Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133491 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rienna Diansari
"Latar Belakang: Menurut Global and Regional Burden of Aortic Dissection and Aneurysm, laju kematian akibat patologi aorta torakalis di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan negara maju, dengan median pertambahan percepatan +0,71 per 100.000 vs +0,22 per 100.000 pada tahun 1990 dibandingkan 2010. Asia Tenggara merupakan salah satu negara dengan penambahan laju kematian tertinggi yaitu 41%. Di Indonesia, pasien datang dalam kondisi penyakit lanjut karena keterlambatan diagnosis dan manajemen dan hal ini menjadikan pasien berada pada kondisi patologi aorta yang kompleks. Kondisi patologi aorta yang kompleks tentunya membutuhkan tindakan bedah aorta yang kompleks pula. Sejauh ini belum terdapat studi yang secara khusus meneliti luaran klinis bedah aorta torakalis kompleks dibandingkan dengan non-kompleks, terutama pada populasi di negara berkembang.
Tujuan: Mengetahui hubungan kompleksitas pembedahan dengan mortalitas in-hospital dan kesintasan jangka menengah pasca bedah aorta torakalis serta faktor lain yang berhubungan.
Metode: Studi kohort retrospektif ini menggunakan data sekunder. Dilakukan pengambilan data dasar melalui rekam medis dan registri terhadap pasien pasca bedah aorta torakalis (1 Januari 2018 – 31 Desember 2021) di PJNHK. Analisa kesintasan 1 dan 3 tahun dilakukan dengan follow up melalui telepon dan pesan digital. Kemudian dilakukan analisa statistik untuk mencari hubungan antara kompleksitas pembedahan sebagai prediktor utama serta variabel lainnya dengan luaran primer (mortalitas in-hospital) dan sekunder (kesintasan jangka menengah).
Hasil: Total 208 pasien diinklusikan ke dalam analisis luaran primer; 157 (75,5%) menjalani bedah aorta torakalis kompleks dan 51 (24,5%) menjalani bedah aorta torakalis non-kompleks. Mortalitas in-hospital serupa pada kedua kelompok (23,6% vs 13,7%; p = 0,194). Pada analisa multivariat, sindrom malperfusi (OR 3,560; p = 0,002), durasi CPB > 180 menit (OR 4,331; p = 0,001), dan prioritas pembedahan (urgent OR 4,196; p = 0,003; emergency OR 10,879; p = 0,001) adalah prediktor independen mortalitas in-hospital. Follow-up kesintasan 1 dan 3 tahun pasca bedah aorta torakalis adalah 92,6% dan 80,3%, secara berurutan. Regresi Cox mengidentifikasi diabetes (HR 4,539; p = 0,025) dan status prosedur emergensi (HR 9,561; p = 0,015) sebagai prediktor independen mortalitas 1 tahun, dan diabetes (HR 3,609; p = 0,004), diseksi aorta (HR 2,795; p = 0,029) dan diameter aorta maksimum (HR 1,034; p = 0,003) sebagai prediktor independen mortalitas 3 tahun. Kompleksitas pembedahan tidak berhubungan dengan peningkatan mortalitas in-hospital maupun kesintasan jangka menengah.
Kesimpulan: Pada pasien yang menjalani tindakan bedah aorta torakalis terbuka, kompleksitas pembedahan tidak berhubungan dengan mortalitas in-hospital maupun kesintasan jangka menengah. Kesintasan jangka pendek dan menengah lebih banyak dipengaruhi faktor komorbid maupun faktor durante pembedahan

Background: According to Global and Regional Burden of Aortic Dissection and Aneurysm, a prominent increase of overall global death rate is seen on developing country compared to developed country, with relative change in median daeath rate of +0,71 per 100.000 vs +0,22 per 100.000 in 1990 vs 2010. South-east Asia is nation with highest increase of 41%. This is due to delayed in diagnosis and treatment and leads to late stage and complex aortic disease. The more complex the disease, the more complex the surgical procedure will be. Up until now, there is no data regarding the impact of surgical complexity on short and mid-term survival in patients underwent aortic surgery, especially in developing country.
Objectives: This study aimed to investigate the impact of surgical complexity on short and mid-term mortality and other influencing factors.
Methods: This retrospective cohort study used secondary data. Basic data was obtained through medical record and registry of patients underwent thoracic aortic surgery (January 1st, 2018 to December 31st, 2021) in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK). One-year and 3-year survival analysis was obtained through phone calls and digital messages. Statistical analysis was done to investigate the impact of surgical complexity as the main predictor and other variables on primary (in-hospital mortality) and secondary (mid-term survival) outcome.
Results: A total of 208 patients were included in the analysis; 157 (75,5%) underwent complex surgery, and 51 (24,5%) underwent non-complex surgery. In-hospital mortality was similar actoss 2 groups (23,6% vs 13,7%; p = 0,1240). On multivariable analysis, malperfusion syndrome (OR 3,560; p = 0,002), CPB duration > 180 minutes (OR 4,331; p = 0,001), and surgical priority (urgent OR 4,196; p = 0,003; emergency OR 10,879; p = 0,001) were identified as independent predictor of in-hospital mortality. One and 3-year survival were 92,6% and 80,3%, respectively. Cox regression identified diabetes (HR 4,539; p = 0,025) and emergency procedure (HR 9,561; p = 0,015) as independent predictors for 1-year mortality, and diabetes (HR 3,609; p = 0,004), aortic dissection (HR 2,795; p = 0,029), and maximum aortic diameter (HR 1,034; p = 0,003) for 3-year mortality. Surgical complexity was not associated with early and mid-term mortality.
Conclusions: In patients undergoing thoracic aortic surgery, surgical complexity was not associated with early and mid-term survival. Short and mid-term survival was largely determined by patient comorbidities and intra-surgery factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Andika Rizki
"Latar belakang: Waktu yang tepat untuk pembedahan katup aorta masihmerupakan tantangan saat ini. Pasien sering datang dengan kondisi lanjut denganperubahan geometri ventrikel kiri sebagai mekanisme kompensasi terhadappeningkatan beban tekanan dan volume berkepanjangan yang akan mempengaruhiluaran klinis pascabedah.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuiapakah terdapat pengaruh karakter ventrikel kiri meliputi ukuran dimensi ventrikelkiri EDD, ESD, FEVKi, indeks massa ventrikel kiri LVMI terhadapmorbiditas dan mortalitas di rumah sakit pascabedah katup aorta pada pasiendengan regurgitasi aorta kronik serta luaran klinis jangka menengah.
Metode: 168 pasien dengan regurgitasi aorta kronik yang menjalani pembedahankatup aorta terseleksi sesuai kriteria inklusi dan eksklusi, pascapembedahandilakukan follow-up terhadap luaran klinis morbiditas dan mortalitas di rumahsakit, kemudian diikuti 1 tahun hingga 5 tahun setelah operasi, morbiditas danmortalitas dievaluasi,
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna pada tiap tiapparameter ventrikel kiri EDD, ESD, FEVKi, LVMI terhadap morbiditas danmortalitas saat di rumah sakit p>0,05, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhimorbiditas intrahospital yaitu laju filtrasi ginjal p< 0,001 dan usia p=0,001 ,riwayat Penyakit Jantung Koroner PJK, riwayat PPOK dan riwayat stroke, sedangkan morbiditas jangka menengah dipengaruhi oleh kejadian aritmia pascapembedahan p=0,009, terdapat perbaikan pada NYHA functional class.Mortalitas di rumah sakit dipengaruhi oleh usia p=0,001 dan laju filtrasi ginjal p

Background: The optimal timing of aortic valve replacement is still challenging.The patients often come to hospital in end stage clinical performance withalteration in left ventricular LV geometry due to compensatory mechanism tovolume and pressure overload in long term period.
Objective: This study soughtto determine the effect of left ventricular characters diameter of the left ventricle,end diastolic diameter EDD, end systolic diameter ESD, left ventricularejection fraction LVEF, left ventricular mass index LVMI to in hospitalmorbidity and mortality following aortic valve replacement in patients withchronic aortic regurgitation and postoperative mid term outcome.
Methods: 168 patients with chronic aortic regurgitation underwent aortic valve replacementselected according to inclusion and exclusion criteria. Outcomes morbidity andmortality were observed during hospitalization and 1 year until 5 years aftersurgery. Mid term outcomes consisted of NYHA functional class, rehospitalizationand redo operation.
Results: There was no significant difference to in hospitalmorbidity and mortality for each of left ventricular characters p 0,05. Other factors which influenced in hospital morbidity were glomerularfiltration rate p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dhany Nugraha Ramdhany
"Sistem urinari hewan dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu sistem urinari bagian atas dan sistem urinari bagian bawah. Ginjal yang merupakan bagian dari sistem urinari memiliki 2 fungsi penting, yaitu filtrasi dan reabsorpsi. Dalam mendiagnosis penyakit yang diderita hewan pada sistem urinarinya terdapat beberapa kendala. Pada penelitian ini, dikembangkan model untuk mendiagnosis gangguan sistem urinari pada anjing dan kucing dengan menggunakan algoritma VFI 5 berdasarkan gejala klinis (terdapat 37 feature) dan pemeriksaan laboratorium (39 feature). Percobaan dilakukan baik pada feature gejala klinis dan juga pada feature pemeriksaan laboratorium. Hasil pengamatan yang dilakukan menunjukkan bahwa akurasi rata-rata sebesar 77,38% untuk percobaan dengan feature gejala klinis, dan 86,31% untuk percobaan dengan feature pemeriksaan laboratorium. Peningkatan ini mengindikasikan bahwa dalam mendiagnosis penyakit dalam sistem urinari, pemeriksaan laboratorium masih sangat dibutuhkan dalam menentukan hasil diagnosis suatu penyakit."
[Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, IPB. Departemen Ilmu Komputer], 2009
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Arini Purwono
"Latar Belakang: Efusi pleura ganas menunjukkan prognosis yang buruk sehingga sitologi cairan pleura berperan penting dalam mempersingkat waktu diagnosis. Teknik barbotage diketahui bermanfaat dalam meningkatkan nilai diagnostik sitologi pada karsinoma urotelial, namun belum diketahui perannya pada keganasan rongga toraks. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan deteksi sel ganas dan hitung jumlah sel tumor antara pungsi pleura konvensional dan dengan teknik barbotage pada keganasan rongga toraks.
Metode: Penelitian ini merupakan uji kesesuaian dengan desain potong lintang yang dilakukan di IGD, poli intervensi paru dan ruang rawat inap RSUP Persahabatan pada bulan November 2022 – Juni 2023. Subjek penelitian adalah pasien keganasan rongga toraks dengan EPG yang dipilih sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Sitologi cairan pleura diperiksa menggunakan pewarnaan Papanicolaou dan Giemsa dari sampel pungsi pleura konvensional dan barbotage pada subjek yang sama. Data karakteristik klinis, radiologis, laboratorium dan histopatologis diambil dari rekam medis.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 34 dari 84 subjek EPG menunjukkan sitologi positif pada keseluruhan teknik (40,5%). Teknik konvensional dan barbotage menunjukkan hasil serupa yaitu 39,3%. Deteksi sel ganas dengan teknik konvensional dan barbotage menunjukkan kesesuaian sangat baik yang bermakna (ĸ=0,950; p<0,001). Deteksi sel ganas dengan pewarnaan Papanicolaou dan Giemsa juga menunjukkan kesesuaian sangat baik (ĸ=0,899 dan 0,924; p<0,01). Hitung jumlah sel tumor antara kedua teknik dengan masing-masing pewarnaan menunjukkan kesesuaian cukup (ĸ=0,556 dan 0,520; p<0,01). Analisis multivariat menunjukkan bahwa lokasi lesi primer di paru (OR 4,61; IK 95% 1,33 – 16,03) dan cairan pleura yang keruh (OR 3,41; IK 95% 1,19 – 9,83) memengaruhi hasil sitologi positif cairan pleura.
Kesimpulan: Studi ini merupakan studi pertama yang meneliti mengenai penggunaan teknik barbotage pada tindakan pungsi pleura. Pungsi pleura dengan teknik barbotage merupakan alternatif diagnostik yang secara umum aman dan setara dengan teknik konvensional.

Background: Malignant pleural effusion is a predictor of poor prognosis, therefore pleural fluid cytology is an important tool to shorten the time of diagnosis. Barbotage technique is known to increase diagnostic value in urothelial malignancy, but its role in thoracic malignancies is still unknown. This study aims to compare pleural fluid cytology positivity and tumour cell count between thoracentesis with conventional and barbotage technique in thoracic malignancies.
Methods: This study is a measurement of reliability using a cross-sectional design which was carried out in emergency department, pulmonary intervention clinic and ward of National Respiratory Center Persahabatan Hospital in November 2022 – June 2023. The subjects of this study were thoracic malignancy patients with MPE who met the inclusion and exclusion criterias. Pleural fluid cytology was examined using Papanicolaou and Giemsa stains from conventional and barbotage thoracentesis samples taken on the same subject. Clinical, radiological, laboratory and histopathology data were collected from medical records.
Results: Pleural fluid cytology using both techniques was diagnostic in 34 of 84 (40,5%) MPE patients and 39,3% in each conventional and barbotage technique. Thoracentesis with both techniques showed significantly almost perfect agreement in malignant cell detection (ĸ=0.950; p<0,001). Papanicolaou and Giemsa stains also showed significantly almost perfect agreement in malignant cell detection (ĸ=0.899 and 0.924; p<0.001). Tumour cell count between both techniques using each stain showed significantly moderate agreement (ĸ=0.556 and 0.520; p<0.01). Multivariate analysis showed that primary lesion in the lung (OR 4.61; 95% CI 1.33 – 16.03) and cloudy pleural fluid (OR 3.41; 95% CI 1.19 – 9.83) increased the odds of positive pleural cytology.
Conclusion: To the best of our knowledge, this is the first study to evaluate thoracentesis with barbotage technique. Thoracentesis with barbotage technique is a generally safe alternative procedure and equivalent to conventional technique.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fakrul Ardiansyah
"ABSTRAK
Henti jantung sering terjadi di instalasi gawat darurat dan Return of spontaneus circulation ROSC masih rendah. ROSC dipengaruhi oleh kualitas kompresi RJP yang dilakukan perawat. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengan kualitas kompresi RJP. Penelitian ini menggunakan metode Crossectional yang melibatkan 72 responden dengan teknik Stratified Sampling di ruang IGD, Kamar Bedah, ICU, HCU, HCU paru, dan CVCU. Variabel independen usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, kelelahan, frekuensi pelatihan, pengetahuan, dan kesadaran diri dianalisis hubungannya variabel dependent variabel dependent kualitas kompresi pada RJP. Hasil analisis uji chi-square dan uji regresi logistik menunjukkan hubungan yang signifikan antara usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, kelelahan, frekuensi pelatihan, pengetahuan, kesadaran diri dengan kualitas kompresi pada resusitasi jantung paru p

ABSTRACT
Cardiac arrest often occurs in emergency unit and Return of spontaneus circulation ROSC is still low. ROSC is influenced by the quality of CPR compression performed by nurses. This study aimed to identify factors related to CPR compression quality. This research used crossectional method involving 72 respondents with Stratified Sampling technique in Emergency Unit, Surgical Unit, Intensive Care Unit, High Care Unit, and Cardio Vasculare Care Unit. Independent variables including age, sex, body mass index, fatigue, training frequencies, knowledge, and self awareness are analyzed the dependent variable of CPR compression quality. The result of chi square test and logistic regression test show the significant correlation between age, sex, body mass index BMI , fatigue, training frequencies, knowledge, self awareness with CPR compression quality p "
2018
T50244
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febian Sandra
"Latar belakang: Karsinoma papiler tiroid merupakan kanker endokrin tersering dengan angka kejadian yang terus meningkat. Agresivitas dari karsinoma papiler tiroid salah satunya dipengaruhi oleh adanya ekstensi ekstratiroid yang dapat meningkatkan risiko rekurensi, metastasis kelenjar limfe dan metastasis jauh, sehingga memerlukan tatalaksana yang lebih agresif. Ultrasonografi (USG) merupakan modalitas pilihan dalam mendeteksi ekstensi ekstratiroid karena resolusi serta ketersediaan yang luas, tetapi USG memiliki operator-dependent dengan hasil false positive dan false negative yang cukup tinggi. Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan modalitas yang penggunaannya semakin meningkat dalam mengevaluasi kelenjar tiroid dengan keunggulan memiliki kontras jaringan lunak yang baik serta memiliki kemampuan multiplanar. Telaah sistematis dan meta-analisis ini dibuat dnegan tujuan untuk membandingkan akurasi diagnostik USG dan MRI dalam menentukan ekstensi ekstratiroid pada karsinoma papiler tiroid. Metode: Pencarian sistematis dilakukan untuk mengidentifikasi studi yang membandingkan akurasi diagnostik USG dan MRI dalam menentukan ekstensi ekstratiroid dengan referensi baku pemeriksaan histopatologi melalui basis data PubMed, Scopus, Neliti dan Sinta serta grey literature menggunakan kata kunci yang telah ditentukan. Temuan yang diektraksi dari setiap studi terpilih adalah positif benar, positif palsu, negatif benar dan negatif palsu untuk menentukan nilai sensitivitas, spesifisitas, likelihood ratio (LR), dan diagnostic odds ratio (DOR) masing-masing uji indeks. Penilaian kualitas metodologi studi dilakukan dengan metode QUADAS-2, sedangkan penilaian kualitas bukti dilakukan menggunakan GRADE. Hasil: Pencarian sistematis mengindentifikasi 8 studi. Tiga studi diantaranya memiliki risiko bias yang tinggi dan studi lain setidaknya memiliki satu risiko bias yang tidak jelas pada salah satu domain. Sensitivitas, spesifisitas, LR+, LR- dan DOR USG secara berurutan adalah 85% (95% CI, 63-95%), 80% (95% CI, 73-86%), 4,3 (95% CI 3,3-5,7), 0,19 (95% CI 0,07-0,49) dan 23 (95% CI 8-65). Sensitivitas, spesifisitas, LR+, LR- dan DOR MRI secara berurutan adalah 84% (95% CI, 77-89%), 92% (95% CI, 86-96%), 10,9 (95% CI 6,1-19,7), 0,17 (95% CI 0,12-0,25) dan 64 (95% CI 31-132). Kualitas bukti rendah. Kesimpulan: MRI dan USG memiliki performa diagnostik yang hampir sebanding dalam menentukan ekstensi ekstratiroid. USG memiliki sensitivitas yang lebih tinggi, sedangkan MRI memiliki spesifisitas yang lebih tinggi. Secara keseluruhan, USG tetap disarankan menjadi modalitas awal, sedangkan MRI disarankan menjadi modalitas selanjutnya apabila temuan pada USG inkonklusif. Akan tetapi, penerapan temuan telaah sistematis dan meta-analisis ini terbatas karena keterbatasan pada kualitas metodologi dan kualitas bukti.

Background: Papillary thyroid carcinoma is one of the most endocrine cancer with increasing cases over three decades. Aggressive behaviour of papillary thyroid cancer is affected by extrathyroidal extension which could increase reccurency, lymph node metastases and distant metastases, hence need more aggressive treatment. Ultrasonography (USG) has good resolution for superficial organs and are modality of choice to evaluate extrathyroidal extension, but it is operator-dependent with high false positive dan false negative value. The use of Magnetic Resonance Imaging (MRI) to evaluate thyroid gland has increase. MRI provides superior soft tissue resolution with multiplanar view. This systematic review and meta-analysis are written to compare diagnostic accuracy of USG and MRI to determine extrathyroidal extension in papillary thyroid carcinoma. Methods: Studies which compared diagnostic accuracy of USG and MRI to determine extrathyroidal extension in papillary thyroid carcinoma with histopathological examination as reference standard were identified through PubMed, Scopus, Neliti dan Sinta and other grey literature using pre-determined keywords. Findings extracted from each eligible study included true positive, true negative, false positive and false negative to obtain sensitivity, specificity, likelihood ratio (LR) and diagnostic odds ratio (DOR). Methodological quality assessed using QUADAS-2 and evidence quality decided by GRADE. Results: Systematic search identified 8 studies. Three studies indicated high risks of bias and other studies at least have one unclear risk of bias in one domain. Sensitivity, specificity, LR+, LR- and DOR of USG were 85% (95% CI, 63-95%), 80% (95% CI, 73-86%), 4,3 (95% CI 3,3-5,7), 0,19 (95% CI 0,07-0,49) and 23 (95% CI 8-65). Sensitivity, specificity, LR+, LR- and DOR of MRI were 84% (95% CI, 77-89%), 92% (95% CI, 86-96%), 10,9 (95% CI 6,1-19,7), 0,17 (95% CI 0,12-0,25) and 64 (95% CI 31-132). The quality of evidence was low. Conclusion: MRI and USG has comparable diagnostic performance. USG has higher sensitivity, while MRI has higher specificity. USG still recommended as first modality, and MRI suggested when USG are inconclusive. However, application of this systematic review and meta-analysis are limited since methodological and evidence quality are also limited."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trianti Kartikasari Kusuma
"Penyakit kardiovaskular merupakan salah satu penyebab kematian di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, sekitar 2.784.064 individu menderita penyakit jantung. Prevalensi penyakit jantung DKI Jakarta berada di peringkat ke-5 se-Indonesia. Apotek Roxy Klender menerima banyak resep obat kardiovaskular. Dikarenakan penyakit kardiovaskular kompleks, maka dokter sering meresepkan banyak obat untuk satu pasien. Maka ada kemungkinan terjadinya Drug Related Problem yaitu interaksi obat. Pengambilan data dilakukan di saat pelaksanaan PKPA. Penulis menyortir resep yang terdapat obat kardiovaskular menggunakan sistem informasi Apotek Roxy, lalu resep yang dipilih untuk dianalisis dicetak. Pada Resep 1 terdapat interaksi Spironolakton dan Kalium Klorida yang menyebabkan hiperkalemia. Dokter juga meresepkan Furosemid karena pasien udem sehingga diresepkan dua obat diuretik juga Kalium Klorida. Pada Resep 2 terdapat interaksi Asam Asetilsalisilat dengan Clopidogrel dan Furosemid. Interaksi Asam Asetilsalisilat dan Clopidogrel merupakan interaksi farmakodinamik yang menyebabkan pendarahan. Interaksi Asam Asetilsalisilat dan Furosemid merupakan interaksi farmakokinetik. Kombinasi kedua obat dapat mengurangi efektivitas diuretik furosemid dan menyebabkan nefrotoksisitas. Penggunaan obat-obatan yang berpotensi menmbulkan interaksi obat harus dimonitor penggunaannya agar menghindari adanya efek samping yang tidak diinginkan.
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan kegiatan untuk memastikan terapi obat aman, efektif dan rasional. Seharusnya PTO dilakukan untuk seluruh pasien tetapi karena keterbatasan jumlah apoteker, maka perlu dilakukan pada pasien prioritas. Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) adalah penyakit menular yang disebabkan infeksi virus SARS-CoV-2. Pada Maret 2020, WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi. Tata laksana terapi Covid-19 yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), hanya mengatur penanganan Covid-19 secara simptomatis bukan untuk menyembuhkan karena obat antivirus Covid-19 belum ditemukan. Maka, PTO penting dilakukan pada pasien Covid-19 karena kebanyakan obat yang diterima pasien bisa mencapai banyak jenisnya dan obat-obatan ini belum dibuktikan secara klinis sebagai obat untuk penyembuhan Covid-19. Selain itu, banyak pasien Covid-19 yang memiliki penyakit penyerta (komorbiditas). Hal ini membuat terapi obat pasien akan semakin banyak yang dimana PTO dibutuhkan. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kebayoran Lama ditunjuk menjadi Rumah Sakit (RS) rujukan Covid-19 berdasarkan Pergub 987 Tahun 2020 dan mulai melayani pasien rawat inap Covid-19 sepenuhnya pada Oktober 2020. Adanya perubahan tersebut membuat Rumah Sakit harus menyediakan obat-obatan khusus terapi Covid-19 sesuai dengan Panduan Praktis Klinis (PPK) yang dikeluarkan oleh PDPI. Oleh karena itu, RSUD Kebayoran Lama perlu melakukan PTO pada pasien. Metode kualitatif digunakan dengan melihat form PTO pasien Covid-19 yang dirawat mulai 1-27 November 2020 secara retrospektif. Lalu, dibuat analisis PTO tiap pasien. Pasien yang diseleksi adalah pasien yang form PTOnya lumayan lengkap, polifarmasi dan dilihat dari keluhan yang disampaikan kepada apoteker. Dipilih pasien yang menyatakan keluhan karena pasien tersebut dianggap memiliki masalah terkait obat sehingga harus dipantau terapinya. Setelah itu, dibuat analisis Subjective Objective Assessmennt Planning (SOAP) tiap pasien. Hasil analisis form PTO pasien Covid-19 yang dirawat sudah cukup lengkap. Dilakukan analisis SOAP berdasarkan hasil PTO pada 5 pasien. Dari hasil analisis form PTO, ditemukan 1 kasus pasien yang mengalami pemilihan obat yang kurang tepat, 3 kasus pasien mengalami pemberian dosis diatas batas normal, 4 kasus pasien mengalami interaksi obat dan 2 kasus pasien mengalami pemberian obat tanpa indikasi. Form PTO tiap pasien agar dapat ditulis lebih lengkap dari mulai data pasien, diagnosis, terapi obat, dan data laboratorium. Apoteker juga harus lebih aktif melakukan komunikasi klinis dengan tenaga kesehatan lain seperti dokter dan perawat agar hasil analisa PTO dapat lebih baik.
Di Indonesia penjaminan mutu obat dalam proses distribusi dilakukan dengan menerapkan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). PT. Anugerah Pharmindo Lestari (APL) merupakan salah satu Pedagang Besar Farmasi yang menerapkan CDOB. Seluruh kegiatan distribusi telah terintegrasi pada satu sistem. Salah satu kegiatan yang dilakukan yaitu pengambilan barang. Picker atau orang yang bertugas mengambil barang sering menghabiskan banyak waktu untuk mencari lokasi penyimpanan produk sehingga pengambilan barang agak lama. Hal ini juga disebabkan gudang yang sedang direnovasi dan penyimpanan barang terlalu banyak. Dari masalah tersebut, maka dilakukan inovasi perencanaan pembuatan metode vision pick dengan teknologi Artificial Intelligence untuk meningkatkan efektivitas picking order di PT. APL Cabang Bogor. Metode ini diharapkan dapat membantu meningkatkan efektivitas proses distribusi barang.Tugas khusus dilakukan daring. Dilakukan analisis masalah yang terdapat pada PT. APL cabang Bogor dengan berdiskusi dan tanya jawab dengan pihak PT. APL cabang Bogor. Dari masalah tersebut kemudian dilakukan inovasi perancangan metode untuk menangani masalah yang terjadi. Perencanaan inovasi metode vision pick dengan teknologi artificial intelligence telah dibuat dengan kerjasama pihak pengelola gudang yaitu apoteker penanggung jawab dengan divisi teknologi perusahaan. System Analysis Product (SAP) harus diintegrasikan dengan teknologi kecerdasan buatan yang bertujuan untuk meningkatkan kecepatan pengambilan barang sehingga proses distribusi lebih efisien.Perlu dilakukan peninjauan kembali dan evaluasi terhadap perencanaan metode yang dibuat agar dapat diterapkan pada seluruh cabang PT. APL

Cardiovascular disease is one of the causes of death in Indonesia. Based on data from the Ministry of Health, around 2.784.064 individuals suffer from heart disease. The prevalence of heart disease in DKI Jakarta is ranked 5th in Indonesia. Roxy Klender Pharmacy accepts many cardiovascular drugs prescriptions. Because cardiovascular disease is complex, doctors often prescribe multiple drugs for one patient. Then there is the possibility of Drug Related Problems, namely drug interactions. Data collection is carried out at the time of internship. The author sorts prescriptions containing cardiovascular drugs using the Roxy Pharmacy information system, then the prescriptions selected for analysis are printed. In Recipe 1 there is an interaction between Spironolactone and Potassium Chloride which causes hyperkalemia. The doctor also prescribed furosemide because the patient had edema, so he was prescribed two diuretics as well as potassium chloride. In Recipe 2 there is an interaction of Acetylsalicylic Acid with Clopidogrel and Furosemide. Interaction of Acetylsalicylic Acid and Clopidogrel is a pharmacodynamic interaction that causes bleeding. The interaction of acetylsalicylic acid and furosemide is a pharmacokinetic interaction. The combination of two drugs can reduce the effectiveness of the diuretic furosemide and cause nephrotoxicity. The use of drugs that have the potential to cause drug interactions must be monitored in order to avoid unwanted side effects.
Drug Therapy Monitoring (PTO) is an activity to ensure safety, effective and rational drug therapy. PTO should be done for all patients but due to the limited number of pharamacists,it is necessary to do it on priority patients. Corona virus disease 2019 (Covid-19) is an infectious disease caused by infection with the SARS-CoV-2 virus. in March 2020, WHO declared Covid-19 a pandemic. The Covid-19 therapeutic management issued by the Indonesian Lung Doctors Association only regulates the symptomatic handling of Covid-19, not to cure it because the Covid-19 antiviral drug has not been found. Therefore, PTO is important for Covid-19 patients because most of the drugs that patients receive can reach many types and these drugs have not been clinically proven as drugs to cure Covid-19. In addition, many Covid-19 patients have comorbidities (comorbidities). This makes PTO is needed. The Kebayoran Lama Regional General Hospital (RSUD) was appointed as a Covid-19 referral hospital based on Pergub 987 of 2020 and began fully serving Covid-19 inpatients in October 2020. This change the hospital to provide medicines specifically for Covid-19 therapy in accordance with the Clinical Practical Guide (PPK) issued by PDPI. Therefore, RSUD Kebayoran Lama needs to do PTO on patients. The qualitative method was used by looking at the PTO form of Covid-19 patients who were treated from November 1-27, 2020 retrospectively. Then, a PTO analysis was made for each patient. The selected patients are patients whose PTO form is quite complete, polypharmacy and seen from the complaints submitted to the pharmacist. Selected patients who express complaints because these patients are considered to have drug-related problems so that their therapy must be monitored. After that, a Subjective Objective Assessment Planning (SOAP) analysis was made for each patient. The results of the PTO form analysis of Covid-19 patients being treated are quite complete. SOAP analysis was performed based on PTO results in 5 patients. From the results of the PTO form analysis, it was found 1 case of patients who experienced inappropriate drug selection, 3 cases of patients experiencing doses above the normal limit, 4 cases of patients experiencing drug interactions and 2 cases of patients experiencing drug administration without indications. The PTO form for each patient can be written more completely, starting from patient data, diagnosis, drug therapy, and laboratory data. Pharmacists must also be more active in clinical communication with other health workers such as doctors and nurses so that the results of PTO analysis can be better.
In Indonesia, drug quality assurance in the distribution process is carried out by applying the Good Drug Distribution Method (CDOB). PT. Anugerah Pharmindo Lestari (APL) is one of the Pharmaceutical Wholesalers that implements CDOB. All distribution activities have been integrated into one system. One of the activities carried out is taking goods. Pickers or people in charge of picking up goods often spend a lot of time looking for product storage locations so that picking up goods takes a while. This is also due to the warehouse being renovated and the storage of goods is too much. Based on these problems, an innovation in planning for making the vision pick method with Artificial Intelligence technology was carried out to increase the effectiveness of picking orders at PT. APL Bogor Branch. This method is expected to help improve the effectiveness of the goods distribution process. Special tasks are carried out online. An analysis of the problems contained in PT. APL Bogor branch by discussing and asking questions with PT. APL Bogor branch. From these problems, an innovative design method was carried out to deal with the problems that occurred. The vision pick method innovation plan with artificial intelligence technology has been made in collaboration with the warehouse manager, namely the pharmacist in charge with the company's technology division. System Analysis Product (SAP) must be integrated with artificial intelligence technology which aims to increase the speed of picking up goods so that the distribution process is more efficient. It is necessary to review and evaluate the planning method made so that it can be applied to all branches of PT. APL.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Theresia Ongkowidjaja
"Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan ROMA dengan RMI dalam memprediksi keganasan tumor ovarium epitelial di RS dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM). Penelitian ini merupakan uji diagnostik dengan desain potong lintang yang dilakukan di Departemen Obstetri dan Ginekologi, RSUPNCM. Pada penelitian ini, dari 213 subjek diperoleh sensitivitas dan spesifisitas RMI 85.3%, dan 66.3%, Nilai Duga Positif dan Negatif RMI 79.7%, dan 74.3%, Rasio Kemungkinan Positif dan Negatif RMI 2.53, dan 0.22; dan sensitivas dan spesifisitas ROMA 95.4%, dan 32.5%, Nilai Duga Positif dan Negatif 68.9%, dan 81.8%, Rasio Kemungkinan Positif dan Negatif 1.41, dan 0.14. AUC ROMA lebih baik daripada RMI, tetapi tidak bermakna secara statistik (seluruh kelompok: AUC 69.56%>67.49%, perbedaan AUC 0.0207, p 0.526; kelompok pascamenopause: AUC 91.47%>88.97%, perbedaan AUC 0.0250, p 0.0571; kelompok premenopause: AUC 86.20%>78.16%, perbedaan AUC 0.0804, p 0.0571). Pada titik potong ideal (RMI 330, ROMA premenopause 30,4; dan pascamenopause 53.1), ROMA mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik dibandingkan RMI (sensitivitas 82.31% vs 74.62%; spesifisitas 78.31% vs 75.9%). Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara ROMA dengan RMI, tetapi sensitivitas dan spesifisitas ROMA lebih baik daripada RMI pada titik potong ideal.

The purpose of this research is to compare ROMA with RMI to predict malignancy of ovarian tumor, epithelial type in Indonesia, especially at the Cipto Mangunkusumo hospital. It was a cross sectional study with a diagnostic design, which was performed in the Oncology Gyneology division. From 213 sampels, the RMI showed a sensitivity of 85.3%, a specificity of 66.3%, a PPV of 79.7%, a NPV of 74.3%, a LR+ of 2.53, LR- 0.22 and an accuracy of 0.77; while ROMA has a sensitivity of 95.4%, a specificity of 32.5%,a PPV 68.9% of, a NPV of 81.8%, a LR+ 1.41, LR- 0.14 and an accuracy of 0.71. Overall AUC ROMA indicated better results compared to those results using the RMI diagnostic method, (all groups: AUC 69.56%>67.49%, p 0.526; as with the postmenopause group: the AUC was 91.47%>88.97%, p 0.0571; and the premenopause group: the AUC 86.20%>78.16%, p 0.0571). At ideal the cut-off point (RMI 330, ROMA premenopause 30,4; and postmenopause 53.1), ROMA has shown better sensitivity and specificity than RMI (sensitivity 82.31% vs 74.62%; specificity 78.31% vs 75.9%). It can be concluded that there is no significantly different between ROMA and RMI, but at ideal cut off, sensitivity and specificity ROMA better than RMI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad
"Data epidemiologi menunjukkan bahwa dari semua keganasan tiroid, sekitar 80% hingga 85% di antaranya adalah karsinoma tiroid papiler (KTP). Biomarker untuk memprediksi metastasis KGB leher kini mulai banyak diteliti pada pasien KTP seperti matrix metalloproteinase (MMP) dan vascular endothelial growth factor (VEGF). Meskipun belum terdapat kesepakatan diagnostik terhadap MMP-9 dan VEGF-C sebagai prediktor metastasis KGB pada KTP, beberapa studi telah menunjukkan hubungan keduanya terhadap metastasis KGB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara MMP-9 dengan VEGF-C pada metastasis KGB leher pada pasien KTP. Peneliti melakukan studi desain potong lintang di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Pasien yang terdiagnosis KTP berdasarkan pemeriksaan histopatologi diinklusi dalam penelitian ini. Pasien yang telah terbukti memiliki metastasis jauh dan data tidak lengkap dieksklusi dalam penelitian. Ekspresi MMP-9 dan VEGF-C diteliti di Laboratorium Patologi Anatomi FKUI/RSCM. Sebanyak 62 pasien diinklusi dalam penelitian ini, dengan proporsi 80,6% perempuan dan 19,4% laki-laki. Ekspresi MMP-9 ditemukan lebih tinggi pada kelompok metastasis (p<0,001). Hal yang sama juga terjadi pada perbedaan median ekspresi VEGF-C, yang mana median ekspresi penanda ini pada kelompok metastasis lebih tinggi dibandingkan non-metastasis (p<0,001). Peneliti menemukan bahwa terdapat korelasi positif dan bermakna antara H-score MMP-9 dan VEGF-C, dengan koefisien korelasi 0,618. Terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi MMP-9 dan VEGF-C dengan kejadian metastasis KGB leher pada pasien KTP. Ekspresi MMP-9 dan VEGF-C ditemukan lebih tinggi pada kelompok metastasis. Peningkatan ekspresi MMP-9 juga berkorelasi positif dengan peningkatan ekspresi VEGF-C. 

Approximately 80% to 85% of thyroid malignancies were papillary thyroid carcinoma (PTC). Biomarkers to predict cervical lymph node metastases have now begun to be widely studied in PTC patients, such as matrix metalloproteinase (MMP) and vascular endothelial growth factor (VEGF). Although there was no diagnostic agreement on MMP-9 and VEGF-C as predictors of lymph node metastasis in PTC, several studies have shown an association between the two for lymph node metastasis. This study aims to determine the relationship between MMP-9 and VEGF-C in cervical lymph node metastases in PTC patients. A cross-sectional design study was conducted at Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta. Patients diagnosed with PTC based on histopathological examination were included in this study. Patients with distant metastases were excluded from the study. The expression of MMP-9 and VEGF-C was investigated at the Anatomical Pathology Laboratory FKUI/RSCM. A total of 62 patients were included in this study, with 80.6% female and 19.4% male. The MMP-9 expression was found to be higher the metastatic group (p<0.001). The same results were also found in VEGF-C expression, where the median expression of this marker in the metastatic group was higher than the non-metastatic group (p<0.001). We found a significant and positive correlation between the H-score of MMP-9 and VEGF-C (correlation coefficient of 0.618). There is a significant relationship between the expression of MMP-9 and VEGF-C with the cervical lymph node metastases in PTC patients. The MMP-9 and VEGF-C expression was higher in the metastatic group. The increased MMP-9 expression is also positively correlated with increased VEGF-C expression."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risca Rini Aryanti
"Latar Belakang: COVID-19 di Indonesia menyebabkan kematian hingga lebih dari 150.000 orang. Salah satu populasi yang mengalami dampak dengan risiko kematian yang tinggi adalah populasi penyakit kardiovaskular. Severitas COVID-19 sering dikaitkan dengan rendahnya rasio PaO2/FiO2 dan tingginya kadar D-dimer. COVID-19 varian Omicron diketahui memiliki angka penyebaran yang lebih tinggi dengan severitas infeksi yang lebih rendah dibandingkan varian sebelumnya. Namun dampak jangka panjang pada pasien COVID-19 varian Omicron, khususnya pada populasi pasien dengan penyakit kardiovaskular masih menjadi pertanyaan. Penelitian ini ingin mengetahui dampak pasca COVID-19 varian Omicron dengan melihat kadar ST2 terlarut dan adanya gangguan paru yang dinilai dengan pemeriksaan spirometri.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan Rasio PaO2/FiO2 dan Kadar D-dimer pada saat admisi terhadap kadar ST2 terlarut dan gambaran spirometri pada pasien pasca COVID-19 varian Omicron dengan penyakit kardiovaskular. Metode: Penelitian berupa studi potong lintang terhadap pasien COVID-19 varian Omicron dengan riwayat komorbid penyakit kardiovaskular yang dirawat di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Diagnosis COVID-19 varian Omicron dilakukan dengan menggunakan metode WGS/SGTF. Pasien dengan kriteria inklusi menjalani pemeriksaan spirometri dan pengukuran kadar ST2 terlarut pada 6 bulan pasca perawatan.
Hasil dan Pembahasan: Penelitian ini menunjukkan rasio PaO2/FiO2 dengan median 454 dan kadar D-dimer 790ng/mL. Mayoritas pasien menunjukkan gambaran gangguan resktriktif. Kadar ST2 terlarut pasca perawatan memiliki median 2716,8pg/mL. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara rasio PaO2/FiO2 dan kadar D-Dimer terhadap kadar ST2 terlarut maupun gambaran spirometri pada 6 bulan pasca COVID-19. Hal ini dapat dikaitkan dengan severitas COVID-19 yang lebih rendah sehingga tidak terdapat hubungan bermakna terhadap parameter admisi serta hubungan pengukuran 6 bulan pasca COVID-19 dengan kemungkinan adanya perbaikan fibrosis.
Kesimpulan: Tidak ada hubungan yang signifikan antara rasio PaO2/FiO2 dan kadar D- Dimer terhadap kadar ST2 terlarut ataupun gambaran spirometri pada 6 bulan pasca COVID-19 varian Omicron.

Introduction: COVID-19 in Indonesia has caused more than 150,000 deaths. One of the affected populations with a high risk of death is the cardiovascular disease population. The severity of COVID-19 is associated with a low of PaO2/FiO2 ratio and the increased levels of D-dimer. Omicron variant is known to have higher transmission with less severe infection than the previous variant. However, research related to long term effect post COVID-19 with Omicron variant in cardiovascular population is not yet known.
Aim: This study was conducted to determine the relationship of PaO2/FiO2 ratio and D- dimer levels at admission to sST2 levels and spirometry profile in post COVID-19 variant Omicron patient with cardiovascular disease.
Method: Research in the form of a cross-sectional study was conducted on Omicron variant COVID-19 patients with a history of comorbid cardiovascular disease who were treated at the Harapan Kita Heart and Blood Vessel Hospital (RSJPDHK). The diagnosis of COVID-19 is carried out using the WGS/SGTF method. Patients undergo spirometry examination and measurement of sST2 levels at 6 month after hospitalization.
Results and Discussion: This study shows a PaO2/FiO2 ratio with a median of 454 with D-dimer levels 790 ng/mL. The majority of patients have a restrictive patterns. The median sST2 value in Omicron variant COVID-19 patients at 2716.8 pg/mL. There was no significant relationship between the ratio of PaO2/FiO2 and D-Dimer levels to sST2 levels and spirometry profile at 6 months after COVID-19 infection. This can be associated with lower COVID-19 severity so that there is no significant association with inflammatory parameters such as PaO2/FiO2 ratio and D-dimer levels, as well as the relationship between measurements 6 months post COVID-19 and the possibility of fibrosis improvement.
Conclusion: There was no significant relationship between the ratio of PaO2/FiO2 and D-Dimer levels to sST2 levels and spirometry abnormality at 6 months post COVID-19 variant Omicron.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>