Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137500 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nugroho Heru Setianto
"Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, dan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 29 Tahun 2002 telah memberikan implikasi yang luas, terutama menyangkut perubahan dalam sistem penganggaran berbasis kinerja sehingga diharapkan akan Iebih meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran daerah.
Dengan melakukan penelitian terhadap proses penyusunan anggaran kinerja pada APBD Kota Depok berdasarkan Kepmendagri No 29 tahun 2002 penulis mencoba untuk melihat proses pembahan sistem yang terjadi, akuntabilitas kinerja dari sistem baru serta kelebihan dan kekurangan dari penerapan sistem baru tersebut.
Dari hasil penelitian terhadap penerapan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 29 Tahun 2002 dalam Penyusunan RAPBD Kota Depok tahun 2003 didapati :
1. Unit-unit kerja telah dapat melakukan a) perubahan dalam format usulannya dari pola DIP/DIK menjadi format RASK, b) merubah struktur anggaran dari belanja rutin dan pembangunan menjadi Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan dan Belanja Modal c) merubah sistem pengkodean rekening anggaran serta d) membuat indikator dan target kinerja dalam usulan kegiatan yang dibiayai belanja langsung.
2. Masih rendahnya tingkat kelengkapan dokumen usulan Unit kerja (47 %), disebabkan terbatasnya tingkat pemahaman SDM, kurangnya waktu, kurang disiplinnya unit kerja dan tim anggaran dalam melengkapi dan mereview dokumen usulan anggaran. Unit kerja masih lebih berorientasi pada pembuatan dokumen usulan yang berkaitan dengan usnlan kegiatan (S3B1) dan usulan anggaran belanja administrasi umum (S3B2) seperti pola lama yang lebih berorientasi pada dokumen DIK dan DIP.
3. Rendahnya tingkat kesesuaian sistematika usulan anggaran unit kerja dengan sistematika perencanaan strategis dalam penyusunan anggaran kinerja menunjukkan masih kurang dipahaminya sistematika perencanaan strategis yang menjadi dasar bagi penyusunan anggaran kinerja.
4. Tidak ada informasi yang menggambarkan indikator-indikator dan terget kinerja yang harus dicapai oleh pemerintah daerah dalam RAPBD sebagai akibat tidak diaturnya hal tersebut dalam Kepmendagri No 29 tahun 2002.
5. Masih kurangnya akuntabilitas dalam sistem penganggaran yang baru, karena hanya 43,47 % dari belanja dalam RAPBD yang diusulkan Unit-Unit Kerja yang disertai indikator kinerja yaitu dalam BOP dan BM sedang belanja lainnya tidak disertai indikator dan target kinerja.
Untuk lebih meningkatkan disiplin anggaran, trensparansi dan akuntabilitas kinerja penulis menyarankan agar untuk penyusunan anggaran tahun-tahun berikutnya perlu dilakukan pelatihan yang lebih mendalam tentang penyusunan perencanaan strategis dan penyusunan usulan kegiatan dan anggaran kinerja.
Tim anggaran Pemerintah Kota Depok agar lebih ketat dalam mereview usulan-usulan anggaran Unit Kerja sesuai dengan pedoman yang telah diberikan sehingga tujuan dari perubahan format-format usulan anggaran tersebut dapat tercapai.
Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran, agar dalam RAPBD dimasukkan informasi tentang indikator dan target kinerja, sehingga masyarakat dan DPRD dapat menilai dan mengevaluasi perencanaan dan pelaksanaan penggunaan anggaran oleh pemerintah daerah."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13264
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abirul Trison Syahputra
"ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang terdiri dari sumber bahan hukum primer, sumber bahan sekunder dan sumber bahan tersier. Hal yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini ialah 1) Pengelolaan Dana Perimbangan di Indonesia, 2) Peran Dana Perimbangan dalam mendukung Otonomi Daerah di Indonesia dan 3) Perbandingan pengelolaan Dana Perimbangan di Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban pada Tahun Anggaran 2008-2010. Penyelenggaraan otonomi daerah mebawa konsekuensi adanya penyerahan kewenangan dari Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk mengurus keuangannya sendiri. Sebagai salah satu bagian dari Transfer ke Daerah, Dana Perimbangan memegang peranan penting dalam mendukung otonomi daerah. Dana Perimbangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 33 Tahun2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan serta beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. Dana Perimbangan terdiri Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Setiap komponen tersebut memiliki persentase dan variabel tertentu sebelum didistribusikan kepada pemerintah Daerah. Berdasarkan data APBD Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban Tahun Anggaran 2008-2010, persentase Dana Perimbangan terhadap total Pendapatan Daerah mencapai lebih dari 70% yang sebagian besar dipergunakan untuk penyelenggaraan urusan wajib dan urusan pilihan dengan mengedepankan sektor pendidikan. Kabupaten Bojonegoro mendapat porsi Dana Perimbangan lebih banyak dibanding Kabupaten Tuban karena ditetapkan sebagai daerah penghasil kehutanan dan pertambangan minyak bumi. Dapat disimpulkan bahwa Dana Perimbangan memang benar-benar sangat mendukung penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia, khususnya di Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban.

ABSTRACT
This study applying a normative juridical research method using secondary data, which is consist of the primary source of legal materials, secondary source material and tertiary source materials. This thesis is mainly discussed about 1) The Regulation of the Fiscal Balance in Indonesia; 2) The role of the Fiscal Balance in supporting of Regional Autonomy in Indonesia; and 3) Comparison of the management of the Fiscal Balance in Bojonegoro and Tuban in Fiscal Year 2008¬2010. The implementation of Regional Autonomy brought the consequences of the handover of authority from the Central Government to Local Government (expenditure assignment) to manage its own finances. As one part of the Intergovernmental Fiscal Transfer, Fiscal Balance holds an important role in supporting Regional Autonomy. Fiscal Balance regulated in Law of Local Government: Law of The Republic of Indonesia Number 32 of 2004, Law of Fiscal Balance between Central and Local Government : Law of The Republic of Indonesia Number 33 of 2004, and Government Regulation Number 55 of 2005 regarding the Fiscal Balance as well as several other laws and regulations related. Fiscal Balance consist of Revenue Sharing, General Allocation Fund, and Specific Allocation Fund. Each component has a certain percentage and variable before being distributed to local governments. Based on data from Bojonegoro and Tuban's Local Budget in Fiscal Year 2008-2010, the percentage of Fiscal Balance to total local revenue reached more than 70%, which is mostly used for the implementation of compulsory affairs and affairs of the option, with education sector as a main item. Bojonegoro get a portion of Fiscal Balance more than Tuban because forestry and mining of petroleum areas. The conclusion is the Fiscal Balance was indeed strongly support the implementation of Regional Autonomy in Indonesia, especially in Bojonegoro and Tuban. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S329
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Haryanti
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efisiensi dan efektifitas kenaikan dan perluasan sumber-sumber retribusi, menghitung besar potensi retribusi terminal, mengidentifikasi faktor-faktor makro ekonomi yang mempengaruhi penerimaan retribusi terminal, memprediksi jumlah variabel-variabel yang mempengaruhi penerimaan retribusi dan akhirnya menentukan strategi yang tepat dalam rangka peningkatan penerimaan retribusi.
Pendekatan penelitian ini pada dasarnya adalah pendekatan kuantitatf dengan data-data sekunder sehingga dapat ditentukan model potensi pada masing-masing pos yang termasuk di dalam retribusi dan analisis kinerja. Dari analisis tersebut akhirnya dapat diketahui daya guna (efisiensi) dan hasil guna (efektifitas) retribusi terminal. Selanjutnya pendekatan ekonometrik ditujukan untuk mengidentifikasi varibel-variabel makro ekonomi yang mempengaruhi penerimaan retribusi terminal. Dengan menggunakan model tersebut akan dilakukan peramalan (forecast) terhadap penerimaan retribusi di tahun-tahun mendatang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama tahun penelitian (1995/1996-1999/2000) kontribusi retribusi daerah terhadap PAD rata-rata 28,40%. Angka ini hampir lama dengan kontribusi retribusi terminal terhadap retribusi daerah yaitu sebesar 28,12%. Sehubungan dengan target yang ditetapkan terhadap pungutan retribusi terminal selama tahun tersebut secara keseluruhan terealisasi.
Hasil guna (efektifitas) penerimaan retribusi terminal mencapai tingkat optimum pada tahun anggaran 1997/98 yakni sebesar 94,76% sedangkan daya guna (efisiensi) tercapai tingkat paling efisien pada tahun anggaran 1999/00 yakni sebesar 3,02%.
Dari penelitian ini ditemukan model bahwa penerimaan retribusi terminal dipengaruhi oleh variabel PDRB dan jumlah kendaraan yang beroperasi serta krisis ekonami sebagai variabel dummy. Setelah terlebih dahulu dilakukan tahapan-tahapan uji statistik dan ekonometrik, model tersebut memenuhi syarat sebagai model linier dan variabel di dalam model berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan retribusi. Dengan model tersebut penelitian ini meramalkan bahwa penerimaan retribusi dan jumlah kendaraan berkecenderungan meningkat, sedangkan jumlah kendaraan diprediksi berkecenderungan menurun sampai tahun 2004."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T2404
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setiaji
"Proses penganggaran merupakan hal yang sangat penting, substansi anggaran dan bagaimana dampaknya bagi masyarakat sangat dipengaruhi oleh bagaimana proses penganggaran ini berlangsung. Kebijakan anggaran yang ditempuh akan sangat berimplikasi terhadap perkembangan daerah. Lemahnya perencanaan anggaran memungkinkan munculnya undarfinancing atau overfinancing yang akan mempengaruhi tingkat efisiensi dan efektivitas anggaran yang pada akhirnya akan menyebabkan layanan publik dijalankan secara tidak efisien dan kurang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan publik, sementara dana yang pada dasamya merupakan dana publik habis dibelanjakan seluruhnya. Kondisi ini akan memperlemah peran pemerintah sebagai stimulator, fasilitator, koordinator dan dinamisator dalam proses pembangunan.
Dalam usahanya menciptakan efisiensi alokasi, salah satu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah mengunakan perencanaan strategik dan melakukan evaluasi terhadap program/kegiatan dalam prosedur penganggarannya. Perencanaan strategik dilakukan dalam upayanya melihat kedepan, apa yang ingin dikerjakan dan evaluasi dilakukan dengan melihat kebelakang untuk menilai hasil yang telah dicapai. Namun demikian, upaya tersebut masih sering menimbulkan kegagalan. Kegagalan terjadi dikarenakan usaha untuk meningkatkan efisiensi alokasi telah meningkatkan kebutuhan informasi, transaction cost, dan konflik politik. Kebutuhan informasi meningkat disebabkan adanya tuntutan terhadap tambahan informasi mengenai dampak program/kegiatan, sedangkan konflik politik meningkat disebabkan adanya upaya untuk mendistribusikan kembali anggaran belanja.
Penelitian ini memberikan gambaran upaya-upaya peningkatan efisiensi alokasi, yaitu dengan memperbaiki ketentuan-ketentuan kelembagaan berupa aturan (rules), peranan (roles) dan informasi (information). Hal ini dilakukan dengan mengamati peranan yang diberikan oleh mereka yang menawarkan sumber daya, informasi yang ada pada mereka dan aturan organisasi yang ditugaskan kepada mereka.
Dari hasil analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa efisiensi alokasi di Propinsi DKI Jakarta belum memadai. Hal ini disebabkan belum sepenuhnya aturan, peranan dan informasi yang ada mendukung terlaksananya efisiensi alokasi.
Atas dasar kesimpulan di atas, ada beberapa saran yang disampaikan yaitu pertama, melakukan pendekatan pembelanjaan dalam jangka menengah; kedua, memperbaiki aturan mengenai pemberian punishment and reward, memperjelas kewenangan DPRD, dan penyesuaian aturan/ketetapan; ketiga, menguatkan proses usulan kegiatan (top down versus bottom-up); keempat peningkatan keputusan dalam pengalokasian Iintas sektoral; dan kelima, peningkatan penyampaian informasi mengenai dampak dan efektifitas kegiatan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12467
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Kosim
"Studi yang dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja PADS, baik dari sudut normatif, potensi ekonomi daerah maupun dari segi pengelolaan sumber-sumbernya. Dari studi ini dapat diketahui bahwa faktor kewenangan, potensi ekonomi dan faktor pengelolaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja PADS. Faktor kewenangan dari data sekunder dapat dilihat dari banyaknya peraturan perundangundangan baik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah yang mengatur tentang berbagai kewenangan daerah terhadap sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah. Berdasarkan pengolahan data primer dapat diketahui bobot penilaian kewenangan terhadap kinerja PADS adalah sebesar 42,57%.
Faktor potensi ekonomi dengan indikator PDRB dari pengolahan data sekunder, memiliki koefisien korelasi yang kuat secara mutlak terhadap kinerja PADS yaitu sebesar 0,006251 atas dasar harga berlaku, dan sebesar 0,008644 bila menggunakan harga konstan 1988. Sedangkan bila diukur secara relatif/persentasenya memiliki koefisien korelasi sebesar 1,4774% atas dasar harga berlaku, dan sebesar 2,103825% atas dasar harga konstan, yang berarti bahwa setiap kenaikan 1% PDRB akan mengakibatkan kenaikan PADS sebesar 1,5% atas dasar harga berlaku dan sebesar 2,1% atas dasar harga konstan. Sedangkan dari pengolahan data primer menunjukkan bobot penilaian potensi ekonomi (PDRB) terhadap kinerja PADS adalah sebesar 38,51%.
Berdasarkan pengolahan data sekunder dapat diketahui bahwa kemampuan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dalam pengelolaan PADS selama satu dekade (1984-1994) telah meningkat dari 0,30% menjadi 0,54% atau mengalami kenaikan sebesar 80%. Sedangkan bobot penilaian pengelolaan terhadap kinerja PADS adalah sebesar 18,92%.
Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa, penilaian masing-masing lembaga/instansi, politisi dan masyarakat terhadap ketiga faktor yang mempengaruhi PADS memiliki perbedaan yang tidak signifikan, dimana nilai χ2h = 1,203 dan χ2Tabe1=15,5073. Sedangkan bobot penilaian secara keseluruhan terhadap masing-masing faktor-faktor yang berpengaruh terhadap PADS menunjukkan perbedaan yang berarti, dimana nilai χ2h = 9,596>χ2Tabe1 5,9915.
Rekomendasi untuk Pemerintah/Pemerintah Daearah agar dalam merumuskan kebijakan, perencana dan pelaksanaan tentang Keuangan Daerah khususnya PADS mempertimbangkan ketiga faktor yang berpengaruh tersebut diatas."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nana Sujana
"Pada era reformasi sekarang ini dengan adanya tuntutan reformasi total disegala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, telah memberikan petunjuk dan arah untuk lebih memperbesar porsi pelaksanaan asas desentralisasi yang diwujudkan melalui pelaksanaan otonomi daerah, secara yuridis formal tuntutan tersebut telah diakomodasikan melalui Tap MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dalam penelitian ini akan dianalisis bagaimana perkiraan kapasitas pendapatan asli daerah di Cianjur Selatan dengan beriakunya undang-undang otonomi daerah seperti yang disebutkan di atas dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Kemudian bagaimana dukungannya terhadap rencana pemekaran daerah Kabupaten Cianjur serta bagaimana dampaknya jika dikaji dalam perspektif Ketahanan Nasional. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan diberlakukannya Undang-undang Perubahan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Kabupaten Cianjur, Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur, dan peraturan-peraturan lain yang mengatur perusahaan daerah (BUMD), maka pendapatan asli daerah Cianjur bagian Selatan (rencana wilayah pemekaran) diperkirakan sebesar 4,2 milyar. Dana sebesar itu diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan daerah (BUMD), dan lain-lain penerimaan daerah yang sah.
Kebijakan pemekaran daerah Kabupaten Cianjur atau pembentukan Kabupaten Cianjur Selatan kurang didukung oleh besarnya perkiraan kapasitas PAD Cianjur Selatan karena tidak cukup untuk membiayai kebutuhan pelayanan masyarakatnya, namun bila ditambah dengan sumber-sumber pendapatan daerah lainya kebutuhan dana tersebut baru dapat tercukupi. Pembentukan Kabupatan Cianjur Selatan, juga didukung oleh analisis posisi fiskal Cianjur Selatan yang dihitung berdasarkan rasio perkiraan PAD dengan jumlah PDRB kecamatan yang ada di wilayahnya masing-masing, karena nilainya lebih besar daripada nilai posisi fiskal Kabupaten Cianjur secara keseluruhan.
Selanjutnya untuk mengkaji dampak pemekaran daerah dalam perspektif Ketahanan Nasional dilakukan pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Untuk kasus pemekaran Kabupaten Cianjur diperkirakan akan ada peningkatan PAD Cianjur Selatan yang semula menyumbang sekitar rata-rata dua milyar pertahun terhadap PAD Kabupaten Cianjur menjadi sekitar 4,2 milyar rupiah. Dana sebesar itu, ditambah dengan sumber-sumber penerimaan daerah lainnya akan lebih meningkatkan kesejahteraan dan keamanan masyarakat melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan program-program pembangunan atau fungsi-fungsi pemerintahan lainnya. Berdirinya kabupaten Cianjur Selatan juga akan mengurangi kesenjangan pertumbuhan ekonomi dengan Cianjur Utara, keterisolasian dan keterbelakangan masyarakat, serta dapat memacu pertumbuhan sosial budaya dan mendorong suasana politik yang demokratis dalam menentukan pimpinan daerah.
Sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan dan keamanan di daerah maka akan meningkatkan pula ketahanan daerah dan apabila gejala ini terjadi di berbagai wilayah di Indonesia maka Ketahanan Nasional akan meningkat. Namun sebaliknya apabila pemekaran daerah didasaran kepentingan yang lain, seperti kepentingan elit lokal, maka Ketahanan Nasional akan menurun, bahkan mendorong terjadinya disintegrasi bangsa."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T7575
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Nur
"Secara umum ada dua jenis respon pemerintah daerah menghadapi desentralisasi fiskal yaitu; (a) lebih memusatkan perhatian pada usaha memperbesar penerimaan (revenue side) melalui intensifikasi dan perluasan pajak dan retribusi daerah Serta memanfaatkan sumberdaya yang belum optimal melalui bagi hasil, atau (D) lebih berorientasi pada peningkatan efektifitas sisi pengeluaran (expenditure side) untuk menstimulasi dunia usaha melalui pengembangan iklim usaha yang lebih baik bagi daerahnya. Sehingga permasalahan penelitian ini dibatasi dalam hal pengelolaan keuangan Daerah dan respon pemerintah daerah dalam menyikapi desentralisasi fiskal diyakini tentu akan berdampak bentuk output yang diperoleh oleh daerah bersangkutan.
Secara umum penelitian ini ingin mengkaji kinerja ekonomi daerah Kota Tangerang sebagai akibat diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal, khususnya sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 25 tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Secara khusus penelitian ingin mengetahui :
1. Pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang.
2. Pengaruh pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang.
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri, data keuangan daerah Kota Tangerang, data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Tangerang, data potensi daerah, data penduduk, angkatan kerja serta data tingkat investasi di daerah Kota Tangerang.
Data-data tersebut dapat diperoleh pada berbagai lembaga pemerintah seperti PEMDA dan BAPPEDA Kota Tangerang, BPS Pusat maupun daerah Kota Tangerang. Untuk memperoleh data terbaru, antara lain dapat digali melalui interview kepada Pejabat PEMDA Kota Tangerang."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13247
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endradjaja W.B.
"Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembiayaan yang optimal merupakan salah satu syarat agar otonomi daerah mempunyai arti bagi pertumbuhan dan perkembangan daerah. Pendapatan asli daerah mempunyai peran yang strategis dalam penyelenggaraan otonomi daerah untuk dapat mengurangi ketergantungan subsidi dari pemerintah pusat.
Mengingat pentingnya peranan PAD bagi daerah dalam rangka pencapaian otonomi daerah, maka perlu ditingkatkan seoptimal mungkin. Pengelolaan dan penerimaan PAD dapat dilakukan melalui upaya-upaya intensifikasi dan ekstensifikasi sejalan dengan semakin meningkatnya pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana umum dan usaha peningkatannya. Pengelolaan barang daerah sebagai Salah satu elemen sumber pendapatan yang diharapkan dapat berpengaruh secara signifikan sehingga dapat mempengaruhi PAD secara keseluruhan.
Dengan kedudukan aset yang besar (pada akhir tahun 2002 sebesar kurang lebih 73 trilyun rupiah), terutama tanah dan bangunan, mengakibatkan beban biaya (anggaran) pemeliharaan yang tinggi. Sifat dari biaya pemeliharaan tanah dan bangunan adalah fixed cost artinya biaya tersebut akan tetap ada meskipun tidak digunakan/dimanfaatkan.
Aset tanah dan bangunan yang belum dimanfaatkan mempunyai potensi untuk dikembangkan dengan melibatkan partisipasi dari pihak ketiga (masyarakat, yayasan sosial dan sektor swasta). Untuk mendapatkan nilai tambah dari pendayagunaan tanah dan bangunan tersebut diperlukan strategi yang tepat agar didapat hasil yang efektif dan efisien.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan strategi yang tepat dalam mengoptimaikan pendayagunaan barang daerah, terutama tanah dan bangunan, bekerjasama dengan Pihak Ketiga. Teori yang dipakai sebagai dasar penelitian adalah manajemen strategi dan berbagai teori yang mendukung dalam pemilihan strategi. Penentuan alternatif strategi yang dapat dipakai Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dilakukan dengan analisa SWOT, sedang penentuan strateginya dilakukan dengan menggunakan analisis hirarki proses (AHP) dengan memakai software Expert Choice 8. Responden yang dipakai sebanyak 7 orang yang dipandang ahli dalam barang daerah. Dari hasil penelitian diperoleh strategi yang tepat dipakai saat ini adalah strategi progresif dan pelakunya adalah Sekdaprop DKI Jakarta."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12444
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mediar Indra
"Penelitian ini membahas permasalahan hubungan keuangan pusat daerah dalam kaitannya dengan rencana implementasi otonomi daerah. Fokus yang dilakukan adalah terhadap penentuan bobot Dana Alokasi Umum untuk daerah Provinsi di seluruh Indonesia. Analisis penentuan pembobotan Dana Alokasi Umum adalah dengan menggunakan Analytic Hierarchy Process (AHP). Adapun program Expert Choice (EC) dipakai untuk itu dengan cara memberikan pertanyaan kepada beberapa expert yang mengetahui tentang Dana Alokasi Umum berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Daerah antar pemerintah pusat dengan Daerah. Input yang dipakai berupa persepsi responden terhadap variabel-variabel kebutuhan Wilayah dan Potensi/Kapasitas Ekonomi Daerah yang di susun menurut hirarki.
Penelitian ini menggunakan data tahun 1993 sampai dengan 1998 dalam anggaran keuangan Negara. Informasi kuantitatif lain di dapat dari hasil publikasi dalam Nota Keuangan dan rancangan anggaran pendapatan belanja negara serta publikasi Statistik keuangan pemerintah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Biro Pusat Statistik dari beberapa tahun penerbitan.
Untuk perhitungan jumlah Dana Alokasi Umum digunakan rumus sesuai undang-undang nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yakni :
∑DAU Daerah Ybs x Bobot Daerah Ybs/∑ Bobot seluruh Daerah
Untuk menentukan pembobotan masing-masing variabel sebehimnya dilakukan pembagian empat kriteria untuk Provinsi. Asumsi yang dipilih untuk Dana Alokasi Umum tergantung pada kategorinya yaitu kategori kecil, sedang, besar,sangat besar. Dengan di tentukannya empat kriteria tersebut dapat diperoleh hasil total jumlah bobot masing-masing Provinsi.
Dalam penentuan pembobotan distribusi dana alokasi umum untuk masing-masing Provinsi disusun berdasarkan hirarki yang ditentukan dalam analytic hierarchy process (AHP) berdasarkan kepada kebutuhan wilayah dan Patensi Ekonomi. Adapun variabel tersebut antara lain adalah Kebutuhan Wilayah yang terdiri dari : Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, Panjang Jalan, Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Miskin (Jumlah Rumah Sakit, Jumlah Penduduk Miskin). Sedangkan Variabel Potensi/Kapasitas Ekonomi terdiri dari Nilai Tambah Sektor Industri, PDRB, SDA (Migas, Kehutanan, Kelautan, Pertambangan lainnya), SDM (Jumlah Sekolah,Jumlah Pegawai Negeri, Ratio Murid Terhadap Guru). Dari hasil susunan berdasarkan hiraki tersebut, maka dapat ditentukan jumlah bobot pada masing-masing variabel yang terbesar sampai yang terkecil yang berdasarkan jawaban responden expert choice (EC) yakni variabel Tingkat Kesejahteraan masyarakat miskin dengan bobot sebesar 27,9 dan untuk yang kedua pada variabel PDRB dengan bobot sebesar 25,8.
Hasil perolehan perhitungan pembobotan masing-masing Provinsi dalam prioritas jumlah total pembobotan, mempunyai perbedaan antara versi penulis dengan versi Bappenas yakni prioritas pertama menurut versi penulis adalah Provinsi Sumatera Selatan dan kedua Provinsi Jawa Barat, sedangkan prioritas pertama pada versi Bappenas adalah Provinsi Jawa Barat dan kedua Provinsi Jawa Timur. "
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T3089
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Wijono
"Terhitung sejak tanggal 1 Januari 2001 Indonesia telah memasuki era otonomi Daerah. Sebagian pengamat mencemaskan otonomi sebab dianggap memiliki potensi yang kuat dalam memperkuat egoisme daerah, sehingga tidak tertutup kemungkinan dapat menimbulkan disintegrasi nasional. Ditinjau dari aspek manajemen pemerintahan, terlihat pula bahwa kebanyakan Daerah belum siap dan mampu dalam menyelenggarakan otonomi. Ketidaksiapan Daerah tersebut terjadi akibat sempitnya waktu dalam mempersiapkan penyelenggaraan otonomi.
Wacana mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat (Pusat) dan Pemerintah Daerah (Daerah) merupakan salah satu topik penting dalam rangka otonomi. Pengalaman sampai sejauh memperlihatkan bahwa belum dapat dirumuskan hubungan keuangan Pusat-Daerah yang serasi, selaras dan harmonis. Hal ini tidak terlepas dari belum jelasnya pembagian tugas antara Pusat-Daerah. Tugas yang semestinya diurus Daerah (dalam rangka desentralisasi) ternyata masih diurus Pusat yang tertuang dalam Daftar Isian Proyek (DIP). Sebaliknya masih terdapat tugas dekonsentrasi (penugasan Pusat kepada Daerah) yang semestinya dibiayai Pusat, justru dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kondisi seperti ini akan memperlemah kinerja pembangunan di Daerah.
Sebagaimana umumnya di negara-negara dunia ketiga, hubungan Pusat-Daerah cenderung sentralistik. Sebaliknya, di negara-negara maju kecenderungannya adalah desentralistik. Hubungan Pusat-Daerah yang sentralistik erat kaitannya dengan penguasaan sumberdaya dalam hal ini keuangan.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perubahan hubungan keuangan Pusat-Daerah sebelum dan setelah diberlakukannya otonomi. Secara rinci, tujuan penelitian ini adalah :
1. Mendeskripsikan efektivitas dana bantuan-pusat di Kampar dan Klaten sebelum diberlakukannya otonomi.
2. Mendeskripsikan akurasi pemanfaatan dana bantuan-pusat di Kampar dan Klaten sebelum diberlakukannya otonomi.
3. Mendeskripsikan implementasi hubungan keuangan Pusat-Daerah di Kampar dan Klaten pada era otonomi.
4. Menganalisis implikasi hubungan keuangan Pusat-Daerah terhadap ketahanan nasional di Kampar dan Klaten."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>