Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 99236 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jumanto
"Judul penelitian disertasi ini adalah Komunikasi Fatis di Kalangan Penutur Jati Bahasa Inggris. Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk menjelaskan komunikasi fatis di kalangan penutur jati bahasa Inggris, sementara tujuan khususnya adalah untuk menjelaskan fungsi dan bentuk komunikasi fatis di kalangan penutur jati bahasa Inggris serta kaitan keduanya dengan faktor kuasa dan solidaritas di dalam diri petutur, faktor situasi, dan kesantunan berbahasa. Empat tipe petutur yang dilibatkan di dalam penelitian ini adalah superior akrab, superior tidak akrab, subordinat akrab, dan subordinat tidak akrab.
Penelitian disertasi ini bersifat kualitatif, empiris, dan sinkronis, yang bertujuan untuk mencari makna, yaitu untuk melihat komunikasi fatis dari sudut pandang penutur jati bahasa Inggris. Dan tiga ragam bahasa Inggris terbesar di dunia, yaitu bahasa Inggris ragam Amerika, bahasa Inggris ragam Britania, dan bahasa Inggris ragam Australia, diambil sembilan penutur jati yang dilibatkan sebagai informan penelitian. Pemilihan informan dilakukan berdasarkan dialek yang berbeda untuk bahasa Inggris ragam Amerika dan bahasa Inggris ragam Britania, dan berdasarkan teritori yang berbeda untuk bahasa Inggris ragam Australia.
Penelitian disertasi ini menggunakan tiga metode penelitian kualitatif, yaitu wawancara, transkripsi, dan analisis tekstual (Silverman, 2000). Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (in-depth interview) kepada informan dan teknik eksplorasi. Panduan wawancara atau kuesioner berbentuk formal dan semiterstruktur, yang berisi duabelas fungsi komunikasi fatis. Masing-masing fungsi di dalam kuesioner divariasikan dengan menggunakan prompts, yaitu pertanyaan pendek yang lebih spesifik dan mengarahkan yang digunakan untuk membangun keduabelas fungsi komunikasi fatis tersebut. Persiapan wawancara dilakukan sebelumnya, dan wawancara direkam. Sementara itu, materi dan data dari sumber-sumber tertulis lain basil eksplorasi nantinya dilibatkan di dalam proses triangulasi. Dengan demikian, validitas atau nilai sebenmmya dan reliabilitas atau otentisitas penelitian dapat dijaga.
Analisis tekstual di dalam penelitian disertasi ini dilakukan dengan teknik pengodean, yang terbagi menjadi tiga langkah yaitu pengodean terbuka, pengodean aksial, dan pengodean selektif (Strauss dan Corbin, 1990; Holloway, 1997). Pengodean terbuka digunakan untuk menganalisis basil wawancara dengan masing-masing informan secara terpisah, dan pengodean aksial untuk menyatukan ide-ide dari masing-masing informan untuk membangun kategori besar. Sementara itu, pengodean selektif digunakan untuk menemukan fenomena utama atau kategori inti penelitian, yang berfungsi memadukan dan menghasilkan alur cerita, yaitu duabelas fungsi komunikasi fatis. Setelah proses pengodean selesai, data dianalisis dengan menggunakan metode interpretasi dengan perangkat pengujian asumsi kritis teoretis dan asumsi logis empiris. Literatur atau kepustakaan yang terkait digunakan sebagai konfinnasi atau refutasi. Semua elemen dari teori yang muncul dan ide-ide yang signifikan dari informan dipadukan di dalam sebuah sintesis. Sintesis tersebut berupa deskripsi yang rinci basil penelitian sehingga peneliti lain dapat memeroleh pengetahuan yang cukup untuk melakukan penilaian.
Hasil penelitian disertasi ini menunjukkan bahwa komunikasi fatis di kalangan penutur jati bahasa Inggris digunakan untuk menyatakan duabelas fungsi, yaitu (1) untuk memecahkan kesenyapan, (2) untuk memulai percakapan, (3) untuk melakukan basa-basi, (4) untuk melakukan gosip, (5) untuk menjaga agar percakapan tetap berlangsung, (6) untuk mengungkapkan solidaritas, (7) untuk menciptakan harmoni, (8) untuk menciptakan perasaan nyaman, (9) untuk mengungkapkan empati, (10) untuk mengungkapkan persahabatan, (11) untuk mengungkapkan penghormatan, dan (12) untuk mengungkapkan kesantunan. Fungsi dan bentuk komunikasi fatis di kalangan penutur jati bahasa Inggris dipengaruhi oleh faktor kuasa dan solidaritas yang ada pads petutur yang berbeda dan faktor situasi informal dan formal. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa komunikasi fatis di kalangan penutur jati bahasa Inggris digunakan untuk mengungkapkan kesantunan (memertahankan jarak sosial), untuk mengungkapkan kesantunan dan persahabatan (memerpendek jarak sosial), dan untuk mengungkapkan persahabatan (menghilangkan jarak sosial) kepada petutur yang berbeda-beda dalam hal kuasa dan solidaritas. Komunikasi fatis di kalangan penutur jati bahasa Inggris adalah kesantunan yang bersifat strategis volisional, yaitu merupakan pilihan aktif dari kemauan penutur dan merupakan sistem komunikasi terbuka yang dinamis dengan pertimbangan kepada petutur yang berbeda-beda dalam hal kuasa dan solidaritas.
Temuan penelitian disertasi ini juga menunjukkan bahwa komunikasi fatis di kalangan penutur jati bahasa Inggris sesuai dengan teori komuni fatis dari Malinowski (1923), teori fungsi bahasa ekspresif dan apelatif dari Biihler (1918), teori fungsi bahasa fatis dari Jakobson (1960), dan teori fungsi bahasa interpersonal dari Halliday (1978), Komunikasi fatis di kalangan penutur jati bahasa Inggris juga sejalan dengan teori Jendela Johari (Johari Window) dalam konteks komunikasi dua orang. Komunikasi fatis juga merupakan realitas sosiokultural di dalam masyarakat penutur jati bahasa Inggris yang relatif berbeda dari masyarakat bahasa lainnya dan merupakan bagian dari kompetensi komunikatif yang ada di dalam diri penutur jati bahasa Inggris. Komunikasi fatis di kalangan penutur jati bahasa Inggris adalah sebuah wacana yang terdiri dari teks dan konteks. Teks komunikasi fatis tersebut adalah berbagai ungkapan yang digunakan penutur jati bahasa Inggris untuk memelihara hubungan sosial di kalangan mereka, sementara konteks komunikasi tersebut di antaranya adalah fungsi komunikatif yang berbeda, petutur yang berbeda dalam hal kuasa dan solidaritas, dan situasi yang berbeda. Teks komunikasi fatis di kalangan penutur jati bahasa Inggris diikat oleh konteks dari komunikasi fatis tersebut.

This dissertation research is entitled Phatic Communication among English Native Speakers. In general, this research is aimed at describing phatic communication among English native speakers, while, in particular, it is aimed at describing the functions and forms of phatic communication among English native speakers, and the relation of the functions and forms with the power and solidarity factor in the hearer, situation factor, and linguistic politeness. Four types of hearer are involved in this research, i.e. close superior, not close superior, close subordinate, and not close subordinate.
This dissertation research is qualitative, empirical, and synchronic in nature, the aim of which is to try to seek meaning, i.e. to see phatic communication from the viewpoint of English native speakers. From the three biggest varieties of English in the world, i.e. American English, British English, and Australian English, nine native speakers have been involved as the research informants. The selection of informants is based on the existing different dialects for American English and British English and on different territories for Australian English.
This dissertation research employs three qualitative methods, i.e. interview, transcription, and textual analysis (Silverman, 2000). The data collection for this research is done by an in-depth interview) to the informants and an exploration technique. The questionnaire or interview guide is of the formal and semi-structured type. Each function in the questionnaire is varied by using prompts, Le. shorter, more specific and directing questions to build the proposed twelve functions of phatic communication. The preparation for the interview is done before, and the interview is recorded. Meanwhile, other material and data from other written sources by the exploration technique are later involved in a triangulation process. Thus, the validity or the truth value and the reliability or the authenticity of the research can be maintained.
The textual analysis in this research is done through a coding technique, which is divided into three steps, i.e. open coding, axial coding, and selective coding (Strauss and Corbin, 1990; Holloway, 1997). The open coding is used to analyze the interview transcript of each informant separately, and the axial coding to combine the ideas from each informant to build bigger categories. Meanwhile, the selective coding is to find out the main phenomena or the core categories of the research. These core categories function to unite and create a story line, i.e. the proposed twelve functions of phatic communication. After the coding process, the data are analyzed by using the method of interpretation with the two testing devices, the theoretical, critical assumptions and the empirical, logical assumptions. Related literature is used to confirm or to refute. All emerging elements of the theories and significant ideas from the informants are combined into a synthesis. The synthesis is a thick description on the research findings so that other researchers are equipped with enough knowledge to give judgments.
The results of this dissertation research show that phatic communication among English native speakers is used for twelve functions, i.e. (1) to break the silence, (2) to start a conversation, (3) to make small talk, (4) to make gossip, (5) to keep talking, (6) to express solidarity, (7) to create harmony, (8) to create comfort, (9) to express empathy, (11) to express friendship, and (12) to express politeness. The functions and forms of phatic communication among English native speakers are influenced by the factor of power and solidarity in the four different types of hearer and the factor of informal and formal situations. The research findings also show that phatic communication among English native speakers is used to express politeness only (to maintain social distance), to express politeness and friendship at the same time (to shorten social distance), and to express friendship only (to eliminate social distance) to the four types of hearer different in power and solidarity. Phatic communication among English native speakers is a volitional, strategic politeness, i.e. an active choice from the hearer's will and an open, dynamic communication system with the considerations to the types of hearer different in power and solidarity.
The findings of the research also show that phatic communication among English native speakers is in line with the theory of phatic communion from Malinowski (1923), the theory of expressive and appeal functions from Buhler (1918), the theory of phatic function from Jakobson (1960), and the theory of interpersonal function from Halliday (1978). Phatic communication among English native speakers is also in line with the theory of Johari Window in the context of person-to-person communication. Phatic communication is also a sociocultural reality in the community of English native speakers, which is relatively different from those in other language communities, and a part of communicative competence in English native speakers. Phatic communication among English native speakers is a discourse consisting of text and context. The text of phatic communication comprises various expressions used by English native speakers to maintain social relationship among them, while the context of the communication is among others different communicative functions, types of hearer different in power and solidarity, and different situations. The text of phatic communication among English native speakers is bound to the context of the phatic communication.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
D611
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990
302.2 KOM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993
302.2 KOM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990
302.2 KOM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990
302.2 Kom
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990
302.2 Kom
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990
302.2 Kom
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990
302.2 Kom
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tarsisius Florentinus Sio Sewa
"Interaksi antaretnis dan antarbudaya adalah realitas sosial yang tidak dapat dihindari terlebih di era globalisasi dewasa ini. Interaksi yang tidak dikelola secara baik dapat menimbulkan konflik dan ketidakseimbangan relasi. Interaksi yang tidak sehat dapat saja terjadi oleh karena stereotype, prejudice dan sikap etnosentrisme. Padahal interaksi yang baik menuntut adanya saling keterbukaan, saling pengertian dan upaya untuk masuk dan beradaptasi dengan budaya lain.
Hal yang sama dapat saja terjadi dalam interaksi antara etnis Ende dan Lio dengan etnis Cina dan Padang di Kota Ende, yang menjadi subyek penelitian Tesis ini. Dengan menggunakan paradigma konstruktivis dan pendekatan komunikasi antarbudaya, penulis menjelajahi realitas "communicative-style" ke-empat kelompok etnis yang saling berinteraksi, termasuk latarbelakang sosio-budaya, sosio-ekonomi dan sosio-religius yang mempengaruhinya.
Untuk memahami pola komunikasi dari mereka yang berinteraksi, penelitian tersebut secara khusus menyoroti enam ( 6 ) elemen Communicative-style Barnlund yang relevant 1) tema pembicaraan, 2) bentuk interaksi, 3) tatacara berkomunikasi, 4) cara merespons, 5) penyingkapan diri, dan 6) emphaty.
Etnis Ende, dengan karakter ekstrovert: banyak berbicara, bicara dengan suara keras dan emosi yang kadang tak terkendali, tidak sulit berinteraksi terutama dengan etnis Padang dan Lio. Mereka cenderung lebih dekat dengan etnis Padang karena kesamaan agama dan etnis Lio karena hubungan darah dan adat serta bahasa dan budaya yang relatif hampir sama. Berhadapan dengan Etnis Lio dan Padang, mereka dapat berbicara apa saja, mulai dari obrolan santai, obrolan serius, penyingkapan diri dan bahkan dengan etnis Lio sampai kepada tingkat emphaty. Sementara itu, interaksinya dengan etnis Cina masih sebatas tegur-sapa dan transaksi jual-beli. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh medan interaksi yang terbatas antara keduanya.
Dengan karakter yang relatif lebih tenang, santun, ramah dan terbuka, etnis Lio dengan mudah dapat berinteraksi dengan etnis Padang, Cina dan Ende. Dalam interaksi di antara mereka, tampak bahwa etnis Cina cenderung lebih dekat dengan etnis Lio karena kesamaan agama dan karena medan interaksi yang cukup luas. Walaupun jarang ada emphaty dan penyingkapan diri; namun tegur-sapa, basa-basi, obrolan santai dan kadangkala obrolan serius, sering menjadi bagian dari komunikasi dan interaksi di antara mereka.
Meminjam istilah Norton dengan sembilan (9) "Communication characteristic"-nya, etnis Ende lebih banyak memperlihatkan perilaku: dominant, dramatic, contentious dan animated; dibandingkan dengan etnis Lio yang cenderung bersikap: relaxed, attentive, open dan Friendly. Sementara itu, etnis Cina cenderung berperilaku: Relaxed, Friendly, attentive khusus dengan etnis Lio dan dramatic, khusus dalam mempromosi barang dagangannya. Sedangkan etnis Padang sering menunjukkan perilaku yang Relaxed, Friendly dan kadangkala attentive khusus dalam interaksinya dengan etnis Ende.
Pemahaman yang baik tentang communicative-style akan membantu mereka yang berinteraksi untuk dapat "menempatkan diri" sebagai subyek yang trampil dan kompeten dalam berkomunikasi antarbudaya. Dengan demikian, keanekaan budaya yang tampak dalam keanekaan cara orang berkomunikasi, tidak menjadi halangan bagi terciptanya iklim komunikasi yang baik; tetapi sebaliknya, menyadarkan orang menerima perbedaan yang ada sebagai "kondisi terberi" guna saling melengkapi dan menyempurnakan demi "bonum commune" (kebaikan bersama). Karena kebaikan bersama adalah impian semua manusia, siapapun dia dan dari mana asalnya!

Interethnic and intercultural interaction is a social reality which can not be avoided, especially at the era of globalization, nowadays. Unmanaged interaction will bring conflict and unbalanced relation. Unhealthy interaction would be caused by stereotype, prejudice and ethnocentrism among communication participants. It could be concluded that a pleasant interethnic and intercultural interaction required openness, a deep insight and require effort to put our self in the other culture and also to adapt with that culture.
The same assumption may apply in communication and interaction between Endenese, Lionese and Chinese, Padangnesse in Ende, which is the subject of this Thesis research. By using Constructivism paradigm and intercultural communication approach, the researcher try to explore "communicative-style" of those four ethnics in their interaction including the influence of social-cultural, social-economic and social-religious background.
To understand the behavior of the communication participants, this research reflects six (6) elements of Barnlund's Communicative-Style: The Topics people prefer to discuss, their favorite forms of interaction ritual, repartee, self disclosure and the depth of involvement they demand of each other.
Endenese with their extrovert characters: speaks frequently, interrupts and un-controls conversations, speaks in a loud voice, have no difficulties to interact with the Padangnese and Lionese. They tend go closer with the Padangnese because of similarities in social-religious factor; and with the Lionese because of family and customary relationships, resembling in similar language and culture. With them, Endenese can cover various topics of conversation, beginning with a short conversation, serious-talk, self-disclosure and than empathy. Their interaction with the Chinese still restricted to small-talks and subjects related to trading. This fact is influenced by their restricted interactions-setting.
Lionese with their relaxed character: calm, simple, modest, friendly and open, can interact with Padangnese, Chinese and Endenese, easily. The Chinese tends go closer with the Lionese because of similarities in social religious factors and their interactions-setting is broad enough. Although, in daily interaction they seldom display empathy and self disclosure; but small-talks, a short conversation and serious-talk occasionally, often can be a part of their communication and interaction.
Based on Nortons technical-term and his nine (9) communication-characteristics, Endenese much more display these communication traits: dominant, dramatic, contentious and animated; comparing with Lionese which is relaxed, attentive, open and friendly. The Chinese tend to be relaxed, friendly, attentive, especially with the Lionese and dramatic especially in promoting their trading goods. Padangnese often are relaxed, friendly and sometimes attentive, especially with the Endenese.
A good understanding about communicative-style and its influencing factors would help the communication participants: Endenese, Lionese, Chinese and Padangnese, to "put themselves" as "competent-subject" in intercultural communication and interaction. Therefore, the variety of cultures that appear on the diversity communicative-styles, should not become a constraint to develop a good communication-climate; but on the other hand should make someone more aware of the importance of accepting differences with honesty and sincerity, to reach "bonumcommune". Because "bonum-commune" is a vision of all mankind, whoever and wherever they come!
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7073
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilya Revianti Sudjono Sunarwinadi
"Latar belakang permasalahan yang mendarong dilakukannya studi penelitian ini ialah perkembangan dunia saat ini yang menampakkan semakin meningkatnya saling ketergantungan antar negara. Berbagai kepentingan atau minat yang mewarnai arus hubungan antar negara, serta perkembangan alat perhubungan dan teknologi, semakin meningkatkan hubungan yang mulanya terkendali oleh waktu maupun jarak ruang. Pertemuan antar manusia dengan latar belakang kebudayaan berbeda menjadi tidak terhindarkan dan setiap saat terjadi proses adaptasi antar budaya, yaitu ketika orang harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial budaya yang baru.
Adaptasi antar budaya tercermin pada kesesuaian antara pola komunikasi pendatang ke suatu lingkungan baru dengan pola komunikasi yang diharapkan oleh masyarakat setempat. Sebaliknya, adaptasi antar budaya juga ditunjang oleh kesesuaian pola komunikasi. Salah satu hakekat komunikasi ialah kegiatan pencaharian dan perolehan informasi dari lingkungan. Informasi dapat diperoleh melalui saluran media massa dan saluran non-media massa. Komunikasi massa dan komunikasi non-media massa merupakan unsur-unsur dari kegiatan komunikasi sosial, yang saling tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi.
Sorotan terhadap hubungan antara komunikasi massa dengan komunikasi non-media massa mengarahkan perhatian pada suatu proposisi dari Miller (1982), yang melihat adanya kemungkinan bahwa 'pengenaan terhadap pesan media massa dalam jumlah banyak dapat menghambat kemampuan orang untuk berkomunikasi secara antar pribadi'. Proposisi Miller tersebut berlandaskan pada pemikirannya tentang adanya tiga jenis informasi, yaitu: informasi kultural, informasi sosiologikal masuk jenis informasi mengenai hasil dari konseptualisasi Miller adalah: bila ramalan dan informasi psikologikal. Masing dapat membantu peramalan seseorang upaya komunikasinya. Inti dari mengenai 'komunikasi antar pribadi' mengenai hasil komunikasi sangat tergantung pada informasi kultural dan/atau sosiologikal, maka para pelaku komunikasi komunikasi terlibat dalam komunikasi 'impersonal'; jika ramalan sangat didasarkan pada informasi psikologika., maka para pelaku komunikasi terlibat dalam komunikasi 'antar pribadi'. Miller menghubungkan ketiga jenis informasi dengan penggunaan saluran komunikasi melalui media massa dan non-media massa. Informasi kultural dan sosiologikal berperan pokok dalam komunikasi melalui media massa, sedangkan informasi psikologikal berperan dalam komunikasi non-media massa.
Proposisi Miller tersebut mendorong pada minat dalam studi ini untuk melihat kemungkinan terjadinya dalam situasi antar budaya, khususnya dalam konteks adaptasi antar budaya. Yang dilihat sebagai permasalahan pokok penelitian ialah: sampai sejauh mana kebenaran bahwa pengenaan media massa dapat menentukan kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya? Bagaimana kemungkinan peranan dari komunikasi non-media massa terhadap kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya? Bagaimana kemungkinan peranan dari faktor-faktor lain di luar kegiatan komunikasi terhadap kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya?
Penelitian lapangan seluruhnya dilaksanakan di kota Tokyo, Jepang, terhadap warga masyarakat Indonesia yang telah menetap sedikitnya satu tahun, tidak mempunyai pertalian hubungan darah maupun perkawinan dengan orang Jepang dan berusia sedikitnya 18 tahun. Sampel ditentukan secara non-probabilita, karena tidak mungkinnya diperoleh daftar lengkap dan terinci mengenai jumlah populasi. Dari 100 kuesioner yang disebarkan, sejumlah 80 dikembalikan kepada peneliti. Penelitian lapangan keseluruhan, yaitu penjajagan dan survey dilaksanakan antara bulan Juli 1991 sampai dengan bulan Mei 1992.
Untuk analisis data dipergunakan:
(1) Metode analisis deskriptif, yaitu terhadap variabel-variabel pokok dalam studi, serta
(2) Metode analisis diskriminan, yakni untuk menjawab pertanyaan mengenai peranan atau kontribusi masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen.
Yang dianggap sebagai variabel-variabel independen adalah aspek-aspek yang tercakup dalam konsep-konsep: 'penggunaan media massa', 'komunikasi non-media massa', 'faktor disposisional' dan 'faktor situasional'. Sedangkan yang dilihat sebagai variabel dependen ialah konsep 'kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks antar budaya'. Untuk konsep ini digunakan tiga indikator, yaitu 'anggapan tentang hubungan dengan orang Jepang', 'penilaian tentang keefektifan komunikasi' dan 'pengetahuan tentang kelayakan komunikasi'.
Hasil penelitian menemukan bahwa:
(1) 'Faktor disposisional' merupakan faktor yang terbesar peranannya dalam menentukan kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya. Khususnya aspek-aspek yang berperan adalah 'rencana menetap keseluruhan', 'perasaan ketika menghadapi perbedaan', 'lama menetap', 'usaha menggunakan bahasa Jepang' dan 'pekerjaan', 'pengetahuan tentang Jepang sebelum menetap'.
(2) ?Penggunaan media massa' merupakan faktor kedua terbesar yang berperan menentukan kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya. Khususnya aspek-aspek yang berperan adalah : 'bahasa pengantar dalam menggunakan televisi', 'pilihan topik televisi secara khusus', 'kegiatan lain selama menggunakan televisi' dan 'pilihan topik televisi secara umum'. Menjawab pertanyaan pokok dalam penelitian ini, maka ternyata proposisi Miller yang menyatakan kemungkinan terdapatnya hubungan antara penggunaan media massa dalam jumlah banyak dengan kemampuan komunikasi antar pribadi, kurang didukung oleh data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun hubungan itu ada, namun termasuk 'lemah' atau 'rendah'. Ternyata aspek penggunaan media massa yang lebih kuat peranannya adalah 'pilihan topik televisi secara khusus'. Artinya, pelaku adaptasi antar budaya yang mempunyai lebih banyak pilihan topik khusus dalam televisi, adalah yang cenderung untuk memandang hubungannya dengan orang Jepang bersifat 'non-antar pribadi'.
(3) 'Komunikasi non media massa', dalam menunjukkan peranannya, hampir sama besarnya dengan 'penggunaan media massa' dalam menentukan kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya. Khususnya aspek-aspek yang berperan ialah . 'penggunaan Bahasa Jepang dalam berkomunikasi antar budaya', 'frekuensi hubungan antar budaya', 'tingkat keakraban dalam hubungan antar budaya' dan 'mayoritas anggota dalam organisasi yang diikuti'.
(4) 'Faktor situasional' adalah yang terkecil peranannya terhadap 'kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks antar budaya'. Aspek dari faktor situasional yang menunjukkan peranannya hanyalah 'pengalaman pernah tersinggung atau tidak tersinggung karena perlakuan orang Jepang' dan 'tetangga terdekat dari tempat tinggal'.
Secara keseluruhan, dari hasil studi dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi antar pribadi dalam pengertian 'anggapan tentang hubungan dengan orang Jepang sebagai hubungan antar pribadi' tidak sama dengan kemampuan komunikasi antar pribadi dalam pengertian 'penilaian tentang keefektifan komunikasi' dan 'pengetahuan tentang kelayakan komunikasi'. Data kategorikal atau informasi kultural dan sosiologikal tetap diperlukan bagi berlangsungnya 'komunikasi antar pribadi dalam konteks antar budaya'."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
D345
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>