Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 66342 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irma
"Masalah kajian adalah perwujudan keluarga Jepang di perkotaan dan pusat industri. Perkembangnan teknologi industri setelah terjadinya modernisasi di Jepang mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan masyarakatnya. Seperti kemajuan teknologi yang mengagumkan sejak lahir Perang Dunia kedua telag meningkatkan standar hidup bangsanya dari akibat reruntuhan perang menjadi salah satu negara dengan pendapatan ekonomi tertinggi di dunia.
Industrialisasi menimbulkan arus urbanisasi ke kota-kota dan pusat industri, terutama kaum muda selain chonan (pewaris) yang mengharapkan pekerjaan bergaji. Munculnya industri-industri besar yang menciptakan peluang kerja dengan jenis pekerjaan yang bervariasi dan menuntut keahlian, menyebabkan mereka terpaksa harus tinggal dekat dengan lokasi pekerjaan. Pemisahan rumah dengan tempat kerja ini menimbulkan pecahnya keluarga luas dan menciptakan keluarga inti."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T3212
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurlaela
"Menurut beberapa ahli bahwa ohaka adalah cerminan kebudayaan masyarakat tertentu, dari hal inilah dapat dikatakan bahwa ohaka Jepang merupakan salah satu cerminan kebudayaan Jepang. Kebudayaan Jepang yang dirnaksud dalam skripsi ini adalah kebudayaan yang paling khas dalam masyarakat Jepang, yang dapat terlihat dari keluarga Jepang yang bersifal patrilinealMelihat kaitan ohaka dengan sistem kekerabatan Jepang adalah keduanya memiliki kemiripan. Contohnya, pada sistem kekerabatan Jepang yang berdasarkan garis keturunan laki-laki, semua hak pewarisan akan jatuh kepada ahli waris anak laki-laki pertama (chonan), dan setelah chonan menjadi kepala keluarga (kacho) semua hak pengaturan rumah tangga berada ditangannya.Berkaitan dengan pengertian simbol oleh salah seorang antropolog. Victor Turner, yang memusatkan penelitian mengenai simbol pada suku Ndembu di benua Afrika, bahwa simbol adalah sesuatu yang dipandang sebagai suatu persetujuan umum atau perwakilan atau kenangan alas sesuatu yang memiliki kualitas, penulis menjelaskan bagaimana ohaka dapat dikatakan sebagai simbol keluarga Jepang.Dalam hal ini pcnulis berpegang pada pengertian simbol oleh Turner di atas, bahwa sesungguhnya sistem ohaka memiliki kemiripan dengan sistem kekerabatan masyarakat Jepang. Selanjutnya untuk landasan berikutnya, Turner menyatakan bahwa sebelum dapat menafsirkan sebuah simbol, peneliti harus dapat mengumpulkan data yang diperoleh dari; Pertama, bentuk eksternal dan karakteristik-_karakteristik yang nampak. Kedua, tafsiran-tafsiran yang diberikan oleh para ahlimaupun awam dan terakhir, konteks-konteks yang penting yang sebagian besar dilakukan oleh ahli antropologi. Landasan terakhir adalah sifat simbol yang dikaitkan dengan ohaka.Ohaka memenuhi semua kriteria yang telah diuraikan diatas. Maka dapat dikatakan bahwa ohaka memang dapat dikatakan sebagai simbol keluarga Jepang sekaligus membuktikan bahwa sistem ie yang dinyatakan telah digantikan oleh sistem keluarga yang baru yaitu kakukazoku masih tetap ada secara sadar atau tidak sadar dalam pencerminan ohaka."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S13464
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sera Revalina
"ABSTRACT
Tanshin Funin adalah suatu keadaan dimana seorang kepala keluarga harus tinggal terpisah dengan keluarga karena mendapat tugas untuk bekerja di tempat yang jauh dari perusahaan dalam jangka waktu tertentu.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang memutuskan untuk tinggal terpisah daripada pindah bersama keluarga ke tempat tugas yang baru. Faktor pertama adalah masalah pendidikan anak. Jika seorang anak pindah sekolah, maka terkadang akan menimbulkan masalah dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Kemudian, kualitas sekolah di tempat yang baru juga belum tentu baik.
Faktor kedua adalah tidak ada yang dapat merawat rumah selama pergi bertugas padahal harga rumah di Jepang sangat tinggi. Faktor ketiga adalah perawatan orang tua. Tanggung jawab merawat orang tua adalah tanggung jawab anak sehingga biasanya istri harus tetap tinggal untuk merawat orang tua. Faktor ke empat adalah sulit bagi istri untuk berhenti dari pekerjaan dan pindah bersama suami ke tempat tugas yang baru.
Dampak negatif yang ditimbulkan dari tanshin funin antara lain baik suami maupun istri menjadi lebih tertekan, lebih banyak mengkonsumsi alkohol karena harus menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Dampak lainnya adalah anak menjadi kurang disiplin dan hubungan ayah dan anak menjadi renggang karena kurangnya waktu untuk berkomunikasi. Akan tetapi bagi keluarga yang dapat beradaptasi dengan bentuk kehidupan mereka dengan tinggal terpisah ternyata tanshin funin dapat memperat ikatan keluarga.
Tanshin funin harus dilakukan agar karir di perusahaan dapat berkembang dan kepentingan keluarga tetap dapat terpenuhi. Karena itu, sebuah keluarga harus dapat meminimalisir dampak negatif tanshin funin dan berusaha melihat sisi positif dari tanshin funin.

"
1999
S13862
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sauliah
"Setelah melewati periode Nara ( abad ke-7 s/d _abad ke-8), maka periode sejarah Jepang selanjutnya disebut dengan periode zaman Heian (abad ke-8 s/d abad ke-12). Di Taman Heian kaum kizoku atau bang_sawan lebih banyak berperan, baik di kalangan pemerin_tahan maupun di dalam lingkungan masyarakat ketika itu. Istilah kizoku di dalam bahasa Indonesia seca_ra harafiah berarti bangsawan. Oleh karena itu untuk,selanjutnya penulis akan menggunakan istilah bangsawan untuk istilah kizoku. Dan selanjutnya penulis akan me_nuangkan serta menguraikan permasalahan kaum, bangsawan di zaman Heian di dalam skripsi ini. Di zaman Heian, kaum bangsawan memberikan suatu bentuk kebudayaan yang memiliki ciri khas tertentu. Inilah yang menjadi motivasi bagi penulis untuk menco_ba membahas tentang kaum bangsawan serta kebudayaannya di zaman ini, karena menurut hemat penulis kaum bangsa wan di zaman Heinan tampaknya lebih dominan dari rakyat pada umumnya. Motivasi ini diperkuat lagi setelah pe_nulis membaca beberapa artikel dari buku Sejarah Jepang yang berjudul Heian Kizoku, jilid ke-3 dari buku Nihon no Rekishi, terbitan Tokubai Shinbunsha yang lebih banyak menceritakan kehidupan kaum bangsawan serta hasil-hasil budayanya yang muncul ketika itu yang berbeda dari masa sebelumnya. Kaum bangsawan di zaman Heian melambangkan kejayaan kalangan kuge pada umumnya di masa itu. Istilah kuge identik dengan apa yang disebut kizoku atau seca_ra harafiahnya adalah kaum bangsawan. Namun istilah ini kurang beruntung karena istilah kizoku lebih dorr.inan digunakan di dalam tulisan-tulisan tentang sejarah Je_pang, khususnya sejarah periode Heian. Sehingga di dalam penulisan skripsi ini, istilah kaum bangsawan yang akan digunakan bukan hanya mengacu kepada pengertian kizoku melainkan juga berarti kuge. Kehidupan kaum bangsawan di zaman Heian penuh dengan kemewahan dan dapat dinilai menyaingi atau meng-imbangi taraf hidup keluarga kaisar. Selain secara po_litis mereka erat kaitannya dengan pihak kaisar, mere_ka juga merasa memiliki hubungan yang erat atau khusus dengan pihak kaisar. Hal ini diperkuat lagi dengan a danya jalinan perkawinan puteri-puteri kaum bangsawan dengan putera-putera keturunan kaisar. Di dalam pemerintahan, kaum bangsawan banyak rnemegang jabatan-jabatan panting. Pada masa awal Heian ini, sistim pemerintahan masih mengikuti sistim Cina yaitu berpegang pada sistim ritsuryo dimana penyeleng_gara pemerintahan dengan pimpinan tertinggi terletak di tangan kaisar. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa zaman Heian dan kebudayaannya memiliki ciri khas tersendiri dan ciri ini ditandai dengan budaya yang serba mewah. Sebagai suatu bukti dari ciri kemewahan tersebut dapat kita lihat dalam suatu upacara memajang seperangkat boneka yang dihias dengan mewah yang melambangkan kemewahan kehidupan dari kaum bangsawan ketika itu. Upacara atau festival seperti ini di jepang dikenal dengan nama hina matsuri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S13857
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Ogawa Yoko as a Japanese novelist mostly features the life of contemporary Japanese society in her novels. One that stands out from her works is the image of the Japanese family structure. Ogawa outlines the Japanese family structure in contrast to the Japanese family structure in actual society, as in the novel Kifunjin A No sosei, Hakase no Aishita Suushiki, and Miina no Koushin. These three novels depict Japanese family structure more complex than her other novels. How Ogawa described Japanese family structure in the three novels is the issue on this article. This article is a literature study ; data were collected from the three novels and analyzed using sociological literature approach and the concepts of Japanese traditional family known as ie system. This paper shows that there was an implementation of the ie system in the three novels yet it was only a part of the ie concept. "
LINCUL 8:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tjut Dhila Rehan
"ABSTRAK
Ketika memasuki masa dewasa muda, manusia ada pada tahap intimacy dan memulai untuk membangun suatu hubungan romantis. Salah satu upaya untuk mempertahankan hubungan romantis tersebut bisa dengan melakukan pengorbanan. Pengorbanan yang dilakukan seseorang dilandasi dengan dua motif, motif approach dan motif avoidance. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara komitmen dan motif berkorban dan juga melihat peran extraversion sebagai moderator. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 985 dewasa muda yang sedang menjalin hubungan berpacaran. Partisipan diminta mengisi kuesioner yang terdiri dari alat ukur komitmen, motif berkorban dan extraversion. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan bahwa terdapat hubungan antara komitmen dan motif berkorban baik motif approach (p>0.000), maupun motif avoidance (p>0.001). Hasil lainnya juga ditemukan bahwa extraversion tidak berperan sebagai moderator pada hubungan komitmen dan motif berkorban. Dengan demikian, hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa individu yang memiliki tingkat komitmen yang tinggi akan lebih cenderung untuk melakukan pengorbanan baik dilandasi dengan motif approach maupun motif avoidance tidak bergantung dari tingkat extraversion.

ABSTRACT
In young adulthood, individuals are at the intimacy stage and begin to build a romantic relationship. To maintain a romantic relationship, it can be by making sacrifices. Individual sacrifices are based on two motives, approach motives and avoidance motives. This research was conducted to see the relationship between commitment and motives of sacrifice and also see the role of extraversion as a moderator. The participants in this study amounted to 985 young adults who were dating. Participants were asked to complete a questionnaire consisting of commitment, motives of sacrifice and extraversion measures. Based on the results of the analysis, it was found that there was a relationship between commitment and motives of sacrifice in both approach motives (p> 0.000), and avoidance motives (p> 0.001). Other findings also show that extraversion does not act as a moderator in the relationship of commitment and motives of sacrifice. Thus, the results of this study indicate that individuals who have a high level of commitment will be more likely to make sacrifices based on either the approach motives or avoidance motives and not dependent on individuals extraversion level."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prawestri Bayu Utari Krisnamurthi
"Dalam hubungan romantis berpacaran, individu menginginkan kebahagiaan dan kepuasan dalam menjalani hubungannya tersebut. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan individu dalam hubungan romantis, diantaranya tekanan dari luar yang menimbulkan stres sehingga berdampak negatif terhadap kepuasan hubungan. Sikap yang ditunjukan antar pasangan dalam menghadapi stres menjadi salah satu faktor yang mendorong kelanggengan hubungan romantis, dimana kedua pasangan terlibat dalam proses self-disclosure dan adanya respon yang sesuai diberikan oleh lawan bicara, disebut juga perceived partner responsiveness (PPR). Penelitian kuantitatif ini bertujuan untuk menguji efek PPR sebagai moderator antara self-disclosure dan kepuasan hubungan romantis. Sebanyak 441 dewasa muda (18-30 tahun) berpartisipasi dalam penelitian ini. Self-disclosure diukur menggunakan Self-disclosure Scale (Wheeless & Grotz, 1976); PPR diukur dengan Perceived Partner Responsiveness Scale (Reis & Shaver, 1988) dan kepuasan hubungan diukur dengan Relationship Assessment Scale (Hendrick, 1988). Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) aspek amount factor dan honesty-accuracy factor pada proses self-disclosure dapat memprediksi kepuasan hubungan secara signifikan; (2) aspek understanding dan validating pada PPR tidak signifikan memoderatori hubungan antara honesty-accuracy factor dalam proses selfdisclosure; dan (3) aspek understanding dalam PPR signifikan memoderatori hubungan antara amount factor pada proses self-disclosure dan kepuasan hubungan. Dapat disimpulakan dari hasil penelitian ini, ditemukan bahwa yang memandang pasangannya secara akurat menangkap kebutuhan (understanding) dari informasi yang diungkapkan cukup banyak dan mendalam (amount factor), maka akan memiliki tingkat kepuasan hubungan yang lebih tinggi.

In a romantic relationship, individuals want happiness and satisfaction in their relationship. There are several factors that affect the level of individual satisfaction in relationships, such as external pressure that cause stress which negatively impacts relationship satisfaction. The attitude that is shown between partners in dealing with stress is one of the factors that encourages the romantic relationships satisfaction, where both couples are involved in self-disclosure process and they receive responses given by their partner are in accordance with their expectations, also called perceived partner responsiveness (PPR). This quantitative study aims to examine the effect of PPR as a moderator between self-disclosure and romantic relationship satisfaction. A total of 441 young people (18-30 years) in this study. Self-disclosure is measured using the Selfdisclosure Scale (Wheeless & Grotz, 1976); PPR is measured by the Perceived Partner Responsiveness Scale (Reis & Shaver, 1988) and relationship satisfaction is measured by the Relationship Assessment Scale (Hendrick, 1988). The results showed that (1) amount factor and honesty-accuracy factor of self-disclosure significantly predicted relationship satisfaction; (2) the understanding and validation aspects of PPR do not significantly moderate the relationship between honesty-accuracy factor of self-disclosure; and (3) the understanding aspect in PPR significantly moderates the relationship between amount factor of self-disclosure process and relationship satisfaction. This study shows that individuals who perceive their partners as accurately capture their needs (understanding) of the deep and private information about themselves (the number factor), will have a higher level of relationship satisfaction."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tindak penganiayaan terhadap anak (jidougyakutai) yang dilakukan olch ibu kandung ditinjau dari latar bclakang sosial dan budaya masyarakat Jepang.
Jepang sebagai salah satu negara maju, tidak Input dari masalah sosial_ Salah satunya adalah masalah tindak penganiayaan terhadap anak yang dilakukan oleh ibu kandung. Masalah ini tidak ditemukan sebelum tahun 1970 di klinik-klinik Jepang ataupun di teks book kesehatan anak. Kasus-kasus penganiayaan anak ini diperkirakan mulai terjadi setelah tahun 1970 seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi Jepang secara pesat, kasus-kasus penganiayaan anak terus meningkat hingga sekarang.
Dengan banyaknya perpindahan penduduk ke daerah perkotaan menyebabkan harga tanah menjadi tinggi dan tidak seimbangnya lahan yang tersedia dengan jumlah penduduk, sehingga masyarakat yang tinggal di kota, umumnya tinggal di apartemen yang sempit.
Populernya pekerjaan di industri ketiga, di bidang servis, jasa dan perdagangan turut mendorong penduduk Jepang berpusat di perkotaan. Hal ini menyebabkan sistem keluarga tradisional Jepang yang lama, meneruskan ie semakin lama semakin punah karena banyak orang muda lebih memilih mencari pekerjaan yang baru ketimbang meneruskan usaha keluarga. Keluarga Jepang tradisional dengan ciri keluarga besar berubah menjadi keluarga inti yang hanya terdiri dari orang tua dan anak. Keterbatasan dana dan waktu menyebabkan banyak pasangan muda yang memilih tinggal sendiri dibandingkan tinggal bersama-sama dengan orang tua mereka, gaya hidup tradisional dan modern sangat berbeda.
Dengan sistem waktu kerja dalam perusahaan yang menyebabkan jam pulang kerja ayah sangat larut dan juga dengan berubahnya jumlah anggota keluarga dalam masyarakat Jepang menyebabkan hak pengasuhan anak berada di tangan para ibu. Waktu yang dihabiskan bersama antara ibu dan anak menjadi sangat besar dan berpeluang besar bagi para ibu untuk menganiaya anaknya.

"
2001
S13924
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yafi Sayyaf
"Tulisan ini berisikan penelitian yang bertujuan untuk melihat, mengargumentasikan, dan mendemostrasikan relasi dan implikasi antara masyarakat jejaring, identitas proyeksi, dan fenomena pascakebenaran (post-truth). Penelitian ini menggunakan teori masyarakat jejaring (network society) Manuel Castells sebagai landasan teori utama. Fenomena pascakebenaran yang dibahas pada tulisan ini terfokus pada gelembung penapis informasi (filter bubble) dan problem validitas informasi. Penelitian ini menggunakan metode analitis kritis untuk menelaah implikasi yang ditimbulkan dari relasi antara masyarakat jejaring, identitas proyeksi, dan fenomena pascakebenaran. Terjadi degradasi kepercayaan terhadap institusi sumber kebenaran yang objektif. Peneliti melihat bahwa identitas proyeksi masyarakat jejaring sering kali memproduksi, menyebarkan. Dan menerima informasi yang subjektif terhadap kelompok atau identitasnya. Oleh karena itu, menghasilkan subjektivitas informasi dan hilangnya validitas informasi yang berada dalam masyarakat jejaring. Hal ini terjadi karena sistem informasi yang terfragmentasi dalam gelembung algoritma internet. Dengan demikian identitas proyeksi dan fenomena pascakebenaran, khususnya gelembung penapis informasi, berimplikasi pada bias validitas informasi yang objektif.

This paper contains research that aims to see, argue for, and demonstrate the relationships and implications between networked societies, projected identities, and post-truth phenomena. This study uses Manuel Castells' theory of network society as its main theoretical basis. The post-truth phenomenon discussed in this paper focuses on filter bubbles and the problem of information validity. This study uses critical analytical methods to examine the implications arising from the relationship between networked societies, projected identities, and post-truth phenomena. There is a degradation of trust in the institution of an objective source of truth. Researchers see that the projected identity of network society often produces and disseminates And receive subjective information about the group's identity. Therefore, it results in the subjectivity of information and the loss of validity of information that resides in a networked society. This happens because information systems are fragmented in internet algorithm bubbles. Thus, identity projection and post-truth phenomena, especially information filter bubbles, have implications for objective information validity biases."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>