Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 218576 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ayu Anezka Chandradevi
"Utang Pajak merupakan utang yang sifatnya istimewa, yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberikan kedudukan yang paling tinggi diantara kreditur lainnya, karena itu negara disebut memiliki hak mendahulu atas pelunasan utang pajak. Dalam kepailitan, penerapan dari Hak Mendahulu atas utang pajak ini seringkali dikesampingkan sehingga mengakibatkan pelanggaran pada Undang-Undang Perpajakan. Selain Utang pajak, Penerima Jaminan Fidusia juga memiliki Hak Mendahulu Jaminan Fidusia atas pelunasan piutang dari penjualan objek jaminan fidusia. Sehingga apabila keduanya dihadapkan di dalam suatu perkara kepailitan, maka akan terjadi benturan diantara kedua Hak Mendahulu. Melalui studi kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 72PK/Pdt.Sus-Pailit/2015, akan dilakukan analisis terhadap penerapan Hak Mendahulu Negara atas utang pajak dan Hak Mendahulu Jaminan Fidusia di dalam putusan tersebut dengan juga menganalisis pertimbangan hakim atas penerapan kedua hak mendahulu ini. Pokok permasalahan yang akan dibahas di dalam tulisan ini adalah mengenai kedudukan KPP-PMAD dan Tennan Metal selaku kreditur dengan hak mendahulu di dalam kasus kepailitan PT. Yinchenindo Mining Industry dan penerapan Hak Mendahulu di dalam Putusan a quo. Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menelusuri sumber data sekunder dengan menggunakan literatur seperti peraturan perundang-undangan dan buku sebagai bahan untuk menganalisis. Hasil penelitian menyatakan bahwa kedudukan KPPPMAD adalah sebagai kreditur preferen walau tidak diatur secara eksplisit di dalam UU Kepailitan dan PKPU sedangkan Tennan metal sebagai Kreditur separatis kemudian terkait dengan penerapan Hak Mendahulu di dalam Putusan baik Hak Mendahulu negara atas utang pajak maupun Hak Mendahulu atas Jaminan Fidusia tidak diterapkan di dalam putusan ini atau dengan kata lain dikesampingkan. Penerapan keduanya secara bersamaan susah untuk dilakukan di dalam kondisi kepailitan yang harta pailitnya tidak cukup untuk melunasi utang-utang para kreditur

Based on legislation Tax Debts are given the highest position among other creditors, therefore the state is said to have the right of precedence over the repayment of tax debts or this right could also be referred as tax claim priority. In the event of bankruptcy, the application of the tax claim priority is often disregarded, resulting in violations of the Tax Law. In addition to the tax debt, the Fiduciary Beneficiary also has a Fiduciary Guarantee Priority on the repayment from the execution of the object of the fiduciary guarantee. So that if both are faced in a bankruptcy case, there will be a collision between the two Priority Rights. Through a case study of Supreme Court Decision Number 72PK/Pdt.SusBankruptcy/2015, an analysis will be made of the application of the Tax Priority Claim over tax debts and the Fiduciary Guarantee Priority Right in the decision by also analyzing the judge's consideration of the application of these two Priority Rights. The matter discussed in this paper is the position of KPP-PMAD and Tennan Metal as creditors with Priority Rights in the bankruptcy case of PT Yinchenindo Mining Industry and the application of Priority Rights in Supreme Court Decision a quo. This research is using juridical normative method by using secondary data as the main source of this research. Based on the results of the analysis, it is known that although the position of KPP-PMAD is not determined inside Bannkcruptcy law but it is referred as a preferred creditor and Tennan Metal is as a separatist creditor, then related to the application of the Priority Rights in the court decision, both rights are not applied in this court decision. Applying both simultaneously is difficult in bankruptcy situations where the bankruptcy estate is insufficient to pay off creditors' debts"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devia Anindita Putri
"Kepailitan adalah debitur yang sedang berada dalam keadaan kesulitan keuangan untuk membayar utangnya kepada kreditur dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan. Karyawan/pekerja ialah salah satu pihak yang pada kala suatu perusahaan dipailitkan, namun seringkali pengusaha mengabaikan hak konstitusionalnya karyawan/pekerja tersebut dalam proses kepailitan. Yang menjadi latar belakang masalah dalam penulisan ini yaitu hak-hak karyawan dalam perkara kepailitan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku dan kedudukan hak-hak karyawan terhadap tagihan pajak menurut putusan Pengadilan Niaga. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah metode yuridis normatif. Dan teori hukum yang digunakan adalah teori kepastian hukum dan perlindungan hukum. Hak-hak karyawan/pekerja untuk melindungi para pekerja dalam hubungan kerja serta memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pekerja. Dalam ketentuan UU ketenagakerjaan, dijelaskan mengenai kesejahteraan karyawan/pekerja untuk memenuhi kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat rohaniah dan jasmaniah untuk meningkatkan produktivitas kerja yang aman dan sehat. Dalam ketentuan KUHPerdata juga dijelaskan mengenai hak pekerja sebagai kreditur terhadap piutangnya diberikan keistimewaan. Kedudukan hak karyawan terhadap tagihan utang pajak/hak negara yang sebelum dinyatakan putusan MK No. 67/PUUXI/ 2013, utang pajak/negara memiliki kedudukan yang lebih tinggi sebagai kreditur sesuai dengan peraturan UU KUP. Dalam ketentuan tersebut dianggap Tagihan Utang Pajak/Negara sebagai kreditur preferen yang mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajaknya dan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Sedangkan setelah adanya putusan MK No. 67/PUU-XI/2013 tersebut yang memberikan perlindungan terhadap hak pekerja, sehingga memberikan hak istimewa untuk para karyawan/pekerja mendapatkan hak yang lebih tinggi dibanding kreditur lain, sehingga dalam pembayaran utangnya didahulukan dan berada diatas kreditur separatis.

Bankruptcy is a debtor who is in a state of financial difficulty to pay his debts to creditors declared bankrupt by a court decision. Employee/worker is one of the parties when a company is bankrupt, but often employers ignore the constitutional rights of the employee/worker in the bankruptcy process. The background of the problem in this paper is the rights of employees in bankruptcy cases according to the applicable laws and regulations and the position of employee rights against tax bills according to the decision of the Commercial Court. The research method used in this thesis is the normative juridical method. And the legal theory used is the theory of legal certainty and legal protection. The rights of employees/workers to protect workers in employment relationships and provide legal certainty guarantees to workers. In the provisions of the Manpower Act, it is explained about the welfare of employees/workers to meet spiritual and physical needs and/or needs to increase work productivity safely and healthily. In the provisions of the Civil Code, it is also explained that the rights of workers as creditors to their receivables are given privileges. The position of the employee's rights to the claim for tax debt/state rights before the Constitutional Court's decision number 67/PUU-XI/2013, tax/state debt has a higher position as a creditor by the provisions of the KUP Law. In this provision, it is considered that the Claim for Tax/State Debt is considered as a preferred creditor who has pre-emptive rights for the tax claim and has a higher position. Meanwhile, after the decision of the Constitutional Court number 67/PUU-XI/2013 which protects workers' rights, thus providing special rights for employees/workers to get higher rights than other creditors, so that in paying their debts they take precedence and are above the separatist creditors."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Olivia Rachel Anggraeni
"Renvoi prosedur dalam perkara kepailitan merupakan suatu lembaga penyelesaian terhadap perselisihan antara kreditor, debitor pailit, dengan kurator atas daftar piutang yang telah dibuat oleh kurator. Perselisihan ini timbul pada proses pencocokan piutang dan sering terjadi jika kurator menolak suatu nilai atau sifat/peringkat piutang yang telah diajukan oleh kreditor pada masa pengajuan tagihan. Pasal 127 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang secara tegas mengatur bahwa proses pemeriksaan perkara renvoi prosedur dilaksanakan secara sederhana. Maksud dari kata “sederhana” yang terkandung dalam aturan tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut dalam ketentuan Hukum Acara Renvoi Prosedur pada UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang maupun Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 109/KMA.SK/IV/2020 tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Putusan Nomor 2/Pdt.Sus-Renvoi Prosedur/2021/PN Niaga Jakarta.Pst., merupakan salah satu putusan yang dalam bagian pertimbangan hakimnya telah menerapkan ketentuan Pasal 127 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hasil penelitian yuridis-normatif ini menjelaskan bahwa pemeriksaan secara sederhana dalam renvoi prosedur dilaksanakan tanpa adanya tahap eksepsi (kecuali eksepsi kewenangan mengadili), replik, duplik, rekonvensi, intervensi, serta pembatasan alat bukti yang dapat diajukan. Penulis memandang bahwa sudah saatnya diatur makna dan penjelasan dari pemeriksaan secara sederhana dalam renvoi prosedur agar adanya kejelasan mengenai tahapan beracara serta kepastian proses renvoi prosedur bagi para pihak.

Renvooi procedure in bankruptcy cases is an establishment for settling disputes between creditors, bankrupt debtors and the curator over list of credits made by the curator. This dispute arises in the process of claim adjustment and often occurs when the curator rejects a value or nature/ranking of credits that has been submitted by creditors at the time of submission of the claim. Article 127 paragraph (3) Law no. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Debt Payment explicitly stipulates that the process of examining renvooi procedure cases is carried out in a simple examination. The meaning of the word "simple" contained in the paragraph is not further explained either in Law no. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Debt Payment nor Decree of the Chief Justice of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 109/KMA.SK/IV/2020 on Enforcement of the Handbook for Settlement of Bankruptcy Cases and Suspension of Debt Payment. Court Verdict Number 2/Pdt.Sus-Renvoi Procedure/2021/PN Niaga Jakarta.Pst., is one of the verdicts in which the judge’s consideration section has applied Article 127 paragraph (3) Law no. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Debt Payment. The results of this juridical-normative research explains that simple examination of renvooi procedure is carried out without any exception stages (except exception to the authority to adjudicate), reply, rejoinder, reconvention, intervention, and limitations to the submitted evidence. Writer suggest that it is time to regulate the meaning and explanation of simple examination in renvooi procedure so that there is explication regarding the stages of the proceeding as well as certainty of the renvooi procedure process for the parties."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fellicia Rahma Fitri
"Skripsi ini membahas mengenai pelaksanaan eksekusi jaminan benda tetap berupa hipotik kapal laut dan hak tanggungan atas tanah dalam hal kepailitan. Pada umumnya pelaksanaan eksekusi harta pailit dilakukan oleh Kurator sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK-PKPU”). Akan tetapi UUK-PKPU memberikan kewenangan kepada kreditur pemegang hak jaminan untuk dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, dimana ketentuan Pasal tersebut sejalan dengan diakuinya hak separatis dari pemegang jaminan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pelaksanaan eksekusi hipotik kapal laut dalam kepailitan PT Putrajaya Offshore Lines dan pelaksanaan eksekusi hak tanggungan atas tanah dalam kepailitan PT Kepsonic Indonesia, masing-masing pelaksanaan eksekusinya memiliki hambatan dan resiko tersendiri. Hambatan dan resiko tersebut patut untuk diulas lebih mendalam dikarenakan kedua obyek jaminan tersebut merupakan obyek yang sering dijadikan jaminan pelunasan utang kepada bank dan dapat ditemui dalam beberapa kasus kepailitan. Untuk itu penulis akan meneliti bagaimana pelaksanaan eksekusi benda tetap dan hambatan-hambatan yang dimiliki dalam kasus kepailitan PT Putrajaya Offshore Lines dan kasus kepailitan PT Kepsonic Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif. Dari hasil penelitian, penulis mendapatkan bahwa pelaksanaan eksekusi jaminan benda tetap berupa hipotik kapal laut dan hak tanggungan atas tanah, masing-masing memiliki resikonya tersendiri sehingga kreditur pemegang jaminan perlu memperhitungkan potensi ancaman dan resiko yang dapat muncul dalam pelaksanaan eksekusi tersebut, sebelum memutuskan untuk melakukan eksekusi sendiri dengan pembatasan-pembatasan sebagaimana diatur dalam UUK-PKPU atau melalui kurator.

This thesis discusses about the execution of fixed objects securities in the form of hypothec over ships and security right over lands in the event of bankruptcy. In general, curator is authorized to perform the execution of bankruptcy assets in accordance with the Law No. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payments (“Bankruptcy Law”). However, the Bankruptcy Law gives an authority to the secured creditors to execute their rights as if the bankruptcy does not occur. In the execution of Hypothec over Ships of PT Putrajaya Offshore Lines’s bankruptcy case and the execution of security right over lands and buildings of PT Kepsonic Indonesia’s bankruptcy case, each execution has its own obstacles and risks. Such obstacles and risks are ought to be reviewed because both of security objects are often to be used as security under loan agreement with the bank and such security objects are often to be found in several bankruptcy cases. Therefore, the writer hereby researches on how the execution of the fixed assets and its obstacles in the case of PT Putrajaya Offshore Lines and PT Kepsonic Indonesia’s bankruptcy. The method of the research is using literature method based on juridical normative basis. The writer found that as the result of this research, the implementation of execution of fixed assets securities either in the form of mortgage over ships or security right over lands and buildings have its own risks and therefore the secured creditor needs to calculate the potential obstacles and risks before deciding to perform the execution by itself with the limitation as stipulated in the Bankruptcy Law or deliver it to the curator.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S58714
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raisha Priskilla Romauli
"Skripsi ini membahas mengenai syarat kepailitan di Indonesia yang terdapat dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dan juga syarat kepailitan di Singapura serta perbedaan diantara keduanya, dan bagaimana penerapan syarat-syarat tersebut pada kasus kepailitan PT Telkomsel. Pada bagian analisis akan dibahas mengenai penerapan syarat kepailitan dalam kasus kepailitan PT Telkomsel dalam Putusan Pengadilan Niaga Nomor 48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst dan juga Putusan Mahkamah Agung Nomor 704 K/Pdt.Sus/2012 dimana putusan pailit terhadap PT Telkomsel dibatalkan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan studi kepustakaan sebagai cara menganalisis kasus yang sudah dalam bentuk putusan pengadilan. Dari hasil penelitian, penulis mendapat kesimpulan bahwa perbedaan antara syarat kepailitan di Indonesia dan Singapura terkait jumlah minimal kreditor, jumlah minimal utang, dan keadaan tidak mampu membayar utang, serta bahwa penulis setuju dengan putusan Mahkamah Agung yang membatalkan kepailitan PT Telkomsel karena Majelis Hakim di Pengadilan Niaga kurang tepat dalam menerapkan syarat-syarat kepailitan.

This thesis discusses the terms of bankruptcy in Indonesia contained in Article 2 paragraph 1 of Law Number 37 Year 2004 and also the condition of bankruptcy in Singapore and the difference between the two, and how the application of those conditions in the bankruptcy case of PT Telkomsel. In the analysis section will be discussed the application of bankruptcy requirements in the bankruptcy case of PT Telkomsel in the Commercial Court Decision Number 48 Bankrupt 2012 PN.Niaga.Jkt.Pst and also the Supreme Court Decision Number 704 K Pdt.Sus 2012 where the decision to put PT Telkomsel in bankruptcy is canceled. In this study, the author uses normative juridical research methods, with literature study as a way of analyzing cases that have been in the form of court decisions. The author concludes that the difference between bankruptcy requirements in Indonesia and Singapore is related to the minimum number of creditors, the minimum amount of debt, and the inability to pay the debt, and that the authors agree with the decision of the Supreme Court to cancel the bankruptcy of PT Telkomsel because the Panel of Judges in the Commercial Court did not apply the terms of bankruptcy appropriately.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeremiah Ernest Doloksaribu
"Terdapat beberapa model bisnis yang dapat digunakan oleh seorang pengusaha dalam membangun bisnisnya. Salah satunya adalah menggunakan jenis Induk-Anak Perusahaan (Perusahaan Grup). Menggunakan model bisnis apa pun, sering kali kegagalan tidak dapat dihindari. Kesulitan finansial dengan berbagai faktor, menjadi alasan dari gagalnya suatu bisnis. Kepailitan hadir sebagai solusi bagi seorang pengusaha untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut. Tetapi kehidupan ekonomi di Indonesia masih banyak ditemukan kekurangan. Kosongnya pengaturan mengenai Induk-Anak Perusahaan menjadi salah satunya. Padahal praktik Induk-Anak Perusahaan bukan hanya satu atau dua entitas di Indonesia, tetapi banyak sekali digunakan bagi pengusaha. Selain itu juga dalam hukum kepailitan di Indonesia tidak luput dari segala kekurangannya. Tidak hadirnya tes insolvensi, membuat suatu perusahaan dapat dengan mudah pailit selama memenuhi persyaratan pailit yang diatur dalam UUKPKPU, padahal perusahaan tersebut masih mampu untuk membayar utang-utangnya. Tulisan ini hadir membahas masalah-masalah tersebut, mulai dari urgensi tes insolvensi di Indonesia, studi kasus penerapan insolvensi tes dalam kasus kepailitan PT Hanson International Tbk yang menjadi contoh semrawutnya hukum ekonomi di Indonesia, serta eksekusi kepailitan yang dalam hal terjadinya kepailitan Induk-Anak Perusahaan di Indonesia. Tulisan ini menggunakan metode pendekatan dalam bentuk kualitatif, yang kemudian menyimpulkan bahwa PT Hanson International Tbk belum dalam keadaan insolven, serta menyimpulkan eksekusi harta pailit dalam bentuk saham yang dimiliki Induk Perusahaan terhadap Anak Perusahaannya.

There are several business models that can be used by an entrepreneur in building his business. One of them is using the Parent-Subsidiary type (Group Company). Using any business model, failure is often inevitable. Financial difficulties with various factors become the reason for the failure of a business. Bankruptcy comes as a solution for an entrepreneur to be able to solve these problems. However, economic life in Indonesia still has many shortcomings. The absence of regulations regarding the Parent-Subsidiary Company is one of them. Whereas the practice of Parent-Subsidiary Company is not only one or two entities in Indonesia but is widely used for entrepreneurs. In addition, Indonesian bankruptcy law is not free from shortcomings. The absence of an insolvency test means that a company can easily go bankrupt as long as it meets the bankruptcy requirements stipulated in the UUKPKPU, even though the company is still able to pay its debts. This paper discusses these issues, starting from the urgency of the insolvency test in Indonesia, a case study of the application of the insolvency test in the bankruptcy case of PT Hanson International Tbk, which is an example of the chaos of economic law in Indonesia, as well as the execution of bankruptcy in the event of Parent-Subsidiary bankruptcy in Indonesia. This paper uses a qualitative approach, which then concludes that PT Hanson International Tbk is not yet insolvent and concludes the execution of bankruptcy assets in the form of shares owned by the Parent Company against its Subsidiaries."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Carolina
"Skripsi ini membahas mengenai eksekusi jaminan fidusia pada saat debitur pailit. Pada skripsi ini akan dibahas mengenai dua hal. Pertama, pembahasan mengenai kedudukan jaminan fidusia sebagai jaminan umum. Kedua pembahasan mengenai ketepatan Mahkamah Agung dalam mengambil keputusan yang berbeda dengan Pengadilan Niaga dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 306 K/Pdt.Sus/2010 jo. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 01/Pailit Lain Lain/ 2009/ PN.Niaga.Jkt.Pst. Kasus yang digunakan dalam pembahasan ini merupakan kasus eksekusi jaminan fidusia yang dilakukan oleh kreditur pemegang jaminan fidusia yaitu PT Bank Mega Tbk., pada saat debitur , yaitu PT Tripanca Group telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan perbandingan dan pendekatan kasus. Penelitian ini menyumpulkan bahwa jaminan fidusia bukan merupakan jaminan umum, melainkan merupakan jaminan khusus selama benda yang merupakan objek jaminan fidusia telah didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia dan bahwa putusan Mahkamah Agung telah tepat untuk membatalkan putusan Pengadilan Niaga yang memasukkan objek jaminan fidusia ke dalam boedel pailit.

This thesis discusses the execution of object of fiduciary guarantee on bankrupted debtor. This thesis focuses mainly on two issues. First, a discussion of the position of fiduciary guarantee as a general guarantee. Second, a discussion upon the accuracy of the Supreme Court to give a verdict contrary to the verdict given by the Commercial Court on Supreme Court Decision No. 306 K/Pdt.Sus/2010 jo. Comercial Court Decision No. 01/Pailit lain lain/2009/PN.Niaga.Jkt.Pst. The case as used in this thesis is a case concerning the execution of an object of a fiduciary guarantee done by a creditor who received a fiduciary guarantee, which is PT Bank Mega Tbk., after a debtor, which is PT Tripanca Group, which has been declared bankrupt by the Commercial Court. This research is a normative juridical research which focuses its approach on the legislation, comparative approach and case study. This research concludes that a fiduciary guarantee is not a general guarantee, but it is a special guarantee as long as the object of the fiduciary guarantee has been listed in the Fiduciary Registration Office and that the Supreme Court decision had given the appropriate verdict on nullifying the Commercial Court Decision that included the object of the fiduciary guarantee as a bankruptcy asset.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55931
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aura Akhman
"Dalam dunia bisnis, waktu 90 (sembilan puluh) hari, yang terdapat pada pengaturan Masa Stay dalam kepailitan bukanlah waktu yang pendek. Dalam praktik, biasanya yang mempunyai atau yang memegang hak tanggungan sangat membutuhkan percepatan perputaran modal. Percepatan perputaran modal ini akan berakibat pada keuntungan dan kerugian yang akan dialami oleh pihak bersangkutan. Semakin lama kredit yang seharusnya kembali tetapi tidak terbayar kepada kreditor separatis pemegang hak tanggungan, akan berdampak semakin besar pula kerugian Kreditur Separatis atas keuntungan yang harus diterimanya. Olehkarena itu penting bagi kita memahami Peranan asas hukum Lex Specialis Derogat Legi Generalis dalam mengatasi perbenturan norma hukum antara Undang-Undang Kepailitan dengan Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) mengenai Hak Tanggungan serta kedudukan Kreditur Separatis sebagai pemegang hak tanggungan dalam kepailitan. Penulisan ini bersifat deskriptif - analitis. Deskriptif maksudnya bahwa diharapkan akan diperoleh suatu gambaran yang menyeluruh dan sistematis tentang fakta yang berhubungan dengan permasalahan. Analitis dimaksudkan bahwa berdasarkan gambaran-gambaran, fakta-fakta dan uraian yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat mengenai Peran asas hukum Lex Specialis Derogat Legi Generalis dalam mengatasi perbenturan norma hukum antara Undang-Undang Kepailitan dengan Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) mengenai Hak Tanggungan serta kedudukan kreditor separatis pemegang hak tanggungan dalam kepailitan. Sehingga akan diperoleh pemahaman bagi para akademisi dan praktisi hukum bahwa Asas Lex Specialis Derogat Lex Generali , dalam mengatasi perbenturan norma hukum antara Undang-Undang Kepailitan dengan Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) mengenai Hak Tanggungan memiliki peran untuk melengkapi (aanvullend) bukan untuk menyimpangi ( uitzondering)

In the business world, a period of 90 (ninety) days, which is found on the Stay Period regulation in bankruptcy is not a short time. The acceleration of capital turnover will result in gains and losses that will be Experienced by the parties concerned. The longer the loan is supposed to return but not paid to the creditor separatist mortgage holders, will impact the greater the loss of benefits Separatist Creditors should receive. Therefore it is important for us to understand the role of Lex Specialist derogat Legi generalist legal principle in overcoming legal norms clash between the Bankruptcy Act by Mortgage Act (UUHT) regarding the position of Mortgage Lenders and mortgage holders in bankruptcy. This study is a descriptive - analytical. Descriptive means that is expected to obtain a comprehensive and systematic overview of the facts related to the problem. Analytical meant that by the images, facts and descriptions obtained will be analyzed carefully about The role of the legal principle of Lex Specialist derogat Legi generalist in overcoming legal norms clash between the Bankruptcy Act by Mortgage act (UUHT) regarding Mortgage and the position of creditor who act as mortgage holders in bankcruptcy. So that for academics and legal practitioners will have a better understanding about the principle of Lex Specialist derogat Generali, in dealing with the legal norms clash between the Bankruptcy Act by Mortgage act (UUHT) regarding Mortgage has a role for complement (aanvullend) not to deviate (uitzondering)"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Fatimah Citra Nurislamiati
"Penelitian tesis ini merupakan hasil analisa hukum mengenai permasalahan yang dihadapi konsumen perumahan pemegang akta perjanjian pengikatan jual beli atau (PPJB) lunas terhadap pengembang ketika dinyatakan pailit. Terdapat permasalahan yang timbul ketika pengembang dinyatakan pailit oleh majelis hakim Pengadilan Niaga mengenai sengketa konsumen terhadap obyek sengketa yaitu rumah, dalam hal ini ketika pengembang dinyatakan Pailit sedangkan konsumen telah membayar lunas rumah tersebut sehingga menimbulkan sengketa mengenai obyek perjanjian berupa rumah konsumen yang diikat dengan PPJB lunas milik konsumen, harus dicatat sebagai boedel pailit/harta pailit atau harus dikeluarkan dari boedel pailit/harta pailit. Penelitian tesis ini bertujuan untuk memberikan informasi terhadap konsumen perumahan mengenai hak-haknya sebagai konsumen apabila telah membayar lunas obyek perjanjian berupa rumah yang telah diikat dengan PPJB Lunas antara konsumen dengan pengembang dan ketika pengembang dinyatakan pailit dan tidak dapat melanjutkan usahanya sebagai pengembang berdasarkan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dan putusan-putusan pengadilan terkait PPJB lunas dalam kepailitan pengembang perumahan.

This thesis research is the result of a legal analysis of the problems faced by housing consumers who hold a deed of sale and purchase agreement (PPJB) in full against the developer when declared bankrupt. There are problems that arise when the developer is declared bankrupt by the panel of judges of the Commercial Court regarding consumer disputes against the object of dispute, namely the house, in this case when the developer is declared bankrupt while the consumer has paid off the house, causing a dispute regarding the object of the agreement in the form of a consumer's house bound with PPJB in full. owned by the consumer, must be recorded as bankrupt bank/bankrupt assets or must be removed from the bankrupt bank/bankrupt assets. This thesis research aims to provide information to housing consumers regarding their rights as consumers if they have paid in full the object of the agreement in the form of a house that has been tied to PPJB Lunas between the consumer and the developer and when the developer is declared bankrupt and cannot continue his business as a developer based on the Laws and Regulations. invitations in Indonesia and court decisions related to PPJB paid off in the bankruptcy of housing developers."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Tarnama Kevin
"Personal Guarantee (Penjamin Pribadi) merupakan bentuk jaminan yang diberikan oleh individu (pihak ketiga) untuk menjamin kewajiban pembayaran utang Debitor utama kepada Kreditor. Namun, ketika Debitor utama tidak dapat lagi membayar utangnya tersebut, maka Personal Guarantee lah yang bertanggung jawab.
Berdasarkan Pasal 1832 KUHPerdata, penjamin dapat diklasifikasikan sebagai debitor dikarenakan penjamin telah melepaskan hak istimewanya dengan menyatakan ketersediaannya tanggung renteng dengan debitur utama untuk melunasi utangnya. Penjamin mempunyai tanggung jawab untuk melunasi utang debitur tanpa perlu menunggu debitur lalai atau berhenti melaksanakan kewajibannya.
Secara tidak langsung, penjamin telah mengambil peran sebagai debitor dan karenanya penjamin dapat diklasifikasikan sebagai debitor serta konsekuensinya adalah penjamin dapat dipailitkan dengan adanya putusan pengadilan. Namun, untuk dapat dipailitkan penjamin tersebut harus memenuhi syarat sebagaimana Pasal 2 ayat 1 UUK, penjamin harus memiliki kreditur lain yang minimal 1 utangnya telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Analisis ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif. Hasil dari analisis ini mengatakan bahwa Personal Guarantee dapat bertanggung jawab terhadap hutang Debitor selama syarat-syaratnya terpenuhi.

Personal Guarantee is a form of guarantee provided by an individual (third party) to guarantee the main debtor's debt payment obligations to creditors. However, when the main Debtor can no longer pay the debt, then the Personal Guarantee is responsible.
Under Article 1832 of the Civil Code, a guarantor can be classified as a debtor because the guarantor has relinquished his privileges by stating his availability to be jointly and severally responsible with the main debtor to pay off his debts. The guarantor has the responsibility to pay off the debtor's debt without the need to wait for the debtor to default or stop carrying out his obligations.
Indirectly, the guarantor has taken on the role of a debtor and therefore the guarantor can be classified as a debtor and the consequence is that the guarantor can go bankrupt with a court decision. However, in order to be bankrupt, the guarantor must meet the requirements as stated in Article 2 paragraph 1 of the UUK, the guarantor must have another creditor whose at least 1 debt has matured and can be collected.
This analysis was carried out using normative juridical methods. The results of this analysis say that the Personal Guarantee can be responsible for the Debtor's debts as long as the conditions are met.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>