Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175315 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jannus Rumbino
"Kasus-kasus sengketa tanah yang terjadi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia. Gejala ini merupakan konsekuensi logis dari pesatnya peningkatan kebutuhan akan lahan dalam pembangunan. Irian Jaya ternyata tidak bebas pula dari kasus-kasus sengketa tanah dan justru menarik karena banyak terjadi di antara penduduk asli Irian Jaya sendiri. Contoh kasus sengketa tanah yang dibahas ini mengenai dua desa dari penduduk asli Irian Jaya yang hidup di pinggiran kota. Oleh karena itu tulisan ini membahas tentang proses penyelesaian sengketa tanah pada penduduk asli pinggiran kota di Irian Jaya dalam konteks kemajemukan hukum.
Manfaat dari tulisan ini adalah mengungkapkan proses penyelesaian sengketa tanah yang tidak hanya dilakukan dengan cara-cara adat yang sudah lazim dikenal dalam masyarakat yang bersangkutan tetapi juga digunakan cara-cara yang datang dari luar masyarakatnya sebagai akibat dari pengaruh yang datang dari kota. Selain itu tulisan ini diharapkan dapat menambah informasi tentang pola penguasaan dan pemilikan tanah adat di Irian Jaya. Fokus tentang proses penyelesaian sengketa tersebut dianalisis dengan menggunakan konsep kemajemukan hukum yang kuat dan kemajemukan hukum yang lemah menurut Griffiths.
Sasaran penelitian ini adalah penduduk desa Ayapo dan penduduk desa Yoka di Kecamatan Sentani Kabupaten Jayapura Propinsi Irian Jaya. Penduduk desa Ayapo dan penduduk desa Yoka termasuk penduduk pinggiran kota. Sebagai penduduk pinggiran kota, sudah tentu tidak terhindar dari pengaruh-pengaruh yang datang dari kota, yang membawa perubahan pula pada proses penyelesaian sengketa tanah.
Penelitian yang sifatnya kualitatif ini dilakukan di desa-desa tersebut di atas dengan menggunakan metode perluasan kasus (the extended case method), artinya unsur-unsur lain di luar sengketa tanah dan proses penyelesaiannya seperti letak dan keadaan geografis, asal usul dan perkembangan penduduk, mata pencaharian, pemukiman, kepemimpinan, pola penguasaan tanah, dan dampak pengaruh luar terhadap penguasaan tanah menjadi perhatian pula dari penulis sebagai peneliti. Sedangkan teknik-teknik pengumpulan data ditekankan pengamatan terlibat, wawancara mendalam dengan beberapa informan kunci; dan wawancara sambil lalu dengan penduduk desa pada umumnya.
Sengketa tanah dan proses penyelesaiannya merupakan inti dari tulisan ini. Berkaitan dengan itu dikemukakan alasan/dasar tuntutan dari pihak-pihak yang bersengketa mengenai tanah yang disengketakan sedangkan dalam proses penyelesaian sengketanya, pihak-pihak yang bersengketa menggunakan cara-cara adat yaitu negosiasi/musyawarah, mediasi, rasa kekeluargaan. Pihak-pihak yang bersengketa menggunakan pula prosedur peradilan formal untuk mengesahkan kesepakatan-kesepakatan yang telah diputuskan di lingkungan adat. Peradilan formal (Pengadilan Negeri Jayapura, dan Pengadilan Tinggi Irian Jaya) secara silih berganti telah memenangkan pihak-pihak yang bersengketa. Tetapi ketika sengketa tanah antara pihak yang bersengketa dinaikkan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) di Jakarta, seluruh keputusan yang sebelumnya telah memenangkan pihak-pihak yang bersengketa dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi. Mahkamah Agung Republik Indonesia menyatakan akan mengadili sendiri sengketa/perkara itu dan sebagai hasilnya dikeluarkanlah keputusan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menyatakan bahwa tidak ada pihak yang menang dan kalah dalam sengketa tersebut. Pihak-pihak yang bersengketa lebih baik menyelesaikan saja sengketa itu dengan cara-cara adat yang dilandasi dengan rasa kekeluargaan. Pihak-pihak yang bersengketa dapat melaksanakan keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dan akhirnya berdamai juga pihak-pihak yang bersengketa.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari inti tulisan ini ialah dalam proses penyelesaian sengketa, pihak-pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara adat maupun cara-cara yang berlaku resmi di tingkat peradilan pemerintah. Klimaksnya pemerintah dalam hal ini Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak memenangkan salah satu pihak yang bersengketa, hanya dianjurkan agar sengketa/perkara itu diselesaikan secara musyawarah dan mufakat saja secara adat. Buktinya sengketa itu diselesaikan juga secara adat dan akhirnya berdamai juga pihak-pihak yang bersengketa. Tindakan Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak memutuskan salah satu pihak yang bersengketa sebagai pemenang dan mengembalikan sengketa/perkara itu untuk diselesaikan secara adat saja agar tidak merusak hubungan-hubungan sosial para pihak bersengketa yang telah lama terjalin secara turun temurun yang diistilahkan oleh Nader dan Todd sebagai hubungan multipleks."
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karuwai, George
"Sampai saat ini hampir tidak satupun wilayah di Indonesia yang tidak mengenal konflik, baik dari konflik yang sifatnya Un Manifest (belum muncul ke permukaan) maupun konflik yang Manifest (sudah menjadi konflik terbuka). Di daerah Sentani dapat terlihat bahwa implikasi teoritis dan praktis dari saling pengaruh antara hukum negara (nasional) dan hukum adat (lokal) mengakibatkan konflik tanah adat antara sesama komunitas adat Sentani, antara warga dan pendatang, antara warga dan pemerintah, antara pemerintah setempat dengan pemerintah yang lebih besar (tinggi). Konflik yang terjadi di daerah Sentani merupakan konflik laten maupun konflik kekerasan yang kapan dan dimanapun dapat muncul kembali. Penelitian ini difokuskan kepada jenis-jenis konflik, akar penyebab pemicu konflik, sumber-sumber penyebab konflik, bentuk dampak dari konflik serta langkah yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Di dalam penulisan ini metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, sebagai prosedur yang tertulis atau lisan dari orang-orang serta perilaku yang dapat diamati dan diarahkan pada latar dari individu serta organisasi secara holistik (utuh).
Penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif yakni menggambarkan tanah adat dan potensi konflik yang terjadi antara masyarakat adat Sentani, masyarakat adat Sentani dan pendatang maupun masyarakat dan pemerintah serta pemerintah dan pemerintah di daerah Sentani dengan desain penelitiannya adalah studi kasus.
Dengan adanya konflik atau sengketa tanah adat memungkinkan pandangan-pandangan yang selama ini dianggap baik, diperdebatkan kembali sehingga muncul pandangan baru. Hal yang tebih penting lagi yaitu untuk menguji gagasan dan nilai kinerja kelompok institusi-institusi yang ada dalam masyarakat adat Sentani sehingga penanganan konflik atau sengketa yang dilaksanakan selama ini secara sadar dan pemecahannya dapat diterima oleh semua pihak, dapat memberikan sumbangan yang berupa pola-pola atau pegangan-pegangan baru dalam penyelesaian konflik atau sengketa di daerah Sentani.
Akibat adanya konflik-konflik tanah adat tersebut memunculkan dampak konflik negatif dan konflik positif di daerah Sentani yang menjadi ancaman bagi keberlanjutan kehidupan komunitas lokal itu sendiri antara lain : retaknya hubungan sosial, terhambatnya fungsi sosial masyarakat, dan rapuhnya nilai-nilai sosial kemasyarakatan pada masyarakat Sentani, adanya inovasi (pembaharuan) dan perkembangan-perkembangan dari kebudayaan lokal (adopsi) serta pranata sosial di dalam komunitas adat Sentani itu sendiri maupun pemerintah Kabupaten Jayapura.
Karena itu disimpulkan bahwa akar penyebab konflik tidak berdiri sendiri dan merupakan satu kesatuan yang saling terkait sehingga diperlukan pola penyelesaian yang harus dilakukan sesegera mungkin dan secara cepat, menyuluruh serta terpadu (komprehensif) di dalam komunitas adat Sentani (struktur dan sistem adat) maupun di pihak pemerintah (mengimplikasikan kepentingan-kepentingan adat setempat) dengan memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait tersebut.
(VI Bab, xxiv, 303 Halaman, 3 Tabel, 1 Peta, 4 Bagan, 3 Foto, Bibliografi : 58 Buku, 4 Peraturan Pemerintah, 2 Tesis, 2 Skripsi, 7 Makalah, 3 Jurnal, 2 Lampiran)"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13902
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lamech A.P., compiler
"ABSTRAK
Kemajemukan hukum atau pluralisme hukum merupakan salab satu tema penting dalam nuansa kajian antropologi hukum (Rouland, 1992:2-4). Pluralisme hukum seperti dijelaskan oleh Hooker (1975:2-4) berkembang antara lain melalui pemerintahan kolonial dan berdirinya negara-negara baru. Di Indonesia misalnya, proses terjadinya pluralisme hukum berawal dari penerapan hukum oleh penjajah terutama pada masa kolonial Belanda ketika penduduk Indonesia (jajahan) digolongkan menjadi tiga golongan dimana masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan, yaitu golongan Eropa, Timur Asing, dan golongan Bumiputera (lihat: Arief, 1986:10-14; Ter Haar, 1980:21-25). Semenjak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945, sistem hukum nasional diwarnai oleh koeksistensi hukum formal dari negara dan hukum adat dari kelompok-kelompok etnis di Indonesia. Dalam hal ini, corak pluralisme hukum di Indoensia diwarnai oleh hukum formal yang sebagian merupakan peninggalan hukum kolonial dan produk hukum baru pemerintah Indonesia di satu pihak dan di lain pihak adalah hukum adat dari masing-masing kelompok etnis yang diakui keberadaannya oleh negara.
Eksistensi dan penerapan hukum yang berbeda-beda dalam kenyataan hidup bermasyarakat menimbulkan pandangan yang berbeda mengenai hukum mana yang menjadi pilihan utama untuk diterapkan. Salah satu aliran pendapat menyatakan bahwa bagaimanapun juga, dalam situasi pluralisme hukum, pada akhirnya yang menentukan adalah hukum dari negara. Pendapat yang dikenal dengan sebutan legal centralism ini ditentang oleh Griffiths (1986:4) yang menyatakan bahwa pada kenyataannya hukum negara itu tidak sepenuhnya berlaku. Dalam masyarakat dapat dikenai lebih dari satu tatanan hukum. Di Indonesia kritik dari Griffiths ini didukung oleh kenyataan bahwa terdapat kasus-kasus dimana hukum nasional belum menjangkau semua lapisan masyarakat. Alfian (1981:148), misalnya, menunjukkan peranan yang kurang berarti dari hukum nasional dalam kehidupan sehari-hari anggota masyarakat Aceh. Tingkah laku mereka banyak dipengaruhi oleh norma-norma atau nilai-nilai agama dan adat daripada peraturan-peraturan hukum yang seyogyanya harus berlaku. Pada sisi lainnya, terutama dalam kaitannya dengan proses penyelesaian sengketa, terdapat juga situasi dimana lembaga hukum formal untuk menyelesaikan konflik atau sengketa tidak mudah dijangkau oleh masyarakat pedesaan yang jauh terpencil. Contoh dari situasi seperti ini dijumpai pada orang Tabbeyan, sebuah desa di Kabupaten Jayapura (Irian Jaya), dimana terjadi konflik baik antar warga masyarakat itu sendiri maupun antara warga desa itu dengan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) yang konsesi hutan di daerah tersebut, namun tidak mudah memperoleh akses untuk menggunakan lembaga peradilan formal untuk menyelesaikannya (Tjitradjaja, 1993).
Keberadaan yang sesungguhnya dari sistem-sistem hukum dalam situasi pluralisme hukum dapat dilihat dalam pola pilihan yang dibuat terhadap sistem-sistem hukum tersebut dan hagaimana sistem-sistem hukum yang berbeda itu secara efektif dapat dipakai untuk menyelesaikan setiap masalah hukum yang timbul dalam masyarakat yang bersangkutan, terutama dalam penyelesaian sengketa yang timbul (Hooker, 1975). Secara teoritis semua sistem hukum mendapat peluang yang sama untuk dipilih sebagai sistem yang diandalkan dalam menghadapi setiap peristiwa hukum. Namun demikian pada kenyataannya pilihan-pilihan hukum mana yang dipakai bergantung pada strategi pembangunan hukum negara yang bersangkutan dan situasi-situasi nyata yang mengarahkan pilihan atas suatu sistem hukum. Dalam kaitan inilah proses penyelesaian sengketa pada suatu situasi pluralisme hukum dapat dipakai sehagai suatu pendekatan dalam menganalisa keberadaan dan keefektifan dari sistem hukum yang ada dalam memecahkan permasalahan hukum yang dihadapi oleh warga masyarakat."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aminah
"Akta perdamaian yang dibuat notaris sebagai pejabat umum pada dasarnya harus dibarengi dengan penerapan itikad baik, hal ini bertujuan agar pembuatan akta ini dapat menyelesaikan permasalahan sehingga tidak berujung sengketa dikemudian hari. Permasalahan dalam penelitian ini adalah (i) Bagaimana keabsahan Akta Perdamaian yang dibuat antara ahli waris kaum suku tanjung dengan pembeli beritikad baik dalam kasus jual beli tanah (ii) Bagaimana perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik dalam akta perdamaian pada Putusan Nomor: 2879/K/Pdt/2018. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normative dengan menggunakan data sekunder disertai tipologi penelitian eksplanatoris. Kesimpulan dari rumusan masalah ini adalah (i) Keabsahan Akta perdamaian dalam Putusan Nomor: 2879/K/Pdt/2018 adalah batal demi hukum sebab tidak memenuhi syarat objektif, karena isi dari akta perdamaian memuat pembayaran sejumlah uang atas jual beli yang telah dilaksanakan. (ii) Perlindungan hukum pembeli beritikad baik dilindungi berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata dan SEMA 4/2016 yaitu jual beli dilakukan berdasarkan prosedur yang dilakukan sesuai undang-undang dan tuntutan dari pihak ketiga hanya terkait kepada penjual bukan kepada pembeli. Sehingga dalam putusan ini walaupun telah dibuatnya akta perdamaian oleh pembeli dengan pihak ketiga yang bukan merupakan penjual, dan telah dilaksanakannya jual beli sesuai prosedur, maka akta perdamaian haruslah dibatalkan sebagai bentuk perlindungan terhadap pembeli beritikad baik.

The deed of peace made by a notary as a public official must basically be accompanied by the application of good faith. The problems in this study are (i) How is the validity of the Deed of peace made by the heirs who are not authorized with the buyer in good faith in the case of buying and selling land (ii) How is the legal protection for the buyer with good intentions in the deed of peace in Decision Number: 2879/K/ Pdt/2018. This research method uses a normative juridical research method using secondary data accompanied by an explanatory research typology. The conclusion of the formulation of this problem is (i) The validity of the deed of peace in Decision Number: 2879/K/Pdt/2018 is null and void because it does not meet the objective requirements, because the contents of the deed of peace contain the payment of a sum of money for the sale and purchase that has been carried out. (ii) Legal protection for buyers in good faith is protected under Article 1338 paragraph (3) of the Civil Code and SEMA 4/2016, namely buying and selling is carried out based on procedures carried out according to law and claims from third parties are only related to the seller, not to the buyer. So that in this decision, even though a deed of peace has been made by the buyer with a third party who is not the seller, and the sale and purchase has been carried out according to the procedure, the deed of peace must be canceled as a form of protection for buyers in good faith."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Eka Kristina Yeimo
"ABSTRAK
Sungai-sungai di Papua pada umumnya dipengaruhi oleh kondisi
fisik,sehingga sering terlihat keruh secara alami, karena tersuspensi oleh lumpur
tanah dan material lainnya, sehingga kualitas air secara fisik dari warna dan
tingkat kekeruhannya dapat dikatakan berkualitas buruk. Hal ini diperparah lagi
dengan adanya aktivitas manusia yang mengubah penutup tanah di daerah aliran
sungai (DAS). Penelitian ini dilakukan di DAS Sentani Papua, yang fokus
penelitiannya di Sub DAS Jembatan II, Flafouw dan Belo. Tujuan penelitian
untuk mengetahui pengaruh perubahan penggunaan tanah terhadap kualitas air
pada tahun 2005-2013 serta megetahui prakiraan kualitas air pada priode waktu
2025. Metode yang digunakan adalah analisis spasial dan temporal berbasis
sistem informasi geografi (SIG) dengan dasar citra Landsat 7 ETM sebagai basis
perolehan data sekunder tentang penggunaan tanah. Survey untuk mengambil
sampel air pada muara setiap Sub DAS yang dikaji, kemudian sampel air
dianalisis dilaboratorium guna memperoleh informasi tentang kualitas air, yang
baku mutunya mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001,
selanjutnya dilakukan penentuan status mutu air dengan metode STORET sesuai
dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis spasial deskriptif
kuantitatif dan analisis sistem dinamik. Hasil penelitian menunjukan parameter
kualitas air yang melewati baku mutu di ketiga Sub DAS adalah Total Suspended
Soild (TSS) dan Posfat (PO₄), sedangkan Nitrat (NO₃) tidak melewati baku mutu
yang ditetapkan berdasarkan kelas I. Status mutu air menunjukan Sub DAS
Jembatan II, Flafouw, dan Belo telah tercemar dengan kondisi cemar rigan.
Penggunaan tanah yang menyumbang beban pencemaran Total Suspended Soild
(TSS) dan Posfat (PO₄) paling besar adalah permukiman, kebun/ perkebunan,
tanah terbuka, dan semak belukar. Berdasarkan hasil simulasi model kualitas air
menunjukan adanya kecenderugan parameter Total Suspended Soild (TSS), Posfat
(PO₄) di ketiga Sub DAS akan terus meningkat mulai dari awal simulasi sampai
akhir simulasi (2005-2025) yang nilainya melewati baku mutu. Sedangkan Nitrat
(NO₃) akan terus meningkat tetapi tidakmelewati baku mutu.

ABSTRACT
The rivers in Papua in general is influenced by the physical condition, so
often seen naturally turbid because of suspended mud soil and other materials, so
that the physical water quality of the color and turbidity levels can be said to be of
poor quality. This is reinforced by the presence of human activity that alters land
cover in the watershed (DAS). This research was conducted in the watershed
Sentani Papua, the focus of his research in Sub-watershed JembatanII, Flafouw
and Belo. The purpose of the study to determine the effect of land use change on
water quality in the years 2005-2013 and forecasts know water quality in the
period of time in 2025. Methods used are based on the analysis of spatial and
temporal geographic information systems (GIS) on the basis of Landsat 7 ETM
imagery as a base acquisition secondary data on land use. Survey to take water
samples at the mouth of each sub-watershed were assessed, then the water
samples were analyzed at the lab in order to obtain information about water
quality, the quality standard based on Government Regulation No. 82 of 2001,
then performed the determination of water quality status with STORET method in
accordance with the Decree of the Minister state of the Environment No. 115 of
2003. analysis used in this research is descriptive quantitative analysis of spatial
and dynamical systems analysis. The results showed the water quality parameters
that pass the quality standard in three sub-watersheds are TSS and PO ₄, whereas
NO ₃ does not pass quality standards established by class I. Status of water quality
showed sub watershed Bridge II, Flafouw, and Belo have been contaminated with
the condition blackened Rigan . Land use accounts for TSS pollution load and PO
₄ most of it is residential, farm / plantation, open land, and shrubs. Based on the
simulation results showed the presence of the water quality model parameters
kecenderugan TSS, PO ₄ in the third sub-watershed will continue to increase from
the beginning of the simulation until the end of the simulation (2005-2025) whose
value is passed quality standards. While NO ₃ will continue to increase but did not
pass pass qualitystandards."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
T42056
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wanda Hamidah
"Analisis yang dilakukan dalam penulisan ini adalah sengketa tanah di Raya Belawan-Medan, Km 7,9 antara Drs.AFN melawan Depkominfo RI. Analisis ini mengkaji putusan No.239/PDT/G/1997IPN.Medan yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 18 Mei 1999 berkaitan dengan gugatan DRS.AFN mengenai permohonan pembatalan Sertifikat Hak Pakai No.l Tahun 1995 atas nama Depkominfo terhadap tanah yang menjadi objek sengketa.
Untuk dapat menjelaskan aspek hukum yang digunakan oleh peneliti dalam mengkaji putusan tersebut, maka peneliti menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif. Sumber yang menjadi bahan penelitian adalah data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sengketa tanah tersebut.
Analisis putusan tersebut memperlihatkan ada tiga permasalahan yang terungkap yakni pembatalan SK.Mendagri No.47/HM/DA/1988 tentang permohonan hak milik atas tanah yang menjadi obyek sengketa atas nama Drs.AFN, kemudian penerbitan Sertifikat Hak Pakai No.1 Tahun 1995 atas nama Depkominfo dan kewenangan kompetensi pengadilan negeri itu sendiri.
Hasil analisis berkenaan dengan pembatalan SK. Mendagri oleh Kepala BPN memperlihatkan bahwa pengakuan hukum yang diberikan oleh Undang-undang Nasional ternyata tidak menjamin penghargaan seutuhnya terhadap hak kelompok masyarakat adat. Indikasi ini terlihat pada proses pembatalan SK.Mendagri oleh Kepala BPN tersebut yang tidak mengindahkan bukti kepemilikan Drs.AFN yakni Grant Sultan No.95 Tahun 1900 yang diakui keberadaannya berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang ketentuan Pokok Agraria.
Analisis terhadap permasalahan penerbitan Sertifikat Hak Pakai No.l Tahun 1995 ternyata juga menyalahi ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah serta Permendagri No.5 Tahun 1975 tentang ketentuan Pemberian Hak Atas Tanah. Kewenangan pengadilan negeri juga menjadi permasalahan yang muncul dalam analisis ini karena putusan yang dikeluarkan oleh hakim pengadilan negeri berkenaan dengan status hukum Sertifikat Hak Pakai No.l Tahun 1995 telah menyalahi kompetensinya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16431
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulastriyono
"Pada awalnya, tanah timbul di muara sungai Progo terjadi karena proses alam yaitu akibat banjir yang membawa lumpur dan pasir yang mengendap kemudian muncul di pinggiran dan di tengah aliran muara sungai. Pada tahap berikutnya, dengan dilakukannya pembangunan tanggul pengaman banjir dan krep di sepanjang sisi timur muara sungai Progo mengakibatkan bentuk dan luas tanah timbul semakin bertambah (tahun 1985= 48 Ha. dan tahun 1996= 229,5360 Ha).
Keberadaan tanah timbul di muara sungai, Progo sebagai tanah komunal desa (tanah desa) memberikan harapan yang baik bagi para petani dan aparat pemerintah desa Poncosari. Bagi para petani, keberadaan tanah timbul secara ekonomis potensial untuk usaha pertanian dan penambangan pasir. Di lain pihak, bagi aparat pemerintah desa Poncosari, keberadaan tanah timbul sebagai tanah komunal desa (tanah desa) merupakan salah satu asset/ kekayaan desa.
Upaya penertiban penguasan tanah timbul oleh aparat pemerintah desa Poncosari didukung oleh para pejabat BPN kabupaten Bantul dengan Proyek Peningkatan Penguasaan hak Atas Tanah (PPPHT) yang dituangkan dalam keputusan desa nomor 4 tahun 1992. Upaya penertiban penguasaan tanah timbul tersebut mendapatkan reaksi atau tanggapan dari para petani penggarap sehingga mengakibatkan permasalahan yaitu konflik atau sengketa antara para petani penggarap dengan aparat pemerintah desa Poncosari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya penertiban penguasaan tanah timbul yang dilakukan oleh aparat pemerintah desa Poncosari menyebabkan konflik atau sengketa antara para petani penggarap dan aparat pemerintah desa Poncosari dan berdampak negatif bagi kehidupan para petani. Masing-masing pihak menggunakan caranya sendiri-sendiri dalam upaya menyelesaikan sengketanya.
Konflik atau sengketa tersebut disebabkan oleh:
Pertama, perbedaan persepsi kedua belah pihak mengenai penguasaan tanah timbul. Secara historis faktual, para petani penggarap telah terbukti sebagai pemegang hak garap atas tanah timbul yang berlangsung secara turun temurun tanpa ada gangguan dari pihak lain, konsekuensinya mereka tidak mau ditarik retribusi baik oleh aparat pemerintah desa atau negara. Di lain pihak, aparat pemerintah desa Poncosari sebagai pemegang kekuasaan desa merasa berhak merealisir hak ulayat desa untuk mengatur dan menertibkan penguasaan tanah komunal desa yang berupa tanah timbul dengan konsekuensi bahwa para petani yang menerima lahan wajib membayar retribusi kepada aparat pemerintah desa guna mendukung pembangunan desa.
Kedua, para petani penggarap tanah timbul dan aparat pemerintah desa Poncosari masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda dalam mempertahankan status sebagai pemegang hak tanah timbul.
Ketiga, para petani dan aparat pemerintah desa Poncosari mempunyai persepsi yang berbeda mengenai aturan yang seharusnya berlaku dalam melaksanakan hak penguasaan tanah timbul. Kehidupan para petani di desa Poncosari yang teratur merupakan suatu lapangan sosial yang semi-otonom (semi-autonomous social field). Di lain pihak, lingkungan kerja para aparat pemerintah desa Poncosari juga merupakan salah satu wujud lapangan sosial yang semi otonom (semi-autonomous social field). Kedua lapangan sosial yang semi-otonom tersebut mampu menciptakan aturan-aturan sendiri dan dan ditaati.nya, tetapi keduanya juga dapat menggunakan aturan-aturan tertulis yang dibuat oleh negara yang berujud perundang-undangan. Dalam hal ini, kedua belah pihak tetap rentan terhadap kekuatan dari luar yang lebih besar. Bagi kedua belah pihak, penguasaan aturan-aturan tersebut tergantung kepada kepentingannya, dalam arti mereka akan menggunakan aturan yang lebih menguntungkannya.
Konflik atau sengketa penguasaan tanah timbul di desa Poncosari berdampak negatif bagi kehidupan para petani karena konflik atau sengketa 'penguasaan tanah timbul di desa Poncosari antara lain megakibatkan terganggunya keserasian hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari, terutama di dusun Sambeng II.
Berbagai strategi untuk menyelesaikan konflik atau sengketa telah dilakukan oleh para pihak yang bersengketa. Di satu pihak, para petani melakukan koalisi secara vertikal dengan para tokoh-tokoh politik, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) serta koalisi secara horizontal dengan membentuk Kelompok Petani Penggarap Tanah Timbul Pinggir Kali (KETALI). Di lain pihak, aparat pemerintah desa Poncosari juga melakukan koalisi secara vertikal dengan para pejabat atasannya seperti camat, aparat keamanan bupati dan gubernur."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Lefi Haliano Putra
"ABSTRAK
Kedudukan hukum tanah ulayat sebagai hak konstitusional masyarakat adat masih banyakbelum disadari oleh masyarakat adat itu sendiri berikut pihak-pihak lain yang terkait. Takjarang terjadi banyak persoalan yang dihadapi oleh masyarakat adat mulai dari sebab yanglegal seperti akibat kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada mereka, hinggatindakan-tindakan ilegal yang dilakukan oleh pihak lain seperti penyerobotan lahan. Haltersebut pada akhirnya menimbulkan urgensi pembentukan sistem peradilan yang baru yanglebih sesuai dan solutif untuk persoalan tanah ulayat, suatu sistem peradilan yang cepat,murah, sederhana, dan tentu saja berpihak pada hak konstitusional masyarakat adat. Metodepenelitian yang digunakan dalam hal ini berupa tipe penelitian Normatif, tipologi penelitianPreskriptif, menggunakan jenis data Sekunder, melalui pendekatan perundang-undangan,pendekatan konsep, pendekatan sejarah, pendekatan kasus. Dalam hal ini gagasan konsepsistem peradilan lokal agraria merupakan suatu gagasan yang akan menjawab persoalanpersoalanyang menghampiri tanah ulayat masyarakat adat, dengan keistimewaan titik beratkeputusan diserahkan secara merdeka kepada masyarakat adat, dengan keberpihakanpemerintah kepada masyarakat adat, dan tentu saja didesain sedemikian rupa sehingga sesuaidengan struktur ketatanegaraan Republik Indonesia.Kata Kunci : Tanah Ulayat, Masyarakat Adat, Sistem Peradilan, Agraria

ABSTRACT
Law Position of community law as a contitutional right for traditional community still notaware by traditional community itself included related parties. It rsquo s often happenend manyproblem faced by traditional community such a legal cause like effect of government wisdomwhich is not take sides for them, also illegal actions which is doing by other parties likeillegal occupancy of land. in the end those problem make an urgency to establishment thenew law system, which is more compatible and giving solution for community land problem,a judicature system which is fast, cheap, simple, and of course takes a side to constitutionalright of traditional community. Research method which used is normative type research,prescriptive research typology, using secondary source, through legislation approachment,concept approachment, history approachment, and case approachment. In this case the ideaof local judicature system establishment is an idea which can to answer community landproblems, which is the privilege decision is given to traditional community, with thegovernment takes side to traditional community, and of course designed to fit for IndonesianRepublic state structure.Keywords Community Land, Traditional Community, Judicature System, Agrarian"
2017
T47261
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ellyca
"Tanah terlantar merupakan suatu hal yang merugikan masyarakat umum karena tanah merupakan milik Bangsa Indonesia yang harus dimanfaatkan sebesar-besanrya untuk kesejahteraan umum sehingga apabila ditelantarkan maka berdampak menimbulkan kerugian terhadap masyarakat. Oleh karena itu mengenai tanah terlantar perlu dilakukan penertiban yang mana hal tersebut dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional selaku instansi ynag berwenang dalam menertibkan dan menetapkan tanah terlantar. Namun, dalam praktik melaksanakan kewenangannya dalam bentuk Surat Keputusan Penetapan Tanah Terlantar yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional justru berujung hingga Pengadilan karena pihak yang memiliki tanah merasa bahwa keputusan yang dibuat atas tanah milik mereka tidak selayaknya ditetapkan sebagai tanah terlantar yang mana dalam beberapa putusan pengadilan, Badan Pertanahan Nasional justru kalah dalam gugatan atas penetapan tanah terlantar sehingga surat keputusan yang telah diterbitkan dinyatakan dicabut. Atas dasar itu, maka terdapat faktor-faktor yang menyebabkan surat keputusan yang telah diterbitkan dicabut sehingga hal ini menimbulkan perkara hukum atas keputusan yang telah diterbitkan. Analisis mengenai penertiban tanah terlantar dalam penelitian ini akan dibatasi dengan 7 (tujuh) putusan pengadilan untuk melihat pola dari penertiban tanah terlantar.

Abandoned land is something that is detrimental to the general public because land belongs to the Indonesian nation which must be utilized to the fullest extent possible for the general welfare so that if it is neglected it will have an impact on causing harm to the community. Therefore, regarding abandoned land, it is necessary to control it, which is carried out by the National Land Agency as the agency that has the authority to regulate and determine abandoned land. However, in practice exercising its authority in the form of a Decree on the Determination of Abandoned Land issued by the National Land Agency actually ends up in court because the parties who own the land feel that decisions made on their land should not be designated as abandoned land which in several court decisions, The National Land Agency actually lost the lawsuit over the designation of abandoned land so that the decree that had been issued was declared repealed. On that basis, there are factors that cause the decision letter that has been issued to be revoked so that this creates a lawsuit against the decision that has been issued. The analysis regarding the control of abandoned land in this study will be limited to 7 (seven) court decisions to see the pattern of controlling abandoned land."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>