Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145858 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jenni Dahliana
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian mengenai perdarahan periventrikular intraventrikular (PPV-PIV) pada neonatus kembar di RSCH Jakarta. Disain penelitian yang digunakan bersifat prospektif tanpa intervensi untuk mencari antara faktor risiko ante, intra dan pasca-natal hubungan neonatus kembar dengan PPV-PIV.
Sampel masing-masing terdiri dari 30 neonatus kembar sebagai kelompok terpapar dan 30 neonatus tunggal sebagai kelompok tidak terpapar yang jarak lahir nya terdekat dengan neonatus kembar dan mempunyai mesa gestasi. Nilai Apgar dan cara lahir yang sama. Pada kedua kelompok dilakukan pemeriksaan ultrasonografi kepala pada hari I,III, IV passe lahir.
Hasil uji statistik dan penghitungan risiko relatif menunjukkan bahwa paritas dan umur ibu tidak mempengaruhi terjadinya kelahiran kembar, tidak ada perbedaan yang bermakna mengenai perawatan antenatal yang dilakukan oleh ibu kedua kelompok. Sebaran penyakit antenatal ibu yaitu preeklampsia dan anemia lebih banyak ditemukan pada kelompok kembar dibandingkan kelompok tunggal (bermakna). Kemungkinan timbulnya PPV-PIV pada kelahiran kembar I adalah sebesar 2S,7% yang secara bermakna lebih tinggi dibandingkan dengan kemungkinan PPV-FIV kelahiran bayi tunggal sebesar 6,72. Kemungkinan terjadinya PPV-FIV pada kelahiran kembar II sebesar 20% . Secara statistik (uji Mc Nemar) tidak ditemukan perbedaan Yang bermakna antara kemungkinan timbulnya PPV-FIV pada kelahiran kembar II dan tunggal, demikian pula antara kelompok kembar I dan kembar II.
Berdasarkan perhitungan risiko relatif, neonatus kembar' I dan neonatus kembar II masing-masing mempunyai risiko untuk terjadinya PPV-PIV sebesar 4 kali dan 3,5 kali lipat dibandingkan neonatus tunggal. Preeklampsia dan anemia pada ibu memberikan efek yang sama dalam hal terjadinya PPV-PIV baik pada neonatus kembar maupun pada tunggal. Kelahiran prematur dan asfiksia yang diduga menpunyai pengaruh terhadap terjadinya PPV-PIV memperlihatkan akibat yang sama pada bayi kembar dan bayi tunggal. Faktor risiko lain seperti cara lahir dan berat lahir rendah tidak mempengaruhi risiko terjadinya PPV-PIV pada neonatus kembar I, kembar II maupun neonatus tunggal.
Masa gestasi 37 < 42 minggu; berat lahir > 2500 g memberikan gambaran risiko terjadinya PPV-PIV pada kelahiran kembar I lebih besar dibandingkan dengan kelahiran tunggal. Hal ini berarti terdapat faktor risiko lain yang mempengaruhi terjadinya PPV-PIV seperti trauma kepala mengingat bayi kembar I merupakan pembuka jalan lahir, sehingga perlu diperhatikan faktor keterampilan penolong persalinan. Tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara urutan kelahiran, masa gestasi dan faktor asfiksia dengan saat timbulnya PPV-PIV pada neonatus kembar maupun tunggal."
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Laila Fitriati Ahwanah
"Latar belakang: Perdarahan intraventrikular (PIV) menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas bayi prematur. Sekitar 27% bayi dengan BB <1.500 gram mengalami PIV pada berbagai derajat (1–4). Faktor risiko PIV dapat berasal dari maternal, seperti preeklamsia, tanpa steroid antenatal, dan persalinan per vaginam serta berasal dari neonatal, seperti usia gestasi lebih muda, berat badan lahir lebih rendah, jenis kelamin lelaki, nilai Apgar rendah, asfiksia, pemberian inotropik, trombositopenia, ventilasi mekanik invasif, sepsis, sindrom distres pernapasan, dan duktus arteriosus persisten. Identifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan PIV penting agar penatalaksanaan yang tepat dapat dilakukan dan sebagai evaluasi pencegahan dan tata laksana PIV yang saat ini sudah diterapkan.
Metode: Penelitian kasus kontrol ini melibatkan subjek bayi usia gestasi <35 minggu di RSCM yang diambil retrospektif secara consecutive sampling mulai perawatan Agustus 2022 hingga jumlah sampel terpenuhi. Subjek dibagi menjadi kelompok kasus (dengan PIV) dan kontrol (tanpa PIV) berdasarkan hasil USG kepala selama perawatan. Masing-masing kelompok diidentifikasi faktor risiko yang ada dari rekam medis, baik faktor maternal maupun neonatal. Data kemudian dianalisis menggunakan program SPSS.
Hasil: Total 220 subjek diteliti terdiri atas kelompok kasus 110 subjek dan kontrol 110 subjek. Dari 110 kasus didapatkan PIV derajat 1 (69,1%), derajat 2 (12,7%), derajat 3 (10%), dan derajat 4 (8,2%). Analisis bivariat menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara PIV dengan usia gestasi <28 minggu (OR 5,44; IK 95% 2,23-13,27; p<0,001), berat badan lahir <1.000 gram (OR 6,23; IK 95% 2,87-13,52; p<0,001), berat badan lahir 1.000-1.499 gram (OR 3,04; IK 95% 1,62-5,71; p=0,001), nilai Apgar menit ke-1 (p=0,004), nilai Apgar menit ke-5 (p=0,03), pemberian inotropik (OR 2,47; IK 95% 1,35-4,53; p=0,005), jumlah trombosit <50.000/μL (OR 2,52; IK 95% 1,17-5,42; p=0,018), jumlah trombosit 50.000-99.000/μL (OR 3,42; IK 95% 1,51-7,74; p=0,003), ventilasi mekanik invasif (OR 3,71; IK 95% 2,11-6,53; p<0,001), sepsis (OR 2,84; IK 95% 1,64-4,90; p<0,001), dan DAP (OR 2,01; IK 95% 1,07-3,79; p=0,042). Analisis multivariat menunjukkan hanya berat badan lahir <1.000 gram (OR 3,93; IK 95% 1,71-9,06; p=0,001), berat badan lahir 1.000-1.499 gram (OR 2,57; IK 95% 1,34-4,92; p=0,004), dan penggunaan ventilasi mekanik invasif (OR 2,49; IK 95% 1,34-4,63; p=0,004) yang mempunyai hubungan bermakna dengan PIV.
Kesimpulan: Faktor risiko yang mempunyai hubungan bermakna dengan PIV pada bayi usia gestasi <35 minggu adalah berat badan lahir <1.500 gram dan penggunaan ventilasi mekanik invasif.

Background: Intraventricular hemorrhage (IVH) is a cause of morbidity and mortality in preterm infants. Approximately 27% of infants weighing <1,500 gram have PIV in various degrees (1-4). Risk factors for IVH can be maternal origin, such as preeclamsia, absence of steroid antenatal, and vaginal delivery; and also from neonatal origin, such as younger gestational age, lower birth weight, male gender, lower Apgar score, asphyxia, inotropic administration, thrombocytopenia, invasive mechanical ventilation, sepsis, respiratory distress syndrome and patent ductus arteriosus (PDA). Identification of risk factors associated with IVH is important so that appropriate management can be carried out and as an evaluation of IVH’s prevention and treatment that are currently being implemented.
Method: This case-control study involved subjects with gestational age <35 weeks at Cipto Mangunkusumo Hospital who were taken retrospectively by consecutive sampling starting from admission in August 2022 until the number of samples were fulfilled. Subjects were divided into case (with IVH) and control (without IVH) groups based on the results of head ultrasound during hospitalization. Each group was identified existing risk factors from medical record, both maternal and neonatal factor. The data were then analyzed using the SPSS program.
Result: A total 220 subjects were studied, consisting 110 subjects in case group and 110 subjects in control group. Of the 110 cases, IVH grade 1 (69.1%), grade 2 (12.7%), grade 3 (10%), and grade 4 (8.2%). Bivariate analysis showed that PIV was significantly associated with gestational age <28 weeks (OR 5.44; 95% CI 2.23-13.27; p<0.001), birth weight <1,000 grams (OR 6.23; 95% CI 2.87-13.52; p<0.001), birth weight 1,000-1,499 grams (OR 3.04; 95% CI 1.62-5.71; p=0.001), 1st minute Apgar score (p=0.004), 5th minute Apgar score (p=0.03), inotropic administration (OR 2.47; 95% CI 1.35-4.53; p=0.005), platelet count <50,000/μL (OR 2.52; 95% CI 1.17-5.42; p=0.018), platelet count 50,000-99,000/μL (OR 3.42; 95% CI 1.51-7.74; p=0.003), invasive mechanical ventilation (OR 3.71; 95% CI 2.11-6.53; p<0.001), sepsis (OR 2.84; 95% CI 1.64-4.90; p<0.001), and PDA (OR 2.01; 95% CI 1.07-3.78; p=0.042). Multivariate analysis showed only birth weight <1,000 grams (OR 3.93; 95% CI 1.71-9.06; p=0.001), birth weight 1,000-1,499 grams (OR 2.57; 95% CI 1.34-4.92; p=0.004), and the use of invasive mechanical ventilation (OR 2.49; 95% CI 1.34-4.63; p=0.004) were significantly associated with IVH.
Conclusion: Risk factors that significantly associated with IVH in baby with gestational age <35 weeks are birth weight <1,500 grams and the use of invasive mechanical ventilation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rahardi Mokhtar
"Latar belakang: Pneumotoraks merupakan kondisi terjadinya akumulasi udara di pleura yang dapat menyebabkan kolaps pada paru, dan paling lebih sering terjadi pada periode neonatus dibandingkan dengan periode kehidupan lainnya. Angka insidens pneumotoraks meningkat menjadi 6-7% pada kelahiran bayi berat lahir rendah (BBLR). Saat ini sudah banyak kemajuan dalam perawatan intensif neonatus, tetapi pneumotoraks tetap menjadi komplikasi pernapasan utama yang menyebabkan kematian. Identifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan pneumotoraks pada neonatus penting agar dapat dilakukan tatalaksana yang tepat dan sebagai evaluasi pencegahan dan tata laksana yang saat ini sudah diterapkan.
Metode: Penelitian kasus kontrol ini melibatkan neonatus usia <28 hari yang lahir cukup bulan di RSCM yang diambil retrospektif secara consecutive sampling mulai perawatan 1 Januari 2021 hingga 31 Desember 2022. Subjek dibagi menjadi kelompok kasus (dengan pneumotoraks) dan kontrol (tanpa pneumotoraks) berdasarkan klinis dan radiologis selama perawatan. Faktor risiko yang ada pada masing-masing kelompok diidentifikasi dari rekam medis. Data kemudian dianalisis menggunakan program SPSS.
Hasil: Total 116 subjek yang diteliti terdiri atas 58 subjek pada kelompok kasus dan 58 subjek pada kelompok kontrol. Angka kejadian pneumotoraks pada bayi di RSCM yaitu 2%. Faktor yang terbukti menjadi risiko terhadap insidens pneumotoraks adalah ventilasi mekanik invasif (OR 3,19; IK 1,01-10,11; p=0,048). Faktor yang tidak terbukti berhubungan dengan pneumotoraks adalah ventilasi tekanan positif saat resusitasi, sindrom distres napas, dan sepsis neonatorum. Angka kematian bayi dengan pneumotoraks adalah 72,4%.
Kesimpulan: Faktor risiko yang mempunyai hubungan bermakna dengan pneumotoraks pada bayi usia <28 hari yang lahir cukup bulan adalah penggunaan ventilasi mekanik invasif.

Background: Pneumothorax is a condition where air accumulation in the pleura can lead to lung collapse, and is more common in the neonatal period compared to other periods of life. The incidence of pneumothorax increases to 6-7% in low birth weight (LBW) neonates. There have been many advances in the intensive care of neonates, but pneumothorax remains a major respiratory complication leading to death. Identification of risk factors associated with pneumothorax in neonates is important for appropriate management and to evaluate current prevention and management.
Method: This case-control study involved neonates aged <28 days who were born at full term at RSCM who were taken retrospectively by consecutive sampling from January 1st 2021 to December 31st 2022. Subjects were divided into case groups (with pneumothorax) and controls (without pneumothorax) based on the clinical and radiology during treatment. The risk factors in each group were identified from medical records. The data were then analysed using the SPSS program.
Result: A total of 116 subjects were studied, consisting of 58 subjects in the case group and 58 subjects in the control group. The incidence rate of pneumothorax in neonates at RSCM was 2%. The factor that proved to be a risk factor for the incidence of pneumothorax in neonates was invasive mechanical ventilation (OR 3.19; IK 1.01-10.11; p=0.048). Factors not associated with pneumothorax were positive pressure ventilation during resuscitation, respiratory distress syndrome, and neonatal sepsis. The mortality rate of neonates with pneumothorax was 72.4%.
Conclusion: Risk factor that significantly associated with pneumothorax in neonates aged <28 days who were born at full term is invasive mechanical ventilation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cholifatun Nisa
"Latar belakang: pada keadaan tertentu kuning pada bayi baru lahir bisa tidak hilang selama lebih dari dua minggu, namun karena kurangnya informasi pada orang tua, diagnosis kolestasis pada anak menjadi terlambat. Kolestasis memunculkan komplikasi, diantaranya sirosis hati, splenomegali, trombositopenia, hipertensi porta, dan varises esofagus yang merupakan faktor risiko perdarahan saluran cerna.
Tujuan: untuk mengetahui besar prevalensi dan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian langusng perdarahan saluran cerna pada anak dengan kolestasis.
Metode: penelitian ini menggunakan desain cohort retrospective dengan jumlah sampel 97 pasien anak kolestasis yang berobat ke RSCM dari tahun 2010-2015. Jenis uji Chi-square atau Fisher exact dan regresi logistik.
Hasil: hasil penelitian diperoleh 27,8% pasien anak kolestasis mengalami perdarahan saluran cerna. Proporsi splenomegali (OR 4,8; IK 95% 1,3-17,6; P=0,018), trombositopenia (OR 23,5; IK 95% 2,3-244,1; P=0,008), dan varises esofagus (OR 7,8; IK 95% 1,1-54,6; P=0,039) memiliki hubungan bermakna dengan kejadian perdarahan saluran cerna. Sedangkan, proporsi koagulopati tidak (p>0,05).
Kesimpulan: pasien anak kolestasis dengan splenomegali, trombositopenia, dan varises esofagus memiliki risiko terhadap kejadian langsung perdarahan saluran cerna.

Background: in a particular circumtances, jaundice may not disappear for more than two weeks. Due to lack information on parents, the diagnosis of cholestasis in children may be delayed. Cholestasis lead to complications, including liver cirrhosis, splenomegaly, thrombocytopenia, coagulopathy, portal hypertension, and esophageal varices as risk factor for gastrointestinal bleeding.
Purpose: aim of this study was to determine the prevalence and risk factor for gastrointestinal bleeding in children with cholestasis.
Methods: this study used a retrospective cohort design of 97 children with cholestasis who admitted to RSCM from 2010-2015.
Results: The result were obtained 97 samples and 27.8% had gastrointestinal bleeding. The proportion of splenomegaly (OR 4.8; 95% CI 1.3-17.6; P=0.018), thrombocytopenia (OR 23.5; 95% CI 2.3-244.1; P=0.008), and esophageal varices (OR 7.8; 95% CI 1.1-54.6; P=0.039) had significant correlation with the prevalence of gastrointestinal bleeding. Meanwhile, the proportion of coagulopathy was not (p>0.05).
Conclusion: children with cholestasis who suffered splenomegaly, trombocytopenia, and esophageal varices have a risk for gastrointestinal bleeding."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nindita Putri
"Latar Belakang: Sepsis menjadi masalah karena merupakan salah satu penyebab terbesar kematian bayi prematur. Terdapat beberapa risiko terhadap neonatus yang berhubungan dengan sepsis awitan dini pada neonatal prematur di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo diantaranya adalah Small Gestational Age (SGA), berat badan rendah dibawah 1500 gram, kembar, jenis kelamin, APGAR skor rendah, asfiksia, derajat prematur, intubasi dan gawat janin. Metode: Penelitian ini menggunakan rekam medis sebagai sumber data untuk dianalisis setelah mendapat persetujuan dari komite etik RSCM. Penelitian ini memiliki target untuk mengetahui hubungan bermakna antara risiko neonatus dengan sepsis awitan dini pada neonatus prematur di RSCM dengan penyajian deskriptif dan analisis menggunakan retrospective cohort. Rekam medis berasal dari neonatus yang lahir pada tahun 2020 dan masuk kedalam kriteria inklusi. Penelitian ini menggunakan total 101 sampel dan menggunakan SPSS sebagai software analisis. Hasil: Data deskriptif yang diperoleh mendapatkan hasil dengan neonatus yang lahir pada bulan Desember (23.7%), bertahan hidup (66.3%), hasil kultur positif (10.9%), neonatus dengan kelahiran section cesaria (80.2%), trombosit >100.000/μL (85.1%), nilai CRP <10 mg/dL (80.2%) dan leukosit 4.000 - 34.000/μL (90.1%). Faktor yang berhubungan dalam kejadian sepsis pada prematur adalah intubasi dalam 24 jam setelah bayi lahir menunjukan nilai yang signifikan dengan nilai p sebesar 0.009. Faktor risiko lain yaitu jenis kelamin, SGA, berat badan rendah, asfiksia, APGAR skor rendah, lahir kembar, derajat premature rendah dan gawat janin tidak menunjukan data yang signifikan dalam penelitian ini. Kesimpulan: Ditemukan adanya faktor signifikan yang berhubungan antara sepsis awitan dini pada neonatus prematur dengan tindakan intubasi dalam 24 jam setelah kelahiran.

Background: Sepsis is one of the deadly causes of death in pre-term neonates has become alarming. Several risk factors towards neonates contribute to the Early Onset Sepsis (EOS) in Cipto Mangunkusumo Hospital. Those are Small Gestational Age (SGA), low birth weight (LBW), twin birth, low APGAR score, gender, birth asphyxia, premature degree category, intubation and fetal distress. Method: This research used the medical record after being approved by the ethics committee CMH. The writer aims to identify the relation between the neonates’ risk factors with EOS in pre-term neonates through this retrospective cohort study by serving the descriptive and analytical data. All the medical records are obtained from 2020 period and incorporated in the inclusion criteria. In this research, there are a total of 101 samples used. The analysis engine utilized in this research is the SPSS software. Results: The demographic data shows that the neonates were mostly born in December 2020 for (23.7%), surviving outcomes (66.3%), positive culture results (10.9%), C section delivery (80.2%), thrombocyte >100.000/μL (85.1%), CRP value <10 mg/dL (80.2%) and leukocyte level 4.000 - 34.000/μL (90.1%). The descriptive data show that intubation within 24 hours ought to be significant as it is supported by the p-value of 0.009. Meanwhile, other risk factors of gender, twin birth, low APGAR score, birth asphyxia, fetal stress, premature degree category, LBW and SGA are not showing the significant number in this research. Conclusion: There is a significant correlation between EOS in pre-term neonates and intubation within 24 hours after birth."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Trowce Lista Nalle
"ABSTRAK
Nyeri merupakan keluhan utama penderita kanker yang dapat mempengaruhi kualitas hidupnya. Langkah awal untuk menanggulangi nyeri akibat kanker adalah penilaian nyeri. Penatalaksanaan nyeri yang adekuat akan tercapai bila nyeri dijadikan tujuan utama dalam pengobatan kanker, hal ini dapat terpenuhi bila ada kesesuaian antara derajat nyeri yang dilaporkan pasien dengan analgesik yang diresepkan. Tujuan penelitian yaitu menilai ketepatan pemilihan analgesik dan keadekuatan terapi analgesik pada pasien nyeri kanker. Metode penelitian ini merupakan penelitian observasional prospektif dengan cara melakukan kajian penggunaan analgesik pada pasien dewasa dengan nyeri kanker yang menjalani rawat inap di RSCM periode Maret-Mei 2016, pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling yaitu semua pasien baru dengan nyeri kanker dan sesuai kriteria inklusi dimasukkan dalam penelitian ini sampai jumlah sampel yang diinginkan terpenuhi. Keadekuatan terapi dinilai dengan Pain Management Index PMI . Data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif. Hasil yang didapat dari 96 pasien yang dirawat, pada awal masuk didapatkan nyeri ringan pada pada 55 pasien 57,29 , setelah 24 jam rawat pada 60 pasien 62,5 dan setelah 48 jam rawat; nyeri ringan didapatkan pada 80 83,33 pasien. Nyeri sedang di awal masuk 41 42,7 pasien, setelah 24 jam 36 37,5 pasien dan 48 jam sebanyak 16 16,66 pasien. Dari 96 pasien yang dirawat terdapat 672 penggunaan analgesik. Jenis analgesik yang paling banyak digunakan adalah Parasetamol tablet 51,63 . Persentase cara pemberian analgesik secara oral 77,23 dan intravena 21,87 . Ketepatan penggunaan analgesik berdasarkan derajat nyeri adalah 290 43,1 penggunaan dari 672 penggunaan. Skor PMI nol dan positif didapatkan 95 98,9 pasien dan skor negatif 1 0,01 pasien. Overtreatment didapatkan pada 79 82,2 pasien. Tingkat kepuasan pasien dengan skor kepuasan > 5 pasien yang merasa puas adalah 77,08 . Kesimpulan dalam penelitian ini didapatkan ketepatan pemilihan jenis analgesik masih relatif rendah, meskipun tingkat kepuasan tinggi 77,08 Kata kunci :Analgesik, nyeri kanker, derajat nyeri

ABSTRACT
Abstract Pain is an important problem for cancer patients that can affect their quality of life. The first step to manage cancer pain is assessing the pain. Adequate pain management will be achieved if pain control is the main goal in cancer treatment. This will be fulfilled if there is compatibility between pain level reported by the patient and prescribed analgesic.To evaluate the accuracy of analgesic selection and the adequacy of analgesic therapy in cancer pain patients.This research is a prospective observational study, by reviewing analgesic administration in adult patients with cancer pain that were hospitalized in Cipto Mangunkusumo Hospital in March to May 2016. Subjects were selected by consecutive sampling admissions, i.e. all new admitted patients with cancer pain that meet inclusion criteria were included in the study until required sample was fulfilled. The adequacy of therapy was measured with Pain Management Index PMI . Collected data was analyzed descriptively. Results from 96 selected subjects, mild pain was found in 55 patients 57,29 at the time of admission, 60 patients 62,5 at 24 hours of hospitalization, and 80 patients 83,33 at 48 hours of hospitalization. Moderate pain was found in 41 patients 42,7 at the time of admission, 36 patients 37,5 at 24 hours of hospitalization, and 16 patients 16.67 at 48 hours of hospitalization. From 96 patients, there were 672 analgesic usage. The most frequently used analgesic is paracetamol tablet 51,63 . Percentage of oral route administration is 77,23 , while intravenous is 21,87 . The accuracy of analgesic usage based on pain level is 290 43,1 out of 672 usage. PMI score of positive and zero was found in 98,9 subjects, while negative was found in 0,01 patients. Overtreatment was found in 79 patients 82,2 . Level of patient rsquo s satisfaction for satisfaction score 5 patient is satisfied is 77,08 .Conclusion from this research we found that the accuracy of analgesic selection for cancer pain is relatively low, but level of satisfaction is high 77,08 .Keywords analgesic, cancer pain, pain level"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Raymond Rumantir Wardhana
"Latar belakang: Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma (JNA) merupakan tumor jinak nasofaring yang bersifat hipervaskular, agresif lokal, dan destruktif. Pencitraan sebelum pembedahan untuk menentukan ukuran dan perluasan tumor, serta embolisasi preoperatif dapat mempengaruhi jumlah perdarahan intraoperatif, yang merupakan salah satu faktor morbiditas pada pasien JNA. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh karakteristik tumor antara lain ukuran tumor, staging, dan pembuluh darah yang memperdarahi tumor, serta efek dari embolisasi preoperatif terhadap jumlah perdarahan intraoperatif.
Metode: Penelitian dilakukan pada pasien JNA yang menjalani embolisasi preoperatif dan operasi pengangkatan tumor di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo sejak tahun 2018 hingga Maret 2022. Dilakukan penilaian ukuran tumor dan staging, serta identifikasi feeding artery menggunakan CT/MRI dan juga DSA embolisasi preoperatif, kemudian dilakukan analisis perbandingan dan korelasi terhadap jumlah perdaran intraoperatif.
Hasil: Terdapat 21 pasien JNA yang menjalani embolisasi preoperatif dan pengangkatan tumor. Didapatkan perbedaan jumlah perdarahan intraoperatif yang bermakna antara pasien JNA stadium III dibandingkan dengan stadium I-II (p=0,006). Jumlah perdarahan intraoperatif lebih banyak pada tumor yang berukuran lebih besar, namun didapatkan korelasi yang lemah (R=0,43; p=0,051). Jumlah perdarahan intraoperatif juga berbeda bermakna pada tumor JNA dengan feeding artery dari kedua sisi arteri maksilaris interna dengan tumor JNA yang mendapatkan feeding artery satu sisi arteri maksilaris interna saja (p=0,009), serta keterlibatan feeding artery dari cabang arteri karotis interna (p=0,023). Persentase pembuluh darah yang dilakukan embolisasi preoperatif, juga mengurangi jumlah perdarahan intraoperatif (R=-0,36; p=0,113).
Kesimpulan: Pencitraan preoperatif pada pasien JNA memegang peranan penting dalam menentukan perluasan tumor (staging), ukuran tumor, dan feeding artery yang berpengaruh terhadap jumlah perdarahan intraoperatif pada pasien JNA. Tindakan embolisasi preoperatif juga memiliki peranan penting dalam mengurangi jumlah perdarahan intraoperatif

Background: Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma (JNA) is a benign tumor of the nasopharynx that is hypervascular, locally aggressive, and destructive. Imaging before surgery to determine the size and extent of the tumor, as well as preoperative embolization can affect the amount of intraoperative bleeding, which is one of the morbidity factors in JNA patients. This study aimed to assess the effect of tumor characteristics such as tumor size, staging, and blood vessels supplying the tumor, as well as the effect of preoperative embolization on the amount of intraoperative bleeding.
Methods: The study was conducted on JNA patients who underwent preoperative embolization and surgical removal of tumors at the Cipto Mangunkusumo National General Hospital from 2018 to March 2022. Tumor size and staging were assessed, as well as identification of feeding arteries using CT/MRI and DSA preoperative embolization, then we performed a comparative and correlation analysis of the amount of intraoperative bleeding.
Results: There were 21 JNA patients who underwent preoperative embolization and tumor removal. There was a significant difference in the amount of intraoperative bleeding between patients with stage III JNA compared to stage I-II (p = 0.006). The amount of intraoperative bleeding was higher in larger tumors, but a weak correlation was found (R=0.43; p=0.051). The amount of intraoperative bleeding was also significantly different in JNA tumors with feeding arteries from both sides of the internal maxillary artery compared to JNA tumors with feeding arteries on one side of the internal maxillary artery only (p=0.009), and the involvement of feeding arteries from the internal carotid artery branch (p=0.023). The percentage of vessels that underwent preoperative embolization also reduced the amount of intraoperative bleeding (R=-0.36; p=0.113).
Conclusion: Preoperative imaging in JNA patients plays an important role in determining tumor expansion (staging), tumor size, and feeding arteries that affect the amount of intraoperative bleeding in JNA patients. Preoperative embolization also have an important role in reducing the amount of intraoperative bleeding.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gregorius Tanamas
"Latar Belakang : WHO melaporkan angka persalinan preterm mencapai 15 juta persalinan dan menyumbang kematian neonataus hingga 1 juta kasus. Berbagai faktor yang berhubungan dengan kematian neonatus terkait ketuban pecah dini sudah banyak diteliti, namun hubungannya terhadap kematian neonatus belum konsisten di berbagai literature. Peneliti ingin meneliti hubungan faktor-faktor tersebut di RSCM.
Metode : Penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan rekam medis ibu dan neonatus yang mengalami kasus ketuban pecah dini preterm (<37 minggu) dari tahun 2013-2017 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Luaran neonatus yang dinilai adalah nilai APGAR menit ke-1 dan ke-5, Respiratory Distress Syndrome, sepsis neonatorum, dan kematian neonatus. Data dianalisis secara univariat dan multivariat.
Hasil : Terdapat 1336 kasus ketuban pecah dini preterm dalam periode 5 tahun, namun hanya 891 kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Faktor utama yang terkait morbiditas dan mortalitas neonatus dengan kasus ketuban pecah dini adalah usia kehamilan, dimana usia <28 minggu memiliki RR 18.8, IK 95%12.9-27.3; p=<0.01 dan berat badan lahir <1000 gr memiliki RR 34.1, IK 95%11.1-104.5; p=<0.01. Sepsis secara klinis meningkat risiko kematian neonatus RR 8.1, IK 95%5.2-12.8; p=<0.01.
Kesimpulan : Usia kehamilan yang semakin muda dan berat badan lahir yang semakin rendah meningkatkan risiko morbiditas dan kematian neonatus

Background :  WHO reported the rate of preterm labor are 15 million cases and contributed to 1 million neonatal death. Factors contributed to neonatal death in preterm premature rupture of membrane has been reported in many literatures, however the results are inconsistent. The Authors want to analyze factors contributing to neonatal death in RSCM
Method : This is a retrospective cohort using medical records of both mother and neonatal of preterm premature rupture of membrane from 2013-2017 in RSCM. Neonatal outcome analyzed in this study are minute-1 and minute-5 APGAR, respiratory distress syndrome, neonatal sepsis, and neonatal death. Data was analyzed with univariate and multivariate analysis.
Result : There was 1336 cases of preterm premature rupture of membrane during 5 years period. However, only 891 cases analyzed in this study. Main factors contributed to morbidity and mortality in preterm premature rupture of membrane are gestational age and birth weight, which gestational age <28 weeks has RR 18.8, IK 95%12.9-27.3; p=<0.01 and birth body weight <1000 gr has RR 34.1, IK 95%11.1-104.5; p=<0.01. Clinically sepsis increases neonatal mortality RR 8.1, IK 95%5.2-12.8; p=<0.01.
Conclusion : Younger gestational age and lower birth weight increase the risk of neonatal morbidity and mortality."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>