Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 94565 dokumen yang sesuai dengan query
cover
William Stephenson Tjeng
"Latar belakang : Infeksi daerah operasi (IDO) merupakan salah satu infeksi terkait perawatan di rumah sakit, dan meningkatkan morbiditas, mortalitas dan biaya perawatan di rumah sakit. IDO pasca operasi jantung masih merupakan masalah serius. Prevalensi IDO pasca operasi jantung berkisar 0,25 sampai 6%. Banyak faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian IDO. Baik faktor risiko pre-operatif, peri-operatif, intra-operatif maupun pasca-operatif. Faktor usia, status nutrisi, tindakan transfusi, lama rawat inap sebelum dilakukan tindakan dan ketepatan pemberian antibiotik profilaksis dapat menjadi faktor risiko yang memengaruhi kejadian IDO paska operasi jantung.
Tujuan : Mengetahui faktor-faktor risiko yang meningkatkan kejadian IDO operasi jantung anak dan kesintasan pada anak.
Metode : Penelitian kohort retrospektif dengan rancangan penelitian potong lintang yang mengalami IDO pada operasi jantung di RSCM. Data penelitian diambil dari rekam medis. Data yang dikumpulkan adalah usia, status nutrisi, tindakan transfusi, lama rawat inap pasien sebelum dilakukan tindakan operasi dan ketepatan pemberian antibiotik profilaksis terhadap kejadian IDO pasca operasi jantung. Data tersebut kemudian dianalisis dengan analisis univariat, bivariat dan analisis multivariat.
Hasil : Jumlah subyek yang direkrut sebesar 360 subyek, prevalensi IDO sebesar 13,8%. Faktor risiko usia tidak memengaruhi kejadian IDO dengan p=0,178 RR 0,54(0,217-1,327) pada kelompok umur 0-1 tahun, p=0,415 RR 0,72(0,331 – 1,578) pada kelompok usia 1-5 tahun dan p=0,205 RR 0,27(0,035 – 2,052) pada kelompok usia 5 – 10 tahun. Status nutrisi tidak memengaruhi kejadian IDO dengan p= 0,287 RR0,75(0,436-1,278). Lama rawat inap sebelum tindakan operasi tidak memengaruhi kejadian IDO dengan p=0,324 RR 0,772 (0,662-1,292). Ketepatan pemberian antibiotik profilaksis tidak memengaruhi kejadian IDO p=0,819 RR 1,011(0,918-1,114).
Simpulan : Faktor risiko usia, status nutrisi, lama rawat inap sebelum tindakan, ketepatan antibiotik profilaksis tidak memengaruhi kejadian IDO pada operasi jantung anak.

Background : Surgical site infection (SSI) is one of the hospital associated infections, and increases morbidity, mortality and hospital care costs. SSI Post cardiac surgery is still a serious problem. The prevalence of SSI post cardiac surgery ranges from 0.25 to 6%. Many risk faktors can increase the incidence of IDO. Faktors such as age, nutritional status, transfusion , length of hospitalization before surgery and accuracy of prophylactic antibiotik administration can be risk faktors that affect the incidence of IDO after cardiac surgery.
Aime : to investigate the risk faktors in pediatric cardiac surgery that will increase the incidence of SSI and to improve the survival of the child after cardiac surgery.
Method : Retrospective cohort study with cross-sectional research design that undergoes Surgical site infection in cardiac surgery at RSCM. The research data is taken from medical records. The data collected are age, nutritional status, transfusion procedure, length of hospitalization of the patient before surgery and accuracy of prophylactic antibiotik administration against the incidence of postoperative SSI cardiac surgery. The data were then analyzed by univariate, bivariate and multivariate analysis.Result : The number of subjects recruited was 360 subjects, the prevalence of SSI was 13.8%. Age risk factors did not affect the incidence of SSI with p=0.178 RR 0.54(0.217-1.327) in the age group 0-1 years, p=0.415 RR 0.72(0.331 – 1.578) in the age group 1-5 years and p=0.205 RR 0.27(0.035 – 2.052) in the age group 5 – 10 years. Nutrient status does not affect the incidence of SSI with p= 0.287 RR0.75(0.436-1.278). The length of hospitalization prior to surgery did not affect the incidence of SSI with p=0.324 RR 0.772 (0.662-1.292). The accuracy of prophylactic antibiotik administration did not affect the incidence of IDO p=0.819 RR 1.011(0.918-1.114).
Conclusion : risk faktors such as Age, nutritional status, length of hospitalization before treatment, accuracy of prophylactic antibiotiks do not affect the incidence of IDO in pediatric cardiac surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amin Tjubandi
"Angka re-operasi setelah reparasi katup mitral dapat mencapai 10% dan pada penyakit katup degeneratif sebagian besar (70%) re-operasi disebabkan prosedur yang dilakukan. Island flap rotation technique merupakan teknik reparasi katup mitral baru yang pertama kali dilakukan untuk mengakomodasi ketidaktersediaan artifisial korda dan menghindari tegangan jaringan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode baru operasi jantung reparasi regurgitasi katup mitral yang fungsional dan aman tanpa membuang sebagian jaringan katup.
Penelitian dilakukan terhadap 29 pasien regurgitasi mitral berat dengan lesi P2 yang memenuhi kriteria inklusi di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta, pada tahun 2022 hingga 2023. Desain penelitian adalah double blind randomized controlled trial. Subjek dirandomisasi menjadi 2 grup. Grup perlakuan menjalani prosedur island flap rotation dan grup kontrol menjalani prosedur selain island flap rotation. Semua subjek menjalani pemeriksaan transesophageal echocardiography (TEE) pasca–tindakan sebelum pasien dipulangkan dari rumah sakit. Pengukuran meliputi coaptation length index (CLI), trans mitral mean gradient, dan vena contracta area (VCA3D). Mortalitas dan kejadian trombo-emboli dievaluasi pada bulan ke-3 pasca-operasi.
Karakteristik dasar kedua kelompok berimbang kecuali pada kelompok perlakuan yang mempunyai rerata usia lebih muda, dimensi LA sebelum operasi lebih kecil, durasi CPB lebih singkat dan LVESD yang lebih kecil secara bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada evaluasi TEE pasca-tindakan didapatkan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik antara nilai CLI pada kedua kelompok (p = 0,727) dengan nilai median kedua kelompok sama (37,7% vs. 35,6%). Tidak ada perbedaan bermakna antara nilai VCA3D pada kedua kelompok (p = 0,413), namun nilai median kelompok perlakuan lebih kecil dibanding dengan kelompok kontrol (0,03 cm2 vs. 0,06 cm2). Terdapat perbedaan bermakna antara nilai trans mitral mean gradient pada kedua kelompok (p = 0,017) dengan nilai median yang lebih rendah pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol (2,00 mmHg vs. 3,00 mmHg). Selain itu, tidak ditemukan adanya kejadian trombo-emboli dan mortalitas pada kedua kelompok.
Simpulan: Penggunaan metode baru island flap rotation technique pada kasus regurgitasi mitral berat lesi P2 terbukti memiliki efektivitas yang tidak berbeda dengan tehnik perbaikan katup mitral yang selama ini diterapkan dengan nilai trans mitral mean gradient yang secara bermakna lebih kecil dibanding kelompok kontrol dan nilai VCA3D yang lebih kecil separuh dibandingkan kelompok kontrol.

The re-operation rate after mitral valve repair reach up to 10% and 70% of degenerative valve disease because of procedure related. Island flap rotation technique is a novel mitral valve repair technique first performed by myself to accommodate the challenges of the unavailability of artificial chordae and to avoid tension in the tissue.
A total of 29 patients with severe mitral valve regurgitation (P2 lesions) who met the inclusion criteria in National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta, Indonesia were randomly assigned into 2 groups. Intervention group underwent island flap rotation technique procedure while the control group underwent procedures other than island flap rotation technique. Subjects were evaluated using transesophageal echocardiography (TEE) before discharged. Measurements taken include Coaptation Length Index (CLI), Trans Mitral Mean Gradient, and Vena Contracta Area 3D (VCA3D). Thromboembolic adverse event and mortality were evaluated up until three months postoperatively.
Baseline characteristics in both groups were similar except significantly lower subjects’ age, smaller pre-operative LA dimension, shorter CPB time and smaller LVESD in the intervention group compared to the control group. Postoperative TEE showed no significant difference in CLI between both groups (p = 0,727) with similar median values in both groups (37,7% vs. 35,6%), no significant difference in VCA3D between both groups (p = 0,413) with lower median value in the intervention group compared to the control group (0,03 cm2 vs. 0,06 cm2), and a significant lower trans mitral mean gradient in the intervention group (p = 0,017). There were no thromboembolic adverse event and mortality observed in both groups.
Conclusion: The use of island flap rotation technique as a novel method for severe mitral regurgitation with P2 lesions has been proven to be as effective as the current available mitral valve regurgitation repair technique with statistically significant lower trans mitral mean gradient value in the intervention group compared to the control group and VCA3D value being two-fold lower in the intervention group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gusti Reza Ferdiansyah
"ABSTRAK
Tujuan
Penelitian mengenai penggunaan analisis faktor risiko dan mortalitas pada operasi
jantung masih menjadi perdebatan dan merupakan area yang sedang berkembang.
Analisis faktor risiko dalam penilaian suatu hasil pembedahan jantung merupakan hal
yang tidak dapat dihindari. Ahli bedah dan rumah sakit memerlukan suatu hasil
penilaian faktor risiko terhadap risiko kejadian mortalitas perioperasi agar dapat
menentukan keputusan klinis. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan
Parsonnet dan European System for Cardiac Operative Risk Evaluation (EuroSCORE)
pada pasien yang menjalani perbaikan katup mitral dan memperkirakan faktor-faktor
risiko apa saja yang dapat mempengaruhi mortalitas perioperatif.
Pasien dan Metode
Dari bulan Januari 2010 sampai dengan bulan Desember 2012, 96 pasien terpilih yang
telah menjalani operasi perbaikan katup mitral menggunakan mesin jantung paru dan
telah dilakukan analisis faktor risiko berdasarkan Parsonnet score and EuroSCORE .
seluruh faktor risiko dianalisis dengan analisis deskriptif, tabulasi silang, Pearson Chi
Square, dan uji Anova, keduanya juga dianalisis dengan kurva ROC
Hasil
Angka mortalitas riil sebesar 5,2 %. Berdasarkan Parsonnet score, nilai prediksi
mortalitas sebesar 18,26 % sementara pada EuroSCORE nilai prediksi mortalitas
sebesar 3,68 %. Hasil keduanya signifikan secara statistik. Nilai prediksi EuroSCORE
lebih mendekati angka kematian riil bila dibandingkan Parsonnet score .
Kesimpulan
EuroSCORE lebih unggul dibandingkan dengan Parsonnet score .Nilai prediksi
EuroSCORE lebih mendekati angka kematian riil . EuroSCORE merupakan alat ukur
yang baik dalam analisis faktor risiko dan mortalitas pada operasi perbaikan katup
mitral

ABSTRACT
Objective
The use of risk stratified mortality studies for analyzing surgical outcome in cardiac
surgery is obviously a developing area. Unfortunately, outcomes research in valve
repair surgery has been relatively limited. The risk stratification in the assessment of
cardiac surgical results is inevitable. Surgeons and hospitals need availability of risk
assessment result which may influence decision-making. Without risk stratification,
surgeons and hospitals treating high-risk patients will appear to have worse results
than others. Our purpose was to compare the performance of risk stratification models,
Parsonnet and European System for Cardiac Operative Risk Evaluation (EuroSCORE)
in our patients undergoing mitral valve repair (MVr) and predict the risk factors that
influence inhospital mortality .
Patient and methods
From January 2010 to December 2012, 96 consecutive patients have undergone MVr
using cardiopulmonary bypass and scored according to Parsonnet score and
EuroSCORE algorithm. All risk factors were analyzed by descriptive analytic, cross
tabulation, Pearson Chi Square, and Anova test, both scores analyzed by ROC curve.
Results
Overall hospital mortality was 5,2 %. In Parsonnet model, predicted mortality was
18,26 % while in the EuroSCORE model, predicted mortality was 3,68 %. and it was
statistically significant for the Parsonnet score and EURO score . Parsonnet Score has
a higher sensitivity compared to the EuroSCORE. From the ROC curve, AUC for
Parsonnet score (0,905) higher than AUC for EuroSCORE (0,892). Problems with the
Parsonnet score of subjectivity, inclusion of many items not associated with mortality,
and the overprediction of mortality have been highlighted. Pre operative NYHA class,
age, ejection fraction , complication, etiology, EuroSCORE, and Parsonnet score
during mitral valve repair were statistically significant for affecting inhospital
mortality risk.
Conclusions
The EuroSCORE is more reasonable overall predictor of hospital mortality in our
patients undergoing MVr compared to Parsonnet score."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Redo cardiac surgeries are challenging cases with a myriad of influential factors, ranging from the patient's pathology to the whimsy of the previous surgeon. Redo Cardiac Surgery in Adults, 2nd Edition clearly outlines practical approaches, surgical techniques, and management of associated conditions such as perioperative stroke and acute kidney function. It covers the spectrum of redo cardiac operations, including coronary artery bypass, mitral valve repair, reoperation for prosthetic mitral valve endocarditis, aortic arch reoperation, descending and thoracoabdominal aortic reoperation, and reoperations following endovascular aortic repair. All redo cardiac surgeries present a complex array of challenges beyond what the original procedure demands. "
New York: Springer, 2012
e20426022
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Ketut Ratna Dewi Wijayanti
"Ibu hamil menjadisalah satu kelompok masyarakat yang rentan terinfeksi COVID-19 akibat adanya perubahan fisiologis tubuh. Beberapa penelitian menunjukkan pandemi COVID-19 memengaruhi perawatan selama kehamilan, meningkatkan angka kehamilan risiko tinggi, dan meningkatkan mortalitas padaibu dan bayinya. Menurut WHO, peningkatan jumlah persalinan dengan metode Sectio Caesaria (SC) berbanding lurus dengan peningkatan kejadian infeksi daerah operasi (IDO). Tujuan penelitian ini yaitu menganalisis faktor-faktor intrinsik (umur pasien, status gizi, anemia, kejadian perdarahan)dan faktor ekstrinsik ( pengetahuan tenaga kesehatan tentang pengendalian infeksi rumah sakit, kepatuah kebersihan tangan tenaga kesehatan, kepatuhan penggunaan alat pelindung diri tenaga kesehatan, lama waktu operasi dan penggunaan antibiotika profilaksis) yang menyebabkan kejadian IDO pada pasien pasca-SC selama pandemi COVID-19 di RSUD Bali Mandara. Penelitian menggunakan desain kuantitatif analitik korelasional cross-sectional. Sampel penelitian 183 tenaga kesehatan yang bertugas di ruang perawatan pasca- SC dengan menggunakan rule of thumb dan instrumen penelitiannya berupa kuisioner dan lembar observasi. Data faktor intrinsik diambil dari rekam medis (umur pasien, status gizi, anemia, serta kejadian perdarahan) kemudian dianalisis secara univariat dan bivariat. Dari variabel umur pasien rata-rata berusia 28,19 tahun (26,2–30,15) dengan pasien yang mengalami IDO cenderung lebih muda. Mayoritas subjek mengalami anemia, baik pada kelompok pasien yang mengalami maupun yang tidak mengalami IDO. OR pasien anemia yang mengalami IDO adalah 0,652 sehingga menunjukkan sifat protektif.
Dari faktor ekstrinsik diperoleh nilai median pengetahuan nakes tentang pengendalian infeksi sangat baik dengan rata-rata 90 (85,89–90,36). Selain itu, nilai mean kepatuhan kebersihan tangan nakes adalah 3,35 (3,23–3,47) yang berarti sangat baik. sementara nilai median dari faktor kepatuhan penggunaan APD nakes adalah 16 (14,66-15,59) dengan nilai maksimum 16. Pada lama operasi, dengan median yang didapat 42 (41,88–45,18) menit masih serupa dengan standar rerata lama SC (45 menit). Analisis Mann-Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peringkat lama waktu operasi pasien yang tidak signifikan pada pasien yang mengalami IDO pasca-SC dan yang tidak mengalami IDO.Pada penggunaan antibiotika profilaksis, sebagian besar pasien penelitian menggunakannya (RR = 0,16), menunjukkan faktor umur pasien menjadi faktor intrinsik dan kepatuhan pengunaan APD menjadi faktor ekstrinsik yang memengaruhi kejadian IDO pasien COVID-19 pasca SC tahun 2020 di RSUD Bali Mandara. Asuhan antenatal yang terfokus bekerja sama dengan fasilitas kesehatan primer,serta pemangku kebijakan dalam menyiapkan fasilitas kesehatan yang memadai bagi pasien dan tenaga kesehatan serta membangkitkan kesadaran untuk menjaga kesehatan ibu dan bayi oleh pasien dan keluarga merupakan salah satu upaya menurunkan angka IDO.

Pregnant women are one of the groups of people who are vulnerable to being infected with COVID-19 due to physiological changes in the body. Several studies have shown that the COVID-19 pandemic is affecting care during pregnancy, increasing the rate of high-risk pregnancies, and increasing mortality for both mother and baby. According to WHO, the increase in the number of deliveries using the C-Section (CS) method is directly proportional to the increase in the incidence of surgical site infections (SSI). The purpose of this study was to analyze intrinsic factors (patient age, nutritional status, anemia, bleeding incidence) and extrinsic factors (knowledge of health care workers in hospital infection control, hand hygiene compliance, compliance with the use of personal protective equipment, duration of surgery and use of prophylactic antibiotics). which caused the incidence of SSI in post-CS patients during the COVID-19 pandemic at the Bali Mandara Hospital. This study uses a cross-sectional correlational analytic quantitative design. The research sample was 183 health workers who served in the post-CS treatment room using the rule of thumb and research instruments are form of questionnaires and observation sheets. Intrinsic factor data were taken from medical records (patient age, nutritional status, anemia, and bleeding incidence) and then analyzed by univariate and bivariate. From the age variable, the average patient was 28.19 years (26.2–30.15) with patients experiencing SSI which tended to be younger. The majority of subjects in this study were anemic, both in the group of patients with and without SSI. The OR of anemic patients with SSI was 0.652, indicating protective properties.
From extrinsic factors, the median knowledge of health workers about infection control was very good with an average of 90 (85.89–90.36). In addition, the mean hand hygiene compliance of health workers was 3.35 (3.23–3.47) which means very good. while the median value of the compliance factor for the use of PPE for health workers is 16 (14.66- 15.59) with a maximum value of 16. In the length of operation, the median obtained is 42 (41.88-45.18) minutes, which is still similar to the standard length of time CS(45 minutes). The Mann-Whitney analysis showed that there was a non-significant difference in the ratings for the duration of surgery for patients with post-CS SSI and those without SSI. In the use of prophylactic antibiotics, most of the study patients used them (RR = 0.16), indicating a factor The patient's age is an intrinsic factor and compliance with the use of PPE is an extrinsic factor that affects the incidence of SSI in post-CS COVID-19 patients in 2020 at the Bali Mandara Hospital. Antenatal care that focuses on collaborating with primary health facilities, as well as policy makers in preparing adequate health facilities for patients and health workers as well as raising awareness to maintain maternal and infant health by patients and families is one of the efforts to reduce SSI rates.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sungkono
"Low cardiac output syndrome (LCOS) merupakan komplikasi post operasi Coronary Artery Bpass Graft (CABG). Konsekuensi dari LCOS adalah terjadinya kerusakan organ-organ vital dan berakhir dengan multiple organ failure. Tujuan penelitian untuk mengidentifikasi faktor-faktor resiko terjadinya LCOS post operasi CABG. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional retrospektif dengan tehnik non-probability sampling pada 195 pasien post operasi CABG tahun 2020 di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Analisis data menggunakan uji Chi Square dan analisis multivariat dengan regresi logistic. Hasil LCOS post operasi CABG hari pertama terjadi pada 124 pasien (63,6%). Faktor resiko meliputi: balance cairan intraoperasi positif (OR: 7,25), tehnik operasi on-pump (OR: 6,97), jenis kelamin perempuan (OR: 4,35), kadar kalium tidak normal (OR: 3,41), obesitas (OR: 2,28), penurunan fungsi ginjal (OR: 2,18), hipotermi (OR: 2,18), LVEF < 40% (OR: 2,10), dan menderita DM (OR: 1,83). Pengembangan form pengkajian berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya LCOS penting dilakukan untuk meningkatkan kewaspadaan dan mencegah terjadinya komplikasi.

Low cardiac output syndrome is a postoperative complication of Coronary Artery Bpass Graft. The consequence of LCOS is the occurrence of damage to vital organs and ends with multiple organ failure. The aim of the study was to identify the risk factors for LCOS after CABG surgery. This study used a retrospective cross-sectional design with a non-probability sampling technique on 195 post-CABG patients in 2020 at Harapan Kita Hospital. Analysis using Chi Square test and multivariate analysis with logistic regression. The results of the first day postoperative LCOS CABG occurred in 124 patients (63,6%). Risk factors included: positive intraoperative fluid balance (OR: 7.25), on-pump surgery technique (OR: 6.97) , female gender (OR: 4.35), abnormal potassium levels (OR: 3.41), obesity (OR: 2.28), decreased renal function (OR: 2.18), hypothermia (OR: 2.18), LVEF < 40% (OR: 2.10), and DM (OR: 1.83). The development of an assessment form based on the factors that influence of LCOS is important to increase awareness and prevent complications."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Yanti Hidayat
"

Infeksi Daerah Operasi (IDO) merupakan salah satu infeksi terkait pelayanan kesehatan yang dapat terjadi pada pasien yang menjalani operasi. Salah satu upaya pencegahan terjadinya infeksi daerah operasi adalah dengan melakukan penerapan care bundle infeksi daerah operasi. Penerapan care bundle dianggap patuh apabila elemen care bundle dilakukan secara menyeluruh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan penerapan care bundle IDO dengan kejadian infeksi daerah operasi (IDO) di Rumah Sakit Fatmawati tahun 2023. Desain penelitian ini dengan menggunakan studi kasus kontrol dimana pengambilan data secara retrospektif dengan menggunakan sampel 388 dari data surveilans infeksi Healthcare Associated Infections (HAIs) dan data audit penerapan care bundle IDO Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit Fatmawati, terdiri dari kelompok kasus 97 terjadi IDO dan kelompok kontrol 291 tidak terjadi IDO. Analisa data dilakukan dengan menggunakan regresi logistik. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa penerapan care bundle tidak patuh memiliki risiko 1,66 kali terjadi infeksi daearah operasi (IDO) dibandingkan dengan penerapan care bundle  patuh dengan (OR=1,66; 95% CI: 1,007-2,735) dan terbukti signifikan secara statistik  dengan p-value 0,046 (<0,05) setelah dikontrol oleh variabel umur dan variabel klasifikasi luka. Variabel kovariat yang juga berhubungan terhadap kejadian infeksi daerah operasi (IDO) di Rumah Sakit Fatmawati adalah umur ≥ 60 tahun berisiko 2,05 kali terjadi infeksi daerah operasi (IDO) dibandingkan umur < 60 tahun (OR= 2,05; 95% CI=1,08-3,89) dan variabel klasifikasi luka operasi terkontaminasi – kotor berisiko 4,48 kali terjadi infeksi daerah operasi (IDO) dibandingkan dengan luka bersih – bersih terkontaminasi (OR= 4,48; 95% CI=1,93-10,42). Hasil penelitian ini dapat juga menjadi masukan bagi Rumah SakitFatmawati untuk dapat lebih meningkatkan kepatuhan penerapan bundle dalam upaya pencegahan infeksi daerah operasi (IDO)

 


Surgical Site Infection (SSI) is one of the health care Associated infections that can occur in patients undergoing surgery. One effort to prevent surgical site infections (SSI) is to implement surgical site infection care bundle. The implementation of care bundle is considered compliant if the care bundle elements are carried out thoroughly. This study aims to determine the relationship between the implementation of SSI bundle care and the incidence of surgical site infections (SSI) at Fatmawati Hospital in 2023. This research design uses a case control study where data is collected retrospectively using a sample of 388 from Healthcare Associated Infections (HAIs) infection surveillance data, and audit data on the implementation of the SSI care bundle of the Fatmawati Hospital Infection Prevention and Control Committee, consisting of a group of 97 cases where SSI occurred and a control group of 291 where SSI did not occur. Data analysis was carried out using logistic regression. The results of this study found that implementing non-compliant care bundle had a 1.66 times risk of surgical site infection (SSI) compared to implementing compliant care bundle with an (OR=1,66; 95% CI: 1,007-2,735)  and was proven to be statistically significant with a p-value 0.046 (<0.05) after being controlled by age variables and wound classification variables. Covariate variables that are also related to the incidence of surgical site infection (SSI) at Fatmawati Hospital are age ≥ 60 years having a 2.05 times risk of surgical site infection (SSI) compared to age < 60 years (OR= 2,05; 95% CI=1,08-3,89) and The classification variable for contaminated - dirty surgical wounds has a 4.48 times risk of surgical site infection (SSI) compared to clean - clean contaminated wounds (OR= 4,48; 95% CI=1,93-10,42). The results of this research can also be input for Fatmawati Hospital to further improve compliance with bundle implementation in efforts to prevent surgical site infections (SSI).

 

 

"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eunike Ita Susanti Pramono Widjojo
"Latar belakang: Operasi jantung membutuhkan larutan kardioplegia untuk menghentikan jantung. Saat ini sebagian besar larutan kardioplegia menggunakan mekanisme depolarisasi membran yang berisiko menyebabkan gangguan keseimbangan ion transmembran, aritmia, vasokonstriksi koroner, gangguan kontraktilitas, dan sindrom curah jantung rendah. Menunjukkan proteksi miokardium masih belum optimal. Henti jantung melalui polarisasi membran secara teori dapat memberikan proteksi miokardium yang lebih baik.
Tujuan: Diketahui kualitas proteksi miokardium henti jantung terpolarisasi dibandingkan dengan henti jantung terdepolarisasi.
Metode: Tinjauan sistematik dengan menerapkan protokol PRISMA-P. Data didapatkan melalui pencarian dalam basis data Cochrane Library, PubMed, Scopus, ScienceDirect, dan Embase.
Hasil: Dari penelusuran diperoleh empat studi yang memenuhi kriteria. Tiga studi dengan desain uji acak terkontrol, satu studi dengan desain kohort retrospektif. Jumlah sampel bervariasi dari 60 sampai 1000 subjek. Kualitas proteksi miokardium dinilai dari kejadian aritmia pascaoperasi, infark miokardium pascaoperasi, dan sindrom curah jantung rendah pascaoperasi. Satu studi melaporkan angka kejadian aritmia pascaoperasi yang lebih rendah secara bermakna pada kelompok henti jantung terpolarisasi (p 0,010). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada kejadian infark miokardium pascaoperasi. Tiga studi melaporkan angka kejadian sindrom curah jantung rendah pascaoperasi yang lebih rendah pada kelompok henti jantung terpolarisasi namun tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Henti jantung terpolarisasi berpotensi memberikan kualitas proteksi miokardium yang lebih baik dibandingkan dengan henti jantung terdepolarisasi.

Background: Cardioplegia is needed in cardiac surgery to arrest the heart to achieve a quiet and bloodless field. Depolarized cardiac arrest is widely used despite the risk of ionic imbalances, arrhythmias, coronary vasoconstriction, contractility dysfunction, and low cardiac output syndrome leading to suboptimal myocardial protection. Polarized cardiac arrest has a more physiological mechanism to arrest the heart, thus giving better cardioprotection qualities.
Objective: To assess the myocardial protection quality of polarized cardiac arrest compared with depolarized cardiac arrest.
Method: Systematic review with PRISMA-P protocol. The literature search was performed using Cochrane Library, PubMed, Scopus, ScienceDirect, and Embase databases.
Result: Three randomized controlled trials and one retrospective cohort study were identified, with sample sizes varied between 60 to 1000 subjects. The quality of myocardial protection was assessed from postoperative arrhythmias, postoperative myocardial infarction, and postoperative low cardiac output syndrome. One study reported significantly lower postoperative arrhythmias in the polarized arrest group (p 0.010). There were no differences in postoperative myocardial infarction between the two intervention groups. Three studies reported lower postoperative low cardiac output syndrome in the polarized arrest group although not statistically significant.
Conclusion: Polarized cardiac arrest may give better myocardial protection than depolarized cardiac arrest.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Turnip, Chaisari Maria M.
"Latar belakang: Anomali Ebstein membutuhkan tindakan pembedahan sebagai tata laksana definitif. Pilihan tindakan pembedahan yang dapat dilakukan adalah perbaikan biventrikular dan nonbiventrikular (1 1⁄2 ventrikel dan univentrikular). Saat ini belum didapatkan algoritma dan faktor prediktor pemilihan tindakan pembedahan yang mencakup seluruh usia.
Tujuan: Mengetahui karakteristik pasien yang menjadi faktor prediktor dalam pemilihan tindakan pembedahan pada penderita anomali Ebstein dan keluarannya.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan data yang diambil secara total sampling dari pasien anomali Ebstein yang menjalani operasi di Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita sejak Januari 2010–Desember 2023. Variabel bebas yang diteliti adalah usia, aritmia, fungsi ventrikel kanan, regurgitasi trikuspid, cardiothoracic ratio, jarak pergeseran daun katup septal trikuspid, dan skor GOSE, yang distratifikasi berdasarkan tindakan pembedahan yang dilakukan berupa perbaikan biventrikular dan nonbiventrikular terhadap variabel dependen berupa mortalitas.
Hasil: Sebanyak 83 subjek dalam penelitian ini, 43 (51,8%) subjek menjalani perbaikan biventrikular dan 40 (48,2%) subjek menjalani perbaikan nonbiventrikular. Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam kejadian mortalitas di kedua kelompok perbaikan (p = 0,127). Pada kelompok yang menjalani perbaikan biventrikular, terdapat hubungan yang bermakna secara statistik pada subjek yang mengalami disfungsi ventrikel kanan (p = 0,045, RR 5,1, IK 95%: 1,29-20,45), skor GOSE tinggi (p = 0,042, RR 5,17, IK 95%: 1,08-24,61), dan rerata jarak pergeseran daun katup trikuspid lebih tinggi (p = 0,014) dengan kejadian mortalitas. Pada kelompok yang menjalani perbaikan nonbiventrikular, tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada seluruh variabel yang diteliti terhadap kejadian mortalitas. Nilai titik potong jarak pergeseran daun katup trikuspid untuk memprediksi kejadian mortalitas pada perbaikan biventrikular adalah 43,5 mm/m2, dengan sensitivitas 83,3% dan spesifisitas 94,6%.
Simpulan: Jarak pergeseran daun katup septal trikuspid berhubungan dengan risiko kejadian mortalitas pada perbaikan biventrikular dan didapatkan nilai titik potong yang baik untuk memprediksi kejadian mortalitas pada perbaikan biventrikular.

Background: Ebstein anomaly require surgical intervention as definitive treatment. The option for surgical intervention are biventricular repair and non-biventricular repair (one and half ventricle and univentricular). Currently, there is no algorithm and predictors in choosing surgical intervention that could be applicable in all range of age.
Purpose: To identify patient characteristics that can be used as predictors in choosing surgical intervention in Ebstein anomaly and its outcome.
Methods: Retrospective cohort study with total sampling of patients with Ebstein anomaly undergoing surgical intervention at National Cardiovascular Center Harapan Kita from January 2010 until Desember 2023. Independent variables studied were age, arrythmia, right ventricle function, tricuspid regurgitation, cardiothoracic ration, tricuspid septal leaflet displacement, and GOSE score, which were stratified based on the surgical intervention of biventricular or non-biventricular repair, and the dependent variable was mortality.
Result: Out of 83 subjects included in this study, 43 (51.8%) subjects underwent biventricular repair and 40 (48.2%) subject underwent non-biventricular repair. No statistically significant difference were found associated with mortality in both surgical repair group (p = 0.127). In biventricular repair group, subjects with right ventricle dysfunction (p = 0.045, RR 5.1, 95% CI: 1,29-20,45), high GOSE score (p = 0.042, RR 5.17, 95% CI: 1,08-24,61), and higher mean of tricuspid septal leaflet displacement (p = 0,014) has statistically significant association with incidence of mortality. In non- biventricular repair group, all variables have no statistically significant association with incidence of mortality. Tricuspid septal leaflet displacement cut-off point value of 43.5 mm/m2 is best to predict the occurrence of mortality in biventricular repair, with 83.3% sensitivity and 94.6% specificity.
Conclusion: Tricuspid septal leaflet displacement was associated with the occurrence of mortality in biventricular repair and good cut-off point value was obtained to predict mortality in biventricular repair.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rasha Nareswari Nurharyani
"Bedah jantung merupakan tindakan yang berisiko tinggi menyebabkan kecacatan atau bahkan mortalitas jika dibandingkan dengan disiplin bedah lainnya, terlebih pada kasus jantung bawaan yang memiliki kompleksitas tinggi. Untuk itu, informed consent berperan penting sebagai pondasi tindakan medis yang memberikan pelindungan hukum bagi pasien anak dan dokter, khususnya dokter jantung anak dan dokter bedah jantung anak. Dengan metode penelitian doktrinal menggunakan pendekatan analitis, penelitian ini menganalisis mengenai kedudukan hukum informed consent serta pelindungan hukum yang diberikan pada tindakan bedah jantung anak dengan metode Open Heart Surgery. Dapat disimpulkan bahwa pada pasien anak, pemberian informed consent wajib didampingi oleh orang tuanya dan pengambilan keputusan pada suatu tindakan medis harus diputuskan secara bersama antara anak dengan orang tua melalui komunikasi yang efektif. Hal ini sebagai wujud penghargaan evolving capacities of the child dan hak anak untuk berpartisipasi. Selain itu, informed consent dapat menjadi alasan penghapus pidana dan alat bukti sah di pengadilan, sehingga dokter tidak dapat dituntut ataupun digugat selama terbukti tidak ada kelalaian dan menjalankan tindakan sesuai informed consent. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia sebaiknya menyempurnakan Permenkes 290/2008 dengan menambahkan ketentuan yang spesifik mengatur consenting age bagi anak. Informed consent sebagai kerangka acuan tindakan medis harus dipatuhi oleh dokter maupun pasien. Adapun, penyebab pasti PJB harus diteliti lebih lanjut guna menerapkan upaya preventif, serta diperlukan pengadaan rumah sakit khusus jantung secara merata di Indonesia.

Heart surgery is a high-risk procedure that can result in disability or even mortality compared to other surgical disciplines, specifically for congenital heart disease that have such high complexity. Therefore, informed consent plays a crucial role as the foundation of medical action, providing legal protection for both pediatric patienst and doctors, namely pediatric cardiologist and pediatric cardiac surgeons. Using doctrinal research methods with an analytical approach, this study analyzes the legal status of informed consent and the legal protection provided for pediatric heart surgery using the Open Heart Surgery method. It can be concluded that for pediatric patients, the granting of informed consent must be accompanied by the parents, and decisions regarding medical procedures must be made jointly between the child and the parents through effective communication. This reflects respect for the evolving capacities of the child and the children’s rights of participation. Additionally, informed consent can serve as a justification for exoneration from criminal liability and as valid evidence in court, meaning that doctors cannot be prosecuted or sued as long as there is no negligence and the procedure is carried out in accordance with the informed consent. Therefore, the Government of Indonesia should refine Regulation of the Minister of Health No. 290/2008 by incorporating specific provisions regarding the consenting age for children. Informed consent, as a reference framework for medical procedures, must be adhered to by both doctors and patients. Furthermore, the exact causes of congenital heart defects (CHD) should be further investigated to implement preventive measures, and the establishment of specialized cardiac hospitals should be evenly distributed across Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>