Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 188996 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Viora Andari Yasman
"Terorisme merupakan sebuah permasalahan yang selalu menarik perhatian banyak orang. Kerusakan secara materiil bahkan hingga terancamnya nyawa seseorang menjadi hal yang tidak luput dari peristiwa terorisme. Tidak hanya skala kecil, terorisme juga menjadi ancaman untuk skala Internasional. Terbentuk dalam jaringan besar yang bergerak secara diam-diam, kelompok yang memiliki pemikiran dan tujuan ekstrimis ini menjadi salah satu musuh berbahaya di setiap negara. Tragedi pemboman yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia membuat pemerintah harus berfikir tepat dalam melakukan upaya dalam menghadapi kasus terorisme. Tidak hanya undang-undang, bahkan pemerintah juga membentuk suatu badan yang khusus menangani kasus terorisme. Perubahan alur dalam pembentukan undang-undang menjadi pewarna dalam usaha pemerintah untuk menghadapi kasus terorisme. Hal ini pun melahirkan sebuah pertanyaan mengenai seberapa besar efektivitas yang dihasilkan dari upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah hingga saat ini dan juga mengenai penerapan penegakan hukum yang ideal berdasarkan UU No.5 Tahun 2018 yang dilakukan oleh POLRI. Berawal dengan dibentuknya Perppu No.1 Tahun 2002 yang membahas akan kasus terorisme dari segi hukum, nyatanya tak menghentikan pergerakan kelompok ekstrimis di Indonesia. Hal ini pun menjadi bahan evaluasi untuk disahkannya Perppu tersebut menjadi UU No. 15 Tahun 2003. Diharapkan menjadi payung hukum yang sah dan menjadi senjata mutakhir dalam menghilangkan terorisme, tak menjadikan UU ini cukup efektif dalam pelaksanaannya. Dengan segala diskusi dan pembahasan, pada akhirnya disahkanlah UU No.5 Tahun 2018 yang hingga saat ini menjadi aturan utama dalam kasus terorisme di Indonesia. Tak selalu berjalan mulus, UU yang disebut sebagai Security Act dan juga Patriot Act yang dalam pelaksanaannya sering mendapat kecaman karena ketidak sesuaiannya dengan Hak Asasi Manusia. Dalam penelitian ini, fokus masalah akan dibahas dengan metode penelitian hukum dengan kajian hukum normatif, empiris dan implementasi. Penelitian ini juga menggunakan teori efektivitas hukum, implementasi hukum dan tujuan hukum yang dikolaborasikan dengan hasil wawancara dan data lainnya hingga menghasilkan analisa data. Sebagai kesimpulannya, ditemukan bahwa dengan proses perubahan pada aturan dan perundang-undangan mengenai kasus terorisme telah menghasilkan perubahan yang signifikan sebagai upaya dalam menghadapi kasus terorisme. Meskipun beberapa upaya teror masih tetap dilakukan di sejumlah wilayah, namun upaya yang dilakukan Densus 88 dalam menangkap sejumlah tersangka yang tergabung dalam kelompok radikal menunjukan perubahan yang signifikan. Hal ini tentunya membantu dalam mengurangi upaya terjadinya peristiwa terorisme. Dengan disahkannya UU No.5 Tahun 2018 yang memberikan wewenang kepada pihak kepolisian untuk melakukan upaya preventif sebagai pencegahan kasus terorisme, memberikan keleluasaan atas penanganan kasus terorisme. Upaya preventif yang dapat dilakukan sebelum terjadinya kasus terorisme memudahkan pihak kepolisian untuk melakukan penyidikan terhadap pihak-pihak yang berkaitan dengan jaringan terorisme. Dengan dilakukannya penyidikan ini, tentunya membantu dalam menguak ide atau rencana yang direncanakan oleh jaringan terorisme tersebut. Sehingga bisa dikatakan pula bahwa UU anti terorisme yang saat ini digunakan telah memberikan dampak yang cukup efektif terhadap permasalahan terorisme di Indonesia . Namun, dalam pelaksanaanya haruslah selalu diperhatikan komponen pelaksanaan dan penggunaan wewenang agar tetap sesuai dengan kaidah Hak Asasi Manusia.

Terrorism is a problem that always attracts the attention of many people. Material damage, even to the point of threatening one's life, is something that is not spared from terrorism. Not only on a small scale, terrorism is also a threat on an international scale. Formed in a large network that moves secretly, this group that has extremist thoughts and goals has become one of the most dangerous enemies in every country. The bombing tragedy that occurred in several regions in Indonesia made the government have to think properly in making efforts to deal with cases of terrorism. Not only laws, even the government has also established a body that specifically handles terrorism cases. Changes in the flow in the formation of laws become coloring in the government's efforts to deal with cases of terrorism. This also raises a question about how much effectiveness has resulted from the efforts that have been made by the government to date and also regarding the ideal implementation of law enforcement based on Law No. 5 of 2018 carried out by POLRI. Starting with the formation of Perppu No. 1 of 2002 which discussed terrorism cases from a legal perspective, in fact it did not stop the movement of extremist groups in Indonesia. This has also become an evaluation material for the ratification of the Perppu to become Law no. 15 of 2003. It is hoped that this law will become a legal umbrella and become the latest weapon in eliminating terrorism, but this law will not be effective enough in its implementation. With all the discussion and discussion, in the end Law No. 5 of 2018 was passed which until now has become the main rule in terrorism cases in Indonesia. It does not always run smoothly, the law which is referred to as the anti-terrorism law is often equated with the anti-subversion law and also the Internal Security Act and the Patriot Act which in their implementation have often been criticize for their incompatibility with human rights. In this study, the focus of the problem will be discussed using legal research methods with normative, empirical and implementation legal studies. This study also uses the theory of legal effectiveness, legal implementation and legal objectives which are collaborated with the results of interviews and other data to produce data analysis. In conclusion, it was found that the process of changing the rules and regulations regarding terrorism cases has resulted in significant changes as an effort to deal with terrorism cases. Although several terror attempts are still being carried out in a number of areas, the efforts made by Densus 88 to arrest a number of suspects belonging to radical groups have shown significant changes. This certainly helps in reducing efforts to occur terrorist incidents. With the passing of Law No. 5 of 2018 which authorizes the police to carry out preventive measures to prevent terrorism cases, it provides flexibility in handling terrorism cases. Preventive efforts that can be carried out before the occurrence of terrorism cases make it easier for the police to carry out investigations of parties related to terrorist networks. By carrying out this investigation, it certainly helps in uncovering ideas or plans planned by the terrorist network. So that it can also be said that the current anti-terrorism law has had a fairly effective impact on the problem of terrorism in Indonesia. However, in its implementation it must always pay attention to the components of the implementation and use of authority so that it remains in accordance with the principles of human rights."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reeza Andi Nova
"Terorisme merupakan salah satu permasalahan yang sangat serius di Indonesia. Apabila tidak ditanggulangi dan dengan reaksi yang cepat (counter reaction) dapat menjadi sebuah ancaman besar bagi stabilitas dan keamanan baik nasional maupun regional. Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi terorisme melalui pendekatan lunak salah satunya dengan Program Deradikalisasi. Koordinator Deradikalisasi menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 adalah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang didukung oleh beberapa Kementerian dan Lembaga lain. Penelitian ini menemukan adanya kekosongan antara pengaturan terkait deradikalisasi yang diatur dalam Undang-undang dan peraturan turunnya dengan pelaksanaan Deradikalisasi di lapangan. Secara faktual, pelaksanaan deradikalisasi untuk para pelaku tindak pidana terorisme dari tahapan pada status tersangka, terdakwa, terpidana, narapidana hingga mantan narapidana tindak pidana terorisme selama ini dilakukan oleh Densus 88 AT secara intensif. Idealnya, jika pada status tersangka deradikalisasi dilakukan oleh Densus 88 AT, status terdakwa oleh Kejaksaan, terpidana oleh Pengadilan, Narapidana Oleh Lembaga Pemasyarakatan dan mantan narapidana dilakukan oleh BNPT. Selain itu, guna deteksi dini perkembangan jaringan teror didalam maupun diluar Lembaga pemasyarakatan. Sehingga, dipandang penting bahwa personil Densus harus melekat dalam setiap tahapan untuk memberikan rekomendasi yang sesuai. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pemilihan informan secara purposive sampling. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa Program Deradikalisasi yang dilakukan oleh densus 88 AT sesuai antara regulasi dan implementasinya. Hal tersebut dilakukan karena adanya kekosongan (gap) antara regulasi dan implementasi Program Deradikalisasi di lapangan dipandang dari sudut pandang normatif, karena Densus 88 AT melakukan pekerjaan melebihi dari yang diamanahi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, namun hal tersebut dianggap baik karena merupakan kebutuhan yang harus dilakukan dalam penanganan terorisme di Indonesia dan mencegah aksi terorisme dimasa depan.

Terrorism is a very serious problem in Indonesia. If not handled and with a quick reaction counter reaction it can become a big threat to stability and security both nationally and regionally. The Indonesian government's policy in tackling terrorism is through a soft approach, one of which is the Deradicalization Program. The Deradicalization Coordinator according to Law Number 5 of 2018 is the National Counter-Terrorism Agency (BNPT) which is supported by several Ministries and other Institutions. This study found a gap between the regulations related to deradicalization regulated in the Act and its regulations and the implementation of deradicalization in the field. Factually, the implementation of deradicalization for perpetrators of criminal acts of terrorism from the stages of the status of suspects, defendants, convicts, convicts to ex-convicts of criminal acts of terrorism has so far been carried out intensively by Densus 88 AT. Ideally, if the status of deradicalization suspect is carried out by Densus 88 AT, the status of defendant is by the Prosecutor's Office, convicted by the Court, Convicts by the Correctional Institution and ex-convicts is carried out by BNPT. In addition, for early detection of the development of terror networks inside and outside prisons. Thus, it is deemed important that Densus personnel must be attached to each stage to provide appropriate recommendations. This study uses a qualitative approach with the selection of informants by purposive sampling. The results of this study explain that the Deradicalization Program carried out by Densus 88 AT is in accordance with the regulation and its implementation. This was done because there was a gap between regulation and the implementation of the Deradicalization Program in the field from a normative point of view, because Densus 88 AT did more work than was mandated by Law Number 5 of 2018, but this was considered good because it was a necessity. that must be done in dealing with terrorism in Indonesia and preventing future acts of terrorism"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Guntur Wijaya Kesuma
"Resolusi DK PBB 1267 (1999) dan 1373 (2001), menyerukan kepada seluruh negara-negara di dunia untuk memberikan sanksi finansial terhadap kelompok Al-Qaeda dan Taliban, termasuk warga setiap negara yang berafiliasi dan membantu Al-Qaeda dan Taliban. Tahun 2012 FATF kembali menempatkan Indonesia sebagai “Non-cooperative Countries and Territories (NCCTs)”, kali ini berkaitan dengan penanganan tindak pidana pendanaan terorisme, karena menilai regulasi penanganan pendanaan terorisme yang ada di Indonesia belum memenuhi standar internasional yang ditetapkan dalam rekomendasi FATF dan menjadikan Indonesia sebagai negara beresiko tinggi pendanaan terorisme, yang berdampak pada perekonomian Indonesia karena seluruh negara dan institusi keuangan di dunia diminta waspada saat menjalankan hubungan perekonomian terhadap Indonesia. Berdasarkan data yang didapatkan penelitian ini bermaksud menemukan kendala-kendala yang dihadapi pemerintah Indonesia serta memberikan masukan bagaimana membagun kolaborasi antara pemerintah dan unsur lainnya dalam upaya penegahan tindak pidana tindak pidana pendanaan terorisme melalui pembekuan aset individu dan entitas yang tercantum pada Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT), sebagaimana Rekomendasi 6 FATF. serta upaya Indonesia menjadi anggota tetap FATF di tahun 2023.

UN Security Council Resolutions 1267 (1999) and 1373 (2001), call on all countries in the world to provide financial sanctions against Al-Qaeda and the Taliban, including citizens of every country affiliated with and helping Al-Qaeda and the Taliban. In 2012 the FATF again placed Indonesia as "Non-cooperative Countries and Territories (NCCTs)", this time relating to the handling of criminal acts of terrorism financing, because it assessed that the regulations for handling terrorism financing in Indonesia did not meet the international standards set out in the FATF recommendations and made Indonesia is a country at high risk of financing terrorism, which has an impact on the Indonesian economy because all countries and financial institutions in the world are asked to be vigilant when carrying out economic relations with Indonesia. Based on the data obtained, this study intends to find the obstacles faced by the Indonesian government and provide input on how to build collaboration between the government and other elements in efforts to prevent criminal acts of terrorism financing through freezing the assets of individuals and entities listed on the List of Suspected Terrorists and Terrorist Organizations (DTTOT), as per FATF Recommendation 6. as well as Indonesia's efforts to become a permanent member of the FATF in 2023,"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zopfan Aseanata Bayudhita
"Terjadinya perubahan cara manusia dalam berkomunikasi saat ini merupakan buah dari perkembangan teknologi yang sangat pesat. Dalam berkomunikasi, manusia tidak perlu lagi melakukan tatap muka dan penyampaian pesan dapat dilakukan secara cepat dan menjangkau banyak orang. Oleh sebab itu, aplikasi perpesanan instan dan media sosial sangat populer digunakan. Dari berbagai aplikasi perpesanan instan yang populer tersebut, Telegram adalah aplikasi perpesanan instan yang banyak digunakan. Kepopuleran Telegram dengan berbagai fiturnya yang menarik, turut dimanfaatkan oleh teroris untuk menyebarkan propaganda terorisme. Penggunaan Telegram dianggap efektif dan mampu menyasar berbagai kalangan dalam satu waktu. Telegram juga dapat mengamankan pemberi propaganda dari kemungkinan dilacak oleh aparat penegak hukum, karena sifatnya yang anonymous sehingga mereka nyaman dalam menyebarkan propaganda. Maraknya pelaku teror yang melakukan aksi teror setelah sebelumnya teradikalisasi melalui Telegram menjadi permasalahan utama saat ini. Masifnya penyebaran propaganda di Telegram, memberikan andil terhadap timbulnya pemasalahan ini. Oleh sebab itulah, penelitian ini akan membahas bagaimana Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri sebagai aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan menangani permasalahan terorisme, menangani propaganda terorisme melalui aplikasi Telegram

Changes in how people communicate is a result of technology developing that grow so fast. Nowadays, when communicate, people do not need to meet directly and the message can spread quickly and reach any social class. That's why, messenger and social media are popular. From various social media and messenger that exists, Telegram is one of the most popular messenger used by people. Telegram popularity with it features, attract terrorist to spread terrorism propaganda through it. Telegram is considered effective and can reach any people in one time. Telegram also can secured the terrorist who give propaganda because Telegram is anonymous so it secure them from being trace by law enforcement and give them convenience to spread the propaganda. The massive number of terrorism propaganda spread through Telegram made the problem for national security. That's why, this research will explain how Detachment 88 Anti Teror as the stakeholder for terrorism, handling this problem."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T55471
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Yosita Perdana
"Tindak pidana terorisme yang berkembang di Indonesia tidak hanya ditangani dengan upaya represif, tetapi juga dengan deradikalisasi. Metode deradikalisasi bertujuan untuk mengubah paham radikal menjadi paham non radikal dan normal. Teori yang digunakan dalam penulisan ialah Teori Motivasi Kebutuhan, Teori Tindakan Sosial, Konsep Manajemen, dan Analisis SWOT. Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan kualitatif. Deradikalisasi membutuhkan peran dari instansi terkait seperti Lembaga Pemasyarakatan, Kementerian Agama, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan Komunitas Sosial. Disarankan agar Densus 88 Anti Teror dapat memaksimalkan pengimplementasian metode deradikalisasi baik kepada narapidana teroris maupun keluarga narapidana teroris sehingga terorisme di Indonesia semakin berkurang.

The growing crime of terrorism in Indonesia is not only dealt by repressive efforts, but also by deradicalization. The deradicalization method aims to convert radical to non-radical and normalism. Theories used in this thesis is the Theory of Motivation Needs, Social Action Theory, Management Concepts, and SWOT Analysis. The approach used is qualitative approach. Deradicalization requires the role of relevant agencies such as Correctional Institution, Ministry of Religious Affairs, the National Agency for Counter-Terrorism, and the Social Community. It is recommended that Special Detachment Anti-Terror can maximize the implementation of deradicalization methods both to terrorist prisoners and families of terrorist prisoners so that terrorism in Indonesia is diminishing."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fikri Hadi
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang deradikalisasi terorisme yang diterapkan melalui
ruang Densus 88 AT Museum Polri. Terorisme telah berkembang menjadi sebuah
permasalahan yang tidak kunjung selesai di Indonesia. Berkembangnya terorisme
dianggap sebagai tidak efektifnya metode pemberantasan yang dilakukan selama
ini yaitu penegakan hukum yang cenderung represif. Untuk mengatasi hal ini,
Pemerintah melalui BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) memiliki
sebuah perogram untuk memberantas terorisme dengan pendekatan baru yang
mengedepankan pendekatan lunak dan pendekatan jiwa, yaitu deradikalisasi.
Deradikalisasi dilakukan oleh Polri dan kerjasama dengan berbagai macam
lembaga dan kementerian yang terkait. Museum Polri sebagai museum institusi
milik Polri memiliki tanggung jawab sosial untuk mengangkat permasalahan
terorisme melalui ruang Densus 88 AT sehingga masyarakat dapat memhami
permasalahan terorisme secara utuh sebagai bagian dari upaya deradikalisasi
terorisme. Akan tetapi ruang Densus 88 AT saat ini dianggap belum dapat
menerapkan program tersebut dengan baik karena tata pamer di ruang tersebut
belum terkonsep dengan baik. Oleh karena itu dibutuhkan konsep untuk menata
ulang ruang tersebut agar deradikalisasi terorisme dapat tersampaikan dengan baik
ke masyarakat. Tesis ini menggunakan metode kualitatif dan menerapkan teori
memori kolektif dan teori pendidikan konstruktif yang disesuaikan dengan
kebutuhan untuk menciptakan sebuah ruang yang mampu menciptakan suasana
kontemplatif bagi masyarakat yang datang.

ABSTRACT
This thesis discusses on de-radicalization of terrorism applied through Special
Detachment 88 AT space at the Museum of Indonesian National Police. Terrorism
has evolved into a never-ending problem in Indonesia. The expanding of terrorism
is considered because of the uneffectivenes of the eradiction method that has been
performed, which is a represif law enforcement. To overcome this, the
Government through Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (the Indonesian
National Counter Terrorism Agency, BNPT), has a program to counter terrorism
with a new approach, emphasizing on soft and soul approach, which is the deradicalization.
Deradicalization carry out by Indonesian National Police and
cooperate with various institutions and relevant ministries. As a part of Indonesian
National Police, The Museum of Indonesian National Police has a social
responsibility to increase the public awareness about terrorism issue through
Special Detachment 88 AT space. By that, society will have a comprehensive
understanding which is part of the de-radicalization effort. However, Special
Detachment 88 AT space at the museum is considered not been able to implement
the program because the exhibition design is not well conceptualized. Therefore,
it takes a concept to rearrange the space so the de-radicalization of terrorism can
be conveyed properly to the public. This thesis uses a qualitative method and
apply the collective memory theory also the theory of constructive education
adjusted to the need of a space that is able to create a contemplative atmosphere
for the people who come."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T42045
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.M.S. Urip Widodo
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan teror bom buku yang terjadi di Jakarta merupakan modus baru para teroris dalam melakukan aksinya, karena yang menjadi targetnya adalah individu sehingga apabila tidak dilakukan penanganan, maka akan berdampak pada psikologi masyarakat yaitu tingginya rasa kecemasan dan kekhawatiran masyarakat. Teror bom buku, apabila melihat jumlah korban dan kualitas ledakan, tidak sebanding dengan bom yang ditempatkan di gedung-gedung tertentu seperti pada kasus-kasus teror bom sebelumnya. Akan tetapi dampaknya hampir sama, bahkan teror bom buku sudah menyentuh aspek psikologi masyarakat awam. Ketakutan dan kepanikan yang melanda sampai ditingkat rumah tangga adalah bentuk keberhasilan aksi bom buku ini menjadi sebuah teror.
Mengacu pada hukum formal yang berlaku di Indonesia, maka aksi dan pelaku bom buku dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme. Mencermati perkembangan terorisme dengan organisasi dan jaringan global yang dimilikinya, dimana kelompokkelompok terorisme internasional mempunyai hubungan dan mekanisme kerja sama, baik dalam aspek operasional infrastruktur maupun infrastruktur pendukung.
Berkaca pada kondisi tersebut, aparat kepolisian Republik Indonesia sesuai yang diamanatkan dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri merupakan ujung tombak dalam memberikan perlindungan dan rasa aman kepada masyarakat dengan memberantas pelaku tindak pidana terorisme di Indonesia, seperti menangkap pelaku, mencegah, melakukan penyelidikan dan penyidikan, bahkan menembak mati para pelaku teror. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Polri adalah dengan membentuk Detasemen Khusus (Densus 88) Antiteror yang berada pada garis terdepan dalam memberantas aksi terorisme tersebut.
Dapat dipastikan, peranan Polri untuk pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut tidak terlepas dari 3 (tiga) fungsi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat dimana Polri harus melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan yang mengancam jiwa warga negara Indonesia. Dalam hal ini Polri melalui Densus 88 Antiteror harus berpedoman kepada undang-undang yang mendasarinya yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonsia.

The research aims at explaining the terror of book bomb occuring in Jakarta Suchterror is a new modus operandi of terrorists in doing their actions because their targets are individuals If the police do not handle the case immediately such terror will psychologically affect communities in the forms of high anxiety and worriness Book bombings in the context of their victims and the quality of their explosions can not be compared with the previous bombings happening in certain buildings However both of bombing types have similar effects Moreover book bombings have nearly touched the psychological aspects of common people The fearness and panic attacking families are the forms of the terrorists success of committing book bombings leading to a terrorizing act
In accordance with formal law prevailing in Indonesia the act and perpetrator of book bombings can be categorized as a terrorism act Terrorists have currently cooperated with other groups and networks that posses good relationship and working mechanism either in the context of infra structural operation or supporting infrastructures.
By looking at such situation and condition the Indonesian National Police as stated in Law No 2 2002regarding Indonesian National Police is the front liner in providing protection and security to people in combating terrorism in Indonesia The Indonesian National Police does the responsibilities by arresting the perpetrators preventing investigating interrogating and even shooting death the perpetrators One of the Indonesian National Police efforts is the establishment of an special detachment 88Antiterror Special Detachment
It can be concluded that the role of the Indonesian National Police can not be separated from the three functions protector shelter and servant of public The Indonesian National Police must protect people from acts threatening their lives The Indonesian National Police through 88 Antiterror Special Detachment in conducting such duties and responsibilities must be guided by Law No 2 2002 regarding the Indonesian National Police
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Aldinan Robby Jevri Hanter
"Tesis ini membahas mengenai bagaimana kepolisian di lingkungan Direktorat Tindak Pidana Narkoba BARESKRIM POLRI menggunakan kewenangannya dalam melakukan pemidanaan terhadap penyalahguna narkotika untuk direhabilitasi. Kewajiban untuk menerapkan rehabilitasi kepada para penyalahguna narkotika bersumber dari Pasal 54 Undang-Undang Narkotika. Pada tahun 2014, 7 lembaga negara telah mengeluarkan peraturan bersama yang mengatur tentang penerapan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika. Peraturan bersama tahun 2014 membawa perubahan yang cukup besar bagi penerapan rehabilitasi, termasuk peran kepolisian sebagai penyidik. Peran kepolisian dalam menerapkan rehabilitasi, bagaimana cara menerapkan rehabilitasi, serta dampak rehabilitasi yang diterapkan menjadi pembahasan utama dalam tesis ini.

This thesis discussess how the police in Directorate of Narcotic Crime of BARESKRIM POLRI on using its authority to punish drug abusers to implement the treatment. Obligation of treatment implementation comes from article 54 of Narcotic Act. In 2014, 7 agents of state have released the joint regulation about the implementation of treatment fo drug abusers. Those regulation bring the big change for treatment implementation, including the role of police as an investigator. The role of police on implement the treatment, the way of those implementation, and the impact of those implementation are the main discussion of these thesis."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfredo Benhard Pattiwaellapia
"Ancaman terorisme yang berbasiskan ideologi transnasional telah  masuk melalui penetrasi atau infiltrasi budaya dan agama. Dalam upaya pencegahan radikalisasi, Pemerintah Indonesia mengembangkan program deradikalisasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi deradikkalisasi Densus 88 AT Polri terhadap para mantan pelaku tindak pidana terorisme pada yayasan HWI 19. Program deradikalisasi di Indonesia memiliki empat pendekatan utama, yaitu re-edukasi, rehabilitasi, resosialisasi, dan reintegrasi. Program deradikalisasi yang dilakukan oleh Densus 88 AT Polri pada Yayasan HWI 19 tersebut maka akan berimplikasi pada penurunan angka ancaman terorisme di Indonesia. Namun hal tersebut harus dibarengi dengan kerjasama seluruh stakeholder terkait guna bisa mewujudkan re-integrasi dan re – sosialisasi kepada eks narapidana terorisme untuk bisa diterima kembali ditengah – tengah masyarakatPenelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara terhadap beberapa pihak – pihak yang berkompeten dalam upaya program deradikalisasi oleh Densus 88 AT pada yayasan HWI 19

The threat of transnational ideological-based terrorism has entered through the penetration or infiltration of culture and religion. In an effort to prevent radicalization, the government of Indonesia is assigned to develop deradicalization programs. This research aims to analyze the deradicalization strategies of Densus 88 AT (Special Counterterrorism Unit) of the Indonesian National Police towards former perpetrators of terrorism crimes at the HWI 19 Foundation. Deradicalization programs in Indonesia have four main approaches: re-education, rehabilitation, resocialization, and reintegration. The deradicalization program conducted by Densus 88 AT of the Indonesian National Police at the HWI 19 Foundation will have implications for reducing the threat of terrorism in Indonesia. However, this must be accompanied by the collaboration of all relevant stakeholders in order to achieve reintegration and resocialization of former terrorism convicts to be accepted back into society. This research uses a qualitative research method with data collection techniques such as interviews with several competent parties involved in the deradicalization program by Densus 88 AT at the HWI 19 Foundation"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Engkesman R. Hillep
"Tesis ini merupakan hasil penelitian menggunakan metoda kualitatif dalam bentuk studi kasus, dengan pendekatan manajemen, yuridis dan psikologis dalam membahas proses pengambilan keputusan para agen yaitu Pimpinan dan para Penyidik Bareskrim Polri, yang memiliki kapasitas bertindak kreatif, sebagai respon terhadap aturan dan sumber daya organisasi (struktur) dalam penyidikan terhadap para Tersangka Perwira Tinggi Polri.
Permasalahan pokok dan tesis ini adalah mempertanyakan apakah para agen mampu menerapkan kapasitas bertindak kreatif yang mereka miliki sehingga dapat mempertahankan jati diri sebagai penegak hukum yang jujur, adil dan tidak diskriminatif, sertal tidak menyalah gunakan wewenangnya ketika menyidik sesama anggota Polri.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, memahami proses, bentuk, pola, kemungkinan penyebab dan pengaruh dari keputusan para agen khususnya para Penyidik dalam mengunakan kapasitas bertindak kreatif ketika menyidik sesama anggota Polri, dalam hal ini para Perwira Tinggi Polri.
Secara umum penelitian menunjukan bahwa, kapasitas bertindak kreatif yang mendasari keputusan penyidik untuk memberiakukan atau tidak memberiakukan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan undangundang atau ketentuan lainnya yang berlaku dalam organisasi kepolisian, terhadap tersangka yang adalah atasan atau senior mereka, dipengaruhi oleh persepsi Penyidik yang lahir dari budaya kepolisian yang mereka anut. Kadar rasa hormat dan loyalitas kepada atasan maupun senior memegang peranan dominan terhadap penilaian subyektif penyidik dalam bertindak sehingga aspek etika dalam bentuk sikap yang penuh sopan santun, manusiawi, dan empati sangat ditonjolkan, Iebih-lebih kepada para Tersangka yang dinilai sebagai senior yang memiliki kepribadian yang balk oleh para penyidik.
Meskipun demikian, prinsip-prinsip dan kebijaksanaan yang telah digariskan pimpinan untuk menuntaskan kasusnya, sebagai wujud tanggung jawab terhadap tugas dan byalitas kepada institusi tetap dipertahankan, sehingga seluruh prosedur dan tahapan penyidikan sesuai ketentuan dapat dipenuhi dan kasusnya dapat diteruskan sampai pada tingkat peradilan dan penjatuhan hukuman.
Kesimpulan dan hasil penelitian memperlihatkan, pertama, para agen sesuai dengan tingkat kekuasaan dan wewenang mereka di dalam organisasi dengan kreasi dan kapasitas bertindak atas penilaian sendiri itu memberi kontribusi pencapaian tujuan penyidikan tanpa menimbulkan konflik yang berarti. Kedua, pada level pengambil keputusan, melalui tindakan kreatifnya mampu mengeliminir tekanan struktur yang lebih tinggi dan berskala strategis, bahkan berhasil mereproduksi struktur Baru dalam bentuk Keputusan Menkumham RI yang menetapkan rumah tahanan Polri sebagai Lapas bagi Terpidana Polri. Dan ketiga, hasii dari tindakan-tindakan kreatif pada level pelaksana, temyata memperlihatkan diskriminasi perlakuan yang dapat dikiasifrkasikan sebagai penyimpangan ringan namun dapat memberi implikasi yuridis bila terekspos ke depan publik hukum.
Wujud dari tindakan kreatif para agen yang diskriminatif menunjukan pola sebagai berikut :Terdapat perlakuan yang berbeda yang ditampilkan Penyidik (agen) dalam penyidikan terhadap Tersangka sipil dan tersangka anggota Polri. Perlakuan terhadap Tersangka Pain umumnya lebih longgar dan semakin tinggi tingkat kepangkatan Tersangka Polri yang disidik, semakin tinggi pula tingkat kelonggaran yang diberikan. Perlakuan yang sangat khusus diberikan pada Tersangka berpangkat Perwira Tinggi Polri.
Sesuai dengan tujuan tesis, rekomendasi yang diajukan adalah perlunya menetapkan dan merumuskan secara lebih jelas dan tepat konsep diskresi untuk Polri agar keragaman pemahaman dapat dicegah; penyusunan petunjuk yang jelas tentang prosedur pemenksaan pelanggaran disiplin, kode etik Polri dan pelanggaran pidana oleh anggota Polri berikut sistem pengawasannya; Berta penyusunan prosedur tetap penyidikan terhadap anggota Polri yang diproses karena pelanggaran pidana.

The thesis is a result of a research employing qualitative method in a form of a case study. The thesis also employs management, juridical and physiological approach in discussing the process of making decision made by some agents; that is, the administrators and investigators of Criminal Investigation Department (CID) of Indonesian National Police (INP) who have the capability to act creatively as a response to regulations and the organization's human resources in investigating high-rank police officers.
The capability to act creatively as the base of the investigators' decision as the agents of enforcing or not enforcing regulations stated in laws or other rules that prevail in police organization to the suspects who are actually the investigators' superiors or seniors, is influenced by the investigators' perception which comes from the police culture. The degree of respect and loyalty of the investigators to their superiors or seniors plays dominant roles in their subjective assessment so that ethical aspects in the forms of respect, humanity, and empathy strongly dominate such assessment. This is especially true in investigating suspects who are their senior that are regarded by the investigators to have good personality. Nevertheless, principles and policies that are underscored by their chief as a form of responsibility to the duties and loyalty to the institution are still maintained so that all procedures and steps of investigation can be fulfilled. In addition, the case can be forwarded to the level of trial and punishment.
The result of the research reveal some points: First, the agents, in accordance with their level of authority in their organizations and with their capability and creativity have given contribution in order to achieve the goals of investigation without causing significant conflict; Second, at the level of decision maker the investigators, using their creative action, are able to eliminate higher structural pressure as well as strategic pressure and they even succeeded to struggle for a new structure in a form of a decree of the Minister of Law and Human Rights which determines the prison of INP members as the penitentiary for convicted from INP members; and Third, the results of creative action at the level of implementation, in fact, show that discriminative treatment that can be classified as minor deviances but such deviances can give juridical implication if they are exposed to the public.
The shape of creative action of the discriminative agents shows the following patterns: there are different treatments done by the agents (investigators) in investigating civilian suspects and suspects belong to INP. Treatments to suspects belong to INP are generally laxer and the higher of the rank of the suspect the laxer of the treatment given. There are even extremely specific treatments given to suspects who are high-rank police officers.
In accordance with the aim of the thesis, the author recommends that it is necessary to determine and to formula a clearer and more precise concept of police discretion so that various and ambiguous understanding can be avoided. In addition, the author suggests formulating a clearer direction on the procedure of investigating discipline violation, Polri code of ethic and criminal act as well as the supervision of the implementation. Finally, the author also suggests formulating a fixed procedure about the investigation of Polri members who are processed because of criminal violation."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T20683
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>