Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171853 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agus Masrukhin
"Iran merupakan salah satu Negara Timur Tengah, dimana mayoritas masyarakatnya bermazhab Syiah. Syiah adalah salah satu gerakan politik keagamaan Islam pada pertengahan abad ke-18 yang dalam perkembangannya berhasil mendirikan sebuah negara Republik Islam Iran. Sebagai salah satu aliran agama, ummat Syiah cenderung memiliki sifat fanatisme yang kuat kepada pemimpinnya dan ajaran-ajaran mazhabnya (puritan) dan para mullah senantiasa aktif dalam perpolitikan sehingga mampu mengantarkan "modernisasi politik" di Iran.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi, dan menjelaskan proses modernisasi politik di masyarakat Iran. Serta menguji dan membandingkan teori modernisasi politik.
Penelitian ini menganut paradigma Positivisme (classical paridigm) dengan menggunakan metode studi kasus (case study). Data sekunder dalam bentuk dokumen, naskah dan literatur lain, selanjutnya dianalisa mantra interpretasi penelili dalam suatu kerangka konsep dan teori (theoretical framework) tentang modernisasi dan gerakan politik ummat Syiah.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa modernisasi poliitik memang tidak sepenuhnya berjalan di Iran namun dernikian modernasi politik sudah dimulai sejak Revolusi Islam Iran tahun 1979, dalam kenyataannya sangat dipengaruhi oleh sejarah berdirinya Republik Islam Iran dimana Mazhab Syiah sebagai ideologi revolusioner memberikan nilai-nilai tersendiri bagi perjuangannya. Berkenaan dengan modernisasi politik Iran, nampaknya Proses modernisasi yang terjadi di Iran menyerupai model modernisasi tipe kolektifitas suci (cosumatorry collective) yang berlangsung dalam sistem mobilisasi (mobilized system) dimana rakyat menjadi agen modernisasi.
Implikasi dari proses modemisasi yang demikian, minimal bisa memberikan gambaran tentang apa itu Syiah dan bagaimana politik Syiah, serta ajaran-ajaran tradisi Syiah di Iran. Setidaknya juga menginformasikan betapa kuatnya masyarakat Iran memegang kebudayaan dan nilai-nilai yang diwarisi dari ajaran mazhab Syiah. serta melahirkan suatu bentuk masyarakat politik modem dengan ciri dan karakter yang berbeda dari masyaralcat modem di negara lain.

Iran is one country in The East Middle Countries, majority its societies are Shias. Shia, one of the Islamic movements in the mid 18th century and reached the declared formally Iran Islam Republic in 1979_ As a mainstream of Islamic movement, Shia tends to have strong fanaticism to their leader and their doctrines (mazhab Shia) or most often identified as puritan and mullah always active in politics, later they able company Iran society to Islam Revolution or "politic of modernization".
The purpose of this research is to understand, explore and explain the modernization process in Iran dominated by Shia society then to test and also to compare the theories of politic modernization.
The research used positivism/classical paradigm with qualitative method in case study form. The secondary data required, such as documents, texts, and literatures. Then, analyzed within the framework of political modernization theories, religious political movement of Shia.
This research indicates that the political modernization process in Iran, was begun in 1979 (Iran Islam Revolution) by mullah. Shia as one of the Islamic movements had given values and influences in the Iran Islam Revolution. The model this is modernization as like consummator collective, mobilized system and spiritual ideologies.
The implication of this modernization is giving the deep information about Shia, what is Shia, how about his politics, and what is the value in Shia tradition. So above political modernization process will bring Iran as a unique character of modern state in difference style compared to other modem states. Minimum had given also, what is strong Shia held the values in Shia tradition.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15190
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adang Taufik Hidayat
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya akar perbedaan yang menonjol dalam pemikiran politik Islam antara Islam Syi'ah dan Sunni tentang kekuasaan khususnya studi tentang sistem politik Republik Islam Iran dan Republik Islam Pakistan. Namun dalam pemikiran ini memiliki tujuan yang sama yaitu menciptakan negara Islam. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mencari jawaban seperti apa pemikiran politik Islam Syi'ah dan Sunni tentang kekuasaan? Serta bagaimana implikasi politik Islam Syi'ah dan Sunni terhadap Republik Islam Iran dan Republik Islam Pakistan?.
Sebagai kerangka teoritis, penelitian ini menggunakan teori kekuasaan politik, kepemimpinan politik Islam dan teori triass politika. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan literatur.
Temuan dalam penelitian ini menunjukkan pemikiran Syi'ah dengan konsep Imamah-nya mampu memberikan terobosan dalam dunia Islam sejak revolusi Khomeini pada tahun 1979 hingga saat ini. Dengan kekuasaan para ulamanya di Republik Islam Iran negara tersebut telah menjadi power yang ditakuti oleh negara kuat lainnya seperti Amerika dan Israel. Begitu pula halnya dengan Islam Sunni, dimana konsep Khalifah dapat diimplementasikan pada suatu Negara di Pakistan yang sebagai Negara Republik Islam Pakistan sejak tahun 1970.
Implikasi sistem politik Islam ini menunjukkan bahwa politik kekuasaan dengan studi sistem politik Republik Islam Iran dan Republik Islam Pakistan menjadi tolak ukur seperti apa fakta yang terjadi dalam suatu negara yang dilahirkan berdasarkan pemikiran politik masing-masing keyakinan Islam Syi'ah dan Sunni. Implikasi politik ini juga menunjukkan berhasil atau tidaknya suatu teori itu diterapkan dalam sistem pemerintahan atau negara.

The study was backed by the roots by the difference that stands out in the political thought of Islam between Shiites and Sunnis about Islamic power in particular studies of the political system of the Islamic Republic of Iran and the Islamic Republic of Pakistan. In this thinking, however, have the same goal, namely to create an Islamic State. Therefore, this research was conducted to seek answers as to what the political thought of Islam Shi'ah and Sunnis about power? Political implications as well as how Shia and Sunnis against the Islamic Republic of Iran and the Islamic Republic of Pakistan?.
As a theoretical framework, this research uses theories of political power, the political leadership of Islam and the theory of "triass politika". This research uses qualitative research methods to approach literature.
The findings in this research indicates the Shi'ah concept of Imamate thought with his capable of delivering breakthrough in the Islamic world since the Khomeini revolution in 1979 to the present. With the power of the ulamanya in the Islamic Republic of Iran the country has become dreaded by the State power firm more like America and Israel. Sunni Islam, in which the concept can be implemented in a Caliphate State the Country of Pakistan as the Islamic Republic of Pakistan since the 1970s.
The implications of the political system in Islam to show that political power with the study of the political system of the Islamic Republic Iran Islamic Republic of Pakistan and become a benchmark as to what facts that happened in a country that was born by virtue of their respective political thought Shia and Sunni beliefs. This also shows the political implications of successful or whether a theory is applied in the system of Government or the State."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T31770
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Solehuddin
"Tesis ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif dan metode analitis. Penulis menemukan data-data penting dari penelitian ini yakni munculnya dua kekuatan besar dalam menumbangkan rezim represif Pahlevi dua kekuatan tersebut adalah kelompok ekstrimis intelektual religius (kalangan ulama) dan kelompok liberal berpendidikan barat (komunitas intelektual). Kedua kekuatan besar itu yaitu kekuatan oposisi popular (kalangan ulama) dan kekuatan oposisi konstitusional liberal (komunitas intelektual). Salah satu temuan penting lainnya adalah ternyata kedua kekuatan besar ini dapat dijadikan induk dari lahirnya empat organisasi yang menggerakkan 'roda-roda' revolusi di Iran. Keempat organisasi tersebut adalah kaum mullah, kelompok nasionalis non Mullah terutama anggota front nasional, Kelompok-kelompok gerilyawan Marzis (Mojahedin dan Fedayeen Khalq), dan kaum bazaar.
Penelitian ini unik karena membahas kontribusi dari figur-figur yang diasumsikan sebagai `penggerak dan peletak ideolog' revolusi Islam Iran serta mencoba untuk melepaskan diri dari polarisasi ulama dan intelektual itu sendiri yang terekonstruksi sejak lama. Kekuatan penelitian ini terletak pada pijakan teoritis yang kokoh dan mencari serta meneliti data-data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, agar teori-teori yang digunakan dapat saling melengkapi. Ini terefleksi dari pengaplikasian teori Ted Gurr dan Charles Tilly tentang agregasi-psikologis dan aksi kolektif, yang dijadikan alat pendeskripsian terhadap kontribusi yang diberikan oleh Ayatullah Murtadla Muthahhari dan Dr. Ali Syari'ati. Aspek ini dimasukkan dalam variabel independen (variabel-variabel essensial sebagai katalisator terciptanya revolusi Iran). Teori yang dikemukakan oleh Theda Skocpol tentang perspektif struktural, penulis posisikan sebagai variabel dependen dari meletusnya revolusi Islam itu sendiri (simplifikasi tiga teori yang digunakan dalam penulisan ini, tertuang dalam bab kesimpulan)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13339
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Bakir Ihsan
"Tesis ini menelaah tentang hubungan Islam dan militer di Indonesia. Fenomena yang diambil sebagai studi kasus adalah peristiwa yang berlangsung selama masa tahun 1990-1998. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pada masa tersebut berlangsung perubahan hubungan yang lebih baik di antara keduanya di bandingkan dengan masa sebelumnya. Adanya perubahan tersebut terlihat dari pola interaksi di antara kedunya dan wacana yang berkembang pada masa tersebut.
Model analisa yang dipakai dalam penelitian ini adalah bersifat analitis-kritis terhadap berbagai perspektif atau teori tentang hubungan agama (Islam) dengan militer di Indonesia. Data-data yang diperoleh dijelaskan secara dekonstruktif (genetic explanation) dengan berusaha menelusuri latar belakang munculnya suatu gejala. Oleh sebab itu, penjelasan ini menggunakan cara melacak masalah yang sedang diteliti dimulai dari akar sejarahnya, di samping variabel-variabel yang mempengaruhi (independent variable) hubungan di antara keduanya sebagai tolak ukur bagi hubungan tersebut. Dengan cara ini terbangun sebuah analisa yang komprehensif tentang realitas hubungan yang sesungguhnya antara Islam dan militer.
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Prosedur penelitian ini menghendaki adanya analisa-analisa terhadap data-data yang terkumpul dari berbagai sumber, baik primer maupun sekunder. Bahan primer meliputi naskah-naskah, baik berupa buku, makalah, maupun karya-karya ilmiah lainnya, serta laporan jurnalistik yang terkait dengan masalah Islam dan militer di Indonesia. Wawancara juga dilakukan untuk menambah eksplorasi dan elaborasi terhadap penelitian ini.
Di samping itu, digunakan pula bahan-bahan lain, sebagai bahan sekunder, yang diperoleh melalui data lapangan (field research) dan wawancara (interview) dengan tokoh-tokoh yang dianggap representatif dan berkompeten dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, baik dari kalangan militer maupun dari kelompok Islam, serta pengamat.
Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal tahun 1990-an terjadi perubahan hubungan yang lebih baik antara umat Islam dengan militer. Pada masa itu, hubungan kedua kekuatan (Islam dan militer) tersebut mengalami kelenturan. Ketegangan hubungan yang berlangsung sejak awal tahun 1970-an terlihat mulai mencair. Ada kedekatan-kedekatan hubungan, khususnya antara jajaran elit militer dengan elit umat Islam.
Kedekatan tersebut disebabkan oleh banyak faktor. Secara umum factor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mendorong terjadinya perubahan hubungan antara umat Islam dengan militer adalah adanya transformasi orientasi yang berlangsung baik di dalam kelompok Islam maupun militer. Di kalangan umat Islam berlangsung perubahan orientasi politik dari legalistik-formalistik, yaitu orientasi yang ingin menegakkan Islam secara legal (konstitusional) dan formal (institusional) dalam tatanan kehidupan bernegara yang pluralistik ini, ke orientasi substansialistik, yaitu orientasi yang meletakkan Islam sebagai ajaran universal yang harus disosialisasikan melalui sikap dan perilaku (budaya) seluruh lapisan masyarakat, seperti keadilan, persamaan, dan musyawarah.
Perubahan orientasi ini menjadi peretas bagi keinginan sebagian umat Islam untuk menampilkan Islam secara legal-formal yang tidak disukai oleh militer. Mereka yang mempermasalahkan secara terang-terangan terhadap asas tunggal Pancasila mulai berkurang. Lebih dari itu, muncul wacana yang melihat adanya korelasi antara ajaran Islam dengan Pancasila. Oleh sebab itu, munculnya perilaku politik yang lebih substantif itu menjadi perekat relasi militer dengan umat Islam.
Begitu juga di kalangan militer muncul perubahan persepsi tentang Islam yang radikal, anti integrasi, dan ancaman bagi stabilitas negara. Hal ini terjadi terutama disebabkan oleh naiknya militer yang memiliki latar belakang pemahaman keislaman yang baik yang kemudian dikenal dengan istilah militer santri. Para militer muslim ini memandang Islam sebagai bagian dari Saptamarga yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara yang menjadi faktor eksternal bagi terjadinya perubahan hubungan umat Islam dengan militer adalah adanya kebijakan negara (political will) yang akomodatif baik terhadap umat Islam maupun terhadap militer yang memiliki latar belakang keislaman yang baik. Kepentingan politik negara (penguasa) terhadap umat Islam dan militer muslim ini telah memungkinkan munculnya titik temu antara umat Islam dengan militer.
Di samping itu, tuntutan global yang menghendaki adanya proses demokratisasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia di berbagai negara juga ikut menjadi faktor pendorong bagi perubahan politik yang berlangsung di Indonesia. Berbagai peristiwa pelanggaran hak asasi manusia dan perilaku represif militer yang terjadi di Indonesia menjadi soratan dunia internasional. Tidak jarang berbagai pelanggaran itu mengundang ancaman terhadap kelangsungan kerjasama Indonesia dengan dunia internasional. Kenyataan ini telah memaksa negara untuk memperhatikan dan membiarkan proses demokratisasi itu berjalan di negeri ini.
Berbagai faktor itulah yang mempertemukan umat Islam dengan militer, khususnya sejak awal tahun 1990-an. Secara politik, keduanya dipertautkan oleh kepentingan penguasa, sementara secara kultural mereka dipertemukan oleh adanya pemahaman yang sama tentang Islam. Tidak berlebihan apabila seorang Indonesianis, Harold Crouch menggambarkan semarak keagamaan yang muncul di lingkungan militer pada awal tahun 1990-an sebagai fenomena baru yang belum terlihat pada masa sebelumnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T3032
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Putri Indriany
"Abdurrahman Wahid adalah figur yang menarik dan pemikirannya tentang hubungan Islam dan negara yang disertai argumen-argumen dan praksis yang sering kontroversial, telah menjadi salah satu arus besar dalam khasanah intelektual dan perpolitikan kontemporer di Indonesia. Dalam hal ini, selain mempunyai implikasi secara normatif-substansial, Abdurrahman Wahid secara empirik-prosedural memainkan peran yang lebih besar dan berimplikasi luas dalam realitas politik. Hal ini dikarenakan Abdurrahman Wahid dalam aktivitasnya lebih kuat warna politiknya daripada warna akademisnya. Hal ini kemudian yang menyulitkannya untuk mewujudkan cita-citanya untuk menjadi seorang guru bangsa, yang dapat berdiri di atas semua golongan dan kelompok kepentingan.
Penelitian yang dititikberatkan pada library research ini dimaksudkan untuk memetakan, menggambarkan dan menganalisis penolakan Abdurrahman Wahid terhadap negara Islam di Indonesia. Dari pemetaan ditemukan bahwa penolakan Abdurrahman Wahid tersebut tidak dapat digolongkan ke dalam satu pemahaman, 'secara normatif-substansial atau secara empirik-prosedural; karena pemikiran Abdurrahman Wahid secara normatif dan empirik, ditemukan butir-butir pemikirannya yang berkelindan satu sama lain.
Penerimaan Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila sebagai ideologi kebangsaan, Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk finalitas negara bangsa di Indonesia, dan masyarakat Indonesia demokratis yang dicita-citakannya; adalah wujud dari penolakannya terhadap gagasan masyarakat atau negara Islam di Indonesia dari kalangan Islam modernis.
Walaupun secara umum, praktek politik Abdurrahman Wahid liberal dan sekuler, tetapi gagasannya tentang negara berakar dan dielaborasi dari keyakinan Abdurrahman Wahid terhadap Islam, baik Islam sebagai nilai-nilai ajaran maupun Islam sejarah. Sikap Abdurrahman Wahid yang moderat, inklusif, dan eklektis pada dasarnya adalah pengaruh ke-NU-annya yang sangat diwarnai oleh tradisi Sunni."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T3033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rusli Karim
Yogyakarta: Hanindita, 1985
297.272 RUS d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Suhaeni
"Kepemimpinan perempuan merupakan masalah kontroversial di kalangan umat Islam. Sejumlah ulama memandang bahwa agama (Islam) melarang perempuan menjadi pemimpin. Alasannya adalah bahwa teks-teks Al-Qur'an dan Al-Hadits secara eksplisit menyatakan adanya larangan demikian. Namun sebagian ulama berpandangan sebaliknya; bahwa orang perempuan sah untuk menjadi pemimpin. Alasannya teks-teks Al-Qur'an dan Al-Hadits haruslah senantiasa dimaknai (dipahami) secara kontekstual, tidak semata tekstual. Artinya setiap teks harus dipahami berdasarkan konteks sosial politik yang melingkupinya. Konteks sosial politik yang berkembang pada masa turunnya teks-teks tersebut sangatlah berbeda dengan konteks sosial sekarang. Dalam konteks zaman yang sudah modern seperti sekarang ini, tidak ada alasan untuk melarang wanita menjadi pemimpin; sah saja seorang perempuan menjadi pemimpin.
Sementara perdebatan pemikiran terus berlanjut, kehidupan masyarakat juga terus berlangsung yang diwarnai dengan munculnya perkembangan-perkembangan baru. Diantaranya menyentuh mengenai masalah kepemimpinan perempuan. Salah satunya adalah pergulatan hidup yang dialami oleh Ratu Solehah- seorang figur pemimpin perempuan dari Partai Politik Berasaskan Islam (PBI) di Propinsi Banten-dalam menapaki karier politiknya. Secara khusus penelitian ini difokuskan untuk mengungkap pergulatan hidup yang dialami Ratu Solehah tersebut. Alasan utama dilakukannya penelitian ini adalah bahwa, munculnya figur pemimpin perempuan dalam PBI merupakan fenomena sosial yang sangat penting, yang menandai terjadi perubahan tata nilai dalam sebuah masyarakat. Hal ini mengingat bahwa dalam PBI rambu-rambu normatif (agama) sangat dominan dalam menuntukan konstruksi dan paradigma partai.
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan tiga metode; studi dokumentasi dan literatur, wawancara mendalam (indepth interview) dan pengamatan (observasi). Penelitian ini menggambarkan betapa Ratu Solehah menghadapi banyak kendala di dalam proses untuk menggapai posisi sebagai pemimpin. Kendala tersebut terutama berupa diskriminasi gender dalam berbagai bentuk. Diskriminasi ia temukan sejak dari lingkungan yang terdekat, keluarga, lalu di sekolah, di organisasi dan juga di lembaga politik. Tetapi Ratu Solehah selalu menunjukkan perlawanan terhadap berbagai bentuk diskriminasi tersebut. Dalam seluruh rangkaian perlawanan tersebut, Ratu Solehah cukup beruntung bahwa ia dilahirkan dari keluarga besar, yakni tokoh besar agama dan politik, dan juga secara kultur ia adalah keturunan Kesultanan Banten yang kesepuluh. Posisi ini sangat membantu Ratu Solehah dalam melakukan mobilitas vertikal, sehingga mampu menerobos penghalang kultur dan sosial yang tak tampak-yang biasa disebut oleh kaum feminis sebagai --langit-langit kaca (glass ceiling).
Penelitian ini dengan jelas memperlihatkan bahwa, diskriminasi gender masih secara ketat dipraktekkan di lembaga politik (partai politik) berasaskan Islam, meski hal ini tidak secara ekssplisit, ditulis dalam sebuah konstitusi partai. Tetapi dengan pemahaman normatif tertentu, teks-teks agama sering dijadikan alat untuk melakukan diskriminasi terhadap perempuan, sehingga perempuan tidak bisa muncul sebagai pemimpin di tingkat partai, dan pada ujungnya di tingkat nasional. Karena itu, penelitian ini merekomendasikan satu hal, bahwa; kini diperlukan kebijakan-kebijakan baru di tingkat partai yang lebih memiliki perspektif gender, sehingga memberi ruang yang adil bagi perempuan untuk turut berkiprah di ranah publik.
Agenda partai yang lain, disamping harus memberikan pencerahan pemahaman kepada kaum laki-laki tentang pentingnya pemahaman gender, terhadap kalangan kaum perempuan pun harus ada upaya pemberdayaan yang serius. Upaya pemberdayaan dua arah (laki-laki dan perempuan) ini, harus menyentuh minimal tiga lapis struktur; struktur budaya, struktur hukum dan struktur pemahaman keagamaan. Karena di tiga wilayah utama inilah, biasanya, praktik diskriminasi gender dalam kehidupan masyarakat bersemai dengan subur."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10805
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayoob, Mohammed
California: The University of California, 1979
297.636 5 AYO d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tuti Alawiyah Surandi
"Penelitian ini bermaksud mengkaji terakomodir tidaknya hak-hak perempuan dalam politik identitas berbasis Islam. Salah satu wujud politik identitas Islam tersebut adalah proses penerapan Syariat Islam seperti terjadi di Serang Banten.
Kerangka pemikiran yang melandasi penelitian ini adalah bahwa dalam politik identitas, baik yang berbasis pada agama, ras, etnis, bangsa dan sebagainya, perempuan seringkali dijadikan simbol untuk menandai identitas tersebut. Apakah dalam politik identitas Islam seperti dalam kasus proses penerapan Syariat Islam perempuan juga dijadikan simbol dan penanda identitas sehingga hak-haknya seperti hak sipil dan politik terabaikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan dalam proses penerapan Syariat Islam di Serang Banten dijadikan simbol dan instrumen terciptanya masyarakat Islami. Hai ini dilandai dengan himbauan pemakaian jilbab bagi perempuan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemda dan seluruh dinas Kabupaten Serang dan para siswi SD sampai SLTA Negeri se-Kabupaten Serang. Dengan adanya himbauan berjilbab menunjukkan bahwa perempuan lebih digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan gerakan penegakan Syariat Islam. Perempuan menjadi terabaikan hak-haknya karena mereka tidak dilibatkan secara aktif dalam pengambilan kebijakan seperti dalam himbauan jilbab tersebut, dan dalam berbagai proses politik yang terjadi di Serang. Dalam Panitia Penerapan Syariat Islam Banten, misalnya, tidak ada satu pun perempuan yang masuk dalam susunan kepanitiaan tersebut sementara penerapan Syariat Islam sendiri realitasnya banyak yang ditujukan untuk perempuan.
Untuk mewujudkan masyarakat Islam seperti yang diperjuangkan para penegak Syariat Islam, jilbab merupakan tahap awal karena akan banyak hukum-hukum Islam yang tidak berpihak pada perempuan sehingga hak-hak perempuan sebagai manusia terabaikan. Karena itu, penelitian ini berupaya menggambarkan kondisi perempuan ketika Islam dijadikan satu-satunya identitas yang diperjuangkan untuk menjadi sumber nilai bagi tatanan kehidupan masyarakat dan pemerintahan.

This study intends to observe whether or not women's rights are accommodated by the politics of identity of Islam. The process of the implementation of the Islamic sharia in Serang Banten is one of the answers or that question.
Women are often used as an important symbolic instrument for making a certain political identity. This "universal custom" is practiced by religions, races, ethnics, and so forth. One of the results of this practice is the abandonment of women's rights, such as civil right and political right. This study intends to know whether or not women are used as a symbolic identity in the process of the implementation of the Islamic Sharia in Serang Banten. This is the framework of this study.
Based on a field research, this study want to show that the mentioned "universal custom" is not absent in the process of the implementation of the Islamic Shari'a in Serang Banten. Women are regarded as an important symbol of the emergence of the Islamic society. To achieve an Islamic society, for example, the District Government (Periieriniah Daerah, abbr. Pemda) encourages the female government employee (Pegawai Negeri Sipil) to wear jilbab (veil) in the office of Pemda and other government offices in Serang. This rule is also encouraged to the female students of the state schools (sekolah negeri) from elementary until senior high school in Serang. This phenomenon is an evidence of the assumption that women are merely used as an instrument of the implementation of Islamic shari'a in Serang. The fact that women are not invited to participate actively in this project is another evidence of the abandonment of women's rights. The Committee of the implementation of Islamic shari'a in Banten, for instance, does not involve women, even one person, in the list. This phenomenon is clearly in contrast to the fact that women are the most important target of the project.
Jilbab is the first obvious example of the result of the process of the implementation of Islamic shari'a in Serang. After jilbab, the sequence policies of the implementation of Islamic shari'a such as Islamic law will be implemented. The Islamic laws which prevail in Indonesian community now were often regarded in the opposite side with women. Hence, the implementation of Islamic laws is feared to threaten women's rights. This thesis intends to portray women's fate in a society where Islam is considered as the only identity and value source for the social order of society and government.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11895
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moh. Sjafaat Mintaredja
Jakarta: Septenarius, 1976
297.432.0 MIN s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>