Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 110568 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harvarindo , 2001,
R 343.052 Buk
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Herru Widiatmanti
"Terbitnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah membawa perubahan besar pada penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yaitu sebagian besar fungsi penyelenggaraan pemerintahan yang sebelumnya difaksanakan oleh pemerintah pusat telah diserahkan kepada pemerintah daerah otonom. Kendala ketersediaan dana yang bergantung pada sumber daya alam dan sumber daya manusia ditunjang oleh penerimaan dari Dana Perimbangan. Salah satu sumber dana perimbangan adalah penerimaan bagi hasil Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri (pajak penghasilan orang pribadi dan pajak penghasilan pasal 21). Harapan adanya peningkatan penerimaan pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri akan membawa implikasi terhadap bertambahnya bagi hasil pajak kepada daerah. Sampai saat ini, secara umum perhitungan potensi penerimaan pajak khususnya penerimaan PPh OP dan PPh pasal 21 yang terkait dengan penerimaan bagi hasil daerah belum pernah secara khusus dilakukan penghitungan dengan menggunakan metode seperti yang dilakukan pada penelitian ini.
Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung estimasi penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri (pajak penghasilan orang pribadi dan pajak penghasilan pasa! 21) dan estimasi penerimaan bagi hasilnya bagi APBD Kota Bogor.
Penelitian bersifat verifikasi hipotesis dengan menggunakan metode analisis kuantitatif. Metode analisis yang digunakan adalah 1) menghitung potensi dan kapasitas penerimaan PPh Orang pribad! dan penerimaan bagi hasilnya, serta 2) menghitung potensi dan kapasitas penerimaan PPh pasal 21 dan bagi hasilnya.
Keterbatasan studi dan metodologi pada penelitian ini adalah data penghasilan per Rumah Tangga; rata-rata jumlah individu per Rumah Tangga (RT); data penerimaan pajak dan bagi hasi) pajak; data WP OP sebagai karyawan dan bekerja di kota Bogor; rata-rata PPh pasal 21 per pemotong pajak; dan tingkat kapasitas.
Berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah potensi dan kapasitas penerimaan PPh orang pribadi, PPh Pasal 21 dari rumah tangga yang berdomisili di wilayah Kota Bogor dan perusahaan (pemotong PPh Pasal 21) yang berlokasi usaha di wilayah Kota Bogor terus meningkat dan implikasinya terhadap potensi dan kapasitas penerimaan bagi hasil dari kedua pajak penghasilan tersebut (disebut Bagi Hasil PPh OP DN) bagi Kota Bogor juga akan terus meningkat. Dari hasil penelitian diketahui bahwa tingkat kepatuhan WP masih rendah yaitu dibuktikan dengan rendahnya jumlah WP yang telah terdaftar dibandingkan yang belum terdaftar dan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam melaporkan SPT Tahunan PPh yang juga masih rendah.
Berdasarkan hasil wawancara dan penelitian diketahui terdapat berbagai kendala yang dihadapi oleh Kantor Pelayanan Pajak Bogor dalam melakukan ekstensifikasi untuk meningkatkan jumlah wajib pajak dan intensifikasi penerimaan pajak antara lain : a) masih kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang perpajakan; b) sulitnya mendapatkan data dari instansi terkait yang berkaitan dengan kegiatan/ aktivitas usaha masyarakat; c) keterbatasan sumberdaya yang dimillki; dan d) kekurangakuratan data (masalah koordinasi antar instansi pemerintah daerah).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terbukti dari hasil penelitian potensi dan kapasitas penerimaan PPh OP dan PPh Pasal 21 .-memang tinggi. Hal inl juga akan membawa implikasi terhadap potensi bagi hasil PPh pada APBD Kota Bogor akan semakin besar. Tingkat kepatuhan wajib pajak yang masih rendah menjadi faktor penyebab rendahnya realisasi penerimaan PPh OP dan PPh Pasal 21. Implikasinya, realisasi bagi hasil PPh OPDN yang baru mulai diterima pada tahun 2001 juga masih rendah dibandingkan dengan potensinya yang baru mencapai 36,92% sampai 44,28%. Upaya-upaya telah dilakukan oleh KPP Bogor tetapi hasilnya belum optimal.
Mengingat penelitian ini apabila dapat diterapkan akan memberikan manfaat bagi kedua pihak yaitu Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Bogor dan Pemerintah Kota Bogor sebagai bahan perencanaan yang terukur, maka disarankan untuk melakukan: 1) peningkatan kerja sama antara Pemerintah Kota Bogor dengan Kantor Pelayanan Pajak Bogor balk formal maupun informal dalam membangun sistem informasi yang dapat memberikan kemudahan akses untuk mendapatkan informasi tentang kegiatan usaha yang ada di wilayah Kota Bogor dan membentuk tim gabungan untuk melakukan pendataan; 2) penyuluhan yang intensif dan tepat sasaran untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan Wajib Pajak; 3) kerja sama dalam pendistribusian SPT Kempos, re-registrasi, dan canvassing 4) pemberian konseling kepada Wajib Pajak melalui Account Representative dan yang terpenting adalah 5) seluruh pihak agar terus menerus meningkatkan reformasi di bidang moral, etika dan integritas menuju good governance."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T20559
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Munandar
"Seiring dengan menguatnya desentralisasi di Indonesia, peranan PPh semakin penting sebagai sumber penerimaan pemerintah Republik Indonesia. KPP Depok sebagai institusi pemerintah telah melaksanakan fungsinya dalam memungut PPh di Kota Depok dengan baik. Dalam konteks efisiensi, pemungutan PPh OP dan PPh Pasal 21 cukup efisien, demikian juga dalam hal efektifitasnya. Biaya pemungutan PPh OP dan PPh Pasal 21 adalah lebih kecil dari 1% dibandingkan dengan hasil pemungutannya. Realisasi hasil pemungutan adalah 128,10% dari targetnya. Perkembangan hasil pemungutan PPh OP dan PPh Pasal 21 oleh KPP Depok cukup elastis dengan koefisien elastisitas terhadap perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah 7,53. Artinya selama kurun waktu analisis dari tahun 2002 sampai 2007 setiap 1% perkembangan PDRB telah diikuti oleh 7,53% perkembangan PPh OP dan PPh Pasal 21.

Following the strengthening of decentralisation system in Indonesia, the role of Income Tax is increasingly significant as a revenue source for government of Indonesia. KPP Depok as a government institution has accomplished its function in collecting income tax in Depok City successfully. In the efficiency context, the collection of Personal Income Tax (PIT) and Income Tax of Article 21 of Depok City periods 2002-2007 is less than 1% compare to the collection result. The realization of the collection result is 128,10% from its target. The growth of the collection result of Personal Income Tax (PIT) and Income Tax of Article 21 of Depok City periods 2002-2007 is elastic, which the elasticity coefficient of the growth of Gross Regional Domestic Product (GRDP) is 7,53. It means that in the periods 2002-2007 each 1% growth of GRDP has been followed by 7,53% growth of Personal Income Tax (PIT) and Income Tax of Article 21."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T28761
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maya Diarna
"Skripsi ini bertujuan untuk melihat penerapan Undang-Undang Perpajakan No. 10 tahun 1994 tentang pajak penghasilan dan Undang-undang No. 11 tahun 1994 tentang PPN atas pendapatan komisi, pembayaran komisi dan pendapatan pajak teknik. Penulis mengambil tema tersebut untuk membandingkan aspek perpajakan yang dikenakan terhadap penghasilan jasa, yang diterima dari wajib pajak Indonesia, yangditerima dari wajib pajak Luar Negeri dan penghasilan yang dibayarkan kepada wajib pajak Luar Negeri. Dari sini terlihat beberapa perubahan seperti perubahan tarif dan perluasan obyek pajak. Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode deduktif dengan menjabarkan mengenai pemotongan PPh pasal 23, pepbebasan PPh pasal 26, serta pemungutan PPN atas penghasilan jasa tersebut. Selain itu juga dijabarkan mengenai pengkreditan PPN untuk memperlihatkan adanya PPN Masukan dan PPN Keluaran dalam PT. INT. Dalam hal pemotongan PPh pasal 26 atas penghasilan yang dibayarkan kepada wajib pajak luar negeri, harus diperhatikan kemungkinan adanya suatu perjanjian perpajakan (tax treaty) antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain yang bertujuan untuk menghindarkan pengenaan pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak contohnya perjanjian perpajakan dengan Pemerintah Jepang. Analisis dilakukan dengan membandingkan penerapan UU Perpajakan tahun 1994 dengan UU Perpajakan sebelumnya, sehingga dapat dilihat perubahan-perubahan yang terjadi. Dari hasil analisis tersebut ternyata PT. INT sudah cukup baik dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, hanya saja dalam hal pembebasan pemotongan PPh pasal 26, baik PT. INT maupun wajib pajak Luar Negeri yang menerima penghasilan tidak mengikuti prosedur Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh pasal 26 PT. INT sebagai pihak yang wajib memotong pajak penghasilan sebaiknya segera meminta wajib pajak negara lain tersebut untuk segera memohon SKB PPh pasal 26 untuk menghindari terjadinya kesalahan dan masalah dengan pihak fiskus."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1996
S19135
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Agus Setiawan
Bogor: Ghalia Indonesia, 2010
336.2 AGU p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Tania Permatasari
"Perusahaan menerapkan kebijakan perpajakan dengan tujuan mengefisiensikan pembayaran pajak terutang sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Skripsi ini meneliti tentang kebijakan perpajakan yang dilakukan di PT ABC sebagai upaya mengefisiensikan beban pajaknya. Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif dengan studi literatur dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PT ABC telah menerapkan kebijakan pepajakan, namun kebijakan pajak yang dilakukan PT ABC kurang efektif dan tidak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Hambatan penerapan kebijakan pajak dikarenakan pengarsipan dokumen yang kurang baik dan karywan PT ABC yang kurang memahami peraturan perpajakan.

Implementation of tax policy is carried out by companies with the aim of
streamlining the payment of tax payable in accordance with applicable tax laws
and regulations. This study examines tax policy conducted at PT ABC in an effort
to streamline the tax burden. This research is qualitative descriptive with studies
in the literature and in-depth interviews. The results of this study indicate that PT
ABC has implemented tax policy at its company, but the tax policy at PT ABC is
less effective and not in accordance with applicable tax regulations. Tax policy
barriers are due to poor document archiving and PT ABC employees who do not
understand tax regulations.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosdiana
"Penelitian mengenai evaluasi implementasi kebijakan PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh pemerintah bagi PNS atas penghasilan yang dibebankan kepada keuangan negara pada Departemen Keuangan dan pengaruh faktor komunikasi dan kecenderungan pelaksana terhadap kepatuhan bendahara pengeluaran dalam implementasi kebijakan tersebut.
Penelitian ini dilakukan pada satuan kerja di Departemen Keuangan di Jakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survai yang bersifat evaluasi dengan sampel sebanyak 56 bendahara pengeluaran dan menggunakan analisis korelasional.
Implernentasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang diambil oleh individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan sebelumnya. Keberhasilan implementasi kebijakan PPh Pasal 21 atas PNS diukur dari tingkat kepatuhan bendahara pengeluaran dalam melaksanakan kewajiban perpajakan atas pembayaran penghasilan kepada PNS yang dibebankan kepada keuangan negara. Dengan mengevaluasi kebijakan pada saat diimplementasikan dapat diketahui apakah tindakan administrator program, staf dan pelaku lainnya telah sesuai dengan standar dan prosedur yang ditentukan. Kepatuhan bendahara pengeluaran dipengaruhi oleh faktor komunikasi dan kecenderungan pelaksana. Salah satu fungsi komunikasi adalah untuk memberikan informasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan. Kecenderungan pelaksana adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Dalam penentuan kebijakan perpajakan hendaknya didasarkan pada azas-azas pemungutan perpajakan antara lain keadilan dan kesederhanaan administrasi. Azas keadilan dimaksudkan adalah pajak harus adil dan merata dikenakan kepada orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar pajak tersebut dan sesuai dengan manfaat yang diterimanya. Pembebanan pajak adil apabila setiap wajib pajak menyumbangkan suatu jumlah untuk dipakai guna pengeluaran pemerintah sebanding dengan pengeluarannya. Kesederhanaan administrasi adalah bahwa ketentuan pajak hendaknya mudah dipahami baik oleh wajib pajak maupun oleh fiskus.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pelaksanaan kebijakan PPh Pasal 21 atas penghasilan PNS yang ditanggung oleh pemerintah belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan. Tingkat kepatuhan yang rendah terutama pada penentuan dan dasar waktu penentuan tanggungan, dan penggunaan besaran PTKP yang berlaku. Penyebab bendahara pengeluaran patuh atau tidak patuh terhadap ketentuanketentuan yang ditetapkan disebabkan karena pertama, bendahara pengeluaran tidak mengetahui ketentuan yang ada dan kedua, bendahara pengeluaran mengetahui ketentuan yang ada, tetapi sebagian melaksanakan dan sebagian lagi tidak melaksanakannya. Pengaruh komunikasi dan kecenderungan bendahara pengeluaran secara simultan terhadap kepatuhan sebesar rX1X2Y=0,480 (cukup kuat), artinya bahwa komunikasi berupa sosialisasi oleh DJP dengan menggunakan berbagai media atau diktat yang dilakukan oleh BPPK, kemampuan petugas penyuluh pajak/diklat serta koordinasi dengan instansi terkait dan kecenderungan bendahara pengeluaran (meliputi pengetahuan dan keterampilan, persepsi terhadap sistem insentif dan reward serta perilaku pelaksana) berpengaruh cukup kuat dan positif terhadap kepatuhan bendahara pengeluaran. Dari hasil uji F diperoleh kesimpulan bahwa pengaruh komunikasi terhadap kepatuhan bendahara pengeluaran adalah signifikan. Besarnya kontribusi komunikasi dan kecenderungan bendahara pengeluaran terhadap kepatuhan adalah sebesar 23,04% dan sebanyak 76,96 % disebabkan oleh faktor fain misalnya sumber dana, struktur birokrasi, dan sebagainya.
Berdasarkan hasil penelitian diatas disarankan (1) penyuluhan atau sosialisasi DJP disarankan agar lebih intensif ke bendahara pengeluaran/instansi pemerintah karena potensi pajak yang berasal dari APBN cukup besar; (2) untuk memenuhi prinsip keadilan, pajak yang terutang alas pembayaran gaji PNS tidak lagi ditanggung oleh pemerintah sehingga dana tersebut dapat dialihkan untuk befanja negara lainnya misalnya pengadaan barang dan jasa publik. Jika afasan untuk menanggung pajak karena penghasilan yang lidak memadai seharusnya telah tercermin dalam Personal Exemption (PTKP); (3) dalam menentukan jenis kebijakan pajak, pemerintah harus mempertimbangkan kemudahan administrasi. Dalam hubungan dengan kebijakan pemerintah untuk menanggung PPh yang terutang otas pembayaran gaji PNS, sebaiknya dikenakan PPh secara final. Selain mudah dalarn pelaksanaan dan pengawasannya, PNS selaku wajib pajak tidak perlu memperhitungkan dalam SPT tahunan serta masalah keadilan yang biasanya terjadi akibat pelaksanaan PPh final tidak relevan lagi karena pada akhirnya pajak yang terutang ditanggung pemerintah sehingga tidak berpengaruh terhadap penghasilan neto PNS.

There are two objectives of this research. First, we evaluated the implementation of PPh Pasal 21 (Income Tax Article 21) policy declared by the government. Second, we analyzed the effect of the communication and the disposition of expenditure treasures factors to the compliance of expenditure treasurer in accordance with the policy. The object of the policy is on the income of public servants, which is burdened to the public finance of Ministry of Finance.
The research was conducted at the work units of Ministry of Finance in Jakarta. The method used is survey that is by evaluating 56 samples of expenditure treasurers and analyzing their correlation.
Implementation of policy as actions gotten by individual (or groups) of government or private directed to achieve purposes had been determined in previous policy decision. The success of implementation of Income Tax Article 21 policy of public servant may be measured from compliance level of expenditure treasures in implementing tax obligation for payment income to public servant which is burdened to public finance. Evaluating policy in the time of implementing, it may be known whether administrator action of program, staff and other actors had been suitable with standard and procedure determined. The compliance of expenditure treasures is influenced by communication and disposition of implementers. The functions of commmunication are for giving information regarding how implement any policy. Disposition implementers are altitude and characteristic owned by implementers such as commitment, honesty, and democratic behavior. In determining tax policy, it should be based on levying principles such as equity and Administrative simplicity. Equity is the subjects of every state ought to contribute towards the support of the government, as nearly possible, proportion to their respective abilities; that is, in proportion to the revenue which they respectively enjoy under the protection of the state. Administrative simplicity is that tax regulation should be understood by tax payer or liscus easily.
The research shows that the Income Tax Article 21 policy implementation on public servant income had not been fully implemented according to the rules. The low level of compliance is found especially on the determination of the amount and the time base of the responsibility as well as the income taxes exemption (PTKP). The reasons why the officers do not comply the rules are, first, they don't know the rules, and second, they know the rules but some just ignore them. It is found that the effect of the communication and the disposition of expenditure treasures factors on the compliance is rX1X2Y=0.480 (strong enough), which means that the communication in the form of socialization by Directorate General of Tax through publication in the media or training held by BPPK, instruction capability of the tax/trainer officers, coordination with related institution, and tendency of the expenditure treasures (which includes the knowledge, skills, and perceptions on the incentive systems, reward, and public servant behaviors) affect the compliance of expenditure treasures strongly and positively. The F test shows that the effect of communication on the compliance is significant. The communication and the tendency of the officers affect the compliance by 23A%, where the rest is caused by other factors, such as the fund sources and the structure of bureaucracies.
Based on the research, we proposed a number of suggestions. First, the instruction or socialization of Directorate General of Tax should be more intensively directed to the expenditure treasurers/government institution since the potential taxing from state budget is relatively high. Second, the implementation of the policy need to meet the justice principle, i.e. the tax liabilities of public servants payroll should not be borne by the government. Therefore, those funds can be transferred to other expenditures, such as the procurement of public goods and services. Moreover, if there is a reason of bearing the tax despite the inadequate income, the criteria should be clearly defined. In the last two years, the government has completed the formulation income taxes exemption (PTKP), as such the tax liabilities only apply for the higher income of public servants and high officers. The reason to bear the taxes on public servants' small income should be reflected on Personal Exemption (PTKP). Third, in order to determine the kind of tax policies, the government should consider the simplification of the administration. In accordance with the government policies to bear the payable income taxes on public servants payroll, the final income tax should be implemented. Besides it is easy to be executed and maintained, the public servants as the taxpayers do not need to account their income in the SPT and the justice problem that is usually happened on final income tax implementation would not be a relevant matter since the taxes owed is borne by government. Therefore, it would not affect the net income of the public servants.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22187
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Batrisyia Izzati Ardhie
"Laporan magang ini bertujuan untuk mengevaluasi prosedur audit substantif yang dilaksanakan KAP PLEDIS atas akun utang pajak PPh pasal 23, PPh pasal 4 ayat (2), dan PPN pada PT SVT. Pembahasan mencakup evaluasi kesesuaian implementasi prosedur substantif pengujian rinci akun utang pajak tersebut dengan teori, peraturan perpajakan, dan standar audit. Dari hasil pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa prosedur substantif pengujian rinci atas akun utang pajak PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 ayat (2), dan PPN yang dijalani KAP PLEDIS terhadap PT SVT sudah sesuai dengan teori, standar audit, serta peraturan perpajakan yang berlaku.

This internship report aims to evaluate the substantive audit procedures carried out by KAP PLEDIS on the taxes payable accounts of Income Tax article 23, Income Tax article 4 paragraph (2), and VAT at PT SVT. The analysis includes evaluating the implementation of substantive procedure test of detail for the taxes payable account with audit theory, taxation, and audit standard. From the discussion, it is concluded that the substantive procedure test of detail for taxes payable accounts of Article 23 Income Tax, Article 4 Income Tax paragraph (2), and VAT PT SVT are in accordance with theory, audit standards, and applicable tax regulations."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Saktius Susilo
"Beban dan tanggungjawab untuk merealisasikan penerimaan negara yang bersumber dari penerimaan pajak mengharuskan Direktorat Jenderal perpajakan melakukan reformasi aturan-aturan di bidang perpajakan. Rancangan Undang-undang (RUU) Perpajakan yang diajukan pemerintah mulai tahun 2005, pemerintah berencana menerapkan tarif tunggal untuk menggantikan tarif progresif Pasal 17 Pajak Penghasilan. Besaran tarif yang diusulkan adalah 28% dan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun diturunkan menjadi 25%. Tarif tunggal diterapkan untuk wajib pajak badan dan berlaku sama untuk seluruh wajib pajak badan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tarif tunggal Pasal 17 PPh Badan terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang, perbedaan jumlah pajak penghasilan terhutang sebelum dan sesudah diterapkannya tarif tunggal Pasal 17 PPh Badan serta keadilan dan kesederhanaan tarif tunggal Pasal 17 PPh Badan dibandingkan dengan tarif progresif pajak penghasilan. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data SPT Tahunan PPh Badan dan data primer berupa kuisioner. Responden penelitian ini adalah Wajib Pajak Badan di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pangkal Pinang.
Menurut tingkat eksplanasinya, penelitian ini menggunakan dua (2) metode, yaitu penelitian asosiatif/hubungan dan metode komparatif. Dalam metode asosiatif, penulis mencari hubungan antara variabel tarif tunggal dengan variabel jumlah pajak terhutang sehingga akhirnya dapat diketahui seberapa besar pengaruh tarif tunggal Pasal 17 PPh Badan terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang. Teknik sampling yang dilakukan adalah sampel random sederhana. Sedangkan dalam metode komparatif, penulis membandingkan jumlah pajak penghasilan terhutang sebelum dan sesudah diterapkannya tarif tunggal Pasal 17 PPh Badan. Dalam penelitian komparatif, penulis tidak melakukan teknik sampling artinya data yang digunakan adalah seluruh data SPT Tahunan PPh Badan. Setelah data terkumpul analisis dilakukan dengan menggunakan aplikasi software SPSS versi 13.00 dan dianalisa melalui statistik deskriptif, korelasi, regresi, uji signifikansi F serta uji beda T-Paired.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tarif tunggal Pasal 17 PPh Badan berpengaruh terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang, dengan tingkat signifikansi sebesar 0,788. Persamaan regresi yang diperoleh adalah Y = 1,613 + 0,629X, artinya setiap penambahan 1% tarif tunggal akan meningkatkan jumlah pajak terhutang sebesar 1,6134% atau sebaliknya. Selain itu terdapat terdapat perbedaan jumlah pajak penghasilan terhutang sebelum dan sesudah diterapkannya tarif tunggal Pasal 17 PPh Badan. Apabila diterapkan tarif tunggal sebesar 28%, jumlah pajak terhutang di Kantor Pelayanan Pajak Pangkal Pinang meningkat sebesar Rp 4.319.166,019,-. Tarif tunggal tidak mencerminkan keadilan vertikal karena wajib pajak yang berpenghasilan tinggi dan wajib pajak yang berpenghasilan rendah dikenakan pajak dengan tarif yang sama. Keadilan horizontal akan tetap terpenuhi, dimana terlihat bahwa setiap wajib pajak badan akan membayar pajak atas laba mereka dengan tarif yang sama. Keadilan dalam pembebanan pajak akan tercapai karena dalam tarif tunggal, marginal rate tetap akan naik seiring dengan besarnya penghasilan yang dimiliki seseorang. Secara kuantitas, wajib pajak badan yang memperoleh laba yang lebih besar akan membayar pajak lebih besar daripada yang mempunyai laba lebih kecil. Akan tetapi tarif tunggal lebih sederhana dan mudah diaplikasikan. Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa tarif pajak tunggal memberikan dampak atau pengaruh terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang. Selain itu, terdapat perbedaan jumlah pajak penghasilan terhutang sebelum dan sesudah diterapkannya tarif tunggal Pasal 17 PPh Badan. Aspek keadilan dalam tarif tunggal tetap terpenuhi.

Duty and responsibility of better realization of the receipt of tax has demanded the Directorate General of taxation to reform the regulations relating to taxation. In the Bill of Taxation which was proposed in the year of 2005, the government has planned to impose the flat tax as replacement of progressive tariff Article 17. The percentage of proposed tariff is 28% and it will be decreased into 25% within a period of 5 (five) years. Flat rate is imposed on the corporate taxpayer and prevail equivalently for all corporate taxpayers.
This research is aimed at identifying the effect of flat rate article 17 income tax on the total outstanding income tax, the difference of total outstanding income tax before and after the application of flat rate article 17 corporate income tax as well as the fairness and simplicity of flat rate article 17 corporate income tax compared with the progressive tariff of income tax. Data being used in this research is secondary data in the form of annual tax return of corporate income tax and primary data in the form of questionnaires. The respondent of this research is corporate taxpayers in the working environment of Tax Service Office of Pangkal Pinang. According to the extent of its explanation. This research apply 2 (two) methods, namely associative methods and comparative methods. In the associative methods, the writer seek the correlation between the variable of flat rate and variable of total outstanding tax in order to identify the extent of effect of flat rate article 17 corporate income tax on the total outstanding income tax. The sampling technique being applied is simple random sampling. Whereas, in the comparative method, the writer compare total outstanding income tax before and after the application of flat rate article 17 corporate income tax. In the comparative research, the writer does not perform sampling technique, in which the data being used are all data annual tax return of corporate income tax. Upon collecting the data, analysis is performed by applying the software of SPSS version 13.00 and are analyzed through descriptive, statistic, correlation, regression, significance F Test and difference T-paired test.
Result of analysis reveal that there is a significant correlation between flat rate article 17 corporate income tax and total outstanding income tax in the value of 0.788. Regressional equation being obtained is Y = 1.613 + 0.629X which mean that every additional 1% of flat rate will increase total outstanding income tax of 1.613% or otherwise. Moreover, there is a difference on the total outstanding income tax before and after the application of flat rate article 17 corporate income tax. If 28% flat rate is applied, then total outstanding income tax at the tax service office of Pangkal Pinang will increase in the value of IDR 4.319.166.019,- The flat rate deemed to be inadequate in properly reflecting the vertical fairness because the similar tax will be imposed on the taxpayers with high income and those with low income. Horizontal fairness will be remain satisfied, in which it may be seen that each taxpayers must pay the tax for their profit with the same tariff. Fairness in the tax imposition may be accomplished because, in the flat rate, the marginal rate will constantly raise in line with the extent of income obtained by an individual. Quantitatively, the corporate taxpayer may obtain higher profit are obliged to pay higher tax than those obtaining lower profit. However, viewed from the percentage of its effective tariff, the taxpayers will pay the tax in the same percentage. Moreover, flat rate is simpler and easier o be applied in the tax calculation. Thus, it may be concluded that the flat rate may cause an impact and effect on the total outstanding income tax. Furthermore, there is a difference in the total outstanding income tax before and after the application of flat rate article 17 corporate income tax. The aspect of fairness in the flat rate remain to be satisfied."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T 19475
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>