Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 72464 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta : Imparsial, 2006
355.2 ANG
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abas
"Penelitian ini berangkat dari asumsi bahwa di era pemerintahan demokratis baru di bawah kepemimpinan sipil, menarik militer dari bisnis tampaknya masih merupakan masalah besar karena masih relatif kecilnya alokasi anggaran militer yang disediakan. Dengan demikian, fokus permasalahan yang dimunculkan adalah bagaimana bisnis militer beroperasi sekarang ini dan bagaimana kontrol sipil atas bisnis militer.
Studi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan melihat studi kasus bisnis militer di Era Reformasi sekarang ini. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara mendalam dengan informan kunci seperti perwira aktif di Mabes TNI, purnawirawan, Sekjen Departemen Pertahanan, pengamat militer, pengusaha, dan staf ahli Yayasan Kartika Eka Paksi. Landasan teoritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kontrol sipil atas militer. Teori ini antara lain menyatakan bahwa bila pemerintahan sipil tidak mampu memberikan anggaran yang mencukupi, menentukan prioritas dan strategi pertahanan, maka kontrol sipil atas bisnis militer menjadi lemah. Bila pemerintahan sipil gagal meningkatkan perkembangan ekonomi serta memelihara ketertiban, dan pada saat yang bersamaan institusi politik lemah serta para pemimpin politik menarik militer ke wilayah kepentingannya, maka kontrol sipil atas bisnis militer menjadi tidak efektif. Bila pemerintahan sipil menghadapi ancaman internal yang tinggi, maka kontrol sipil atas bisnis militer menjadi lemah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berjalannya bisnis militer sejak dahulu hingga kini karena tidak adanya peraturan dan undang-undang yang melarang praktek bisnis tentara. Temuan lain menunjukkan bahwa lemahnya otoritas sipil dan kukuhnya kekuatan militer menyebabkan lemahnya posisi tawar sipil di hadapan militer sehingga praktek bisnis tentara tetap beroperasi.
Keterbatasan anggaran negara untuk memberikan budget anggaran pertahanan serta keterpurukan ekonomi menambah lemahnya posisi pemerintah sipil di hadapan tentara karena tidak dapat memberi anggaran yang cukup untuk mereka sehingga membuat mereka merasa benar ketika melakukan praktek bisnis. Temuan penelitian ini sekaligus mendukung proposisi teori tersebut.
Penelitian ini antara lain berkesimpulan bahwa membangun TNI sebagai kekuatan yang profesional dalam pertahanan negara, tidak pada tempatnya membiarkan TNI mencari dan mengalokasikan anggarannya sendiri tanpa kontrol otoritas sipil. Karena itu, penelitian ini antara menyarankan bahwa supremasi sipil atas militer perlu segera ditegakkan, terutama sekali dalam hubungannya dengan bentuk kontrol atas anggaran di mana seluruh pendanaan militer mesti sepengetahuan DPR."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T13782
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"There are two different perspectives on the relationship between civil society and military : (1) military is seen as an output of historical processes of military demands and situation and (2) military interventions into politically strategic positions were obstacles for civil society to achieve the position and undermined their opportunities. The dichotomization of military - civil society may be minized by forming a certain policy intended to improve the welfares of civil society and military."
SPJUILA
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sidauruk, Averin Dian Boruna
"Tulisan ini menganalisis penyimpangan teori kontrol sipil dalam pengisian kekosongan jabatan penjabat kepala daerah dan bagaimana idealnya pengangkatan penjabat kepala daerah tersebut harus mengutamakan supremasi sipil. Tulisan ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal. Teori kontrol sipil melihat bagaimana hubungan sipil-militer dalam penyelenggaraan pemerintahan di suatu negara. Akan bersifat subjektif apabila terjadi pelemahan fungsi militer atau politisasi militer dan akan bersifat objektif apabila militer menjadi institusi yang professional. Perwujudan negara hukum yang demokratis terlihat dari implementasi kontrol sipilnya. Kewenangan militer yang terbatas pada pertahanan dan keamanan negara mendesak mereka menjadi sebuah institusi yang harus mengutamakan profesionalisme.Supremasi sipil terwujud apabila negara mampu memberikan batasan kewenangan militer atas pemerintahan sipil. TAP MPR No. VII/MPR/2000 menegaskan selain TNI dilarang untuk terlibat dalam kehidupan politik dan kegiatan politik praktis, TNI hanya diperbolehkan untuk menduduki jabatan sipil apabila telah pensiun atau mengundurkan diri. UU No. 34 Tahun 2004 membuka jalan keterlibatan TNI aktif menduduki jabatan sipil diikuti dengan Putusan MK No. 15/PUU-XX/2022 yang memperbolehkan TNI/Polri menjadi penjabat kepala daerah. Pengangkatan Penjabat Bupati Kabupaten Seram Bagian Barat pada tahun 2022 yang lalu bertentangan dengan teori kontrol sipil karena menempatkan militer akif menduduki jabatan sipil yang cenderung bersifat politis karena kewenangan yang melekat padanya. Pengisian jabatan penjabat kepala daerah seharusnya lebih mengutamakan supremasi sipil dan TNI harus mengedepankan profesionalisme institusinya dengan membatasi keterlibatannya dalam pemerintahan sipil karena cakupan kewenangan TNI ialah sebagai alat pertahanan dan keamanan negara.

This article analyzes deviations from the theory of civil control in filling vacancies in the position of acting regional head and how ideally the appointment of acting regional heads should prioritize civilian supremacy. This article was prepared using doctrinal research methods. Civil control theory looks at how civil-military relations play out in the administration of government in a country. It would be subjective if there is a weakening of military functions or politicization of the military and it would be objective if the military becomes a professional institution. The realization of a democratic rule of law could be seen from the implementation of civilian control itself. The military's constrained mandate for national defense and security necessitates its transformation into an institution that prioritizes professionalism. Civil supremacy is occured if the state is able to limit military authority over civilian government. Decree of MPR No. VII/MPR/2000 emphasized that apart from the TNI being prohibited from being involved in political life and practical political activities, the TNI were only allowed to hold civilian positions if they had retired or resigned. Law No. 34 of 2004 paved the way for the active TNI involvement in civilian positions followed by Constitutional Court Decision No. 15/PUU-XX/2022 which allows the TNI/Polri becomes acting regional heads. The appointment of the Acting Regent of West Seram Regency in 2022 runs counter to the principle of civilian control, as it involves placing active military personnel in civilian roles that often have political implications due to the associated authority. Filling the position of acting regional head should prioritize civilian supremacy and the TNI must prioritize the professionalism of its institutions by limiting its involvement in civilian government because the scope of the TNI's authority is as a means of state defense and security."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Batara Gunawan
"Artikel ini berpendapat bahwa upaya pemerintah sipil untuk mendorong perubahan kebijakan pertahanan di Indonesia pasca Orde Baru dilaksanakan melalui mekanisme layering. Secara teoretis, mekanisme layering beroperasi dalam kondisi-kondisi institusional yang menjadi ciri khas dalam konteks transisi demokrasi yaitu besarnya jumlah veto players dalam proses pengambilan keputusan di arena politik dan kecilnya ruang diskresi kebijakan dalam institusi yang dijadikan sebagai target perubahan. Oleh karena itu, perubahan didorong lewat penempatan elemen-elemen baru yang berdampingan dengan status quo yang berlaku di sebuah institusi. Melalui analisis deskriptif terhadap kebijakan MEF (Minimum Essential Force) tahap I tahun 2010-2014 ditemukan bahwa penggunaan mekanisme layering lewat kebijakan MEF telah berhasil diimplementasikan tanpa adanya penolakan dari para pendukung status quo di sektor pertahanan Indonesia. Kondisi ini dimungkinan karena program modernisasi alutsista (alat utama sistem persenjataan) yang menjadi inti dari kebijakan MEF memberikan insentif tambahan terhadap status quo yang sesuai dengan preferensi TNI (Tentara Nasional Indonesia) mengenai keberlanjutan organisasi mereka. Akan tetapi tulisan ini juga melihat adanya efek negatif dari penggunaan mekanisme layering tersebut yakni rendahnya derajat kepatuhan terhadap elemen baru perubahan. Sebagai akibat dari tetap utuhnya status quo, militer mempertahankan dominasinya dalam proses formulasi dan implementasi tanpa pengawasan efektif dari kalangan sipil. Dalam kasus MEF, kondisi ini menimbulkan inkonsistensi kebijakan yang kemudian dapat menghambat profesionalisme TNI ke depan serta memberikan celah bagi kembalinya TNI ke ranah politik praktis."
Depok: Departemen Ilmu Politik FISIP UI, 2017
320 JURPOL 2:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriyah Nur Fadilah
"Revolusi yang terjadi di Mesir tahun 2011 membawa gelombang demokratisasi di Mesir. Hal ini juga memberikan kesempatan bagi kelompok Ikhwanul Muslimin yang selama ini direpresi oleh pemerintah untuk tampil dalam politik melalui partainya Freedom and Justice Party (FJP). Melalui pemilu 2012, FJP mampu memperoleh suara hingga 45 persen dan kandidat presidennya Muhammad Mursi terpilih menjadi presiden dengan perolehan suara sebesar 51,7 persen.
Namun sayangnya demokratisasi yang terjadi di Mesir hanya berlangsung sesaat. Pada tanggal 3 Juli 2013 militer melakukan kudeta terhadap Mursi. Kudeta yang terjadi di Mesir merupakan bentuk dari lemahnya kontrol sipil terhadap militer. Mursi gagal melakukan kontrol terhadap militer sehingga ia tidak bisa mencegah tindakan militer yang menurunkannya secara paksa melalui jalan kudeta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi hubungan sipil militer di masa kepemimpinan Mursi dan bagaimana faktor-faktor tersebut menyebabkan lemahnya kontrol sipil terhadap militer sehingga menyebabkan terjadi kudeta militer. Penelitian ini menggunakan beberapa teori, diantaranya adalah teori hubungan sipil militer, teori tentara pretorian, teori kudeta dan teori kepentingan internasional.
Dalam tesis ini penulis menguraikan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan kontrol sipil terhadap militer sehingga menimbulkan kudeta. Faktor-faktor tersebut adalah; 1) Tipikal militer Mesir yang merupakan tentara pretorian dan doktrin yang dianut militer. 2) Kepentingan dan intervensi negara-negara asing terhadap Mesir. 3) Fragmentasi kelompok sipil di Mesir yang bersifat fratricidal (saling menjatuhkan).

The revolution that occurred in Egypt in 2011 brought a wave of democratization in Egypt. It also provided an opportunity for the Muslim Brotherhood, which had been repressed by the government, to perform in politics through its political wing, the Freedom and Justice Party (FJP). Through the 2012 elections, the FJP was able to acquire up to 45 percent voice and its presidential candidate, Mohammed Mursi was elected president by a vote of 51.7 percent.
But unfortunately democratization in Egypt only lasted a moment. On July 3, 2013 the military staged a coup against Mursi. The coup happened in Egypt was a form of weak civilian control over the military. Mursi failed to exercise control over the military so a military coup was inevitable, forcing him into detention.
This study aims to determine the factors that affect civil-military relations during Mursiā€Ÿs administration and how these factors lead to lack of civilian control over the military that led to a military coup. This study uses several theories, including the theory of civil-military relations, theory of praetorian army, coup theory and theory of international interest.
In this thesis, the author outlines the factors affecting the failure of civilian control over the military, giving rise to a coup. These factors are; 1) Egypt praetorian military and the doctrine it adopted. 2) The interest and intervention of foreign countries on Egypt. 3) Fragmentation of civil groups in Egypt who are fratricidal, each against other.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T42527
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yenny Sucipto
Jakarta: Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, 2015
352.13 YEN m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Fathor Rahman
"Menjelang pemilu Desember 1995 Turki mengalami instabilitas sosial-politik dan ekonomi. Saat itu PM Tansu Ciller mengalami masalah yang sangat berat. PopuIaritasnya anjlok seiring dengan makin terpuruknya perekonomian nasional, meluasnya korupsi, serta instabilitas politik yang semakin tak tentu arah. Secara teknis, perekonomian negara terjadi defisit neraca pembayaran, tingkat inflasi yang tinggi, hutang luar negeri yang makin menumpuk, ambruknya nilai tukar Lira di pasaran intemasional. Juga pengangguran dan gagalnya program privatisasi Potret perwajahan ekonomi nasional Turki di bawah Ciller betul-betul suram. Masyarakat kehilangan kepercayaan pada penguasa dan segera menuntut adanya perubahan.
Saat itu harapan satu-satunya masyarakat tertumpu pada bangkitnya kekuatan Islam yang mulai berhasil memberantas korupsi dalam birokrasi. Karena itulah partai Refab dengan Erbakan sebagai pemimpinnya berhasil meraih jabatan perdana menteri. Penelitian ini tergolong kedalam jenis penelitian kualitatif yang berusaha mendeskripsikan Fenomena sosial politik dalam hat ini hubungan sipil militer. Fokus kajian dalam penelitian ini ditujukan untuk mencari pola hubungan sipil militer Turki ketika Turki dipimpin oleh perdana menteri Prof Dr. Necmettin Erbakan yang berkuasa antara tahun 1996-1997. Fenomena kekuasaan Erbakan menjadi menarik karena Erbakan tidak sekadar merupakan faksi radikalis dalam kekuatan politik Islam Turki, tapi jugs karena ia kemudian jatuh dari kekuasaannya akibat desakan militer.
Adapun tujuan penelitian ini adalah berusaha mencari relasi sipil militer Turki di masa pemerintahan Necmettin Erbakan. Dengan penelitian ini, peneliti berharap bisa menemukan faktor-faktor penyebab yang menjadi latar historis setiap dari hubungan itu terjadi dan bagaimana implikasinya bagi kehidupan dan masa depan politik kekuasaan, khususnya di era pemerint-han Necmettin Erbakan. Untuk meneliti masalah tersebut, peneliti menggunakan metode Case Study (Studi Kasus). Metode kajian ini digunakan karena peneliti menganggap sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian dimaksud.
Hasil kajian menemukan antara lain: Pertama, pola hubungan sipil militer Turki di masa Erbakan cenderung mengikuti pola militer mengontrol sipil. Militer melakukan intervensi karena langkah-Iangkah politik Erbakan dinilai militer telah melanggar konstitusi yang sudah menjadi aturan main dalam sistem negara sekularistik warisan Kemal. Oleh karena itu hubungan sipil militer di Turki di masa Erbakan sangat tidak seimbang, karena militer memiliki pengaruh yang kuat dalam banyak sektor kehidupan di Turki. Kedua, adanya kekangan ketat terhadap kiprah politik kalangan Islam tidak menyurutkan simbolitas Islam sebagai daya tarik politik dalam masyarakat. Ketiga, Hubungan sipil militer di Turki akan terbangun dengan balk jika otoritas sipil tidak menabrak prinsip-prinsip dasar kemalisme yang tertuang dalam konstitusi negara Turki. Keempat, prospek demokrasi dan bubungan sipil-militer akan menemukan bentuknya yang ideal jika masing-masing kekuatan politik yakni kalangan sekular dan kalangan Islam sama-sama mencari jalan tengah demi kepentingan bangsa dan negara."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14890
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus Chandra
"Peranan Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) Cina dalam sistem sosial-politik di RRC merupakan suatu gambaran mengenai hubungan sipil-militer di negara tersebut. Sebagai alat Partai (Partai Komunis Cina), TPR bukan hanya berfungsi sebagai kekuatan militer semata-mata, mereka juga senantiasa dilibatkan untuk membantu Partai dalam menerapkan berbagai kebijaksanaannya pada rakyat, misalnya menjadi alat mobilisasi politik, motivator pembangunan sosial-ekonomi di dalam masyarakat, dll. Oleh karena itu, TPR senantiasa dianggap sebagai tentara profesional-revolusioner, dalam arti bahwa TPR merupakan tentara-tentara profesional yang setia kepada tujuan revolusioner. Sejalan dengan program profesionalisasi militer yang dikembangkan sejak awal pemerintahan RRC, terjadi perdebatan di kalangan pimpinan RRC mengenai sejauh mana TPR harus tetap terlibat dalam tugas-tugas nonmiliter. Hal itu telah dikaitkan dengan keseimbangan merah dan ahli dalam konteks politik Cina. Demikianlah, berbagai keterlibatan dan intervensi TPR dalam politik RRC telah mewarnai hubungan sipil-militer di negara tersebut antara tahun 1949-1969."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1991
S12819
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Politik Indonesia, 2006
S5672
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>