pada sistem konvensional sebesar 0,06'70 ppm, dan (c) residu insektisida pada air larian di pertanaman sistem PHT adalah 0,0027 ppm dan pada sistem konvensional adalah 0,0054 ppm.

ABSTRACT
Impact of Integrated Pest Management on the Environment of Vegetable Crop (A Case Study on the Environment of Potato and Cabbage Planting in the Distric of Banjarnegara, Central Java Province)Agroecosystem is an artificial environment and as a part of the natural ecosystem in where dominated by human and crops. Due to low biological diversity and unstable ecosystem, pest outbreak always occur in a certain agroecosystem. This condition becomes major constraint for the environment of vegetable planting in the distric of Banjarnegara, Central Java Province.
In the conventional system, the use of pesticide intensively is considered as the most effective control measure to overcome pest problem. However, this In the conventional system, the use of pesticide intensively is considered as the most effective control measure to overcome pest problem. However, this system has negative impacts such as soil and water pollution, threat to human health, and inefficient farming system. To overcome this problem, integrated pest management (IPM) has been adopted and implemented in Indonesia since 1989 in rice and in vegetable crops since 1992.
IPM system is a concept or philosophy to overcome pest problem through ecological and economical approach. There are three basic concepts of IPM namely observation of the agroecosystem, establishment of economic treshold and environmental conservation. In IPM program, farmers were trained to understand these basic concepts through Farmer's Field School (FFS) located at farmer's field, using experience learning processes, in order they can implement 1PM technology at their own fields.
This objective of this study was to investigate the impact of the IPM implementation versus the Conventional system on the environment components, includes the income gained by farmers from the potato and cabbage farming, diversity of non-target insect species in potato and cabbage field, and the level of pesticide residues in yield, soil and run off originated from the fields which were subjected to IPM system versus Coventional system.
Wanayasa, located at Dieng plateau area district of Banjarnegara, Central Java-Two sample villages were chosen from each sub-districts. One village represented IPM system while the other one represented conventional system (non IPM). Respondents in each village comprised 20 potato farmers and 20 cabbage farmers; the total number of respondents involved in this study were 240 farmers (120 farmers for IPM system and 120 farmers for non IPM system). To observe the pesticide residues and the diversity of insects, four blocks of potato field and four blocks of cabbage field were chosen in each sample village.
It was found that the impact of 1PM implementation on the net profit of potato and cabbage farming was significantly higher than that of conventional system. It was also found that the diversity of non-target species in the potato and cabbage field for IPM system was significantly higher than that of conventional system. In general, the effect of IPM system on the level of pesticide (insecticide) residues in the potato tubers and cabbage crops and in the soil was significantly lower than that of conventional system while the level of insecticide residues in run off was generally not significantly different in both systems.
Compared with the maximum residue limit (MRL) defined by joint decree of Ministry of Health and Ministry of Agriculture No. 881IMENKES/SKBIVIIII1996-71 liKpts/TP.27018/96, the levels of pesticide residue in the study area was relatively low because the average residue levels detected in potato tubers was 0.0026 ppm and in cabbage crops was 0.0024 ppm. According to this decree, the maximum levels for cartaphydrochioride residue in potato tuber is 0.1000 ppm and in cabbage crop is 0.2000 ppm.
In conclusion, results of this study are: (I) the net profit obtained by the farmer from potato/cabbage fanning with 1PM system was higher versus conventional system. The BIC ratios for potato with 1PM system and conventional system were 1.04 and 0.85 respectively while for cabbage with IPM system and conventional system were 1.18 and 0.82 respectively; (2) the diversity of non target insect species in cabbage and potato fields with IPM system was higher than that of conventional system. The average of diversity of crop field with IPM system was 2.01 while in conventional system was 1.10; and (3) in IPM system, the insecticide residue levels in the potato tubers and cabbage crops, in the soil and m the water run off were lower than that of conventional system; as follows: (a) the insecticide residues in the potato tubers and cabbage crops practicing IPM system was 0.0042 ppm while from conventional system was 0,0113 ppm, (b) the insecticide residues in the soil samples from the crop field with IPM system was 0.496 ppm while in conventional system was 0.0670 ppm, and (c) the insecticide residue in water run off in the field with IPM system was 0.0027 ppm and in conventional system was 0.0054 ppm.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nuruddin Arief Gunawan
"Saat ini penyakit malaria masih terdapat di 100 negara di dunia, setiap tahun malaria menyebabkan kematian antara 1,1 juta - 2,7 juta penduduk dunia, di Indonesia masih merupakan penyakit endemis. Angka Kesakitan Malaria di Jawa Tengah dan di Kabupaten Banjarnegara dalam tiga tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan. Malaria sulit diberantas karena pengaruh lingkungan sangat besar, bersifat lokal spesifik dan tidak mengenal batas wilayah administrasi, sehingga perlu dilakukan analisis spatial untuk menanganinya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah kejadian penyakit malaria berdasarkan perbedaan kondisi iklim, geografi dan demografi. di wilayah endemis Kabupaten Banjamegara.. Penelitian ini adalah penelitian ekologi dan bersifat eksplorasi, sumber data sekunder, dengan analisis multiple regression dan t test, pola persebaran kasus dengan analisis spatial.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan faktor iklim dengan jumlah kasus malaria mempunyai arah hubungan linier negatif,kekuatan hubungan lemah ( R 0,26) dan tidak adanya hubungan yang bermakna (p value >0,05 ), dengan MBR An. aconilus arah hubungan linier positif, kekuatan hubungan sedang ( R.ch 0,280, R.hh 0,316, R.ich 0,272, R.sh 0,368 ) dan adanya hubungan yang bermakna (pv.ch 0,030, pv.hh 0,014, pv.ich 0,036, pv.sh 0,004 ), dengan MBR An. maculatus arah hubungan linier positif, kekuatan hubungan sedang pada hari hujan dan suhu udara (R.hh 0,285 R.sh 0,293 ), variabel lainnya lemah ( R < 0,26 ), adanya hubungan yang bermakna hari hujan dan suhu udara. (pv.hh 0,027, pv.sh 0,023 ) dan hubungan MBR An. aconitus dengan jumlah kasus malaria arah hubungan linier positif, dan MBR An. maculatus arah hubungan linier negatif, kekuatan hubungan lemah (R < 0,26) dan tidak adanya hubungan bermakna (p value > 0,05 ). Hasil uji nudtiple regression diketahui suhu berpengaruh terhadap MBR An.aconitus dan hari hujan terhadap MBR An.maculatus. Hasil uji independent t test pada wilayah ketinggian dan kepadatan penduduk menunjukkan bahwa ada perbedaan jumlah kasus malaria diantara tingkat ketinggian (pv = 0,030) dan tidak ada perbedaan jumlah kasus malaria diantara tingkat kepadatan penduduk (pv = 0,128 ).
Secara spatial pola persebaran kasus malaria wilayah kecamatan menunjukkan bahwa Kecamatan Banjarmangu sebagai pusat kasus malaria terbanyak dan diduga sebagai pusat penularan di 4 wilayah kecamatan lainnya selama 5 tahun, pergerakan distribusi kasus malaria dan Banjarmangu ke arah Tenggara. Pola persebaran kasus malaria di wilayah endemis cenderung meningkat pada wilayah contour 251- 425 mdpl dan 426 - 650 m dpl, Pala persebaran kasus penyakit malaria berada pada wilayah desa yang penduduknya jarang dan pola bergerak dan wilayah yang penduduknya jarang ke wilayah yang penduduknya padat. Pola persebaran kasus berdasarkan landuse terbanyak berada pada wilayah tanah tegalan, kemudian di wilayah dekat sawah dan sumber air seperti mata air, alur mata air, anak sungai, dan sungai. Perlu adanya perhatian dan pertimbangan yang khusus terhadap faktor iklim, topografi, dan tata guna lahan dalam melaksanakan program pemberantasan penyakit menular, sehingga dicapai penanganan program malaria yang komprehensif

Spatial Analysis Malaria Disease in Banjarnegara Regency, Central Java Province, 1996-2000Malaria disease still be in 100 state in the world and caused 1,1 - 2,7 million people die every years. Malaria is endemic disease in Indonesia. Malaria incidence increase in Central Java and Banjarnegara in three years later. Malaria is very difficult to eliminate caused environmental effect, local specific and not according to administration border, so need spatial analysis. The purpose of this research is to know the sum of malaria disease based on the difference of climate, geographical and demographical condition in malaria endemic area. This is ecological research with exploration study, which using secondary data, with multiple regression and t test, and spatial analysis for case distribution pattern.
The result of this study show between climate and malaria case has a negative linier correlation, a weak assosiation (R<0,26) and has not significant relation (p value >0,05), with MBR An. aconitus has a positive liner correlation, a moderate assosiation (Rrainfall 0,28; R.raindays 0,316; Rrain index 0,272; Rtemperature 0,368) and has a significant regression (pv rainfall 0,030; pv raindays 0,014; pv rain index 0,036; pv temperature 0,004); with Man Biting Rate An. maculatus has a positive linier correlation, moderate assosiation (R.raindays 0,285; R temperature 0,293), an other variable have a weak assosiation (R<0,26) and has a significant regression (pv rain days 0,027; pv temperature 0,023). The correlation between sum malaria case with MBR An. aconitus has positive liaier, with Man Biting Rate An. maculatus has negative linier, a weak assosiation (R<0,26) and has a significant regression (pv>0,05). The result of multiple regression test show that temperature influence to MBR An.aconitus and raindays to MBR An.maculatus. The result of independent t test to elevation area has a difference sum of malaria case (pv-A:1,030) and density of population show that there are not difference (pvM:1,128).
In spatial pattern, the distribution of malaria case based on sub district area show that Banjarmangu has a highest sum of malaria case and suppose that area is center of transmitted in other four sub district in five years. The distribution movement malaria case from Banjarmangu to the south-east. Distribution pattern of malaria case in endemic area is ascend in contour 251-650 m, in the low density population and moved to highest density of population. The distribution pattern based on land use is in village near the dry field, near the rice field and near the water source. There is need more attention to climate, topography and land use when do the eliminated infectious diseases program, so can have a comprehensive malaria program.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12976
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ummi Salamah
"Demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dari genus Flavivirus dan famili Flaviviradae yang disebarkan oleh nyamuk Aedes. Pada tahun 2019 IR DBD di wilayah Kecamatan Kramat Jati mengalami peningkatan yang cukup tinggi dari tahun sebelumnya dengan besar IR yaitu 104,37 per 100.000 penduduk. Lalu, pada tahun 2020, wilayah Kecamatan Kramat Jati masuk ke dalam peringkat ke tiga sebagai wilayah dengan kejadian DBD tertinggi di Jakarta Timur dengan jumlah kasus sebanyak 205 kasus dan nilai IR DBD sebesar 64,53 per 100.000 penduduk. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor iklim (suhu, kelembapan dan curah hujan), kepadatan vektor (angka ABJ), kepadatan penduduk dengan incidence rate demam berdarah dengue di Kecamatan Kramat Jati Tahun 2011-2020. Penelitian ini menggunakan desain studi ekologi menurut time trend dengan unit analisis per bulan selama 10 tahun (2011-2020) dengan menggunakan data sekunder. Hasil penelitian pada data seluruh tahun (2011-2020) menunjukkan bahwa suhu, kelembaban, curah hujan, kepadatan penduduk dan Angka Bebas Jentik memiliki hubungan signifikan dengan incidence rate DBD di Kecamatan Kramat Jati. Upaya pencegahan dan pengendalian DBD dengan melakukan kegiatan PSN 3M Plus perlu dilakukan dan ditingkatkan oleh pihak puskesmas dan masyarakat. Selain itu, kerja sama lintas sektor antara Dinas Kesehatan Jakarta Timur dan BMKG selaku penyedia data iklim perlu dilakukan sebagai landasan untuk membuat keputusan terkait program pencegahan dan pengendalian DBD dalam bentuk pemberian update informasi terkait iklim.

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a disease caused by a virus belonging to the genus Flavivirus dan family Flaviviridae that is spread by Aedes mosquitoes. In 2019, the incidence rate of DHF in Kramat Jati district has increased from the previous year with an incidence rate of 104.37 per 100.000 population. Then, In 2020 Kramat Jati district became 3rd position with the highest number of dengue cases among 10 districts in East Jakarta with a total of 205 cases and an incidence rate of 64.53 per 100.000 population. The research aims to determine the association between climate factors (temperature, humidity, and rainfall), vector density (ABJ figures), and population density with a DHF incidence rate in Kramat Jati District in 2011-2020. This research is a time-series ecological study with units analysis per month for 10 years (2011-2020) and used secondary data. The results in all years data (2011-2020) showed that temperature, humidity, rainfall, population density, and ABJ had a significant relationship with the incidence rate of DHF in Kramat Jati district. Prevention and control of DHF by doing PSN 3M Plus is necessary to do and must be improved by the public health center and the society. Besides that, the inter-sectoral collaboration between Dinas Kesehatan Jakarta Timur and BMKG as a provider of climate data should be done as a base for making decisions regarding dengue prevention and control programs by doing an information update about climate."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadiwijaya Lesmana Salim
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S33804
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wiratma
"Di Negara Kita Indonesia yang termasuk negara berkembang, kerajinan merupakan usaha produktif di'sektor non pertanian, baik merupakan mata pencaharian utama maupun sampingan. Lebih dari 4000 sentra kerajinan yang menghasilkan berbagai je nis terdapat di Indonesia. Mulai dari usaha keluarga, sampai ke bentuk koperasi dalam skala sedang dan besar berkembang.. Berbagai produk kerajinan yang paling sederhana hingga indah yang bernilai artistik berkembang, sehingga menyerrap tenaga kerja yang makin hari semakin besar jumlahnya. Na mun sebagaimana yang terjadi di negara-negara yang lebih maju, pembangunan industri yang menghasilkan barang secara mas sal (skala besar) karena dukungan teknologi maju dalam system produksinya, maka produk-produk kerajinan yang mengandalkan keterampilan tangan dan wawasan seni, mulai surut dan digusur. Hal itu tercermin pada beberapa sentra kerajinan yang menunjukkan keadaan yang cukup memprihatinkan. Keadaan seper ti itu tidak dialami oleh Sentra Kerajinan Keramik di Klampok Banjarnegara Jawa Tengah. Sentra ini telah berdiri sejak tahun 1957 dan sampai sekarang masih dapat bertahan bahkan mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Pertanyaan penelitian yang muncul adalah bagaimana para pengusaha/perajin bisa bertahan? Pengkajian ini akan menjawab pertanyaan tersebut dengan mengungkapkan cara-cara pengu saha kecil mempertahankan usahanya, dengan meningkatnya peng usaha besar yang berproduksi secara massal. Fokus pengkajian ini diarahkan pada pokok-pokok masalah tentang pengusaha meng arahkan, mengelola usahanya; pola hubungan kerja para pelaku yang terkait; peremajaan tenaga terampil yang diperlukan sis tem pewarisan keahlian dalam pembuatan produk-produk kerajinan keramik di daerah tersebut, dan tentang distribusi pemasaran nya.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekat an etnografis. Data dan informasi yang diperlukan dikumpulkan melalui observasi dan wawancara secara mendalam dengan infor man yang ditentukan sesuai dengan pengetahuan dan sifat data yang ingin diperoleh. Untuk melengkapi dokumen yang bersifat visual telah digunakan pemotretan untuk obyek dalam proses pembuatan dan produk-produk kerajinan keramik. Kemudian secara rinci, untuk memperoleh garnbaran yang menyeluruh, obyek-obyek visual ( dalam hal ini terutama denah penyaringan bahan baku untuk pembuatan keramik, seperti tanah liat) juga digambar dengan denah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengusaha/perajin ke ramik di Klampok, Banjarnegara masih tetap dapat bertahan sampai saat ini karena adanya berbagai faktor yang mendukung. Faktor pertama, karena Sentra Seni Kerajinan Keramik di Klampok menghasilkan barang-barang yang tidak mungkin diproduksi secara massal, hanya dapat dibuat dengan keterampilan pera jin/manual. Faktor yang ke dua, proses pembuatan Seni Kera jinan Keramik di Klampok dapat membentuk keterampilan, maka sumber daya manusia tingkat terampil yang dibutuhkan terse - dia. Ke tiga, meningkatnya kesejahteraan penduduk pada umumnya, maka meningkat pula kebutuhan yang dikehendaki, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan primer tetapi juga kebutuhan non primer, seperti: souvenir antik, spesifik, dan kekhususan antara lain dari barang-barang keramik. Faktor yang terakhir Sentra Kerajinan Keramik di Klampok menghasilkan produk-produk yang spesifik."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gilang Delia Revorina
"

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang sebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang terinfeksi virus dengue dari penderita kepada orang lain. Penyakit ini endemik lebih dari 100 negara beriklim tropis dan sub tropis di belahan dunia. Sekitar 1,8 miliar (lebih dari 70%) dari populasi yang berisiko terkena demam berdarah di seluruh dunia tinggal di negara-negara Asia Tenggara dan Wilayah Pasifik Barat, salah satunya Indonesia. Pada tahun 2016, DKI Jakarta ditetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit DBD, dengan jumlah penderita sebanyak 22.697 kasus dan Incidence Rate (IR) sebesar 220.8 per 100.000 penduduk. Kota Jakarta Barat menjadi salah satu wilayah dengan tingkat kejadian DBD tertinggi dibandingkan dengan kota lain di DKI Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui analisis spasial kejadian DBD di Kota Jakarta Barat tahun 2015-2019 dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti demografi, iklim, dan angka bebas jentik. Desain studi yang digunakan pada penelitian ini yaitu studi ekologi dengan pendekatan analisis spasial dan analisis korelasi untuk melihat kekuatan hubungan antara kejadian DBD dengan faktor kepadatan penduduk, iklim, dan angka bebas jentik. Secara spasial kejadian DBD cenderung terjadi di wilayah dengan tingkat kepadatan tinggi dan ABJ rendah. Secara statistik, analisis korelasi menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara kepadatan penduduk, kelembanam udara, dan curah hujan dengan kejadian DBD. Sedangkan suhu udara dan angka bebas jentik menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan terhadap kejadian DBD di Kota Jakarta Barat. Dari 56 kelurahan di Jakarta Barat, terdapat 53 kelurahan yang tergolong tingkat kerawanan tinggi, dan 3 kelurahan tergolong kategori kerawanan sedang terjadinya kasus DBD. Tingginya masalah kasus DBD di Jakarta Barat membuat Dinas Kesehatan sebaiknya meningkatkan upaya atau perencanaan serta optimalisasi pemberdayaan masyarakat dalam pemberantasan kasus DBD.

Kata kunci:

Demam Berdarah Dengue (DBD), Kepadatan Penduduk, Iklim, ABJ, Analisis Spasial.


Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) is an infectious disease transmitted by Aedes aegypti and Aedes albopictus mosquitoes who infected with dengue virus. DHF have been affecting more than 100 tropical and sub-tropical countries in the world. Around 1.8 billion (more than 70%) of the population at risk of dengue fever worldwide live in countries of Southeast Asia and the Western Pacific Region, including Indonesia. In 2016, DKI Jakarta was assigned the status of outbreak of DHF, with a total of 22,697 cases and an incidence rate (IR) of 220.8 per 100,000 population. West Jakarta is one of the regions with the highest DHF incidence rate compared to other cities in DKI Jakarta. This study aims to determine the spatial analysis of the incidence of dengue in West Jakarta in 2015-2019 by considering several factors such as demographics, climate, and larval free index. This study uses an ecological study with a spatial analysis approach and correlation analysis to see the strength of the relationship between the incidence of DHF with factors of population density, climate, and larvae free index. Spatially the incidence of DHF tends to occur in areas with high density and low larvae free index. Statistically, correlation analysis shows that there is a significant relationship between population density, air humidity, and rainfall with the incidence of DHF. Meanwhile, there is no significant correlation between the air temperature and larvae free index with the incidence of DHF in West Jakarta. Result shows that from 56 urban villages in West Jakarta, there are 53 urban villages that are categorized as high vulnerability, and 3 urban villages categorized as medium vulnerability. The high problem of dengue cases in West Jakarta makes the authorities should increase efforts or planning and optimize community empowerment in eradicating dengue cases.

Keywords:

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF), Population Density, Climate, Larvae Free Index, Spatial Analysis.

"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>