Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 58707 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kuhn, Thomas S.
Bandung: Remadja Karya , 1989
501 KUH p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Isni Hari Pudjarama
"Penulisan ini terutama mengkaji paradigma Kuhn sehubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pendapat Kuhn itu mengimplikasikan bahwa ilmu tidak berkembang secara kumulatif evolusioner, melainkan revolusioner. Metode pembahasan menggunakan studi kepustakaan. Buku buku yang dipakai adalah buku-buku bacaan primer teks-teks filsafat dan buku-buku bacaan sekunder yang bersangkutan dengan tema skripsi. Menurut Kuhn konsep paradigma dan revolusi ilmiah memberikan semangat yang sangat berarti di dalam perkembangan dunia keilmuan umumnya dan filsafat khususnya. Dan untuk mencapai suatu paradigma, ilmuwan harus dapat meyakinkan bahwa teorinya dapat diterima yang tentu saja harus lebih baik daripada saingannya. Bagi Kuhn sifat ini disebut revolusi ilmiah. Setelah paradigma yang lama direvolusi, bukan berarti teori ilmiah berhenti pada paradigma yang baru itu, sebab teori ilmiah selalu terbuka untuk direvolusi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S16051
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia , 1984
121 ILM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia , 1987
121 ILM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Conny R. Semiawan
Bandung: Ramaja Karya, 1988
501 CON d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Sains, alam, dan manusia memiliki hubungan yang sangat erat. Mereka saling mempengaruhi satu sama lain. Awalnya, hubungan ketiganya baik-baik saja. Akan tetapi, ketika yang satu ingin menguasai yang lain, ketidakharmonisan terjadi. Hal ini juga terlihat ketika sains yang awalnya ingin meningkatkan kualitas hidup manusia, memandang dirinya secara berlebihan, dan berakibat pada kerusakan alam. Penemuan-penemuan sains tidak lagi peduli dengan alam ataupun manusia. Sains menjadi sangat jumawa. Sains sedang terpengaruh paradigma pragmatisme, yaitu paradigma yang hanya berorientasi pada tujuan dan menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan tersebut. Paradigma ini harus dirubah. Alam harus tetap terjaga karena alam menjadi tempat tinggal manusia. Jika alam rusak, manusia tidak lagi memiliki tempat tinggal. Paradigma itu harus diganti dengan paradigma yang memandang alam sebagai sebuah organisme yang utuh, hidup, dan harus dijaga dan dirawat dengan penemuan-penemuan sains."
JFW 2:1 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Sains dan alam memilki relasi yang sangat erat. Sains merupakan hasil kreatifitas manusia guna menjawab kebutuhannya untuk memahami alam. Dalam perspektif tertentu, memahami alam dapat berarti juga sebagai usaha manusia untuk menaklukkan alam dengan sains. Hal inilah yang setidaknya dipikirkan oleh Francis Bacon dengan menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dapat berkuasa atas alam. Namun, selain Bacon terdapat banyak filsuf yang memandang alam sebagai suatu hal yang parsial dan tidak utuh. Mereka dapat dikategorikan ke dalam tiga bentuk paradigma, yakni materialistik, saintifik-sistematik, religiusistik. Mereka tidak menyadari bahwa mereka telah memandang alam secara parsial, sehingga dengan mengambil keputusan untuk menggunakan sains sebagai alat untuk “memahaminya”, sejatinya mereka telah merusak alam. Munculnya dampak negatif atas eksploitasi alam yang semakin sering, seperti banjir, longsor, dan global warming, hendaknya membuat manusia berpikir akan adanya suatu pembaharuan. Pembaharuan yang hendak ditawarkan dalam paper ini adalah merubah paradigma kita dan menyadari bahwa kita harus bertanggung jawab terhadap alam karena pada dirinya sendiri alam adalah realitas yang bernilai. Pun juga dengan sains yang adalah bernilai. Karenanya, keduanya harus bertemu bukan dengan mengeksploitasi satu dengan yang lain, melainkan bertemu dalam paradigma nilai guna perkembangan dan kesejahteraan bersama dalam realitas dunia."
JFW 2:1 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ridwan Mukti
"Hingga saat ini, pemikiran Yunani dianggap sebagai awal dari dimulainya manusia memikirkan tentang alam dan manusia. Pertanyaan yang kerap muncul dalam pikiran filosof Yunani adalah dari mana datangnya semesta alam ini ? ; Bagaimana mula terjadinya? ; Bagaimana perkembangannya? dan Kemana tujuannya ? pertanyaan seperti ini kerap muncul dalam pemikiran filosof Yunani. Ketika manusia mulai mencintai kebenaran/pengetahuan itu adalah awal manusia mulai menggunakan akal/pikirannya untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang khayal"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
348 JHUSR 9 (1) 2011
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Thita Moralitea Mazya
"Konsep kebebasan merupakan istilah kunci dalam konsep negara-bangsa modern, khususnya terkait dengan demokrasi dan hak asasi manusia. Asumsi ini berangkat dari pemikiran Locke yang menegaskan bahwa seluruh individu dikaruniai oleh alam hak yang inheren atas kehidupan, kebebasan dan harta, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dipindahkan dan dicabut oleh negara (Scott Davidson, 1994:3). Namun demikian, dalam perkembangannya terjadi kerumitan konseptual khususnya dalam hal keharusan menyelaraskan antara konsep kebebasan individu dan otoritas negara. Di satu sisi, kebebasan merupakan prasyarat mutlak bagi terwujudnya masyarakat non dominasi, sementara di sisi lain konsep otoritas kelembagaan berarti memberi hak kepada negara untuk menerapkan kekuasaan terhadap individu-individu dan membuat keputusan yang mengikat mereka.
Berdasarkan latar belakang tersebut, seorang filsuf Australia, Philip Noel Pettit mencoba memformulasikan teorinya mengenai kebebasan negatif yang ia sebut kebebasan Non Dominasi sebagai altenatif. Sebagai pokok permasalahan dalam tesis ini dapat dirumuskan sebagai berikut; Bagaimana konsep republikanisme ideal menurut Philip Pettit? Bagaimana konsepsi kebebasan non dominasi menjadi solusi alternatif diantara konsep-konsep kebebasan yang ada sebelumnya. Dan, Bagaimana konteks pemikiran republikanisme Pettit dalam wacana demokrasi modern. Untuk itu kerangka teori yang digunakan tentu menggunakan teori kebebasan kebebasan positif dan negatif Isaiah Berlin , konsep kebebasan Non Interferensi Skinner serta teori pemerintahahan Locke. Menurut Pettit, kebebasan Non Dominasi itu harus bisa melepaskan individu dari segala bentuk interferensi yang semena-mena, termasuk kapasitas seseorang yang hendak melakukakannya.
Melalui kerangka teori tersebut akhirnya dapat disimpulkan bahwa konsep kebebasan non dominasi Pettit sebenarnya sangat kaya akan cita-cita politik, terutama dalam mewujudkan suatu instutitusi yang berimplementasikan non dominasi di wilayah republik. Pettit mencoba menempatkan non dominasi sebagai sebuah nilai moralitas. Jika moralitas tersebut menjadi bagian dari cara berfikir, berperilaku dan bertindak atau menjadi norma, dalam tubuh institusi akan menghasilkan kebijakan yang menempatkan warganya sebagai manusia yang berkualitas, defensif, dan memiliki pencitraan diri yang kuat terhadap sesamanya. Akan tetapi, persoalan pada konsepsi kebebasan positif negatif sebelumnya tidak jauh berbeda dari persoalan yang diungkapkan Pettit, bisa jadi justru menjadikannya lebih komplikasi lagi. Pettit tidak memiliki kontradiksi yang mencolok dengan kebebasan negatif klasik. Dalam arti ia tidak membedakan interferensi dengan sesuatu yang lebih berbeda, sehingga tidak dirasa perlu menghadirkan sebuah teori baru. Induksi dari kesimpulan ini akhirnya memperlihatkan jika sesungguhnya konsep non dominasi Pettit belum bisa menggantikan kebebasan negatif klasik dan ini berarti konsepnya belum sepenuhnya layak dijadikan solusi alternatif Namun setidaknya, teorinya ini dapat menjadi suplemen bagi wacana kebebasan diantara teori teori kebebasan yang sudah ada. Konsepsinya jugs bisa menjadi ajang perdebatan secara filosofis dan memberikan pengetahuan baru bagi lingkungan pendidikan filsafat khususnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17218
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Hudaeva
"Infrastruktur teknologi digital mentransformasi modus produksi kapitalisme menciptakan kapitalisme yang mengikuti karakter masyarakat jejaring, yaitu memiliki fitur mengglobal dan menggunakan logika informasional. Penelitian ini hendak melakukan analisis konseptual tentang peralihan konsep kerja dalam modus produksi yang berkembang dalam masyarakat jejaring dengan dua fitur utama tersebut. Analisis konseptual ini dilakukan dengan menemukan distingsi informasi, ideologi, modus produksi, dan modus eksploitasi yang beroperasi sebelum dan susudah ada infrastruktur teknologi digital. Hasil dari analis itu memperlihatkan bahwa kerja dalam masyarakat jejaring adalah upaya melancarkan modus produksi post-Fordisme, baik dalam mengekspansi kapital pad alevel global atau pun memperkuat logika informasional. Kapital yang berekspansi secara global hanya menjadikan negara-negara miskin dan berkembang sebagai penyedia jasa manufaktur dengan tenaga kerja murah yang dapat diautomatisasi kapan saja. Bersamaan dengan praktik itu,  modus produksi post-Fordisme meningkatkan jumlah informasi yang memiliki muatan semantik melalui kerja konsumen yang mengumpulkan data. Data yang dihasilkan konsumen berguna untuk memprediksi kebutuhan konsumen, pasar di masa depan, inovasi komoditas, dan informasi yang harus didistribusikan. Terjadi asimetri karena konsumen tak dapat mengakses data yang dihasilkannya maupun algoritma yang menyaring dan mendistribusikan data itu. Kelas muncul dari asimetri akses antara konsumen dan penguasa data yang dkumpulkan konsumen. Asimetri akses terhadap data ini juga mempunyai konsekuensi epistemologis. Jika mengacu pada filsafat informasi semantik yang dicetuskan Luciano Floridi, bahwa informasi dapat menjadi sumber pengetahuan selama data yang menyusunnya mengandung muatan semantik (faktual, well-formed, dan bermakna), maka konsumen yang tak dapat mengakses data dan algoritma juga tak selalu mendapatkan informasi yang dapat dijadikan sumber pengetahuan. Data yang menyusun informasi yang diterima konsumen belum tentu memenuhi syarat untuk bermuatan semantik. Sementara pihak yang memiliki akses terhadap data dan algoritma menjadikan konsumen sebagai objek semantik yang terus menghasilkan data sebagai penyusun informasi yang dapat diandalkan untuk menjadi sumber pengetahuan dan basis pengambilan keputusan.

Digital technology infrastructure has transformed the mode of production of capitalism creates capitalism to be compatible with network society features, which always tends to globally expanded and follows informational logic. This research intends to do conceptual analysis of concept of work transition in the mode of production that develops in network society with these two main features. This conceptual analysis is carried out by discovering the differences in information, ideology, mode of production, and mode of exploitation that operate before and after the invention of digital technology infrastructure. The results of the analyst show that work in a network society strengthen post-Fordism mode of production, both to expand capital at global level or extensively applies informational logic. Globally-expanded capital only makes poor and developing countries as provider of cheap labor that can be automated at any time. Besides, the post-Fordism mode of production creates a new kind of labor, customers as the semantic data collectors. Data that generated by consumers is useful to predict consumer needs, future markets, commodity innovations, and information that must be distributed. Asymmetry arise ftom the limit of access to information and algorithm that filter it. Consumers cannot access both, meanwhile, capitalist has almost unlimited access. New theory of class emerges from that kind of asymmetry. This asymmetry of access to this data also has epistemological consequences. According to the semantic philosophy of information by Luciano Floridi, where information can be a source of knowledge as long as the data that compile the informatin contain semantic contents (factual, well-formed, and meaningful). Consumers, who collect data but cannot access data and algorithm, do not always get information that can be used as a source of knowledge. Consumers might not always receive information that meet semantic contents requirements. Meanwhile, those who have access to data and algorithms, capitalists mosly, treat consumers as semantic objects who produce data as the main components of information that can be relied upon to become sources of knowledge and a basis for decision making."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>