Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123247 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Priscilla Geraldine
"Latar belakang: Gejala nonmotorik sangat umum ditemukan pada pasien dengan Parkinsonisme, dan bahkan dapat muncul sebelum onset gejala motorik. Gejala ini berpotensi memperburuk kualitas hidup pasien, tetapi sering kali terlewatkan pada pasien dengan Parkinsonisme dibandingkan gejala motoriknya. Interaksi berbagai faktor berperan penting dalam muncul dan beratnya gejala pada Parkinsonisme, salah satunya faktor demografis pasien. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan faktor demografis dengan gejala nonmotorik pasien dengan Parkinsonisme.
Metode: Penelitian ini dilakukan pada 50 pasien dengan Parkinsonisme di RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo dengan desain studi cross-sectional. Faktor sosiodemografis yang diambil meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan status pernikahan. Gejala nonmotorik diukur dengan kuesioner Movement Disoreder Society Unified Parkinson's Disease Rating Scale (MDS-UPDRS) Bagian I. Analisis bivariat dilakukan dengan uji t tidak berpasangan dan ANOVA, sedangkan regresi linear digunakan untuk analisis multivariat.
Hasil: Karakteristik subjek penelitian mayoritas berusia 65 tahun (90%), laki-laki (56%), berpendidikan tinggi (50%), berpenghasilan Rp2.500.00 bersifat protektif terhadap beratnya gejala nonmotorik, sedangkan pendidikan rendah dan status sudah menikah meningkatkan beratnya gejala. Analisis tiap domain MDS-UPDRS Bagian I menemukan faktor usia berhubungan bermakna dengan gejala konstipasi; jenis kelamin berhubungan bermakna dengan nyeri; tingkat pendidikan berhubungan bermakna dengan halusinasi, depresi, gangguan tidur, dan konstipasi; tingkat pendapatan berhubungan bermakna dengan gangguan tidur dan pusing saat berdiri; serta status pernikahan berhubungan bermakna dengan gangguan tidur.
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara faktor demografis dengan beratnya gejala nonmotorik pada pasien dengan Parkinsonisme, terutama jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan status pernikahan. Faktor demografis juga ditemukan berhubungan bermakna dengan domain gejala nonmotorik yang berbeda. Hasil studi ini diharapkan dapat meningkatkan perhatian terhadap gejala nonmotorik, serta memberikan data untuk pengobatan yang sifatnya terpersonalisasi terhadap faktor risiko sosiodemografis pasien dengan Parkinsonisme.

Background: Nonmotor symptoms are commonly found in patients with Parkinsonism, and can even present itself before motor symptoms. These symptoms has the potential to impact patient's quality of life, yet are often overlooked in patients with Parkinsonism compared to its motor symptoms. Interaction of various factors play an important role in the appearance and severity of symptoms in Parkinsonism, one of which is patient sociodemographics factors. Therefore, this study was conducted to examine the relationship between sociodemographic factors and nonmotor symptoms in patients with Parkinsonism.
Methods: This study was conducted on 50 patients with Parkinsonism at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital with a cross-sectional study design. Sociodemographic factors assessed include age, gender, income level, education level, and marital status. Nonmotor symptoms were measured using the Movement Disorders Society Unified Parkinson's Disease Rating Scale (MDS-UPDRS Part I) questionnaire. Bivariate analysis was performed using independent t test and ANOVA, while linear regression was used for multivariate analysis.
Results: Majority of research subjects were aged ≤65 years (90%), male (56%), highly educated (50%), income level Rp2.500.000 are protective against nonmotor symptoms, while lower education and married status increase nonmotor symptoms. Analysis of each domain of MDS-UPDRS Part I found that age was significantly associated with symptoms of constipation; gender is associated with pain; education is associated with hallucinations, depression, sleep disturbances, and constipation; income is associated with sleep disturbances and dizziness on standing; and marital status associated with symptoms of sleeping disturbance.
Conclusion: There is a significant relationship between sociodemographic factors and the severity of nonmotor symptoms in patients with Parkinsonism, especially gender, education level, income, and marital status. Demographic factors were also found to be significant with different domains of nonmotor symptoms. Results of this study are expected to increase attention to nonmotor symptoms, as well as provide data for personalized treatment based on sociodemographic risk factors in patients with Parkinsonism.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nathaniel Gilbert Dyson
"Latar belakang: Gejala motorik pada pasien dengan parkinsonisme sangat mengganggu aktivitas sehari-hari. Faktor sosiodemografis diketahui berperan penting pada berbagai penyakit kronis, namun kaitannya dengan penyakit parkinsonisme belum banyak mendapat perhatian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor sosiodemografis dengan gejala motorik pasien dengan parkinsonisme.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan di RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta melalui pengisian kuesioner MDS Unified Parkinson’s Disease Rating Scale (MDS-UPDRS) Bagian II tentang gejala motorik sehari-hari secara daring. Sampel target dalam penelitian ini adalah pasien parkinsonisme berdasarkan diagnosis dokter yang bersedia mengikuti penelitian, lancar berbahasa Indonesia, dan memiliki akses internet.
Hasil: Sebanyak 50 pasien bersedia menjadi responden dengan gejala motorik terbanyak adalah kesulitan berpakaian (90%), diikuti dengan menulis, melakukan hobi, tremor, dan bangkit berdiri (88%). Analisis bivariat menemukan bahwa pasien berpendidikan rendah, berpendapatan rendah, dan sudah menikah secara signifikan memiliki gejala motorik yang lebih buruk (p<0,05). Analisis multivariat mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan rendah dan status sudah menikah signifikan sebagai faktor risiko, sedangkan tingkat pendapatan tinggi sebagai faktor protektif terhadap gejala motorik yang buruk.
Kesimpulan: Faktor sosiodemografis memiliki hubungan signifikan dengan derajat gejala motorik pada pasien dengan parkinsonisme. Studi ini merekomendasikan penanganan pasien secara personalisasi berdasarkan faktor sosiodemografis pasien.

Background: Motor symptoms in patients with parkinsonism severely impair daily activities. Sociodemographic factors are known to play an important role in various chronic diseases, but their relationship with parkinsonism has not been studied yet. This study aims to determine the association between sociodemographic factors and motor symptoms among patients with parkinsonism.
Methods: This cross-sectional study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital Jakarta by using the MDS Unified Parkinson's Disease Rating Scale (MDS-UPDRS) Part II questionnaire about daily motor symptoms. The target sample in this study were patients with parkinsonism based on a doctor's diagnosis, fluent in Indonesian, and had internet access.
Results: A total of 50 respondents were recruited with the most motor symptoms being difficulty dressing (90%), followed by writing, doing hobbies, tremors, and balance (88%). Bivariate analysis found that patients with low education, low income, and married had significantly worse motor symptoms (p<0.05). Multivariate analysis revealed that low education level and married status were significant risk factors, while high income level was a protective factor against poor motor symptoms.
Conclusion: Sociodemographic factors significantly associated with motor symptoms in parkinsonism patients. This study recommends personalized patient management based on the patient's sociodemographic factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Alyaa Salma Ghozali
"Pengetahuan mengenai PD memainkan peran penting dalam mempengaruhi sikap pengasuh. Diketahui bersama bahwa meningkatkan taraf pengetahuan dapat membantu pengasuh mengatasi beban tertentu yang berkaitan dengan perawatan Pasien PD. Penelitian ini membahas tentang mengidentifikasi hubungan antara pengetahuan dan perilaku di antara para perawat pasien PD. Delapan belas sampel diambil dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Setiap individu telah diwawancara melalui panggilan suara dan pembagian kuesioner. Di awal pengambilan survei, pihak yang diwawancara diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan biodata pengasuh dan informasi pasien; usia, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, hubungan dengan pasien, stadium PD Hoehn & Yahr, dan tanggal diagnosis PD. Diikuti dengan 10 pertanyaan benar atau salah tentang pengetahuan dasar PD dan diakhiri dengan 10 pertanyaan empat-skala Likert yang mencakup sikap dari para perawat pasien PD. Secara keseluruhan, para pengasuh mendapatkan hasil yang cukup tinggi (> 40%) di kedua kuesioner yang telah diberikan. Tidak ada signifikansi statistik dalam kaitannya dengan hubungan antara pengetahuan dan sikap. Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap pengasuh. Namun, hal itu bertentangan dengan penelitian lain. Perbedaannya mungkin karena ukuran sampel. Diperlukan studi lebih lanjut untuk mengidentifikasi hubungan dan dampak Pendidikan.

Knowledge may play an important role in influencing the caregivers’ attitudes and the overall quality of care towards PD patients. It was known that improving knowledge can help caregivers overcome certain burdens, relative to PD care. This study identifies and discusses the relationship between knowledge and the attitude amongst caregivers of PD patients in RSCM. 18 samples were collected from Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital. Individuals were interviewed with a questionnaire via voice call. Caregivers were initially asked for their biodata and patient’s information; age, gender, occupation, education level, relationship to the patient, patient’s Hoehn & Yahr PD stage, and date of onset PD diagnosis. Afterward, they have given 10 true or false questions about basic PD knowledge and 10 four-point Likert Scale questions that covered the attitudes of the caregivers. Caregivers overall mostly achieved “moderate-high” (>40%) levels from both attitude and knowledge questionnaires given. It was found that there no statistical significance in the relationship between knowledge and attitude (p=0.316). The study shows that there is no significant relationship between knowledge and attitude of caregivers. The distinction may be due to the sample size. Further studies in regards to identifying the relationship and well the impact of education are needed."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arden Gabrian
"Gangguan otonom pada penyakit Parkinson lebih banyak dialami dan berdampak pada kualitas hidup dan mortalitas pasien dibandingkan gejala motoriknya. Namun, hal tersebut jarang mendapat perhatian klinis dan data mengenai karakteristiknya masih minim di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk menggambarkan karakteristik gangguan otonom pada pasien penyakit Parkinson serta faktor yang memengaruhinya menggunakan instrumen SCOPA-AUT INA (Scale for Outcome in Parkinson`s Disease - Autonomic bahasa Indonesia) di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Penelitian ini dilakukan di RSCM pada Mei 2021 hingga September 2022 dengan desain potong lintang dan melibatkan 31 pasien penyakit Parkinson sebagai subjek. Data diambil melalui wawancara menggunakan SCOPA-AUT INA dan melihat rekam medis. Uji statistik yang digunakan adalah uji univariat, chi-square, dan U Mann-Whitney. Ditemukan bahwa 100,0% subjek mengalami gangguan otonom yang terdistribusi dalam domain gastrointestinal (96,8%), urin (93,5%), termoregulasi (67,7%), seksual (51,6%), kardiovaskular (48,4%), dan pupil (12,9%). Ditemukan hubungan bermakna antara faktor usia ≥60 tahun dengan peningkatan gangguan urin, jenis kelamin laki-laki dengan peningkatan gangguan seksual, terapi levodopa dengan peningkatan gangguan gastrointestinal, dan terapi triheksifenidil dengan peningkatan gangguan pupil. Tidak ditemukan hubungan bermakna antara gangguan otonom dengan durasi dan keparahan penyakit Parkinson. Studi ini menyimpulkan bahwa gangguan otonom ditemukan pada seluruh subjek dengan penyakit Parkinson di RSCM dan dipengaruhi oleh faktor demografis dan klinis, khususnya usia, jenis kelamin, dan jenis terapi anti-Parkinson.

Autonomic dysfunctions in Parkinson’s disease are often undiagnosed or untreated and the current data regarding its profile is still limited in Indonesia despite it being more common and having more impact on their quality of life and mortality rate compared to motor symptoms of Parkinson’s disease. Therefore, research is needed on the profile and affecting factors of autonomic dysfunction in Parkinson’s disease patients using the SCOPA-AUT INA (Scale for Outcome in Parkinson`s Disease - Autonomic – Indonesian version) in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). This cross-sectional study is done in RSCM from May 2021 to September 2022 with 31 Parkinson’s disease patients enrolled as subjects. The results are taken from interviews using the SCOPA-AUT INA questionnaire and from the subjects’ medical records. Univariable, chi-square test, and U Mann-Whitney statistical tests are used in data analysis. This study found that 100,0% of the subjects reported having autonomic dysfunctions categorized into gastrointestinal (96,8%), urinary (93,5%), termoregulatory (67,7%), sexual (51,6%), cardiovascular (48,4%), and pupillomotor (12,9%). There is a statistically significant correlation between subject age of 60 or above and increase in urinary dysfunction, male sex with increase in sexual dysfunction, levodopa therapy with increase in gastrointestinal dysfunction, and trihexyphenidyl therapy with increase in pupillomotor dysfunction. No correlation is found between autonomic dysfunctions and Parkinson’s disease duration or clinical staging. Autonomic dysfunctions are found in all of the Parkinson’s disease patients enrolled as subjects in this study and are affected by demographic and clinical characteristics, especially age, sex, and anti-Parkinson therapy."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Violine Martalia
"atar belakang: Prevalensi penyakit Parkinson di Indonesia terus meningkat, khususnya pada lansia. Namun, penyakit Parkinson seringkali hanya dikaitkan dengan gangguan motoriknya saja, gangguan non-motoriknya sering diabaikan. Padahal, gangguan non-motorik dapat memengaruhi kualitas hidup. Salah satu gangguan non-motorik yang sering terjadi adalah gangguan tidur. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran gangguan tidur pada pasien penyakit Parkinson di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Metode: Metode penelitian ini adalah cross-sectional yang dilakukan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada Mei sampai September 2022. Instrumen yang digunakan merupakan kuesioner dengan teknik consecutive sampling yaitu 31 pasien penyakit Parkinson. Uji univariat digunakan untuk melihat distribusi prevalensi penyakit Parkinson, uji Chi Square untuk menilai hubungan antarvariabel, dan uji Fisher’s exact untuk menilai hubungan status depresi dengan gangguan tidur. Hasil: Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa 61.3% subjek memiliki gangguan tidur berdasarkan PSQI dan 35.5% memiliki EDS berdasarkan ESS. Terdapat hubungan yang bermakna antara faktor depresi dengan gangguan tidur berdasarkan PSQI dan ESS. Status depresi memengaruhi bermakna kejadian EDS dengan mayoritas pasien depresi ringan. Kesimpulan: Disimpulkan bahwa gangguan tidur pada pasien penyakit Parkinson di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi dan klinis.

Introduction: The prevalence of Parkinson's disease in Indonesia is increasing, especially in elderly. However, Parkinson's disease is often only associated with motor disorders, non-motor disorders are often neglected even though it can also affect quality of life. One of the non-motor disorders that often occurs is sleep disorders. Therefore, this study aims to provide an overview of sleep disorders in Parkinson's disease patients and factors that influence it. Method: A cross-sectional study was conducted at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo from May to September 2022. The instrument used was questionnaires with a consecutive sampling technique, namely 31 Parkinson's disease patients. Univariate test was used to see the distribution of Parkinson's disease, Chi Square test to assess the relationship between variables, and Fisher's exact test to assess the relationship between depression status and sleep disorders. Result: Statistical analysis showed that 61.3% subjects experienced sleep disorders (PSQI) and 35.5% experienced EDS (ESS). The relationship between depression and sleep disorders based on PSQI and ESS is significant. Depressive status is associated with EDS with the majority being mild depression. Conclusion: Sleep disorders in Parkinson's disease patients at dr. Cipto Mangunkusumo is influenced by sociodemographic and clinical factors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Arasen
"ABSTRAK
Latar Belakang. Gangguan otonom merupakan gejala yang cukup sering dialami
oleh pasien Parkinson. Gangguan ini sudah dapat ditemukan sejak awal stadium
penyakit. Gangguan otonom meliputi gangguan gastrointestinal, urologi,
kardiovaskular, seksual dan termoregulasi. Untuk mendeteksi gangguan otonom
dapat digunakan kuesioner SCOPA-AUT (Scale for Outcomes in Parkinson’s
Disease for Autonomic Symptoms). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran gangguan otonom pada pasien Parkinson di Poliklinik
Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSUPN Fatmawati.
Metode. Penelitian dilakukan dengan menggunakan desain potong lintang.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan April hingga Juni 2012.
Hasil. Sebanyak 54 subyek penelitian yang terdiri dari 33 (61,1%) pria dan 21
(38,9 %) wanita diikutsertakan dalam penelitian ini. Pasien Parkinson pada
penelitian ini berusia antara 45-79 tahun. Sebagian besar pasien memiliki durasi
sakit kurang dari 5 tahun (63%), stadium Hoehn & Yahr 1-2 (63%) dan memakai
terapi kombinasi levodopa dengan agonis dopamin (79,6%). Gangguan otonom
didapatkan pada seluruh subyek penelitian. Gangguan otonom yang paling sering
dialami pasien Parkinson adalah masalah urologi berupa nokturia (79,6%) dan
urinary frequency (57,3%), serta masalah gastrointestinal yaitu sialorea (51,9%)
dan mengejan kuat saat buang air besar (50%) Tidak ada pasien yang mengalami
inkontinensia feses atau jatuh pingsan.
Kesimpulan. Seluruh pasien Parkinson pada penelitian ini mengalami gangguan
otonom. Telah diketahui proporsi gangguan otonom pada pasien Parkinson di
Poliklinik Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSUPN Fatmawati.

ABSTRACT
Background. Autonomic symptoms are quite often reported by Parkinson’s
disease patients. These symptomps are found already in early stage of disease.
Autonomic symptomps comprise gastrointestinal, urinary, cardiovascular, sexual
and thermoregulation symptomps. SCOPA-AUT (Scale for Outcomes in
Parkinson’s Disease for Autonomic Symptoms) questionnaire can detect
autonomic dysfunctions. The purpose of this study is to obtain profile of
autonomic symptomps in Parkinson’s disease patients in neurology clinic in
RSUPN Cipto Mangunkusumo and RSUPN Fatmawati.
Methods: a cross sectional study was conducted between April and June 2012
Results: A total of 54 patients, i.e. 33 (61,1%) man and 21 (38,9 %) woman, were
recruited in this study. The age of patients was between 45 and 79 years. Most
patients have illness duration less than 5 years (63%), Hoehn & Yahr stage 1-2
(63%) and use combination therapy (levodopa with dopamine agonist) (79,6%).
Autonomic symptoms are complained by all patients. Most frequent autonomic
symptomps reported by Parkinson’s disease patients are nocturia (79,6%), urinary
frequency (57,3%), sialorea (51,9%) and strain hard when pass stools (50%).
There are no patients who complained involuntary loss of stools or fainted.
Conclusion. All Parkinson’s disease patients in this study reported autonomic
symtomps. Autonomic symptomps profile has been known in Parkinson’s disease
patients in neurology clinic in RSUPN Cipto Mangunkusumo and RSUPN
Fatmawati"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Banon Sukoandari
"Latar Belakang
Meningkatnya pertumbuhan populasi usia lanjut, mengharuskan untuk memberikan perhatian besar kepada penyakit degeneratif atau penyakit dengan awitan usia lanjut. Penyakit Parkinson merupakan salah satu penyakit degeneratif tersebut.
Obyektif
Menyediakan data dasar penderita penyakit Parkinson sesuai pokok-pokok pada SPTPP (Skala Penilaian Terpadu Penyakit Parkinson)
Metoda
Merupakan penelitian deskriptif cross sectional dengan subyek penderita penyakit Parkinson yang berobat ke poliklinik saraf RSCM, dalam kurun waktu Oktober-Desember 2005. Pengolahan data dengan menggunakan SPSS versi 10.0
Hasil Penelitian
Terdapat 42 subyek yang masuk kriteria inklusi, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan yang hampir sama (1,03:1), rata-rata berusia 63,62 tahun (stand dev 10,95), sebagian besar tidal( bekerja dan tinggal bersama keluarga. Usia awitan sakit rata-rata 57,55 tahun (stan dev 9,92) dengan durasi sakit rata-rata 6,10 tahun (stand dev 5,23). Levodopa dan antikolinergik merupakan obat anti Parkinson yang paling banyak dipergunakan oleh subyek (97,63% dan 80,97%), yaitu dalam bentuk kombinasi keduanya.
Rata-rata hasil pemeriksaan SPTPP adalah skor sub skala I 2,98 (stand dev 2,77), skor sub skala II 14,10 (stand dev 9,76), skor sub skala III 17,93 (stand dev 11,02), sub skala IV 3,02 (stand dev 3,27). Rata-rata derajat keparahan subyek adalah stadium 2,417 menurut skala Hoehn-Yahr, dan-rata-rata skala Schwab-England adalah 71,43% (stand dev 22,59)
Gejala kardinal terbanyak pada subyek adalah rigiditas dan bradikinesia; sedangkan subyek dengan skala schwab-England rendah memiliki skor instabilitas postural dan bradikinesia yang tinggi. Gejala motorik yang berhubungan dengan terapi yang terbanyak adalah freezing, diikuti fluktuasi klinis dan distonia. Gangguan mentasi-intelektual merupakan gejala non motorik yang meiicolok pada subyek.
Aktifitas utama sehari-hari yang paling banyak terganggu adalah mengenakan baju dan berjalan. Mengenakan baju juga gangguan yang paling banyak memerlukan bantuan orang lain. Terdapat kecenderungan antara durasi sakit dan SPTPP; semakin lama durasi sakit semakin besar skor SPTPP dan Hoehn-Yahr serta semakin rendah skor Skala Schwab-England. Di samping itu terdapat pula kecenderungan antara basil pemeriksaan gejala motorik dan basil pemeriksaan kemampuan subyek.
Kesimpulan
Adanya trend bahwa semakin lama durasi sakit semakin berat gangguan mentasi, perilaku dan mood; semakin berat gejala motorik, semakin tinggi derajat keparahan serta semakin banyak komplikasi pengobatan. Semakin lama durasi saki! juga menunjukkan semakin berat ketidakmampuan melakukan aktifitas sehari-hari dan semakin besar ketergantungan pada orang lain. Terdapat trend bahwa semakin berat gejala motorik dan semakin parah derajat sakit semakin buruk fungsi subyek penelitian. Terdapat asumsi pada status gejala motorik yang sama, subyek menunjukkan fungsi aktifitas sehari-hari yang lebih buruk dibanding subyek penelitian lain di luar negeri.

Background
The increasing number of elderly people necessitates considerable attention to degenerative disease or late-age onset disease; Parkinson disease constitutes one of the degenerative disease
Objective
To provide basic data on Parkinson patients based on UPDRS (Unified Parkinson Disease Rating Scale = SPTPP Skala Penilaian Terpadu Penyakit Parkinson)
Method
A descriptive cross-sectional study that involved Parkinson patients that presented to the outpatient clinic of RSCM from October to December 2005. SPSS version 10,0 was used for the data processing
Result
42 subjects met the inclusion criteria with the almost similar ratio of male - female patients (1.03 : 1), with the mean age 63,62 (stand deviation 10.95) and most of them were unemployed and lived with their families. The mean morbid age was 57.55 (stand dev 9.92) with the mean morbid duration 6.10 years (stand dev 5.23), Levodopa and anticholinergic agent were the most common medicines taken by subjects (97.63% and 80.97%) in the combination therapy.
The mean result of UPDRS 1 SPTPP examination were sub-scale I score 2.98 (stand dev 2.77), sub-scale II score 14.10 (stand dev 9.76), sub-scale III score 17.93 (stand dev 11.02) and sub-scale IV score 3.02 (stand dev 3.27). The mean severity degree of the subjets was at stage 2.417 based on I-Ioehn-Yahr scale and the mean Schwab-England scale was 71.43% (stand dev 22.59)
The most frequently found cardinal symptom in the subjects were rididity and bradykinesia; whereas subjects with low Schwab-England scale had high postural instability and bradykinesia score. The most common motoric symptom found correlated with the therapy were freezing; clinical fluctuation and dystonia. Mental - intelectual disturbance was the most conspicuous non -- motorik symptom in subjets
The most disturbed daily activities were putting on clothing and walking. Putting on clothing was the activity that need most help from the most significant members of the family.
There was a trend between the morbid duration and UPDRS 1 SPTPP; the longer the morbid duration, the higher the SPTPP Hoehn-Yahr score were and the lower the Schwab-England scale was. In addition to that, there was a propensity between the motoric symptom assessment and the examination result of the subject's performance.
Conclusion
There was a trend thet showed the longer the morbid duration was, the more severe the mental, behavior and mood disturbances were; the more severe the motoric symptom, the higher the serety degree was as well as the higher need for the treatment of complications. The more prolonged morbid duration also revealed the more serious disability of conducting every day activities and the higher dependence on other people. There was propensity for the worse function of the trial subjects due to the more severe motoric symptom and higher degree of disease severity. There has been some assumption that at the same status of motoric symptom, the subjects showed worse function of daily activities compared with other trial subjects in other countries.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58750
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Octaviany
"Latar Belakang. Disfungsi otonom merupakan salah satu gejala penyakit parkinson yang sering ditemukan clan berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas penderita penyakit parkinson. Disfungsi otonom memberikan gejala klinis yang seringkali tidak disadari penderita. Tujuan penelitian adalah mengetahui gambaran disfungsi otonom penyakit Parkinson menggunakan pemeriksaan Sympathetic Skin Response.
Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang deskriptif dengan populasi semua penderita penyakit parkinson yang memenuhi kriteria inklusi. Dilakukan pencatatan berupa identifikasi karakteristik penderita dan riwayat perjalanan penyakit, anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mencari gejala klinis-penyakit parkinsnn, gejala disfungsi otonom, jenis obat anti parkinson yang dipakai dan respon pengobatan . Diagnosis disfungsi otonom ditegakkan melalui pmeriksaan Sympathetic Skin Response (SSR). Data dianalisis menggunakan tes chi-square, fisher's exact dan t test dengan memakai program STATA.
Hasil. Pada penelitian ini didapatkan 34 pasien penyakit parkinson. Sebagian besar subyek berjenis kelamin pria (67,8%), dengan usia rata-rata 61.11+_10.01 tahun dan terbanyak pada kelompok usia 60-69 tahun ( 41.2%). Sebanyak 22 subyek (64.7%) mengalami gejala disfungsi otonom, dengan gejala yang tersering adalah disfagia (44%) ,diikuti gejala konstipasi (38.2%), dan hipersalivasi (35.3%). SSR abnormal dijumpai pada 23 subyek (67.6%). Rata-rata subyek dengan nilai SSR abnormal lebih tua dibandingkan dengan subyek dengan SSR normal. Rata-rata lama menderita parkinson untuk SSR abnormal adalah 6.52+_3.64 . Abnormalitas SSR dijumpai pada seluruh subyek yang menderita penyakit parkinson lima tahun atau lebih (p=0.0x4) dan pada semua subyek dalam periode non honeymoon (p=0.000). SSR cenderung abnormal dengan meningkatnya derajat keparahan penyakit berdasarkan skala Hoehn & Yahr. SSR abnormal lebih sexing ditemukan path subyek yang mengalami instabilitas postural clan subyek dengan skor bradikinesia, tremor dart rigiditas dari UPDRS yang lebih tinggi. Subyek yang mengalami gejala hipotensi postural simptomatik (p=0.023), konstipasi (p=0.402), hipersalivasi (p=0.043) dan disfagia (p=0.000) menunjukkan nilai SSR abnormal. Semua subyek yang mengalami dua (p-0.04) atau lebih gejala otonom (p=0,0001). Tiga subyek (13%) yang tidak mengalami gejala disfungsi otonon ternyata menunjukkan nilai SSR abnormal.
Kesimpulan. Disfungsi otonom penyakit parkinson ditemukan pada 67.6% penderita. SSR cenderung abnormal dengan meningkatnya derajat keparahan penyakit berdasarkan skala Hoehn & Yahr maupun berdasarkan skor UPDRS untuk tremor, rigiditas, bradikinesia dan stabilitas postural. Subyek yang mengalami gejala hipotensi postural simptomatik, konstipasi, hipersalivasi dan disfagia menunjukkan nilai SSR abnormal. Nilai SSR abnormal juga ditemukan pada semua subyek yang mengalami dua atau lebih gejala otonom.

Background. Autonomic dysfunction is one of the signs that is frequently found in PD, which influences the patient's morbidity and mortality. It also comprises some frequently neglected clinical manifestations.
Aim. The aim of this study is to review autonomic dysfunction in PD, using Sympathetic Skin Response test.
Methods. This is a descriptive cross-sectional study. Population of this study is PD patients that meet the inclusion criteria. Patient's characteristic was identified. History of illness was recorded and physical examination was done to indentify patient's signs and symptoms, autonomic dysfunctions, medications used, and the responses. Diagnosis of autonomic dysfunction was confirmed by using Sympathetic Skin Response (SSR) test. Chi-Square test, fisher's exact test, and t were used to analyze the data, using the STATA program.
Results. There were 34 PD patients identified. Most of the subjects are men (67,8%) with the mean age of 61,1+10,01 year-old and mostly within 60-90 year-old group age (41,2%). Twenty two subjects (64,7%) had autonomic dysfunction with the most presenting symptoms are dysphagia .04,8%), constipation (38,2%), and hypersalivation (35,3%). Abnormal SSR was found in 23 subjects (67,6%). Most subjects with abnormal SSR are older than subjects with normal SSR. The duration of PD in subjects with abnormal SSR is 6,52+3,64 years. Abnormal SSR was found in all subjects that have had PD for five years or more (p=0,004) and all subjects were in non-honeymoon period (p=0,000), SSR tends to be abnormal when the severity of the disease is higher, based on the Hoehn & Yahr scale. Abnormal SSR is more often found in subjects who suffer postural instability and whose IJPRDS score of bradikinesia, tremor, and rigidity is high. Subjects with symptomatic postural hypotension (p=0,023), constipation (p=0,002), hypersalivation (p=0,003) and dysphagia (p=0,000) show abnormal SSR. Every subject shows two or more autonomic symptoms (p=0,0001). Three subjects (13%) that didn't show autonomic dysfunction symptoms, however, had abnormal SSR
Conclusions. Autonomic dysfunction in PD was found in 67,6% subjects. SSR tends to be abnormal when the severity of the PD is high, based on the Hoehn & Yahr scale, UPRDS score of bradikinesia, tremor, and rigidity, and the presence of postural hypotension. Subjects with symptomatic postural hypotension, constipation, hypersalivation, and dysphagia show abnormal SSR. Abnormal SSR was also found in all subjects who had two or more autonomic symptoms.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saffanah Zahra
"ABSTRAK
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus Parkinson rsquo;s disease telah bertambah banyak, dengan teori patologis yang turut berkembang. Salah satu teori patologis yang paling dikenal adalah teori inflamasi yang melibatkan aktivasi mikroglia dan ekspresi sitokin proinflamatori. Studi sebelumnya telah mengkonfirmasi efek andrografolida terhadap karakter anti-inflamatorinya. Sangatlah penting untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang efek andrografolida dalam berbagai dosis sebagai agen neuroprotektif pada model Parkinson yang disebabkan oleh MPTP. 5 jenis perlakuan diberlakukan terhadap 5 kelompok tikus C57bl/6. Perlakuan yang dimaksud adalah 1 kontrol normal, 2 positif MPTP, 3 positif MPTP dan selegiline, 4 positif andrografolida pada dosis 5 mg/kgbb, dan 5 positif andrografolida pada dosis 50 mg/kgbb. Analisis imunohistokimia digunakan untuk menentukan level TNF?. Analisa statistik menghasilkan perbedaan level TNF? yang tidak signifikan antara kelompok andrografolida dan kelompok kontrol. level TNF? adalah 10.0000 3.50999 pada kelompok normal, 8.3600 2.89275 pada kelompok selegilin, 12.8000 7.78203 pada kelompok MPTP, 5.4000 2.43311 pada kelompok andrografolida 50 mg/kgbb, dan 5.8000 1.61864 pada kelompok andrografolida 5 mg/kgbb . Hasil studi ini menunjukkan bahwa tidak ada pengurangan TNF? yang signifikan setelah diberikan andrografolida pada dosis 5 dan 50 mg/kgbb pada model Parkinson yang telat diberikan MPTP. Maka tidak disimpulkan adanya efek neuroprotektif dari andrografolida.

ABSTRACT
Parkinson rsquo s disease has overgrown cases in the last few years, with emerging pathological theories have also been developing. One of the most acknowledged pathological theories is the neuroinflammation theory involving microglial activation and proinflammatory cytokines expression. Previous studies have confirmed andrographolide effect on anti inflammatory characteristics. It is important to acquire better understanding on the effect of andrographolide as a neuroprotective agent in MPTP induced Parkinsonism model in several dose. 5 types of treatment were enacted on 5 groups of C57bl 6 mice. Treatments include 1 normal control, 2 MPTP treated, 3 MPTP and selegiline treated, 4 Andrographolide treated at 5 mg kgbw, and 5 Andrographolide treated at 50 mg kgbw. Immunohistochemical analysis was used to determine TNF level. Statistical analysis result showed no significant differences of TNF level between the groups treated with andrographolide and the control groups. TNF level was 10.0000 3.50999 for normal group, 8.3600 2.89275 for selegiline treated group, 12.8000 7.78203 for MPTP treated group, 5.4000 2.43311 for andrographolide treated group at 50mg kgbw, and 5.8000 1.61864 for andrographolide treated group at 5 mg kgbw . This study suggests that there is no significant reduction of TNF level after treated with andrographolide at doses of 5 and 50 mg kgbw in MPTP treated Parkinsonism model, thus showing no neuroprotective effect of andrographolide. "
2016
S70433
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benedicta Winni Lisachristanty
"Parkinson dan Frontotemporal Dementia (FTD) merupakan penyakit neurodegenerative yang disebabkan oleh penurunan fungsi otak. Jumlah kasus penyakit ini diprediksi akan terus meningkat sehingga Indonesia harus mempersiapkan penanganan yang tepat untuk menangani pasien Parkinson dan FTD di masa depan. Hingga kini belum ditemukan obat untuk menyembuhkan kedua penyakit tersebut dan seringkali terjadi kesalahan diagnosis di mana pasien FTD didiagnosis sebagai pasien Parkinson. Secara umum, terdapat empat tingkat keparahan pada penyakit tersebut, yaitu normal, ringan, sedang, dan berat. Pada penelitian ini dibahas karakteristik pasien Parkinson dan FTD secara umum dan laju peningkatan keparahan kondisi dari normal atau ringan menjadi sedang berdasarkan karakteristik pasien. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari beberapa pengukuran klinis dan demografis. Adapun metode yang digunakan untuk analisis laju peningkatan keparahan penyakit adalah Optimal Survival Tree dan metode untuk mengukur goodness-of-fit dari model survival adalah concordance statistics. Metode optimisasi yang digunakan untuk mengoptimalkan Survival Tree menjadi Optimal Survival Tree adalah Mixed-Integer Optimization (MIO) dan pendekatan local search. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pasien FTD memiliki kondisi lebih parah dan laju peningkatan keparahan lebih cepat daripada pasien Parkinson. Laju peningkatan keparahan pasien FTD cenderung dijelaskan oleh kemampuan non-motorik pasien, sedangkan pada pasien Parkinson cenderung dijelaskan oleh kemampuan motoriknya.

Parkinson and Frontotemporal Dementia (FTD) are neurodegenerative diseases which caused by decreased brain function. The number of cases of these diseases is predicted to increase so that Indonesia must prepare the right treatment for Parkinson and FTD patients in the future. Until now, no medication has been found to cure these diseases. Furthermore, misdiagnosis in which FTD patients are diagnosed as Parkinson patients often occurs. In general, there are four levels of severity in those diseases, which are normal, mild, moderate, and severe. This research focuses on analyzing the general characteristics of Parkinson and FTD patients along with the rate of increase in disease severity from normal or mild to moderate. This study used secondary data, consisting of several clinical and demographic measures. The method used to analyze the rate of increase in disease severity is Optimal Survival Tree, while the concordance statistics is used to measure the goodness of fit of the survival model. The optimization method used to optimize Survival Tree into an Optimal Survival Tree is Mixed-Integer Optimization (MIO) and the local search approach. As a result, FTD patients suffer more severely and have a faster rate of increase in disease severity than Parkinson patients. In FTD, the rate of increase in disease severity tends to be explained by patient's non-motor abilities, while in Parkinson by patient's motor abilities."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>