Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 146780 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tubagus Erif Faturahman
"Penelitian ini membahas dua hal; Penyebab konflik dalam dunia internasional dan penyelesaiannya, serta pandangan Konstruktivisme terhadapnya; bersifat critical theory, yang mencoba membandingkan Konstruktivisme dan Realisme. Sebagai suatu hal residu dalam kehidupan manusia, konflik bukanlah sebuah deviasi atau patologi sosial. Sebaliknya, ia menjadi instrumen bagi proses kemajuan peradaban manusia. Konflik dipandang menjadi negatif manakala bersifat destruktif yang melandaskan pada benturan-benturan fisik. Konflik negatif inilah yang saat ini menjadi sebuah patologi yang harus dicari akar permasalahan dan solusinya. Memahami konflik dan penyelesaiannya sangat tergantung dari cara pandang atau paradigma yang digunakan. Dalam penelitian ini, cara pandang yang digunakan adalah Konstruktivisme. Berbagai paradigma yang selama ini mendominasi teori dalam hubungan internasional seperti Realisme dan Liberalisme, tidak lagi mampu menjangkau dalam menganalisa berbagai penyebab konflik yang sifatnya non materi, seperti pertentangan identitas. Gejala itu semakin kuat seiring dengan terjadinya perubahan sistem internasional dari bipolar ketat menjadi multipolar. Kegagalan besar yang dialami oleh berbagai paradigma dalam hubungan internasional untuk menyelesaikan konflik membuatnya tidak lagi mampu menjadi guide untuk menciptakan perdamaian. Kegagalan tersebut terjadi karena muasal pemikiran fllsafat mereka sangat positivistik. Berdasar filsafat ilmu, positivisme hanya akan dapat berjalan secara baik apabila diterapkan dalam menganalisa ilmu pasti, materi atau mahluk hidup selain manusia yang reguler. Menganalisa manusia yang dinamis dengan positivisme adalah sebuah kesalahan. Konstruktivisme adalah sebuah pendekatan pos-positivis, tidak melihat manusia dan gejalanya, seperti konflik, sebagai sebuah materi. Karena itu, pendekatan ini menekankan pada kekuatan ide atau pemahaman subyektilitas sebagai faktor utama yang menggerakkan masyarakat untuk menjadi damai atau konflik."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12201
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007
327.16 DIS
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Mochthar Ngabalin
"Mengharapkan hadimya seorang Tokoh yang didengar, dihormati, dan disegani, adalah suatu dambaan tersendiri bagi masyarakat di Maluku saat ini. Betapa tidak, negeri yang terkenal, toleran dan konpromis, dalam nuansa heterogenitas masyarakat yang kental tersebut, kini diporak-porandakan oieh konfiik, dan tidak ada seorang pun yang mampu menyelesaikannya. Koniiik yang telah berlangsung lebih dari dua tahun ini, hampir dapat dikata berhasil meluluh-lantakan semua tatanan sosial Iokal yang selama ini terbangun mapan di masyarakat meialui proses-proses kultural. Dengan kata lain, pemirnpin dan kepemimpinan di Maluku dalam skala kecil (in grup), maupun masyarakat secara luas, saat ini dipertanyakan.
Padahal, berbicara mengenai pemuka pendapat di Maluku, tidak kurang banyaknya orang yang memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai pemuka pendapat. Berbagai pengalaman telah membuktikan bahwa Iewat kepemukaannya, para pemuka pendapat memperiihatkan peranannya yang dominan dan signiiikan, di masyafakat. Kepemukaan mereka telah banyak dibuktikan dalam hai penyelesaian konfiik yang terjadi di masyarakat, dimana tidak periu mengikutsertakan pihak Iuar (termasuk TNI dan Polri).
Dalam sejarah perjalanan masyarakat di Maluku, kemampuan pemuka pendapat dalam mengelola konflik terlihat sedemikian rupa, sehingga konflik dengan dampak yang negatif sekalipun, mampu dikelola menjadi kekuatan yang positif. Hasilnya adalah, terbangunnya relasi-relasi sosial, kohesi sosial bahkan integrasi sosial. Kenyataan ini yang melahirkan hubungan-hubungan seperti, Pela dan Gandong.
Ketika konflik terus berlanjut, orang lalu menanyakan dimana peran pemuka pendapat yang selama ini ada ? siapa-siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai pemuka pendapat, dan bagaimana perannya saat ini? Pertanyaan-pertanyaan ini yang mendorong dilakukannya studi ini.
Dari hasil studi di lapangan, ditemukan seiumlah fakta berkaitan dengan permasalahan sebagaimana diajukan di atas. Pertama, konfiik yang terjadi sejak 19 Januari 1999, adalah konflik yang direncanakan, dengan memanfaatkan sejumlah persoalan sosial seperti, masalah mayoritas- minoritas, masalah kebijakan politik pemerintahan Orde Baru, masalah kesenjangan sosial, ekonomi antara pusat dan daerah, masalah imigran dan penduduk asli, serta masalah politisasi agama. Kedua, Konfiik berhasil membangun fanatisme kelompok yang sempit, dimana setiap orang mengidentifikasi dirinya secara subyektif berbeda dengan orang lain di Iuar kelompoknya. Dengan demikian, kepemukaan seseorang sering mengalami gangguan komunikasi dalam berhadapan dengan kelompok di Iuamya (out group). Ketiga, Masuknya kelompok Iuar dalam jumlah besar dengan kekuatan dan kekuasaan yang besar, adalah faktor kendala tersendiri bagi berperannya seorang-pemuka pendapat secara signiikan di Maluku.
Untuk maksud studi ini, maka tipe penelitian yang digunakan adalah diskriptif kualitatif. Dengan metode ini diharapkan akan dapat dituliskan secara sistimatis semua fenimena konflik yang terjadi di masyarakat pada Iatar alamiahnya, dan bagaimana peran pemuka pendapat dalam upaya penyelesaian konflik tersebut.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4904
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Zulkarnain
Jakarta: Proyek Penelitian Pengembangan Riset, 2003
303.6 ISK p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Zulkarnaen
Jakarta: Puslit. Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, 2004
303.6 KON (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Keron A. Petrus
"ABSTRAK
Konflik penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan antara masyarakat yang
bermukim di dalam dan sekitar hutan dengan berbagai pihak yang mempunyai
kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap keberadaan suatu
kawasan hutan masih terus berlangsung sebagai akibat dari implementasi berbagai
kebijakan pengelolaan hutan nasional yang cenderung meminggirkan keberadaan dan
peran masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
Dalam tulisan ini konflik dapat diartikan sebagai suatu keadaan/sítuasi yang
dapat ditanggapi sebagai tidak adanya suatu kerja sama antara berbagai pihak untuk
mempertahankan suatu sumber daya tertentu. Pihak-pihak yang dimaksud adalah
masyarakat dan pemerintah (eq. aparat instansi kehutanan), sedangkan sumber daya
yang dimaksud adalab sumber daya hutan Gn. Betung. Ketidaksepakatan di antara
para pihak ini sebagai konsekuensi berbagai kebijakan pengelolaan hutan yang
berimplïkasi path ketidakpastian akses masyarakat ke dalam hutan. Mekanisme
penanggulanganlpenyelesaian konflik dapat ditanggapi sebagal prosedur-prosedur,
langkah-langkah, strategi-strategi yang dilakukanldikembangkan oleh berbagai pihak
yang terlibat konflik atau pihak-pihak atau lembaga/forum lain sebagal upaya
menyelesaikan sebuah konflik.
Secara keseluruhan kasus-kasus yang memicu terjadinya konflik dapat
dikategorikan ke dalam dua kelompok besar, yakni konflik penguasaan dan konflik
pemanfaatan kawasan hutan. Konflik penguasaan terdiri dari penyerobotan lahan,
pergeseran batas kebun/lahan paroh lahan, dan konflik warisan. Konflik
pemanfaatan kawasan hutan terdiri dari pembukaan hutan sekunder (primer),
perawatan bekas kebun/ladang (belukar), berladang, penebangan kayu, pengambilan
basil kebun, pencurian hasil kebun, pemungutan komisi penjualan basil kebun,
perantingan tanaman sonokeling, pencurian bibit/anakan dan konflik pakan temak
(ramban).
Konflik-konflik yang terjadi antar warga masyarakat setempat dengan
pemerintah (aparat instansi kehutanan) lebih disebabkan adanya pelarangan akses
dan tindakan represif aparat terhadap warga, sedangkan konflik antar sesama warga
masyarakat perkampungan Talang Mulya lebih dipicu oleh tindakan pelecehan
terhadap hak-hak penguasaan (lahan) dan pemanfaatan hasil kebun yang dilakukan
oleh warga setempat terhadap warga lain, demikian juga konflik warga masyarakat
perkampungan Talang Mulya dengan warga masyarakat yang berasal dari luar lebih
dipicu oleh tindakan pelecehan hak pemanfaatan hasil kebun milik warga masyarakat
Setempat oleh warga yang berasal dari luar (kampung/desa tetangga).
Kajian ini menunjukkan bahwa jumlah jenis konflik, frekwensi dan intensitas
konflik berbeda dari suatu periode ke periode lain Penode 1940-an s/d 1982, jumlah
jenis konflik, frekwensi dan intensitas konflik masih bertangsung dalam jumlab jenis
konflik, frekwensi dan intensitas yang relatif rendah karena ada beberapa kebijakan
pengelolaan hutan yang ditanggapi sebagai kebijakan yang memberikan akses
kepada masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan. Penode 1983 s/d Juni 1998
jumlah jenis konflik, frewnesi dan intensitas konflik memngkat tajam sebab adanya
kebijakan-kebijakan pengelolaan hutan yang berimplikasi pada ketidakpastian akses.
Untuk periode JuIl 1998 s/d Mel 2000, jumlah jenis konflik, frekwensi dan intensitas
konflik mulai menurun. Mulai terlihat adanya ketaatan warga masyarakat setempat
terhadap aturan-aturan bersama yang membawa pengaruh pada ketenangan dan
kepastian akses terhadap lahan garapan masing-masing.
Dalam upaya penanganan/penyelesaian konflik yang melibatkan warga
masyarakat perkampungan Talang Mulya berkembang beberapa mekanisme
penanganan/penyelesaian antara lain dengan cara membiarkan saja dan mengelak,
cara paksaan, perundingan di antara para pihak yang berkonflik, dim dengan cara
mediasi melalui aparat pemerintahan kampung, instansi kehutanan, Kelompok
Pengelola dan Pelestarian Hutan (KPPH), Gabungan KPHH dan Forum Musyawarah
Kelompok (FMK). Secam keselurtthan dalam upaya penanggulangan/penyelesaian
konflik penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan masyarakat setempat tidak
mengacu pada aturan atau hukum nasional. Karena hukum nasional (terutama di
bidang kehutanan) sudah jelas melarang akses masyarakat untuk memanfaatkan
kawasan hutan Gn. Betting. Masyarakat cenderung meuggunakan aturan (hukum)
yang dibuat dan disepakati sendiri oleh masyarakat.
Hasil kajian ¡ni menunjukkan bahwa melalui organisasi dan pranata
pengelolaan hutan yang dibangun sendiri masyarakat berhasil menyelesaikan dan
sekaligus menekan tezjadinya konflik penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan di
tingkat masyarakat. Fenomena ini mengindikasikan bahwa penanganan konflik
konflik penguasaan cian pemanfaatan kawasan hutan diperlukan adanya kelembagaan
secara organisatoris yang dibangun oleh komunitas hutan yang bersangkutan. Sebab
dalam situasi sosial yang syarat dengan persaingan, tanpa kerjasama di antara semua
pihak pengelolaan huían secam bertanggung jawab mustahil dicapai, karena itu
situasi ¡ni perlu dipulihkan dengan memberi peluang agar dapat berkembangnya
suasana kebersamaan untuk melihat secam kolektif bahwa persoalan huían bukan
hanya menjadi persoalan pemerintah tetapi menjadi persoajan semua pihak
"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T5460
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Loekman Soetrisno
Yogyakarta: Tajidu Press, 2003
303.6 Soe k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Masykur
"Disertasi ini adalah kajian filosofis tentang manusia dalam konflik sosial di masyarakat multikultur. Dilatarbelakangi realitas konflik sosial dan konstruksi negara yang menjamin keragaman agama dan etnik, studi ini membahas relasi antarindividu yang memproduksi konflik sosial nuansa agama dan etnik. Mengacu kepada teori multikulturalisme Bhikhu Parekh, melalui metode studi pustaka, fenomenologi kehidupan religius, dan refleksi kritis, disimpulkan bahwa konflik sosial (a) dimunculkan oleh seorang individu di dalam perilaku sosialnya yang menginterpretasikan perbedaan pandangan moral dan budaya; dan (b) terjadi di dalam negara yang melakukan politik keseragaman. Penyelesaiannya, konflik sosial harus dikelola oleh seorang individu melalui dialog budaya dengan tindakan dialog antarbudaya dan rekognisi sosial. Dengan dialog budaya itu, dapat ditemukan kembali manusia yang harmonis di dalam kehidupan sosial.

This dissertation is a philosophical study about human being in social conflict among multicultural society. Based on the background of social conflicts phenomenon and state construction that guarantees religious and ethnic diversity, it discusses the relationships between individuals who produce social conflict of ethnic and religious nuance. Referring to the theory of multiculturalism from Bhikhu Parekh, literature study method, phenomenology of religious life method, and critical reflection method, it is concluded that the social conflicts (a) emerged from an individual behavior that interprets moral and cultural in different view; and (b) happened in countries those provide political uniformity. These social conflicts should be cultivated by an individual through cultural dialogues and the actions of intercultural dialogue and social recognition. The dialogue is expected to rediscover harmony in social life."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
D2077
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yan Dirk Wabiser
"Konflik tanah merupakan gejala universal yang terjadi hampir merata di seluruh Indonesia. Fenomena ini merupakan konsekuensi logis dari pesatnya peningkatan kebutuhan akan lahan dalam pembanguan di Indonesia.
Kasus konflik tanah di Irian Jaya pada umumnya, dan di Sentani khususnya menarik untuk dikaji karena tidak hanya bersifat horizontal, tetapi juga vertikal. Asumsi dasar dari konflik tanah ini adalah bahwa konflik tanah terjadi karena dua pihak atau lebih mempunyai klaim yang sama atas sebidang tanah. Klaim yang sama mencerminkan adanya interpretasi yang berbeda-beda tentang hak kepemilikan tanah, misalnya kasus konflik tanah Kampung Harapan yang melibatkan masyarakat adat sendiri (Ohee-Ongge dan Walli) dan Pemerintah Daerah Irian Jaya. Ketiga pihak yang berkonflik mempunyai klaim yang sama sebagai pemilik tanah yang sah atas tanah Kampung Harapan yang pernah dikuasai oleh pemerintah Belanda, sejak berakhirnya Perang Dunia II (1946).
Manfaat penulisan ini sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah dan masyarakat adat untuk mengambil langkah-langkah bijaksana, guna meaekan konflik tanah, serta mengatasi masalah tanah sedemikian rupa, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Untuk membahas kasus konflik tanah Kampung Harapan, digunakan dua teori, yaitu Teori Integrasi Kelompok dan Teori Konflik, untuk mengkaji konflik antara masyarakat adat. Karena konflik ini melibatkan pemerintah, maka digunakan perspektif Lewis A.Cosser. Kedua teori ini dianggap relevan, karena integrasi yang kuat dalam suatu masyarakat dapat merupakan sebab terjadinya konflik sosial antara kelompok dalam masyarakat. Namun, dapat pula terjadi bahwa konflik yang terjadi dengan kelompok luar/lain dapat meningkatkan integrasi internal kelompok.
Konflik tanah antara Ohee-Ongge, Wally, dan Pemerintah Daerah Irian Jaya, bersumber pada perbedaan interpretasi tentang Staat van UitbetaaIde Schadevergoeding te Kota Nica, tanggal 25 Januari 1957. dan proses verbal tanggal 27 Februari 1957. Pihak Ohee-Ongge dan Wally berpendapat bahwa perabayaran sebesar f.10.000 (Duizend Gulden) yang dibayar oleh pemerintah Belanda (Nederlands Nieuw Guinea), hanya menyangkut pembayaran tanaman anak negeri, seperti yang tercantum dalam Staat van UitoetaaIde Schadevergoeding te Kota Nica, tanggal 25 Januari 1957. Jadi, tidak termasuk tanahnya, sebagaimana tercantum dalam proses verbal.
Bersamaan dengan itu, Pemda Irian Jaya berpendapat, bahwa pembayaran f.1O.000 sebagai ganti-rugi terhadap tanaman anak negeri beserta tanahnya. Oleh sebab itu, tanah sengketa menjadi tanah negara.
Untuk menyelesaikan kasus ini, digunakan Cara musyawarah dan peradilan formal. Masyarakat adat (Ohee-Ongge) mengambil inisiatif untuk menyelesaikan kasus ini dengan Pemda Irian Jaya, namun tidak berhasil. Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang ditempuh adalah melalui peradilan formal. Di Pengadilan Negeri Jayapura dan Pengadilan Tinggi Irian Jaya, gugatan pihak Ohee-Ongge dinyatakan menang, dan pihak Wally dan Pemda Irian Jaya dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Karena adanya fasilitas, maka kasus ini dilanjutkan oleh pihak Wally dan Pemda Irian Jaya, ke Mahkamah Agung (MA), dan kembali kasus ini dimenangkan oleh pihak Wally dan Pemda Irian Jaya. Pada kenyataan ini, pihak Ohee-Ongge tidak tinggal diam, mereka juga mengajukan Peninjauan Kembali (PK) sebagai langkah terakhir dalam menempuh proses peradilan formal ke Mahkamah Agung. Dengan PK ini, pihak Ohee-Ongge kembali dinyatakan menang, dan kepada pihak Pemda Irian Jaya dituntut untuk mengganti/memberikan ganti rugi. Ternyata putusan PK MA tidak digubris sama sekali oleh Pemda Irian Jaya. Sikap Pemda ini diperkuat lagi dengan turunnya Surat Sakti Ketua MA yang membatalkan putusan MA yang memenangkan pihak Ohee-Ongge."
2001
T11421
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>