Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123051 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Sagung Seto, 2019
616.047 2 DAS
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Antonius Sarwono Sandi Agus
"Latar Belakang : Analgesia efektif dapat mengurangi morbiditas, mempercepat pemulihan, meningkatkan kondisi pasien dan mengurangi biaya rumah sakit. Teknik blok epidural sering digunakan untuk tatalaksana nyeri pascatorakotomi,namun beberapa keterbatasan ditimbulkan pada teknik ini. Teknik blok Paravertebral (PVB) dapat digunakan sebagai alternatif tatalaksana nyeri,pemasangan intraoperatif oleh dokter bedah Toraks Kardio Vaskular.
Metode : Penelitian eksperimental, consecutive sampling, 22 subjek, dilakukan torakotomi posterolateral elektif, di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta. Subjek dibagi menjadi kelompok 1 (PVB) dan kelompok 2 (epidural). Diberikan regimen anestesi blok yang sama di kedua kelompok. Skor nyeri VAS diukur saat pasien telah di ekstubasi, pada jam ke-24, 36, dan 48. Dilakukan pengukuran terhadap waktu mobilisasi duduk, komplikasi dan analgetik tambahan.
Hasil : Blok Paravertebral memberikan hasil lebih baik pada penilaian VAS jam ke-24 (p=0,029). Pada penilaian VAS jam ke-36 dan 48, tidak ada perbedaan signifikan dikedua kelompok. Pada pengamatan waktu mobilisasi didapakan kelompok1 lebih cepat mobilisasi (p=0,038). Pada pengamatan terhadap komplikasi dan penambahan analgetik tidak didapatkan perbedaan bermakna.
Kesimpulan : Teknik blok Paravertebral dengan kateter yang dipasang oleh dokter BTKV dapat digunakan dengan beberapa keuntungan untuk manajemen tatalaksana nyeri pada pasien pascatorakotomi.

Background : Analgesia can effectively reduce morbidity, recovery, emprove condition and reduce hospital cost. Epidural block is often used for pain treatment post thoracotomy, however, some limitation posed on this technique. Paravertebral block (PVB) can be used as an alternative to the treatment of pain, instalation intraoperatively by Cardio Vascular Thoracic Surgeon.
Method : Experimental research, consecutive sampling, 22 subjects, performed elective posterolateral thoracotomy, in General Hospital Persahabatan Jakarta. Subjects were divided into group 1 (PVB) and group 2 (epidural). Given same regimen block anesthesia in both groups. VAS pain scores measured when the patient has extubated, at 24 hr, 36, and 48. Do measures of mobilization time sitting, complication and additional analgetics
Results : PVB provides better result in VAS assessment 24 hr (p=0,029). On VAS assessment 36 hr and 48 h, there was no significant difference in both groups. Group 1 found faster mobilization (p=0,038). In observation of complications and additional analgetic not found significant differences
Conclusion : PVB with catheter, placed by surgeon can be used with multiple advantages for pain management in post thoraotomy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58826
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sagung Seto, 2019
616.12 ARI
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Pryambodho
"Latar belakang: Teknik CIEA untuk analgesia persalinan belum banyak digunakan dibandingkan teknik ILA yang sudah lebih populer. Secara teori teknik CIEA dapat memberikan analgesia yang lebih stabil dibandingkan ILA. Untuk itu dilakukan uji klinis prospektif untuk membandingkan keefektifan teknik CIEA menggunakan pompa infus portabel dengan teknik ILA sebagai kontrol.
Metode: Sebanyak 72 parturien yang memenuhi krnteria penerimaan dibagi secara randomisasi menjadi 2 kelompok yaitu 36 parturien mendapat teknik ILA menggunakan ropivakain 3,75mg plus martin 0,2mg sedangkan 36 Iainnya mendapat teknik CIEA menggunakan ropivakain O,15% plus fentanil 2 µglmL untuk analgesia persalinan. Dilakukan pencatatan berkala sejak sebelum tindakan sampai 12 jam pasca tindakan penelitian terhadap variabel-variabel visual analogue pain scale (VAPS), skor Bromage, efek samping yang ditimbulkan (hipotensi, gangguan buang air kecil, pruritus dan mual-muntah), lama persalinan, jenis persalinan, skor APGAR bayi yang dilahirkan, dan tingkat kepuasan parturien.
HasiI: Secara deskriptif teknik CIEA menghasilkan nilai median VAPS yang lebih rendah dibandingkan ILA untuk menit ke 30,60,120,300 dan kala II ( 2 vs 3; 1 vs 3,5 ; 2 vs 5; 2 vs 5; dan 3 vs 6). Teknik CIEA menghasilkan skor Bromage 0 yang lebih besar dibandingkan ILA namun secara statistik tidak berbeda bermakna (83,3% vs 77,8%, p>0,05). Teknik CIEA menghasilkan efek samping yang pada umumnya lebih sedikit dibandingkan teknik ILA (hipotensi 0% vs 6,3%; gangguan buang air kecil 26,7% vs 50,0%; pruritus 30,0% vs 28,1%; mual-muntah 63,3% vs 96,9%) namun secara statistik hanya efek samping mual-muntah yang berbeda bermakna (p<0,05). Lama persalinan kala I (230,54 menit) pada teknik CIEA Iebih panjang dibandingkan ILA (194,00 menit) namun tidak berbeda bermakna. Demikian pula halnya pada lama persalinan kala II (27,89 menit pada CIEA vs 38,47 menit pada ILA). Banyaknya persalinan pervaginam pada CIBA (77,8%) walaupun lebih kecil tetapi tidak berbeda bermakna dengan ILA (83,3%). Persalinan spontan pervaginam tanpa instrumenlasi pada CIEA (85,7%) lebih banyak dibandingkan ILA (76,7%) namun secara statistik juga tidak berbeda bermakna. Skor APGAR >7 pada menit pertama untuk bayi yang dilahirkan dengan teknik CIEA (94,4%) relatif sama dengan ILA (91,7%), sedangkan untuk skor APGAR menit kelima pads kedua kelompok tersebut semuanya >7 (100% vs 100%). Tingkat kepuasan parturien pada kelompok CIEA (92,9% puas sampai dengan puas sekali) juga tidak berbeda bermakna dengan kelompok ILA (86,7%).
Kesimpulan: Teknik CIEA lebih efektif untuk mengatasi nyeri persalinan sejak menit ke 30 pasca tindakan sampai dengan kala II dibandingkan teknik ILA.Teknik CIEA menghasilkan efek samping hipotensi, pruritus dan gangguan buang air kecil yang tidak berbeda bermakna dibandingkan ILA, sedangkan efek samping muaI-muntah pada CIEA Iebih rendah dibandingkan ILA dan berbeda bermakna. Teknik CIEA menghasilkan efek blok motorik, lama persalinan, jenis persalinan, skor APGAR bayi yang dilahirkan dan tingkat kepuasan parturien yang tidak berbeda bermakna dengan ILA.

Background; CIEA for labor analgesia is rarely done eventhough theoretically it could provide more stable level of analgesia compared with ILA as the most popular technique in Indonesia. This prospective randomized controlled trial compared the efectivity of CIEA using ambulatory infusion pump for labor analgesia with ILA as control.
Method: Seventy two parturients was enrolled according to criteria of inclusion and randomized into 2 groups, each had 36 parturients. One group received ILA using ropivacaine 3,75 mg plus morphin 0,2 mg and the other received CIEA using ropivacaine 0,15% plus fentanyl 2 .tglmL. Some variables were recorded from preanesthetic procedures to 12 hours post procedures, including visual analogue pain scale (VAPS), Bromage score, side effects (hypotension, retensio urine, pruritus, and nausea-vomiting), duration of labor, mode of labor, APGAR score of newborn, and the level of parturients' satisfaction.
Result: Descriptively, CIEA group showed smaller median value of VAPS at 30,60,120,300 minutes and second stage of labor, compared with ILA ( 2 vs 3; 1 vs 3,5 ; 2 vs 5; 2 vs 5; and 3 vs 6): CIEA group showed more parturient with Bromage score null than ILA group, but statistically indifferent (83,3% vs 77,8%, p>0,05). CIEA group showed less side effects than ILA group (hypotension 0% vs 6,3%; retensio urine 26,7% vs 50,0%; pruritus 30,0% vs 28,1%; nausea-vomiting 63,3% vs 96,9%), however only nausea-vomiting variable that showed significan difference (p<0,05). Duration of the first stage of labor (230,54 minutes) in CIEA group was longer but statistically indifferent with ILA group (194,00 minutes)_ Duration of the second stage of labor was also statistically indifferent (CIEA 27,89 minutes vs ILA 38,47 minutes). The number of vaginal delivery in CIEA group (77,8%) was less than ILA group (83,3%) but indifferent. The number of spontaneus vaginal delivery (uninstrumented) in CIEA (85,7%) was higher than ILA group (76,7%) but indifferent. The newborn's APGAR score more than 7 at the first minute in CIEA group (94,4%) looked similar to ILA group (91,7%), while the APGAR score more than 7 at the fifth minute for both groups are 100%. The level of parturients' satisfaction also showed indifferent (in CIEA group 92.9% parturients was satisfied to very satisfied vs ILA 86,7%).
Conclusion: CIEA technique was more efective than ILA to reduce labor pain from minute 30 post procedure to the second stage of labor. CIEA technique showed indifferent in hypotension, pruritus, and retensio urine, as side effects of labor analgesia compared with ILA, but CIEA produced significantly less nausea-vomitting than ILA. CIEA technique produced the same level of motoric blockade, duration of labor, mode of labor, newborn's APGAR score, and the level of parturients' satisfaction as ILA technique.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Lusiana Tantri
"Erector spinae plane (ESP) block merupakan metode anestesi regional baru dengan tingkat keamanan tinggi dan tingkat ambulasi yang baik, namun memiliki studi yang terbatas mengenai efektivitasnya. Hingga saat ini, bukti efektivitas teknik tersebut pada pasien pembedahan percutaneous nephrolitotomy (PCNL) masih terbatas. Teknik spinal adalah teknik anestesi regional yang paling banyak digunakan pada PCNL dan belum ada penelitian yang membandingkan efektivitas kedua teknik tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas blok ESP dibandingkan spinal sebagai teknik anestesi dan analgesia pada PCNL. Penelitian uji klinis tersamar tunggal dilakukan pada subjek yang menjalani PCNL. Pasien berusia 18 tahun dengan ASA 1-3 dan pertama kali menjalani PCNL diikutsertakan dalam penelitian. Pasien dengan single functional kidney, memiliki kontraindikasi pemberian obat anestesi lokal, gangguan kardiovaskular berat, hambatan komunikasi, nyeri kronis, atau hamil dieksklusi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan uji klinis terkontrol acak tersamar tunggal. Pasien dirandomisasi dengan cara random sampling menggunakan teknik randomisasi blok menjadi kelompok ESP dan spinal. Sebanyak 30 subjek (15 ESP dan 15 spinal) diikutsertakan dalam penelitian. Tidak ada perbedaan insiden konversi ke anestesi umum antar kelompok (20%% ESP vs. 0% spinal, p > 0,05). Tidak ada perbedaan kadar IL-6 plasma antar kelompok (p > 0,05). Didapatkan skala nyeri yang lebih tinggi saat bergerak saat pengukuran di ruang PACU, 6 jam, dan 24 jam pascabeda pada kelompok ESP (p < 0,05). Tidak ada perbedaan konsumsi opioid 24 jam pascabedah antar kelompok (median 60 mg ESP vs. 52,5 mg spinal, p > 0,05). Maka dari itu, blok erector spinae plane tidak lebih baik dibandingkan teknik spinal sebagai anestesi tunggal dan analgesia pascabedah pada PCNL.

Introduction: The erector spinae plane (ESP) block is a novel regional anesthetic method with high safety and good ambulation rate but has limited studies on its effectiveness. To date, evidence of the effectiveness of these techniques in surgical patients such as percutaneous nephrolitotomy (PCNL) is limited. Until now, spinal technique is still the most widely used regional anesthetic technique in PCNL. However, there are no studies comparing the effectiveness of the two techniques.
Aim: To compare the effectiveness of ESP block versus spinal as an anesthetic and analgesia technique in PCNL.
Methods: A single-blinded clinical trial study was conducted on subjects undergoing PCNL. Patients aged 18 years with ASA 1-3 and first undergoing PCNL were included in the study. Patients with a single functional kidney, contraindications to local anesthetics, severe cardiovascular disorders, communication barriers, chronic pain, or pregnancy were excluded. Patients were randomized using random allocation sampling into the ESP and spinal groups.
Results: A total of 30 subjects (15 ESP and 15 spinal) were included in the study. There was no difference in the incidence of conversion to general anesthesia between groups (20%% ESP vs. 0% spinal, p > 0.05). There was no difference in plasma IL-6 levels between groups (p > 0.05). There was a higher pain scale when moving when measured in the PACU, 6 hours, and 24 hours after the difference in the ESP group (p < 0.05). There were no differences in both groups regarding 24-hour postoperative opioid consumption (median 60 mg ESP vs. 52.5 mg spinal, p > 0.05).
Conclusion: The erector spinae plane block is not better than spinal block as a sole anesthesia and postoperative analgesia technique in PCNL.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fachrul Jamal Isa
"Telah dilakukan penelitian kekerapan nyeri kepala pada
pasien pasca seksio sesaria dengan analgesia spinal dengan
pensil] di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunku-
Sejumlah 100 orang pasien yang menjalani operasi seksio
sesaria baik elektif dan darurat dengan status fisis ASA III.
Pasien-pasien ini dibagi dalam dua kelompok [ I dan II].
Kelompok I mendapat jarum spinal 27 tajam, kelompok II mendapat
jarum spinal 27 tumpul [keduanya dari produk UNISIS].
Sebelum dilakukan analgesia spinal semua pasien mendapat
perlakuan yang sama yaitu dipasang jalur intravena dan
diberikan cairan beban ringer laktat sebanyak 500 ml. Kemudian
pasien dibaringkan dalam posisi lateral dikubitus dan
dilakukan pungsi lumbal [L2-3 atau L3-4] dengan pendekatan
tajam].
Setelah operasi semua pasien dibaringkan dalam posisi
datar [horizontal] selama 6 jam dan mendapat cairan rehidrasi
3000 ml/hari untuk hari pertama dan dilakukan wawancara
keluhan nyeri kepala pasca pungsi dura (NKPPD) pada hari
I,III,V, pasca operasi. Pada pasien tersebut juga ditanyakan
keluhan lain, khususnya yang menyertai keluhan NKPPD. Pada
penelitian ini tidak ditemukan komplikasi NKPPD pada operasi
seksio sesaria dengan mempergunakan jarum no.27 tajam maupun
27 tumpul (UNISIS).
Vll sumo Jakarta dan Rumah Sakit Boedi Kemuliaan Jakarta.
median dengan jarum yang dipilih secara acak [tumpul atau
memakai jarum no.27 tajam [Standard] dan 27 tumpul (UNISIS)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Susi Yuliawati
"Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang pengaruh kombinasi teknik relaksasi sistematik dan terapi analgesik terhadap rasa nyeri pasien pasca bedah abdomen di RS Haji Jakarta. Disain penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimental dengan pendekatan pretest posttest group design. Sampel berjumlah 46 orang yang diambil secara purposive sampling. Kelompok intervensi menerima terapi analgesik dan teknik relaksasi sistematik dan kelompok kontrol menerima analgesik standar. Peneliti mengajarkan teknik relaksasi sistematik lewat walkmann kepada pasien kelompok intervensi dan pasien mempraktikkan teknik tersebut pada periode preoperasi.
Setelah pembedahan pasien mendengarkan instruksi relaksasi melalui walkmann selama 15 menit, dua kali sehari selama dua hari. Pasien diinstruksikan untuk tidur telentang dalam posisi yang nyaman di tempat tidur, menutup kedua mata dan melemaskan bagian-bagian tubuh yang dimulai dari kaki, tungkai, paha dan terus bergerak ke bagian tubuh bagian atas hingga kepala. Pasien diajarkan untuk megendalikan nafas dan bersikap pasif agar merasakan relaksasi pada setiap langkah relaksasi. Pada akhir sesi, pasien diminta membuka mata dan tetap berbaring selama beberapa menit. Rasa nyeri diukur dengan menggunakan visual analogue scale (VAS). Evaluasi penelitian dilakukan pada hari kedua setelah intervensi.
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata rasa nyeri sebelum intervensi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol adalah berbeda tapi tidak bermakna (p=0,40), namun setelah intervensi terlihat berbeda secara bermakna antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p=0,004). Umur tidak mempengaruhi rasa nyeri pada pasien pasca bedah abdomen setelah mendapatkan intervensi analgesik ditambah teknik relaksasi sistematik (p=0,97), jenis kelamin berpengaruh terhadap rasa nyeri (p=0,008) dan jenis kelamin laki-laki merasakan nyeri lebih sedikit dibandingkan perempuan dan letak insisi mempengaruhi nyeri pasca bedah abdomen (p=0.09).
Rekomendasi hasil penelitian adalah perawat sebaiknya memberikan edukasi tentang cara mengatasi nyeri pasca pembedahan abdomen pada periode pre operasi agar pasien dapat melakukannya secara mandiri.

The aim of this study was to describe the effects of systematic relaxation technique combined to analgesic therapy on postoperative pain in post abdominal surgery patient in Haji Hospital. The design was an quasi-experimental with pretest-posttest group design. The subjects were forty six (n=46) patients undergoing abdominal surgery. The sampling methode was purposive sampling, a non probability sampling. The intervention group received analgesic and relaxation systematic technique. The control group was given analgesic routine. In the preoperative surgical ward, the researcher taught systematic relaxation to the subjects in intervention group with an introductory walkmann. Subjects practiced using the technique in the preoperative periode.
After surgery, subjects listened to relaxation technique on the walkmann during 15-minutes, two times a day for 2 days postoperatively. Patients were directed by walkmann instruction to lie down in comfortable position in bed, close their eyes, and relax each part of the body, starting with the feet, lower legs, hips and moving up to the head. Patient taught to control their breathing and to maintain a passive attitude and allow relaxation occuring at its own pace. At the end of the session, subjects were asked to open their eyes and lie quitely for a few minutes. Sensation of pain was assessed before and after the test on visual analogue scale (VAS).
No difference was found for pain before treatment using between the intervention group and control group (p=0,40). Changes in pain sensation after the test indicated significantly greater relief in the intervention group compared to the control group. Posttest pain scores were significantly lower in the treatment groups than in the control group (p=0,004). Age did not affect pain sensation in post abdominal surgery patient after given anelgesic intervention combined with systematic relaxation technique (p=0,97). Sex affected pain sensation (p=0,008) and men may be less postoperative pain compared to women, and incisions site did not affected post abdominal surgery pain (p=0,09).
It's recommended to give education technique to alleviate pain in preoperative periode thus the patient can perform it independently after abdominal surgery.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sarwoto
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991
658 SAR d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hadari Nawawi
Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993
369 HAD d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>