Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 102017 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riyadh Firdaus
"Studi ini bertujuan untuk mengetahui keefeletifan parecoxib 40 mg intravena dibandingkan dengan morfin 5 mg intravena sebagai analgesik pada 24 jam pertama pascalaparotomi ginekologi. Enampuluh empat pasien laparotomi ginekologi mendapatkan intervensi parecoxib 40 mg iv atau morfin 5 mg iv pascabedah. Nilai VAS, waktu untuk kebutuhan petidin pertama, jumlah kebutuhan petidin dan efek samping opioid dicatat sampai 24 jam setelah intervensi.
Didapatkan nilai rerata penurunan intensitas nyeri (PID) antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p>0,05), dengan rerata PID 0-6 jam sebesar 33,3 (SE 3,3) untuk? kelompok parecoxib dan 38,4 (SE 4,2) untuk kelompok morfin. Rerata waktu pemberian petidin pertama tidak berbeda bermakna yaitu 2 jam 53 menit (parecoxib) dan 1 jam 44 menit (morfin); p>0,05). Rerata kebutuhan petidin 24 jam juga tidak berbeda bermakna yaitu 51,6 mg (SE 5,8) dan 55,5 mg (SE 4,6); p>0,05. Efek samping opioid berupa sedasi lebih banyak pada kelompok morfin yaitu 21 pasien (65,6%) vs 12 (37,5%); p=0,024. Efek samping opioid berupa mual, muntah dan pusing tidak berbeda bermakna.
Disimpulkan bahwa parecoxib 40 mg iv tidak lebih baik(daripada morfin 5 mg iv dalam memberikan efek analgesia untuk nyeri pasacalaparotorni ginekologi.

Objective: The purpose of this study was to compare the analgesic activity of parecoxib 40 mg iv and morphine 5 mg iv in 24 hours after gynecologic surgery that requires laparotomy.
Study design: In a randomized, controlled, double-blind, 64 patiets after gynecoloogic laparotomy surgery received single-dose intravenous parecoxib 40 mg or morphine .5 mg followed by repeated 25 mg iv pethidine as analgesic rescue drugs.Primary efficacy variables were pain intensity difference (PID), time to first recue/remedication, total pethidin dose over 24 hours, and opioid-sparring side effects were recorded.
Results: Parecoxib 40 mg iv did not provide better pain responses than morphine 5 mg iv. Zero to 6 hours PID between parecoxib group and morphine grows were 33.3 (SE 3,3) versus 38,4 (SE 4,2; p>0,05). Mean time to first recuelremedication were 2h53min (parecoxib group) versus lh44min (morphine graup); p>0,05. Mean total pethidine dose in 24 hours were 51.6 mg (SE 5,8) versus 55,5 mg (SE 4,6) for parecoxib group and morphine group respectively; p>0,05. Morphine group showed more sedation parecoxib group; 21 pis (65,6%) versus 12 (37.5%); p-0,024. Other opioid-sparring side effects were comparable between both groups.
Conclusion: Parecoxib 40 mg iv did not provide better analgesic activity than morphine 5 mg iv in 24 hours after gynecologic surgery that requires laparotomy.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18001
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryo Indah Widhyanti
"Latar Belakang. Kejadian PONV (Postoperative Nausea and Vomiting) masih menjadi salah satu gejala paling umum pascaanestesia dan pembedahan, di samping nyeri. Terkadang mual dan muntah lebih menyulitkan terutama pada bedah minor atau pasien rawat jalan, karena dapat memperpanjang lama rawat inap di rumah sakit. Patofisiologi dan farmakologi mual muntah pascaoperasi cukup kompleks.Mual dan muntah telah dikaitkan selama bertahun-tahun dengan penggunaan anestesi umum. Kejadian mual muntah meningkat pada operasi laparoskopi, kejadian meningkat sampai 46% - 75%. Kejadian mual muntah pascalaparoskopi di Instalasi Bedah Pusat (IBP) RSCM bulan November 2019 sebesar 45%. Tujuan dari profilaksis kejadian mual muntah ialah untuk mencegah timbulnya kejadian mual muntah sehingga mengurangi biaya perawatan kesehatan di rumah sakit. Di RSCM sedang digalakkan program KMKB (Kendali Mutu Kendali Biaya), haloperidol memiliki keunggulan dibandingkan dengan deksametason, diantaranya lama kerja yang lebih lama dibanding deksametason sehingga mengurangi kejadian mual muntah pada pasien pada lebih dari 24 jam pascaoperasi dan harga haloperidol yang lebih murah dibandingkan dengan harga deksametason. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui efektifitas haloperidol 1 mg intravena dengan dan deksametason 5 mg intravena untuk mencegah kejadian mual muntah pada pasien dewasa pascabedah laparoskopi.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda untuk membandingkan keefektivitasan haloperidol 1 mg intravena dengan deksametason 5 mg intravena untuk mencegah kejadian mual muntah pada pasien dewasa pascabedah laparoskopi. 80 subjek dilakukan pendataan angka NRS mual muntah dan kejadian mual muntah pascalaparoskopi.
Hasil. Penelitian ini menunjukkan angka kejadian mual terdapat perbedaan bermakna (P<0,05) pada 2-6 jam, 6-12 jam, dan 12-24 jam pascabedah laparoskopi. Untuk angka kejadian muntah pascabedah laparoskopi antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (P>0,05). Angka NRS (Numeric Rating Scale) mual muntah secara statistik tidak ada perbedaan bermakna pada kedua kelompok jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12, dan jam ke-24.
Simpulan. Pemberian haloperidol 1 mg intravena berbeda secara bermakna dibandingkan pemberian deksametason 5 mg intravena secara stastistik untuk mencegah kejadian mual dan tidak berbeda secara bermakna untuk mencegah kejadian muntah pascabedah pada pasien dewasa pascabedah laparoskopi.

Background. The incidence of PONV (Postoperative Nausea and Vomiting) is still one of the most common symptoms of post-surgery, in addition to pain. Sometimes nausea and vomiting are more difficult, especially in minor surgery or outpatients, because it can extend the length of stay in hospital. The pathophysiology and pharmacology of post-operative nausea and vomiting are complex. The incidence of nausea and vomiting increases in laparoscopic surgery, the incidence increases to 46% - 75%. The aim of prophylaxis on the occurrence of nausea and vomiting is to reduce the incidence of this event, thereby reducing the cost of health care in hospitals. In RSCM the KMKB program is being promoted, haloperidol has advantages compared to dexamethasone, including a longer work time than dexamethasone, thereby reducing the incidence of nausea and vomiting in patients for more than 24 hours postoperatively and haloperidol prices which are cheaper compared to the price of dexamethasone. Therefore, the researchers wanted to know the effectiveness of intravenous haloperidol 1 mg with dexamethasone and 5 mg intravenously to prevent the occurrence of nausea and vomiting in adult patients after laparoscopic surgery.
Methods. This study was a double blind randomized clinical trial to compare the effectiveness of intravenous haloperidol 1 mg with dexamethasone 5 mg intravenously to prevent the occurrence of nausea and vomiting in adult patients after laparoscopic surgery. 80 subjects were collected NRS data collection and post-laparoscopic nausea vomiting.
Results. This study showed a significant difference in the incidence of nausea (P <0.05) at 2-6 hours, 6-12 hours, and 12-24 hours after laparoscopic surgery. The incidence of vomiting after laparoscopic surgery between the two groups was not significantly different (P> 0.05). Number of NRS (Numeric Rating Scale) nausea vomiting statistically there were no significant differences in the two groups of hours 2, 6 hours, 12 hours, and 24 hours.
Conclusion. The administration of haloperidol 1 mg intravenously is significantly different than dexamethasone 5 mg intravenously to prevent the occurrence of nausea and not significantly different to prevent the incidence of postoperative vomiting in adult patients after laparoscopic surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cipta Suryadinata
"ABSTRAK
Latar Belakang: Nyeri pascaoperasi meningkatkan morbiditas, komplikasi pulmonal dan meningkatkan lama perawatan di rumah sakit. Teknik anestesia perioperatif dapat meningkatkan manajemen nyeri dan tingkat kepuasan pasien. Anestesia epidural dapat dikombinasikan dengan ajuvan untuk meningkatkan kualitas analgesia, memperpanjang durasi analgesia, mengurangi kebutuhan opiod dan efek sampingnya. Morfin memberikan kualitas analgesia yang baik tapi berkaitan dengan sering munculnya efek samping. Deksametason merupakan glukokortikoid yang dapat digunakan sebagai ajuvan anestesia epidural. Penelitian ini mencoba mengetahui perbandingan efektivitas penambahan ajuvan deksametason 8 mg dan morfin 2 mg pada bupivakain 0,125 12,5 mg epidural untuk analgesia pascaoperasi ekstremitas bawah.Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar ganda untuk menilai efektivitas penambahan ajuvan deksametason 8 mg dan morfin 2 mg pada bupivakain 0,125 12,5 mg epidural untuk analgesia pascaoperasi ekstremitas bawah. Setelah mendapat izin komite etik dan informed consent sebanyak 64 subyek dengan consecutive sampling, subyek dirandomisasi menjadi dua kelompok untuk mendapatkan regimen epidural bupivakain 0,125 12,5 mg deksametason 8 mg kelompok bupivakain-deksametason dan bupivakain 0,125 12,5 mg morfin 2 mg pascaoperasi kelompok bupivakain-morfin . Subyek kemudian mendapatkan anestesia umum tanpa pemberian regimen epidural intraoperatif. Sesaat sebelum operasi belum selesai subyek diberikan parasetamol 1 gr iv. PCA morfin pascaoperasi diberikan bila VAS >4. Pasien dilakukan penilaian kebutuhan opioid, saat pertama membutuhkan analgesia tambahan, rerata derajat nyeri dan efek samping analgesia epidural pada kedua kelompok dalam 24 jam pertama pascaoperasi.Hasil: Kebutuhan opioid 24 jam pascaoperasi, saat pertama membutuhkan analgesia tambahan dan rerata derajat nyeri 24 jam pascaoperasi antara kedua kelompok didapatkan hasil tidak berbeda bermakna dengan nilai p 0,701, 0,729, dan 0,817. Kejadian mual/muntah didapatkan pada kelompok bupivakain-morfin 1,6 .Simpulan: Penambahan ajuvan deksametason 8 mg memiliki efektivitas yang sama dengan penambahan morfin 2 mg pada bupivakain 0,125 12,5 mg epidural untuk analgesia pascaoperasi ekstremitas bawah. Dosis deksametason 8 mg tidak berkaitan dengan timbulnya efek samping.Kata Kunci: ekstremitas bawah, pascaoperasi, epidural, bupivakain, morfin, deksametason, nyeri

ABSTRACT
Background Post operative pain enhances morbidity, pulmonary complications and increases hospital length. The technique of perioperative anesthesia can improve pain management and patient satisfaction. Epidural anesthesia can be combined with adjuvants to improve the quality of analgesia, prolong the duration analgesia, reduce opioid requirements and side effects. Morphine provides good quality analgesia but it associated with adverse effects. Dexamethasone is a glucocorticoid that can be used as an adjuvant of epidural anesthesia. This study attempt to determine the effectiveness comparison of dexamethasone 8 mg and morphine 2 mg addition as adjuvants in bupivacaine 0,125 12,5 mg epidural for post operative analgesia of the lower extremity.Methods In this double blinded randomized clinical trial, we evaluate the effectiveness of adjuvant addition of dexamethasone 8 mg and morphine 2 mg in bupivacaine 0,125 12,5 mg epidural for post operative analgesia of the lower extremity surgery. After obtaining permission from the ethic committee and informed consent, a total 64 subjects with consecutive sampling were randomly allocated to two groups to receive a total volume of 10 ml epidural plain bupivacaine 0,125 12,5 mg with either 8 mg dexamethasone in the bupicaine dexamethasone group or 2 mg morphine in bupivacaine morphine group. Subjects then receive general anesthesia without epidural regimen administration intraoperatively. Shortly before the end of operation subjects were given intravenous paracetamol 1 gr. Patient Controlled Analgesia PCA of morphine was given when Visual Analog Scale VAS 4. Post operative opioid consumption, the time to first analgetic requirement, pain score and adverse effects in both group were recorded within the first 24 hours postoperatively.Result Post operative opioid consumption, the time to first analgetic requirement and pain score between the two groups showed no significant difference with p value respectively 0.701, 0.729 and 0.817. The incidence of nausea vomiting was found in the bupivacaine morphine group 1,6 .Conclusion The addition of dexamethasone 8 mg had the same effectiveness as morphine 2 mg in bupivacaine 0,125 12.5 mg epidural for post operative analgesia in the lower extremity surgery. Dosage of dexamethasone 8 mg was not associated with adverse events.Keywords lower extremity, post operative, epidural, bupivacaine, morphine, dexamethasone, pain "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mefri Yulia
"Latar Belakang. Laringoskopi dan intubasi dilakukan untuk memfasilitasi tindakan anestesia umum. Prosedur ini mengakibatkan nyeri dan memicu pelepasan katekolamin yang dapat menimbulkan respon hemodinamik berupa hipertensi dan takikardia. Berbagai macam obat digunakan untuk menekan respon hemodinamik salah satunya lidokain namun masih tidak dapat meniadakan respon hemodinamik. MgSO4 memiliki banyak manfaat salah satunya untuk menekan hipertensi dan takikardia yang dicetuskan oleh tindakan intubasi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas MgSO4 dibandingkan lidokain dalam menekan respon hemodinamik saat intubasi.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak tersamar ganda, dengan 42 pasien yang menjalani anestesia umum dengan intubasi endotrakeal dan dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu MgSO4 dan lidokain. Kriteria inklusi adalah usia 18-65 tahun dengan status klinis ASA 1-2. MgSO4 25 mg/kg intravena diberikan dengan syringe pump selama 10 menit sebelum induksi dan lidokain 1,5 mg/kg diberikan secara bolus setelah pemberian atrakurium. Respon hemodinamik diukur pada saat awal, pasca induksi, saat intubasi, menit ke-1,3 dan 5 setelah intubasi. Data hemodinamik kemudian ditentukan selisihnya dari nilai pasca induksi dan dibandingkan antara kedua kelompok.
Hasil. Uji General Linear Model menunjukkan MgSO4 25 mg/kg intravena tidak lebih efektif dibandingkan lidokain 1,5 mg/kg intravena dalam menekan respon hemodinamik saat intubasi dinilai dari sistolik, diastolik, MAP dan laju jantung dengan p > 0,05 pada saat intubasi dan menit ke-1,3,5 setelah intubasi dibandingkan nilai pasca induksi pada semua variabel hemodinamik antara kedua kelompok.
Simpulan. MgSO4 25 mg/kg intravena tidak lebih efektif dibandingkan lidokain 1,5 mg/kg intravena dalam menekan respon hemodinamik saat intubasi.

Background. Laringoscopy and intubation is performed for facilitating general anesthesia procedure. This procedure induces pain and stimulate cathecolamine release which gives rise to a hemodynamic response such as hypertension and tachycardia. Many methods has been used to prevent this response such as lidocain, but still there is no method that can eliminate the hemodynamic response. MgSO4 has a lot of benefit effect including supressing hypertension and tachycardia which is induced by intubation procedure. This study aims to compare the effectiveness of MgSO4 with lidocain in supressing hemodynamic response during intubation.
Methods. This study is double blind clinical study on 42 patients undergoing general anesthesia with endotracheal intubation and is divided into two groups: MgSO4 and lidocaine. Inclusion criteria were age 18-65 years old with physical status ASA 1-2. Intravenous MgSO4 25 mg/kg was given by syringe pump for 10 minutes before induction and lidocaine 1,5 mg/kg was given by bolus injection after atrakurium was administered. Hemodynamic response were recorded at baseline, post induction, intubation, 1,3,5 minutes after intubation. Hemodynamic data is determined by the difference from the post induction value and is compared between two groups.
Results. General Linear Model Test shows intravenous MgSO4 25 mg/kg is not more effective than intravenous lidokain 1,5 mg/kg in supressing hemodynamic response during intubation from systolic, diatolic, MAP and heart rate variable with p > 0,05 during intubation, and 1,3,5 mintues after intubation between two groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yasir Mustafa Banadji
"Latar Belakang: Nyeri akut pasca-bedah pada anak-anak sering tidak ditangani
dengan baik karena dogma yang popular adalah anak-anak tidak merasakan nyeri.
Penanganan nyeri yang tidak adekuat mencetus respon stress dan biokimia dan
menyebabkan gangguan fungsi metabolisme, kardiovaskular, pulmoner, neuroendokrin,
gastrointestinal, dan imunologi. Selama ini, penanganan nyeri akut
pascabedah anak-anak di bawah umbilikus dilakukan dengan pendekatan
multimodal dengan teknik anestesia regional dan obat analgetika sistemik.
Asetaminofen merupakan obat analgetika yang paling sering digunakan untuk
menangani nyeri derajat ringan-sedang. Metamizol juga telah banyak digunakan
sebagai obat analgetika yang efektif untuk nyeri pasca-bedah. Meski demikian,
untuk penanganan nyeri pasca-bedah, penggunaan metamizol tidak sepopuler
asetaminofen di Indonesia. Di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo, penggunaan
asetaminofen intravena sebagai analgetika pascabedah direstriksi berdasarkan
formularium nasional.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar ganda untuk menilai
efektivitas metamizol 15 mg/KgBB IV dan asetaminofen 15 mg/KgBB IV untuk
analgesia pascabedah di bawah umbilikus pada pasien pediatrik. Pengambilan
sampel penelitian dilakukan pada bulan April 2019-Oktober 2019 secara consecutive sampling. Enam puluh empat subjek penelitian memenuhi kriteria
inklusi dan bersedia mengikuti penelitian, kemudian dirandomisasi menjadi dua
kelompok. Subjek menjalani pembedahan dengan pembiusan umum dan injeksi
bupivakain 0,25% secara kaudal. Sebelum pembedahan berakhir, subjek
mendapatkan regimen analgetika asetaminofen 15 mg/KgBB IV atau metamizol 15
mg/KgBB IV sesuai kelompok randomisasi. Pemberian regimen analgetika diulang
setiap 8 jam dalam 24 jam pertama pasca-bedah. Dilakukan penilaian skala FLACC
saat istirahat dan bergerak pada saat pasien pulih sadar, jam ke-4, jam ke-6, jam k-
12, dan jam ke-24 pascabedah. Dilakukan pula pencatatan kebutuhan fentanil, saat
pertama pasien membutuhkan fentanil, dan efek samping yang timbul selama 24
jam pertama pascabedah.
Hasil: Derajat nyeri (skala FLACC) pada saat istirahat maupun bergerak tidak
berbeda bermakna antar kedua kelompok pada saat pasien pulih sadar, jam ke-4, 6,
12, dan 24 pascabedah. Tidak terdapat subjek yang membutuhkan fentanil rescue
selama 24 jam pertama pacabedah pada kelompok metamizol. Terdapat 4 dari 32
subjek yang membutuhkan fentanil rescue pada kelompok asetaminofen dengan
saat pertama membutuhkan fentanil rescue berkisar antara 300 hingga 700 menit
pascabedah. Angka kejadian mual dan muntah lebih banyak terjadi pada kelompok
asetaminofen (mual: 31,3% vs 18,8%; Muntah: 25% vs 12,5%).
Simpulan: Metamizol 15 mg/kgBB IV tidak lebih efektif dibandingkan dengan
asetaminofen 15 mg/kgBB IV untuk analgesia pascabedah di bawah umbilikus pada
pasien pediatrik.

Background: Acute post-operative pain in pediatric patients often poorly handled
due to the popular paradigm that children doesnt feel pain. Inadequate pain
treatment can induce stress and biochemical response and cause metabolism,
cardiovascular, pulmonary, neuro-endocrine, gastrointestinal, and immunological
dysfuctions. Nowadays, pediatric pain management for post-operative pain below
umbilical surgery is done in multimodal fashion with combination of regional
anesthesia and systemic analgesia drugs. Acetaminophen is often used for
analgesia on mild-moderate pain. Metamizole also has been used and quite
effective for post-operative analgesia. However, metamizole is not as popular as
acetaminophen for post-operative analgesia in Indonesia. In dr.Cipto
Mangunkusumo Hospital, acetaminophen for post-operative analgesia is restricted
due to National Drugs Regulation.
Methods: We conducted this double-blinded clinical trial to evaluate effectiveness
of intravenous metamizole 15 mg/KgBW and intravenous acetaminophen 15
mg/KgBW for post-operative analgesia of below umbilical surgery in pediatric
patients. A consecutive sampling was done from April 2019 to October 2019. Sixtyfour
subjects that meet inclusion criteria and had consent randomized into 2 groups. The subjects had surgery with combination of general anesthesia and
injection of caudal block bupivacaine 0.25%. Before surgery concluded, the
subjects received analgesia regiment acetaminophen 15 mg/KgBW or metamizole
15 mg/KgBW according to their randomization group. The analgesia regiment was
given again every 8 hours for 24 hours post-operative. The FLACC scale at rest
and during movement were recorded at time of fully recover from anesthesia, 4-h,
6-h, 12-h, and 24-h post-operative. Fentanyl rescue requirement, moment of first
time fentanyl rescue requirement, dan the drugs side effect were also recorded for
24 hours post-operative.
Result: FLACC scale at rest and during movement between two groups at fully
recover from anesthesia, 4-h, 6-h, 12-h, and 24-h post-operative was not
significantly different. No subject needed fentanyl rescue during 24 hours postoperative
in metamizole group. There was 4 of 32 subjects needed fentanyl rescue
in acetaminophen group with first fentanyl rescue requirement occur between 300
to 700 minutes post-operative. The incidence of nausea and vomiting ws higher in
acetaminophen group than metamizole group (nausea: 31.3% vs 18.8%; vomiting:
25% vs 12.5%)
Conclusion: Metamizole 15 mg/KgBW is not more effective compared to
acetaminophen 15 mg/KgBW for post-operative analgesia of below umbilical
surgery in pediatric patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Margaretha Gunawan
"Latar Belakang: Nyeri pascaoperasi menyebabkan penglepasan sitokin proinflamasi yang secara resiprokal dapat memodulasi sensitifitas nyeri. Asetaminofen merupakan analgetik yang sering digunakan dan bekerja pada susunan saraf pusat, sedangkan ibuprofen menghambat siklooksigenase dan diyakini dapat mengurangi penglepasan sitokin. Penelitian ini membandingkan ibuprofen intravena 800 mg dan asetaminofen intravena 1000 mg dalam mengurangi respons inflamasi pascaoperasi ekstremitas bawah dengan parameter konsentrasi IL-6 dan CRP sebagai penanda nyeri.Metode: Uji klinis acak tersamar ganda dengan kontrol aktif di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada Juli - November 2017. Setelah mendapatkan izin dari Komite Etik, 62 subjek yang menjalani pembedahan elektif ortopedi ekstremitas bawah dialokasikan secara acak menjadi 2 kelompok. Kelompok A Asetaminofen mendapatkan asetaminofen intravena 1000 mg sedangkan Kelompok I Ibuprofen mendapatkan ibuprofen intravena 800 mg masing-masing setiap 6 jam. Sampel darah untuk pemeriksaan respons inflamasi IL-6 dan CRP diambil sesaat sebelum selesai pembedahan sebelum obat dimasukkan, 4, 6, dan 24 jam setelah pemberian obat pertama kali. Derajat nyeri VAS saat istirahat maupun bergerak diukur pada saat setelah pasien tersadar dari pembiusan, 4, 6, 8 dan 24 jam pascaoperasi. Hasil: Serum IL-6 dan CRP tidak berbeda bermakna antara kelompok A dan I pada semua waktu pengukuran. VAS saat bergerak dan istirahat lebih rendah pada kelompok I pada 24 jam pascabedah p

Background Postoperative pain causes release of proinflammatory cytokines that reciprocally modulate pain sensitivity. Acetaminophen is a commonly used analgesic and acts on central nervous system, whereas ibuprofen inhibits cyclooxygenase and is believed to reduce cytokine release. This study compared intravenous ibuprofen 800 mg and intravenous acetaminophen 1000 mg in reducing postoperative inflammatory responses in lower extremity surgery with IL 6 and CRP as pain indicator.Methods Double blind randomized clinical trial with active control at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in July November 2017. After obtaining approval from Ethics Committee, 62 subjects undergoing elective orthopedic surgery of lower extremities were randomly assigned to 2 groups. Group A Acetaminophen received 1000 mg intravenous acetaminophen while Group I ibuprofen received 800 mg intravenous ibuprofen every 6 hours respectively. Blood samples for inflammatory responses IL 6 and CRP were taken at the end of surgery prior to administration of study drug, 4, 6, and 24 hours afterward. Pain VAS at rest and with movement was assessed immediately after the surgery when patient recovered, 4, 6, 8 and 24 hours postoperative.Results There is no significant difference in serum IL 6 and CRP between group A and I at all time measurements. VAS at rest and with movement was lower in group I at 24 hours postoperative p."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Astuti
"Latar Belakang: Propofol adalah salah satu agen induksi yang sering digunakan dalam anestesia umum. Efek samping yang sering menimbulkan rasa tidak nyaman pada pasien adalah nyeri injeksi. Telah dilakukan beberapa penelitian untuk mengatasi nyeri injeksi propofol. Lidokain 40 mg disertai dengan oklusi vena menggunakan turniket adalah metode yang banyak digunakan dan paling efektif. Ondansetron rutin digunakan sebagai pencegahan PONV pada pasien anestesia umum dan terbukti memiliki potensi analgesia serta efektif dalam mencegah nyeri injeksi propofol. Penelitian uji klinis acak tersamar ganda ini membandingkan efektivitas pemberian premedikasi lidokain 40 mg dengan ondansetron 8 mg disertai penggunaan turniket untuk mencegah nyeri injeksi propofol.
Metode: Penelitian ini bersifat uji klinis acak tersamar ganda pada pasien yang menjalani anesthesia umum di Instalasi Bedah Kirana RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Setelah mendapatkan izin komite etik dan informed consent, sebanyak 104 subyek didapatkan dengan consecutive sampling pada bulan Juli hingga September 2016. Setelah pemasangan turniket selama 60 detik diikuti dengan pemberian liodakin 40 mg atau ondansetron 8 mg, dilakukan penilaian nyeri menggunakan verbal rating scale pada detik 0 injeksi propofol 0,5 mg/kg dan 20 detik pascainjeksi propofol. Dengan menggunakan uji Chi square dengan alternatif fisher dilakukan perbandingan keefektifan antara kedua kelompok.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna kekerapan nyeri injeksi propofol pada kelompok lidokain 40 mg disertai turniket dan ondanetron 8 mg disertai turniket pada detik 0 dan detik 20 pascainjeksi propofol p 0,051 dan p 0,062.
Simpulan: Pemberian ondansetron 8 mg intravena disertai dengan penggunaan turniket memiliki efektivitas yang sama dengan lidokain 40 mg intravena disertai dengan penggunaan turniket untuk mencegah nyeri injeksi propofol.

Background: Propofol is one of the induction agent that is often used in general anesthesia. Pain on injection propofol often cause discomfort in patient. A number of research has been done to solve this problem. Lidocaine 40 mg accompanied by venous occlusion using a tourniquet is a method that is widely used and most effective. Ondansetron routinely used as PONV prevention in patients with general anesthesia and shown to have analgesia potential as well as effective in preventing propofol injection pain. This randomized double blind clinical trial compared the effectiveness of premedication with lidocaine 40 mg ondansetron 8 mg with the use of a tourniquet to prevent pain on injection propofol.
Methods: This study was a double blind randomized clinical trial in patients undergoing general anesthesia in at Kirana surgical center Cipto Mangunkusumo. The study has been approved by FKUI RSCM Research Ethical Committee Jakarta. A total of 104 obtained by consecutive sampling in July until September 2016. After placement a tourniquet for 60 seconds followed by administration of 40 mg lidocaine or 8 mg ondansetron, an assessment of pain using a verbal rating scale is done at seconds 0 propofol injection of 0.5 mg kg and 20 seconds after the injection. By using the chi square test and fisher as an alternatives, were compared effectiveness between the two groups.
Result: There were no significant differences in the incidence of propofol injection pain in group lidocaine 40 mg with the use of tourniquet and 8 mg ondansetron with a tourniquet in seconds 0 and 20 seconds after injection of propofol p 0.051 and p 0.062.
Conclusion: Ondansetron 8 mg with the use of a tourniquet has the same effectiveness with Lidocaine 40 mg with the use of a tourniquet to prevent pain on injection propofol
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arnaz Fahdika
"Latar Belakang: Post Aneshesia Shivering (PAS) adalah gerakan involunter satu otot rangka atau lebih yang biasanya terjadi pada masa awal pemulihan pascaanestesia. Kekerapannya mencapai 60% pada pasien yang mendapatkan anestesia umum. PAS dapat menyebabkan hipoksia arterial, meningkatnya curah jantung, risiko terjadinya infark miokard, dan mengganggu interpretasi alat-alat pemantauan tanda vital. Tatalaksana kejadian PAS diantaranya dengan menggunakan metode farmakologi diantaranya dengan pemberian ondansetron dan meperidin. Penelitian ini bertujuan membandingkan keefektifan pencegahan PAS dengan pemberian ondansetron 4 mg dengan meperidin 0.35 mg/kgBB intravena.
Metode:Uji klinis, acak, tersamar ganda pada 92 pasien yang menjalani operasi elektif sederhana di kamar operasi RSCM Kirana. Pasien dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok ondansetron dan kelompok meperidin. Pasien mendapatkan ondansetron atau meperidin sesaat sebelum anestesia, lalu seluruh pasien mendapatkan anestesia yang distandarisasi (premedikasi dengan midazolam 0.05 mg/kgBB dan fentanyl 2 mcg/kgBB, induksi dengan propofol 12.5 mg/kgbb, intubasi atau insersi LMA difasilitasi rokuronium 0.6 mg/kgBB, pemeliharaan dengan sevofluran 2 vol% dengan compressed air:O2 = 2:1). Kekerapan dan derajat menggigil dicatat tiap lima menit selama tiga puluh menit pascaanestesia. Efek samping pascapemberian juga dicatat.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p>0.05) dalam kekerapan PAS pada kedua kelompok. Kekerapan kelompok ondansetron sebesar 15.2%, sedangkan kekerapan kelompok meperidin sebesar 6.5%.
Kesimpulan: Ondansetron 4 mg intravena sama efektifnya dengan meperidin 0.35 mg/kgBB dalam mencegah kejadian PAS.

Background: Post Anesthesia Shivering (PAS) is the involuntary movements of one or more skeletal muscles that usually occur in the early time of postanesthesia recovery. The incidence reached 60% in patients receiving general anesthesia. PAS can cause arterial hypoxia, cardiac output increased, the risk of myocardial infarction, and interfere with interpretation tools vital sign monitoring. Management of the incidence of PAS such as by using pharmacological methods such as by administration of ondansetron and meperidine. This study aimed to compare the effectiveness of prevention PAS by administering ondansetron 4 mg with meperidine 0.35 mg / kg intravenously.
Methods: Clinical trials, randomized, double-blind on 92 patients undergoing elective surgery in the RSCM-Kirana operating room. Patients were divided into two groups: group ondansetron and meperidine. Patients received ondansetron or meperidine shortly before anesthesia and all patients receive standardized anesthesia (premedication with midazolam 0.05 mg / kg and fentanyl 2 mcg / kg, induced with propofol 1-2.5 mg / kg, intubation or LMA insertion is facilitated with rocuronium or 0.6 mg / kg, maintenance with sevoflurane 2 vol% to compressed air: O2 = 2: 1). The frequency and degree of shivering recorded every five minutes for thirty minutes post-anesthesia. The side effects were also recorded.
Result: There was no statistically significant difference (p> 0.05) in the frequency of PAS in both groups. Ondansetron group frequency of 15.2%, while the frequency of meperidine group was 6.5%.
Conclusion: Ondansetron 4 mg intravenously as effective as meperidine 0.35 mg/kgBW in preventing the incidence of PAS."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rebecca Sidhapramudita Mangastuti
"Tujuan: Mengetahul efek induksi etomidat 0,2 mg/kgBB iv dibandingkan etomidat 0,3 mg/kgBB iv dalam menurunkan kekerapan mioklonus.
Metode : Uji Minis tersamar gander Penelilian dilakukan di ruang Instalasi Bedah Pusat dan Bedah Rawat Jalan RSCM, pada pasien yang akan menjalani operasi berencana dengan anestesi umum, ASA I-II, umur 16-65 tahun, tidak memiliki riwayat kelainan neurologis dan neuromuskular dan tidak memiliki riwayat alergi terhadap etomidat, midazolam dan fentanil. 56 pasien mendapat induksi etomidat 0,2 mg/kgBB iv dan 56 pasien mendapat induksi etomidat 0,3 mg/kgBB iv. Premedikasi yang digunakan pada kedua kelompok: midazolam 0,02 mgfkgBB iv dan fentanil 1 ugfkgBB iv. Dinilai kekerapan mioklonus serta derajat mioklonus pada kedua kelompok. Analisis siatistik dengan uji t bila mengikuti distribusi normal. Sedangkan perbedaan pada kedua kelompok data kategori diuji dengan uji chi-square. Nilai signifkansi p< 0,05 dengan interval kepercayaan 95%.
Hasil: Kelompok etomidat 0,2 mg/kgBB iv, miokionus ringan a orang (1,8 %) mioklonus sedang dan berat tidak ada (0 %). Kelompok etomidat 0,3 mg/kgBB iv, mioklonus ringan 2 orang (3,6 %), mioklonus sedang 2 orang (3,6 %) dan mioklonus berat 1 orang (1,8 %).
Kesimpulan : Etomidat 0,2 mgfkgBB iv dibandingkan etornidat 0,3 mg/kgBB iv dalam menurunkan kekerapan mioklonus serta perbandingan derajat mioklonus, secara statistik tidak bermakna, namun ada kecenderungan angka keberhasilan pada penggunaan etomidat 0,2 mglkgBB.

Purpose: To know comparison induction elect of etomidate 0,2 mglkg iv and etomidate 0,3 mglkg iv to decrease frequently of myoclonus.
Methods: Double-blind randomized controlled trial. Trial had done at Centre Surgery Unit (IBP) and One Day Care RSCM. Patient were undergoing elective surgery with general anesthesia, ASA I-II 16-65 years old, didn't have history of neurologic and neuromuscular diseases, didn't have hypersensitive with etomidate, midazolam and fentanyl. 56 patients had etomidate 0,2 mg/kg iv and 56 patient had 0,3 mg/kg. Premedication with midazolam 0,2 mglkg iv and fentanyl 1 ug/kg iv. Measured myoclonus and grade of myoclonus. Analysis with t test for normal distribution and chi-square test for categorial. Significancy if p value < 0,05 with confidence interval 95%.
Result: Group of etomidate 0,2 mg/kg iv, one patient had mild myoclonus (1,8%), no patient had moderate and severe myoclonus (0%). Group of etomidate 0,3 mg/kg iv, two patients had mild myoclonus (3:.6%), two patients had moderate myoclonus (3,6%) and one patient had severe myoclonus.
Conclution: Comparison etomidate 0,2 mg/kg iv and etomidate 0,3 mg/kg iv to decrease frequently of myoclonus and the grade of myoclonus, no significantly in statistic analysis, but had disposed successful in etomidate 0,2 mg/kg iv.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18173
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Permatasari
"Menggigil pasca anesthesia merupakan komplikasi yang potensial bagi pasien pasca bedah yang dapat mengakibatkan Iiipoksemia karena peningkatan konsumsi oksigen jaringan dan peningkatan kadar C02 dalam darah. Hal ini berbahaya tenriama bagi pasien dengan riwayat penyakit jantung iskemi atau pasien-pasien dengan fungsi cadangan ventilasi yang terbatas. Teiah banyak upaya pencegahan maupun penanggulangan dilakukan untuk mengatasi menggigil pasca anestesia, obat yang lazim digunakan adalah petidin. Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa ketamin juga efektif untuk mencegah menggigil pasca anestesia.
Penelitian ini bertujuan membuktikan apakah ketamin lebih efektif dibandingkan petidin untuk mencegah menggigil pasca anestesia inhalasi N20/02/isofluran, Penelitian ini bersifat uji klinis tersamar ganda yang membandingkan keefektifan ketamin intravena 0,5 mg/kb BB dengan petidin 0.35 mg/kg BB. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSCM dengan jumlah sampel 40, laki-laki dan perempuan, usia 16-65 tahun, status fisik ASA I-II. Kriteria penolakan adalah mempunyai riwayat alergi terhadap petidin dan ketamin, memiliki riwayat kejang, hipertensi dan penyakit jantung koroner, jika suhu tubuh sebelum induksi >38 °C atau <36°C dan bila pasien mengkonsumsi obat inhibitor monoamine oksidase. Kriteria pengeluaran jika operasi berlangsung >180 menit atau kurang dari 30 menit, mendapatkan darah atau komponen darah, memerlukan perawatan di ruang rawat intesif pasca pembedahan., mengalami komplikasi selamaanestesia seperti syok atau henti jantung dan bila intra operatif pasien mendapatkan obat klonidin, prostigmin, petidin dan ondansetron."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>