Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 195158 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Baedhowi
"ABSTRAK
Pemerintah Indonesia telah melaksanakan kebijakan desentralisasi pemerintahan untuk mewujudkan otonomi daerah. Dengan otonomi daerah ini diharapkan masyarakat mendapatkan Iayanan publik yang lebih baik, lebih cepat, dan lebih bertanggungjawab dalam urusan pemerintahan. Salah satu bidang pemerintahan yang didesentralisasikan adalah bidang pendidikan.
Pelaksanaan otonomi daerah bidang pendidikan di Indonesia masih menghadapi sejumlah masalah baik bersifat koliseptual maupun masalah faktual. Jika permasalahan tersebut tidak segera ditangani maka dikhawatirkan bahwa desentralisasi pengelolaan pendidikan akan membawa dampak negatif yang lebih kompleks seperti masalah disintearasi bangsa. Itulah sebabnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasiunal (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 memberikan dukungan yang tegas dan jelas dalam penyelenggaraan otonorni daerah bidang pendidikan dengan tetap berpegang pada satu sistem pendidikan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji lebih mendalam tentang "implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan di kabupaten/kota". Cakupan penelitlan ini meliputi faktor Translation ability para pelaku kebijakan, termasuk kapasitas sumberdaya manusia dan pemahamannya terhadap kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan, manajemen dan organisasi, pembiayaan pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan, yang diadopsi dari Teori Gerston (2002). Penelitian ini juga bertujuan untuk mengkaji prospek implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan di tingkat kabupaten/kota. Sedangkan wilayah penelitian ini adalah kabupaten Kendai dan kota Surakarta, Sawa Tengah.
Berdasarkan karakteristik tujuan penelitian yang ingin dicapai maka pendekatan penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif/naturalistik karena peneliti menghendaki kejadian-kejadian yang berkaitan dengan fokus yang alamiah. Dengan mengguilakan metode kualitatif maka informasi yang didapat lebih lengkap, mendalam, dan dapat dipercaya. Dengan metode kualitatif, dapat pula ditemukan informasi yang bersifat perasaan, norma, nilai, keyakinan, kebiasaan, sikap mental, dan budaya yang dianut dari seseorang maupun kelompok orang.
Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan. Pe.rtama, dilihat dari perspektif policy initiation, proses pengambilan keputusan tidak ditentukan secara obyektif oleh analisis kebutuhan (need analysis) dalam pemecahan masalah publik tetapi lebih ditentukan oleh itemst para aktor penentu kebijakan daerah yang jangkauannya lebih berjangka pendek. Proses pengambilan keputusan yang berlaku sampai saat ini cenderung berakibat pada kurang relevannya kebijakan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat. Dalam praktik, aktor utama Bupati/Walikota dan Komisi E DPRD, jauh lebih dominan dan saling mempengaruhi dalam penetapan kebijakan, dibanding aktor pelaksana kebijakan yaitu Dinas Pendidikan. Dalam penetapan dan implementasi kebijakan, publik belum dilibatkan dan diberdayakan, serta belum dimobilisasi secara signifikan.
Kedua, Kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota dipandang dari konsep "translation ability' belum cukup efektif dalam pengelolaan pelayanan pendidikan di daerah masing-masing. Para pegawai Dinas Pendidikan memiliki rata-rata latar belakang pendidikan yang cukup tinggi dan latar belakang pekerjaan yang cukup relevan namun posisi tawar (bargaining position) dari Dinas Pendidikan jauh lebih rendah dibandingkan dengan aktor lainnya, yaitu Bupati/Walikota dan DPRD. Sebaliknya, aktor utama (Bupati/Walikota dan DPRD) yang memiliki posisi tawar lebih tinggi cenderung memiliki latar belakang pendidikan yang lebih rendah dan latar belakang pekerjaan yang kurang relevan. Latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang tidak seimbang ini mengakibatkan adanya imbalance structure dalam proses interaksi antar-aktor dalam implementasi kebijakan pendidikan. Akibatnya, keputusan yang diambil dalam penentuan maupun dalam implementasi kebijakan cenderung kurang berkualitas, dan yang paling dirugikan adalah masyarakat sebagai pengguna kebijakan di bidang pendidikan.
Ketiga, Organisasi dan manajemen sebagai support system belum dapat memberikan fasilitas terhadap berjalannya implementasi kebijakan pendidikan kepada masyarakat. Aparatur Dinas Pendidikan sebagai pelaksana kebijakan cenderung lebih berfungsi sebagai sub-ordinasi dari aktor-aktor penentu kebijakan daripada sebagai mitra sejajar yang tugasnya melaksanakan berbagai inovasi dalam pelayanan pendidikan agar semakin berkualitas. Dalam melaksanakan fungsinya sebagai penyelenggara kebijakan publik, aparatur pendidikan cenderung kurang berorientasi pada kebutuhan masyarakat (demand driven) tetapi lebih berorientasi secara politis pada kepentingan kepala pemerintahan. Perbedaan nomenklatur nama Dinas dan struktur organisasi menimbulkan kesulitan dalam koordinasi antar kabupaten/kota, dengan pemerintah propinsi, serta pemerintah pusat, terutama dalam pelaksanaan program pengembangan kapasitas institusi.
Keempat, Penyediaan anggaran untuk implementasi kebijakan pendidikan dan jenis-jenis programnya bervariasi antara kedua daerah otonom tersebut. Pemerintah Kendal mengalokasikan anggaran pendidikan yang lebih besar dibanding anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah Surakarta. Jika dilihat pemanfaatannya, masih cenderung mengalokasikan anggaran pendidikan untuk program-program fisik. Temuan sejalan dengan temuan Paqueo dan Lammert yang mengkaji pengalaman beberapa negara dalam mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah. Kajian Paqueo dan Lammert menemukan indikator yang menunjukkan adanya kecenderungan para politisi lokal (penentu kebijakan) menggunakan dana untuk membiayai kegiatan - kegiatan fisik, dan program yang cepat dapat dilihat hasilnya dalam jangka pendek.
Kelima, ketersediaan sarana dan prasarana pendukung bagi implementasi kebijakan pendidikan baik di kabupaten Kendal maupun kota Surakarta secara minimal terpenuhi tetapi tidak didukung dengan biaya perawatan yang memadai. Penelitian ini juga mengindikasikan adanya kecenderungan yang konsisten dan menarik di kedua daerah tersebut, bahwa pengajuan anggaran pengadaan sarana dan prasarana baru lebih murah daripada pengajuan anggaran untuk perawatan dan perbaikan sarana dan prasarana yarg sudah ada.
Keenam, Indonesia sebagai negara yang memiliki cakupan wilayah yang luas, menerapkan kebijakan otonomi daerah. Salah satu pertimbangan mendasar adalah bahwa tidak mungkin pemerintah mengurus pemerintahan sendiri tanpa membagi kewenangan, dan sekaligus tanggung jawab dengan pemerintah daerah, juga dengan masyarakat sebagai pengguna kebijakan.
Hasil penelitian juga memberikan beberapa saran cebagai berikut:
Bagi Pemerintah; Pertama untuk menghindari kekeliruan dalam penafsiran kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, perlu dilakukan peninjauan dan penyempurnaan undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan otonomi daerah; Kedua, untuk mengurangi "beban" pemerintah kabupaten/kota dalam mengimplementasikan otonomi daerah bidang pendidikan, perlu dilakukan peninjauan kembali kewenangan dan tanggung jawab bidang pendidikan yang diberikan kepada kabupaten/ kota, sesuai dengan translation ability dan kapasitas yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten/kota. Salah satu kewenangan kabupaten/kota yang perlu dipertimbangkan kembali adalah kewenangan yang terkait dengan rekrutmen guru.
Bagi Pemerintah kabupaten/kota. Pertama agar implementasi kebijakan otonomi daerah lebih efektif, pemerintah daerah diharapkan dapat lebih banyak melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan; Kedua, agar implementasi kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah perlu memperhatikan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang relevan dengan bidang pendidikan, dalam pengangkatan atau pengisian jabatan masing-masing aktor kebijakan di daerah; Ketiga, untuk mempercepat implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan pemerintah daerah perlu memiliki program-program aksi, antara lain: peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, peningkatan translation ability, penataan struktur organisasi dan manajemen, dan peningkatan anggaran pendidikan.
Bagi peneliti. Peneliti perlu melakukan kajian dan uji cobs lebih lanjut dengan menggunakan alternatif pendekatan implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan. Berdasarkan hasil penelitian ini, diusulkan untuk memperhatikan beberapa faktor yang berpotensi mempengaruhi implementasi otonomi daerah bidang pendidikan di kabupaten/kota, yaitu: (1) politik, (2) translation ability, (3) Komitmen, (4) Kompetensi dan kapasitas sumberdaya manusia, (5) organisasi dan manajemen, (6) dana penunjang, (7) sarana dan prasarana, (8) Budaya dan karakterstik masyarakat, dan (9) kepastian hukum dan undang-undang yang menjadi dasar implementasi. Temuan penelitian ini mendukung pendapat Gerston mengenai faktor - faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan publik. Namun, ada beberapa faktor potensial lainnya yang direkomendasikan penelitian ini untuk dipertimbangkan dalam implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan.

ABSTRACT
The Indonesian Government has adopted the decentralization and local autonomy policy to provide community with better, prompt, and accountable services in public sectors, including education. The implementation of the local autonomy policy in Indonesia still faces a number of conceptual and factual problems. If the problems are not resolved promptly, it may possibly lead to negative impacts such as disintegration of the nation. Therefore, the government, through the Law No. 20/2003 about the National Education System, dearly and explicitly supports the policy of local autonomy in education subject to the relevance to the system of national education within the framework of the Indonesian Government.
This research dims at investigating thoroughly the implementation of autonomy policy in education at the district/city. It encompasses the translation ability of the policy actors that includes the capacity of human resources and their understanding towards local autonomy policy in education, management and organization, financial support for education, and educational access and facilities, as adopted and modified from Gerston's theory (2002). This research is also aimed at investigating the future prospect of the implementation of the local autonomy policy in education at the district/city level. At this point, the district of Kendal and the city of Surakarta, Central Java, were selected to be places for eliciting the data of this research.
According to the characteristics of the research purposes, this research applied the qualitative/naturalistic approach as the researcher focused on the intended phenomena and events that occurred naturally. Using this qualitative approach, the data elicited are more sufficient, detail, and reliable. In addition, using this approach enabled the researcher to obtain required information dealing with the feelings, norms, values, beliefs, habits, mental attitudes, and culture of an individual as well as a group of certain community.
This research results a number of points. First, from the point of view of policy implementation, the process of decision making to resolve public - related problems was not carried out objectively based on the need analysis, but decided based more on the political interest of the policy actors with short - term considerations. Such a decision making process resulted irrelevant educational policy with the actual needs of the public. Moreover, such a decision making process tended to create problem during the implementation. In the decision making process, public as the policy targets or users, have not been empowered and mobilised significantly.
Second, from the translation ability point of view, the capacity of the local government officials at the district/city in managing education services has not been effective. Despite the fact that most officials of the District Office of Education have highly sufficient formal education background and relevant previous working experience, their bargaining position was lower compared to the one possessed by the other policy actors i.e., Bupati/Walikota and Commission in charge of education (Komisi E) of the Local House of Representative. On the other hand, Bupati/Walikota, the main actor that has higher political bargaining position tended to have lower formal education background and irrelevant previous working experience. This condition leads to an imbalanced structure of interaction among the policy actors in the implementation of education policy. Consequently, the decisions taken and the implementation results of the decisions were likely to be unqualified. In such a condition, public as the policy target/users would have not be able to take any advantage from the policy that have been decided.
Third, the organization and management has not been able to provide facilities that support the implementation of the education policy. The officials of the District Office of Education (Dinas pendidikan) as the policy implementers tended to function as sub-ordinates of the other policy makers rather than to put into an equal position as the companion of the other policy actors in carrying out necessary innovation and improving the quality of education services. In doing their function as the policy implementers, the officials of the District Office of Education were likely not to focus on the public needs (demand driven) but to the political interest of the Bupati/Walikota. The nomenclature and organizational structure differences caused some difficulties in handling coordination among districts/cities, between local government and provincial government, and between local government and the central government, especially in the development of the institutional capacity.
Fourth, the allocations of funding to support the education policy implementation and the types or educational programs are varied from the district of Kendal to the city of Surakarta. The district government of Kendal allocated more: ending than the city government of Surakarta. Seeing from the utilization, both local governments utilized the allocated funding ter supporting physical programs. This in line with the results of the research conducted by Paqueo and Lammert who investigated the experience of several countries in implementing the local autonomy policy.
Fifth, the availability of the educational access and facilities in both in Kendal and Surakarta may be said to be minimally sufficient, but no financial support provided fog maintenance. The results of the research also indicated that proposing financial budget for providing/buying new access and facilities was easier than proposing budget for the maintenance of the existing facilities.
Sixth, Indonesia as a big country needs to implement the local autonomy policy. One of most prominent reasons is that it is impossible for the central government to manage all governance matters without sharing/delegating authority and responsibility with the local governments and community.
This research also recommends a number of things as follows:
For the central government First, to avoid of being interpreted incorrectly, the Laws and Regulations related to the decentralization and local autonomy policy should be periodically revised and improved. Second, to reduce the "burden" of the local government in implementing the local autonomy policy in education, the central government needs to revise and reconsider the authority and responsibility dealing with education delegated to the local government based on the translation ability and capacity of the local government. One of the local government authorities that need to be reconsidered is teacher recruitment.
For Local Government. First, to make the implementation of the local autonomy policy more effective, the local government needs to empower and provide an opportunity to the public to take part in the decision making process. Second, to make the implementation of the focal autonomy policy more efficient, the local government needs to consider the education background and previous working experience in recruiting and promoting the policy actors/makers. Third, to accelerate the implementation of the local autonomy policy in education, the local government needs to design action programs, such as improving human resource capacity, improving the translation ability of the policy makers, reforming the organizational structure and management, and improving budget allocated for education.
For researchers, Researchers and those whose work related to the implementation of the local autonomy policy in education need to carry out further research and try - out on the implementation of the local autonomy in education using alternative approaches appropriate to the local characteristics and condition. This research recommends a dumber factors that may potentially influence the implementation of the local autonomy policy in education, i.e., (1) politics, (2) translation ability, (3) commitment, (4) competency and capacity of human resources, (5) organization and management, (6) supporting budget, (7) access and facilities, (8) culture and characteristics of the community, and (9) reliable Laws and Regulations used as a basis of the implementation. The results of this research support Gerston's theory of factors in the public policy implementation. However, this research also recommends some factors which are not exist in Gerston's theory to be taken into consideration.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D588
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jovanka Jeanettia
"Setiap perguruan tinggi memiliki otonomi sebagai kekuasaan yang dimiliki untuk mengatur urusannya sendiri yang juga dapat diaktualisasikan dengan menyediakan sarana dan prasarana penunjang, dimana di Universitas Indonesia (UI) sendiri, salah satu bentuk penyelenggaraan otonomi dilakukan dengan memberlakukan penerapan parkir berbayar. Dalam pengelolaannya, berdasarkan Peraturan Rektor Universitas Indonesia Nomor 3 Tahun 2019, pengelolaan parkir di kawasan universitas tidak hanya dilakukan oleh pihak internal UI saja, tetapi juga mengajak pihak eksternal yaitu PT. Securindo Packatama sebagai mitra pengelola tempat parkir. Akan tetapi, sistem parkir ini sempat menuai polemik dan kebingungan dari kalangan sivitas akademika dan masyarakat. Oleh karena itu, bentuk penerapan kebijakan parkir berbayar tersebut serta kewenangan pihak UI terkait penyelenggaraan kebijakan parkir berbayar UI menjadi latar belakang skripsi ini. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah metode penelitian yuridis normatif, dengan jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang dianalisis menggunakan metode penelitian kepustakaan dilengkapi dengan wawancara dengan narasumber terkait. Berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan dalam kasus, diketahui bahwa status UI sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum telah memberikan UI keistimewaan untuk memanfaatkan kekayaan berupa tanah dan hasil pemanfaatannya menjadi pendapatan UI dengan pengelolaan keuangan secara bertanggungjawab demi penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi. Oleh karena itu, diharapkan pihak UI dapat terus mensosialisasikan lebih lanjut pentingnya pemberlakuan kebijakan parkir berbayar agar kebijakan parkir dapat berjalan lebih optimal.

Every higher education has an autonomy as its power to manage its own affairs which can also be actualized by providing facilities and infrastructure, where at the University of Indonesia (UI), one of the form of higher education autonomy is implemented by imposing the application of paid parking. In its management, based on Rector Regulation University of Indonesia No. 3 Year 2019, parking management in the university area is not only done by internal parties from UI, but also invites external parties, namely PT. Securindo Packatama as parking lot management partner. However, this parking system caused polemic and confusion from academicians and the public. Therefore, the implementation of the paid parking policy as well and authority of UI internal parties related to the parking policy is the background of this thesis. The research method used in this study is normative juridical research method and the type of data used in this study is secondary data analyzed using library research methods supplemented by interviewing relevant informants. Based on facts described in the case, it is known that the status of UI as a Legal Entity State University has given UI the privilege to utilize its wealth in the form of land and the results of its utilization controlled as UI revenue by managing its finance responsibly for the sake of the Three Pillars of Higher Education. Therefore, it is hoped that UI can further socialize the importance of the paid parking policy implementation therefore the parking policy can run more optimally."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifika Sari Midorini
"Penelitian ini memaparkan mengenai sebuah analisa dari formulasi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia mengenai Standar Pelayanan Minimal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan mengenai formulasi kebijakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota. Penelitian dilakukan melalui wawancara mendalam kepada pihakpihak yang berkaitan dalam proses formulasi kebijakan, dan juga sudi kepustakaan untuk mempertajam analisis yang dilakukan. Hasil dari penelitian menggambarkan bahwa terjadi keterlambatan dalam pembuatan peraturan mengenai standar pelayanan minimal oleh Kementerian Pendidikan Nasional.

This study presents a policy formulation analysis of Regulation from Minister of National Education Republic of Indonesia regarding the Minimum Service Standards. The purpose of this research was to describe the policy formulation of Regulation from the Minister of National Education Republic of Indonesia Number 15 Year 2010 Concerning Minimum Service Standard of Basic Education in the District/City. The study was conducted through in-depth interviews to related parties in the process of policy formulation, and also willing to literature to sharpen the analysis undertaken. The results of the study illustrate that there are delay in the rulemaking on minimum service standards by the Ministry of National Education."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Perguruan Tinggi sampai saat ini masih dipercaya mempunyai kekuatan akademik dan moral untuk dijadikan mitra dalam pengembangan masyarakat madani sebagai agent of change dalam membawa bangsa Indonesia ke arah kemajuan. Peran strategis itu memerlukan suatu perubahan dalam manajemennya..."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Armin
"Tarik menarik antara desentralisasi dan sentralisasi di berbagai negara termasuk Indonesia, selalu menjadi perbincangan yang menarik. Sulit ditentukan titik keseimbangan yang tepat antara sentrabsasi di satu pihak dan otonomi daerah di pihak lain. Demikian juga mengenai otonomi dan kontrol, Pemerintah Pusat sulit menentukan titik keseimbangan yang tepat antara otonomi dan kontrol. Berbagai undang-undang tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah yang diterapkan juga tidak berhasil menentukan keseimbangan yang dapat menyenangkan semua pihak.
Pemerintah Pusat mengalami dilema antara otonomi dan kontrol, karena di satu pihak Pemerintah Pusat mempunyai political will (kemauan politik) untuk memperbesar otonomi daerah, tetapi di pihak lain Pemerintah Pusat me1akukan kontrol yang sangat ketat .terhadap penyelenggaraan otonomi daerah.
Otonomi daerah dapat diukur dari adanya kebebasan bergerak bagi pemerintah daerah untuk membuat dan melaksanakan kebijakan sesuai dengan kebutuhan daerah. Untuk itu Pemerintah Daerah memerlukan Pendapatan Asli Daerah yang tinggi, sehingga dapat mandiri dan mengurangi ketergantungannya. terhadap Pemerintah Pusat. Sebab Pendapatan Asli Daerah yang tinggi sangat menunjang pelaksanaan otonomi daerah. Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi selalu mengalami peningkatan, selama lima tahun terakhir (1991/1992 s.d. 1995/1996) rata-rata peningkatannya sebesar 32,89%, dan kontribusinya terhadap APBD rata-rata 37,61%.
Dalam penelitian ini dikaji dua masalah pokok yakni: pertama, sejauh mana kontrol Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah Tingkat II Bekasi dalam pengelolaan keuangan daerah. Kedua, apakah dampak kontrol terhadap kebebasan Pemerintah Daerah Tingkat II Bekasi dalam membuat dan melaksanakan kebijakan di bidang keuangan daerah. Teori yang digunakan untuk mendasari permasalahan ada dua yakni: Pertama, teori kontrol, kedua teori otonomi daerah. Instrumen penelitian adalah wawancara mendalam (indepth interview).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontrol Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah Tingkat II Bekasi sangat ketat. Akibatnya Pemerintah Daerah Tingkat II Bekasi kurang bebas membuat dan melaksanakan kebijakan yang dibutuhkan daerahnya. Setiap bantuan keuangan Pemerintah Pusat terhadap daerah diikuti oleh petunjuk, pengarahan dan pengendalian sehirigga Pemerintah Daerah Tingkat II Bekasi kurang bebas dalam menyusun, mengalokasikan dan melaksanakan anggaran sesuai dengan kebutuhan daerah. Anggaran yang agak bebas disusun, dialokasikan dan dilaksanakan adalah anggaran yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T378
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heni Mulyani
"Fokus penelitian ini adalah untuk memahami bagaimana kekuasaan bergulir dalam kebijakan-kebijakan pendidikan yang muncul dan bagaimana respon yang terjadi. Munculnya perubahan paradigma dalam bidang pendidikan melahirkan kebijakankebijakan baru seperti Sekolah inklusi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Sekolah gratis, Perubahan jadwal masuk sekolah dan Pembelajaran ICT di Sekolah Dasar . Kebijakan pendidikan tersebut bergulir melalui mekanisme kekuasaan yang positif dan produktif, dan digulirkan melalui "micro pouvoir". Kuasa menjelma ke dalam pengetahuan agar ia operatif dan efektif merasuki alam bawah sadar setiap orang melalui kebijakan-kebijakan yang digulirkan. Kebijakan-kebijakan baru tersebut pada gilirannya melahirkan implikasi-implikasi bagi agen-agen pelaku yang dialiri oleh kebijakan tersebut.

The focus of this research is to comprehend how the power flows in existing educational policies and what the responces of the flown agents are. The occurance of new paradigm in education field has borned new education policies such as inclusive schools, school based curriculum which is more well-known with KTSP short for Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, free-charged schools, the time changes in schedule of commencing study at schools, and ICT instruction at elementary schools. The education policies borned through positive and productivepower mecanism and also through "micro pouvoirs". The power transform into knowledge and goes into unconcious minds of every person through the yieldedpolicies. Those new policies cause impliction toward the all agents flowed by the educational policies."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T26247
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fujiartanto
"Dalam rangka pemulihan kehidupan sosial ekonomi masyarakat akibat krisis, Pemerintah menerapkan kebijakan reformasi bidang pembangunan dan pemerintahan, diantaranya melalui ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagai konsekuensi, daerah otonom (termasuk Kota Depok yang ditetapkan melalui UU No. 15 Tahun 1999) perlu melakukan penataan elemen utama penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang terintegrasi membentuk pemerintah daerah dalam menjalankan peran dan fungsinya secara politis dan administratif, meliputi: (a) adanya kewenangan daerah, (b) dibentuknya perangkat daerah, (c) tertatanya persona (pegawat), (d) tersedianya dukungan keuangan daerah, (e) berfungsinya unsur perwakilan rakyat, dan (f) peningkatan penerapan menajemen pelayanan publik. Mengingat cakupan masing-masing elemen sangat luas, maka dalam penelitian ini hanya membatasi tiga aspek (penataan kewenangan daerah, penataan perangkat daerah, dan penataan pegawai daerah), yang diharapkan dapat menghasilkan gambaran representatif kesiapan Pemerintah Daerah Kota Depok mengimplementasikan otonomi daerah.
Oleh karena tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran terfokus pelaksanaan penataan kewenangan daerah, penataan perangkat daerah, dan penataan pegawai daerah, maka penelitian ini bersifat deskriptif anatisis, dengan pendekatan kualitatif dan dilakukan melalui survey lapangan. Teknik interview dan dokumentasi digunakan untuk memperoleh data primer dan data sekunder, dan pengolahan serta analisisnya dilakukan melalui langkah-Iangkah: pengumpulan data, penilaian data, penafsiran data, dan penyimpulan. lingkup pembahasannya, dengan menerapkan pendekatan campuran, antara pndekatan konseptual dan pendekatan kebijakan pemerintah dalam peraturan perundangan.
Dalam penelitian menerapkan berbagai konsep dan kebijakan desentralisasi, otonomi daerah, kewenangan, penataan organisasi, dan personal. Berkaitan dengan implementasi otonomi daerah, penelitian ini memfokuskan tataran pada ketersediaan sumber daya (kewenangan), karakteristik institusi Implementasi (unit organisasi dan penataan personal). Dengan demikian, hasil penelitian tentang Implementasi otonomi daerah belum sampai pada tingkat masyarakat tetapi hanya pada tingkat suprastruktur pemerintahan daerah..Sehingga melalui pendeskripsian pelaksanaan penataan kewenangan daerah, perangkat daerah, dan kepegawaian daerah memberikan gambaran tentang kesiapan Kota Depok mengimplementasi otonomi daerah.
Sebagai implikasi ditetapkannya, Kota Depok sebagai daerah otonom melalui UU No. 15 Tahun 1999, maka dalam implementasinya, Pemerintah Daerah Kota Depok menetapkan "enam pilar pembangunan" sebagai kebijakan penataan penyelenggaraan pemerintahan daerah, diarahkan guna mencapai visi dan misi Kota Depok. Pertama, kebijakan penataan kewenangan diarahkan pada pendesentralisasian kewenangan ke Kecamatan dan Kelurahan. Pemahaman kewenangan yang abstrak menghambat pendelegasian wewenangan. Sesuai dengan Perda Kota Depok No. 46 Tahun 2000, menetapkan 22 bidang kewenangan, 166 sub bidang kewenangan, dan 1.511 rindan kewenangan. Pemerintah telah mengakul kewenangan melalui Kepmendagri No. 130-67 Tahun 2002, disertai dengan beberapa catatan verifikasi. Kedua, kebijakan penataan perangkat daerah diarahkan pada penyusunan perangkat daerah yang ramping dan kaya fungsi. Pelaksanaannya, diinformasikan telah mempertimbangkan kewenangan daerah, kebutuhan dan karakteristik daerah, kemampuan keuangan dan ketersediaan sumber daya manusia, serta disesualkan visi dan misi Kota Depok.
Berdasarkan Perda Kota Depok No. 47 Tahun 2000 dan Perda Kota Depok No. 48 Tahun 2000, perangkat daerah terdiri atas Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, 14 Dinas, 3 UPTD, 1 Cabang Dinas, dan 6 Lembaga Teknis Daerah (Badan/Kantor), 6 Kecamatan dan 37 Kelurahan. Namun, dengan ditetapkannya PP No. 8 Tahun 2003, Pemerintah Daerah akan menata kembali perangkat daerah. Ketiga, kebijakan penataan pegawai diarahkan pada peningkatan kapasitas dan kapabilitas pegawai. Telah dilakukan penataan staf 5.964 orang (termasuk dalam jabatan struktural 390 orang), pengembangan pegawai, mutasi, dan penegakkan disiplin pegawai. Dengan dltetapkannya PP No. 9 Tahun 2003, pemerintah daerah akan menata kembali pegawal daerah dengan mengadopsi pola nasional.
Hasil analisa menunjukan bahwa: kebijakan "enam pilar pembangunan" sebagai kebijakan penataan penyelenggaraan pemerintahan daerah belum konsisten dengan visi dan misi Kota Depok. Pertama, dalam mengidentifikasi kewenangan untuk didelegasikan ke Kecamatan dan Kelurahan, serta diserahkan pada Propinsi, masih mengacu pada kewenangan dari Departeman/LPND, bukan pada Perda Kota Depok No. 46 Tahun 2000, sehingga pelaksanannya tidak konslsten. Penataan bidang kewenangan "Daerah Kota" belum dilakukan, masih terdapat adanya overlapping antar bidang kewenangan; cenderung mempersamakan antara sub bidang, dan rlndan kewenangan dengan suatu kegiatan/aktivitas; serta pelaksanan penataan kewenangan tidak melakukan need assessment Dengan adanya verifikasi, Pemerintah Daerah belum melakukan penyempumaan kewenangan dan rnenyampaikan kepada Pemerintah. Kedua, mengacu pada Kepmendagri dan Otda No. 50 Tahun 2000, menunjukan bahwa organlsasi perangkat daerah Kota Depok memiliki struktur lebih ramping. Namun demiklan, dalam pelakanaan penataan, pembentukan organisasl perangkat daerah belum rnemperhatikan kewenangan daerah, kebutuhan/karakterlstik daerah, kemampuan keuangan dan ketersediaan sumber daya manusia, dan belum sesual visi dan misi Kota Depok."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12460
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999
R 379 IND d
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1989
R 379 IND h
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>