Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180560 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Puji Hastuti
"Ritus Pertukaran Tempayan dalam kaidah pemberian Mauss menjadi formasi simbolik yang merakit gugusan pemukiman lintas batas di Hulu Sembakung sebagai kesatuan ruang sosial kohesif. Secara presisten, dimensi ruang sosial diwujudkan dalam setiap tahapan daur hidup masyarakat Hulu Sembakung melalui ritus pertukaran tempayan. Persoalan hadir ketika rezim spasial negara pasca kolonial mengintai ruang kosmopolit masyarakat di Hulu Sembakung. Riset ini bertujuan menyajikan etnografi mengenai ritus pertukaran di Hulu Sembakung, bagaimana aktivitas ini dapat membentuk ruang sosial masyarakat secara lintas batas negara serta bagaimana regulasi spasial dan pengintaian negara menciptakan ruang paradoks bagi penduduk di Hulu Sembakung ketika menjalankan ritus pertukaran tempayan melintas batas. Temuan lapangan menunjukan bahwa orang-orang di Hulu Sembakung merupakan aktor cerdik yang tidak serta merta tunduk pada kekuasaan negara. Sebagai manusia perbatasan, mereka menjalankan perannya sebagai manusia-manusia yang tidak dapat diperintah bahkan mampu menciptakan aturan sendiri. Ritual pertukaran tempayan tidak hanya menjadi formasi simbolik yang merakit dimensi ruang sosial masyarakat Hulu Sembakung secara lintas batas. Ritus melintas batas bahkan menjadi poros yang mengendalikan pusat kekuasaan negara.

The Rite for the Exchange of Tempayan in The Gift Mauss theory becomes a symbolic formation that assembles clusters of cross-border settlements in Hulu Sembakung as a cohesive social space unit. Persistently, the dimension of social space is manifested in every stage of the life cycle of the Hulu Sembakung community through the rite of exchange of jars. Problems arise when the spatial regime of the post-colonial state stalks the cosmopolitan space of society in Hulu Sembakung. This research aims to present an ethnography of exchange rates in Hulu Sembakung, how this activity can shape social space across national borders and how spatial regulations and state surveillance create paradoxical spaces for residents in Hulu Sembakung when carrying out rites of exchange of Tempayan across borders. Field findings show that people in Hulu Sembakung are astute actors who do not necessarily submit to state power. As frontier humans, they carry out their role as humans who cannot be ordered and can even create their own rules. The ritual of exchanging Tempayan is not only a symbolic formation that assembles the dimensions of the social space of the Hulu Sembakung community across borders. Rites cross boundaries and become the axis controlling the centre of state power."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Providing an overview of the myriad ways that we are touched by death and dying, both as an individual and as a member of society, this book will help readers understand our relationship with death. Kastenbaum and Moreman show how various ways that individual and societal attitudes influence both how and when we die and how we live and deal with the knowledge of death and loss. This landmark text draws on contributions from the social and behavioral sciences as well as the humanities, such as history, religion, philosophy, literature, and the arts, to provide thorough coverage of understanding death and the dying process. Death, Society, and Human Experience was originally written by Robert Kastenbaum, a renowned scholar who developed one of the world's first death education courses. Christopher Moreman, who has worked in the field of death studies for almost two decades specializing in afterlife beliefs and experiences, has updated this edition."--Publisher's description"
Los Angeles: Wiley Blackwell, 2018
306.9 COM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Hastuti
"Ritus pertukaran telah menguatkan hubungan penduduk di Hulu Sembakung meski dibelah oleh batas negara. Sementara, batas negara dikonstruksi oleh kekuasaan yang dianggap sebagai pemilik kedaulatan tunggal. Kondisi ini melahirkan kepentingan penguasa untuk membuat patuh penduduk perbatasan terhadap proses rekonstruksi kekuasaan negara yang terjadi. Di lain pihak, wilayah perbatasan telah memiliki konsep ruang dimensi sosial-budaya yang telah lama hadir sebelum negara merekonstruksi konsep ruang teritorial. Negosiasi lintas batas yang dilakukan oleh penduduk setempat merupakan upaya penduduk untuk mempertahankan lanskap budaya dan memposisikan diri dalam arena sosial lintas-batas yang berusaha dihilangkan oleh negara.

Rite of exchange has been strengthening relationships between residents in Hulu Sembakung although split by borders. Meanwhile, borders are constructed by power which was considered to be the owner of a single sovereignity. This condition produces interests among authorities to make border residents submissive to the reconstruction of nation control that happened. On the other hand, the border area has had its own concept about socio-culture spatial dimensions that has long been presented before the country reconstruct the concept of the territorial. Cross-border negotiations conducted by local residents is an effort to preserve the cultural landscape and to position themselves in the cross-border social arena that is omitted by the state."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S54757
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kerrigan, Michael
"he History of Death explores the compelling subject of death, burial, and the afterlife in varied cultures, societies, and ages. Examines the various approaches to funerals, from sky burials in Tibet and mummification in Egypt, to being left to rot in the family home in Indonesia. Balances grim facts with intriguing details, such as remarkable burial requests, extravagant funerals, human sacrifice, and ritual killings. Illustrated throughout with photographs and artworks of representations of death and funerary rituals throughout history up to the present day""
Jakarta: Elex Media Komputindo, 2017
394.4 KER s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Romi
"Penelitian ini dilakukan pada masyarakat Suku Baduy yang terletak di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Penelitian ini mengambil tema tentang ritus kematian, salah satu ritual khusus yang dianggap sakral bagi masyarakat Suku Baduy. Ritus kematian yang dilakukan oleh masyarakat Suku Baduy adalah bentuk ketaatan masyarakat dalam menjalankan aturan adat yang mengharuskan mereka menjalankan prosesi ritual ketika salah seorang dari mereka meninggal dunia. Ritual ini dilakukan bukan hanya sebatas aturan adat yang menjadi acuan masyarakat dalam melakukannya, melainkan sebagai bentuk penghormatan terakhir keluarga terhadap si mayit. Selain itu, ritual kematian dianggap penting karena masyarakat Baduy percaya bahwa ritual kematian diyakini mampu mengantarkan roh si mayit ke tempat suci (Mandala Hiyang), dan tidak tersesat ke tempat larangan (Buana Larang). Ritus kematian masyarakat Suku Baduy dilakukan karena masyarakat percaya bahwa kematian adalah awal dari perjalanan roh si mayit menjalankan kehidupan barunya di tempat lain bersama para leluhur mereka terdahulu. Oleh karena itu, masyarakat Suku Baduy percaya bahwa dengan mentaati semua aturan adat dan mampu menjaga alam semesta titipan leluhur mereka, berharap setelah kematian bisa bersama-sama dengan para leluhur. Interaksi yang dibangun oleh masyarakat Baduy dengan para leluhur adalah dengan cara menjaga alam semesta. Dengan demikian, makna kematian bagi masyarakat Baduy sangat mendalam karena menyangkut keberlangsungan orang hidup dan keberlangsungan roh si mayit dengan para leluhurnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan antropologis. Sedangkan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan studi pustaka. Ritus kematian masayarakat Suku Baduy diwarnai berbagai macam simbol yang menunjukan adanya relasi antara orang hidup, orang mati dan alam semesta. Masyarakat Suku Baduy juga memahami bahwa kematian merupakan bagian dari siklus hidup manusia dan sekaligus menunjukan adanya keberlangsungan roh si mayit dengan roh para leluhurnya di tempat suci. Oleh karena itu, relasi yang dibangun masyarakat Suku Baduy antara orang mati dan orang hidup melalui ritus yang dilakukan sebagai bentuk keterjalinan dan memastikan roh si mayit dapat menghadap yang suci dan bisa bertemu dengan para leluhurnya di tempat suci (Mandala Hiyang).

This research was conducted on the Baduy Tribe community located in Kanekes, Leuwidamar, Lebak, Banten. This research takes the theme of the death rite, the special ritual that is considered sacred to the Baduy tribe. The death rite performed by the Baduy people is a form of community obedience in carrying out customary rules that require them to carry out a ritual procession when one of them dies. This ritual is carried out not only to the extent of the customary rules that are the reference for the community in doing so, but as a form of the family's last respect for the dead. In addition, the death ritual is considered important because the Baduy people believe that the death ritual is considered to be able to deliver the spirit of the dead to the holy place (Mandala Hiyang), and not stray to the place of prohibition (Buana Larang). The death rite of the Baduy people was carried out because the people believed that death was the beginning of the mayit living his new life elsewhere with their previous ancestors. Therefore, the people of the Baduy Tribe believe that by obeying all customary rules and being able to maintain the universe entrusted by their ancestors, hope that after death they can be together with the ancestors. The interaction built by the Baduy people with the ancestors was by taking care of the universe. Thus, the meaning of death for the Baduy people is very deep because it concerns on the continuity of the living and the continuity of the spirit of the dead with his ancestors. This research used qualitative methods with anthropological approach. Observation, interviews and literature studies were used in collection data. The death rites of the Baduy people are colored by various simbols that indicate the relationship between the living, the dead and the universe. The Baduy people also understand that death is part of the human life cycle and at the same time shows the continuity of the spirit of the dead with the spirit of his ancestors in the holy place. Therefore, the relationship built by the Baduy tribe between the dead and the living through rites is carried out as a form of intertwining and ensuring that the spirit of the dead can face the holy and can meet his ancestors in the holy place (Mandala Hiyang)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2005
306.1 IND m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Hanan Pamungkas
"Sembonyo adalah upacara bersih laut yang dilakukan nelayan di dusun Karanggongso, desa Tasik Madu, Kecamatan Prigi, kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, Dalam upacara tersebut dilakukan berbagai kegiatan yang disertai dengan beberapa sesaji. Sekalipun dalam skala kecil (di tingkat dusun) upacara ini cukup menarik untuk dikaji. Selain bentuk sesajinya unik, upacara ini cenderung untuk dipertahankan. Mengacu pada Geertz dan Turner, fenomena simbolik dalam upacara semacam itu merupakan gambaran nilai-nilai sosial yang ideal dan menjadi pusat pendorong Bari berbagai kegiatan sosial ekomoni masyarakatnya. Sementara itu warga masyarakat menginterpretasikan "teks-teks simbolik" dalam upacara itu sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Dengan demikian permasalahan penelitian ini adalah apa sebenarnya makna simbol sembonyo, bagaimanakah warga masyarakat menginterpretasikan makna simbol upacara tersebut, serta apa fungsi upacara bagai masyarakat Karanggongso.
Melalui analisa simbol seperti yang dilakukan Turner, yakni dengan menganalisis simbol dominan dan instrumental dalam upacara Sembonyo, maka diketahui adanya perpaduan unsur pemujaan kesuburan dan pemujaan nenek moyang sebagai konsep utama dari upacara. Tema besar dari upacara Sembonyo adalah slametan yang oleh Geertz dilukiskan sebagai terciptanya keseimbangan psikososial manusia Jawa dalam hubungan antar manusia dan alam. Tatanan ideal ini diperlukan masyarakat, mengingat keterbatasan pengetahuan dan teknologi nelayan dalam mengatasi krisis alam (laib) serta adanya krisis sosial sebagai akibat konflik diantara warga masyarakat nelayan di luar upacara. Karena itulah Sembonyo berfungsi sebagai "pembersih" warga masyarakat dari ganguan alam maupun ganguan moral. Selain memiliki fungsi integratif semacam itu, sembonyo juga berfungsi memperkokoh peranan elit dusun, melalui rangkian upacara yang diciptakan. Setiap tahunnya upacara sembonyo, yang oleh Turner disebut "drama sosial", diperingati agar nilai-nilai yang ideal itu teraktualisasikan. Tidak semua warga memberi makna sakral kepada simbol upacara sembonyo tidak lebih dari kegiatan rekreatif."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Hanief Saha Ghafur
"Suatu hal yang menarik untuk dikaji dewasa ini adalah pembangunan kepariwisataan. Pembangunan Pariwisata telah banyak menyuguhkan berbagai tontonan, permainan tradisional, upacara adat dan berbagai bentuk seni pertunjukan. Kegiatan ini telah menjadi agenda kegiatan resmi dari berbagai biro dan agen perjalanan wisata, perhotelan dan organisasi-organisasi kesenian di daerah. Semua bentuk kegiatan tersebut didukung oleh pemerintah, yang memang membutuhkan masukan devisa bagi pembangunan. Oleh karena itu, pemerintah mempunyai kepentingan besar dibalik semua perhelatan besar tersebut. Untuk itu, pemerintah akan berbuat apa saja bagi kesuksesan upacara-upacara tersebut.
Dalam pembangunan kepariwisataan di Indonesia banyak suguhan berupa macam-macam bentuk tontonan, permainan tradisional, upacara adat dan berbagai bentuk seni pertunjukan. Namun yang menjadi persoalan, yaitu apabila bentuk pertunjukannya berupa upacara ibadah keagamaan, seperti Hudoq. Bagi masyarakat dayak di pedalaman Kutai upacara Hudoq masih di anggap sakral dan dihayati sebagai upacara religius. Namun dilain pihak para penyelenggara, para turis asing, dan kebanyakan para penonton melihat upacara tersebut dengan sikap areligius, profan dan dianggap sebagai tontonan biasa.
Penelitian ini mengkaji dampak pembangunan pariwisata terhadap upacara perladangan dan upacara ritual Hudoq khususnya. Tulisan ini mencoba memberi gambaran tentang bagaimana proses pembangunan mendesakralisasi upacara ibadah keagamaan. Proses itu terjadi manakala Hudoq tercerabut dari basis sosial dan kulturalnya, sehingga menjadi sekedar sebuah tontonan yang areligius dan profan. Ketercerabutan tersebut karena Hudoq sudah kehilangan nuansa religio-culturalnya melalui proses pembangunan yang telah disekularisasikan."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Miko
"ABSTRAK
Kebertahanan suatu praktek sosial dalam suatu komunitas dapat dianggap sebagai pencerminan kebermaknaan tindakan sosial tersebut bagi komunitasnya. Tabuik Piaman merupakan salah satu dari sejumlah khazanah ritual dalam masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Namun demikian, ia tidak menjadi kekhasan bagi masyarakat Minangkabau umumnya, melainkan hanya bagi komunitas terbatas di daerah Pariaman. Margaret Kartomi (1986) menamakan tipe ritual tabuik ini sebagai ritual ala Perso -Indian. Penamaan ini berkaitan dengan anggapan bahwa muasal tabuik di Pariaman merupakan produk difusi yang bermula dari persentuhan kultural antara kebudayaan Persia dengan India, untuk kemudian India dengan Indonesia.
Ritual sebagai sebuah peristiwa sosial dapat dipandang sebagai kesatuan struktural yang terdiri dari unsur mitos, ritual dan komunitas pendukungnya. Hakikat mitos dipandang merupakan representase dari sistem pengetahuan dan keyakinan komunitas, sedangkan ritual merupakan tindakan simbolik yang memperlihatkan cara bagaimana komunitas mengaktualisasikan apa yang dikatakan oleh sistem pengetahuan dan keyakinan komunitasnya. Sementara itu, dalam kedudukannya sebagai pendukung suatu kebudayaan, komunitas adalah subyek penerima, pemaham mitos serta petindak ritual. Bagaimana terbentuk signifikansi kesalingterkaitan antara cakrawala mitos, ritual dan orientasi komunitas terhadap unsur lain di luar sistem mitos merupakan soal yang ditelusuri. Perwujudan relasi struktural antara mitos, ritual dan orientasi komunitas terhadap sistem tradisional dan nasional tersebut dipandang merupakan pencerminan dari perubahan sosiokultural masyarakat.
Melalui studi kasus ritual tabuik di Pariaman, ditemukan pandangan bahwa sistem mitos berfungsi sebagai kode kultural bagi pelaksanaan ritual, di satu pihak, akan tetapi struktur ritual itu sendiri terwujud dalam suatu kekhasan, di lain pihak. Kekhasan struktur ritual itu sendiri merupakan manifestasi dari orientasi komunitas terhadap sistem tradisional dan nasional yang menjadi bagian dari lingkungan sosial masyarakat. dengan kata lain, cakrawala tabuik adalah perwujudan yang khas dari perpaduan cakrawala mitos dan ritual serta sikap kultural komunitas terhadap khazanah tradisional dan suasana-suasana nasional di Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Claudia Yuliani Kurnia
"Skripsi ini membahas tentang pengaruh ajaran Buddha dan Konfusianisme yang berkembang di Korea terhadap tata cara dan makna ritual pemakaman dan peringatan arwah yang dilakukan masyarakat Korea. Namun, penulis membatasi masalah ini pada ritual yang dilaksanakan sebelum mendapat pengaruh agama Kristen dan perkembangan modernisasi. Sebelum membahas topik tersebut, penulis juga membahas mengenai pandangan masyarakat Korea mengenai kematian dan kehidupan setelah kematian yang dijadikan dasar dilaksanakannya kedua ritual tersebut. Dari penelitian kualitatif deskriptif ini, disimpulkan adanya pengaruh yang kuat dari ajaran Buddha dan Konfusianisme dalam makna dan pelaksanaan ritual pemakaman dan peringatan arwah dalam masyarakat Korea dan kedua ritual tersebut tetap dilaksanakan secara turun-temurun hingga sekarang ini.

Abstract
This thesis discusses the influence of Buddhism and Confucianism that developed in Korea toward the procedure and meaning of funeral and memorial services performed in Korean society. However, the author limits this problem in the rituals conducted prior to the influence of Christianity and the development of modernization. Before addressing the topic, the author also discussed the Korean society views of death and life after death which is used as the basis of the implementation of both the ritual. From this descriptive qualitative research, we can conclude the existence of the strong influence of Buddhism and Confucianism in the meaning and implementation of funeral and memorial services in Korean society and the rituals are still carried out by generations until today."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S500
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>